Tak pernah padam: Wait was not wrong, isn't it? (Cerpen)

Diposting oleh Nita Julianti Sukandar Putri



“If I could change the world overnight
There'd be no such thing as goodbye
You'd be standing right where you were
And we'd get the chance, we deserve.”

-Ariana Grande, Almost is never enough.

**

Senyumanmu
Masih jelas terkenang
Hadir selalu
Seakan tak mau hilang dariku

Aku menghela nafas berat. Memberi jeda pada sebuah lagu yang ter-shuffle di list musik favoritku. Lagu itu, lagu yang acap kali kuputar disaat perasaanku gamblang seperti ini. Entahlah, aku hanya menyukai kegiatan semacam ini (walaupun tidak pernah menguntungkan). Segera, aku melirik ke kanan–tempat meja panjang panjangku berada. Di sana, tergeletak sebuah bunga. Mawar. Warna merahnya sudah pudar. Tangkainya sudah rapuh. Dan, kelopaknya sudah layu, di makan waktu. Jatuh beberapa tanpa bertahan lebih lama.

Tapi... tidak untuk hati dan perasaanku. Keduanya masih berbentuk bunga seutuh-utuhnya. Tidak ada yang pudar, rapuh, bahkan layu. Hati dan perasaan ini saling melengkapi, saling berinteraksi satu sama lain. Bukan, bukan bersikeras membuatnya hilang mereka berkompromi untuk terus mengizinkan bunga–perasaan–ini terus merekah. Padahal, tak seorang pun memupuk atau menyiraminya. Tak juga dia. Dia, seseorang yang telah menanam benih bunga itu hingga tumbuh dan merekah sampai sejauh ini.

Dia. Pemilik bunga yang terus mekar ini hilang. Entah karena ia malas memupuk lebih lama atau ia tengah memupuk di tempat lain, membiarkan ‘bunga’ berbeda tumbuh juga.

Rasanya, tak pantas terus membiarkanya mekar. Tidak tahu diri. Seharusnya ia mati saja, atau gugur tanpa tetek bengek musim apapun.

Namun tidak semudah itu. Walaupun bunga ‘perasaan’ ini mati dengan  usaha keras yang dibuat-buat, akarnya belum tentu hilang. Ia mungkin akan terus bertunas, menggantikan perasaan lain yang ternyata tidak hidup dengan satu nyawa. Ya, bagaimanapun ini jalan yang aku pilih. Mencintai dan mengizinkan perasaan ini terus mekar tanpa alasan yang berarti. Tidak untuk meminta dikasihani. Ia hanya ingin terus hidup, dalam bayangan dan sebatas namanya saja, sekalipun.

**

Takkan mudah
Ku bisa melupakan, segalanya
Yang telah terjadi di antara kau dan aku
Di antara kita berdua

Dua hari lalu, umurku dua puluh tahun. Tujuh belas tahun sebelumnya berlalu dengan begitu cepat dibanding tiga tahun kemarin yang amat lambat. Aku hidup dengan nafas yang sama namun terasa berbeda. Satu tarikan nafas di tiga tahun terakhir ini menyesakkan bongkahan-bongkahan menyakitkan. Kehilangan. Penantian.

Tiga tahun yang lalu, sebelum umurku berkepala dua, ia masih nyata. Mengukir seulas senyum hingga menciptakan lesung di sudut kanan bibirnya. Manis. Semanis kenangan seumur jagung bersamanya.

Dulu, ia menggenggam tanganku, menenggelamkan jari-jariku di buku-buku jemari kokohnya. Meyakinkanku, bahwa dia menyukai segala hal tentang hidupku. Tanpa ia utarakan satu alasan apapun.

Tanpa ku sadari, lesung di sudut kanan bibir dan pernyataanya memanah bagian paling dangkal hatiku, terlalu dalam, hingga aku tidak bisa lagi membiarkan pemanah lain menancapkan hal yang serupa.

Dan tanpa ku sadari juga, umurku sekarang dua puluh dua. Aku masih memujanya.

**

Kini tak ada terdengar
Kabar dari dirimu
Kini kau telah menghilang
Jauh dari diriku

“Dia itu, terlalu bermakna.” Kataku, yang kemudian mengundang ledakan tawa teman-temanku.

Tapi tidak Haikal. Dia bahkan tidak tersenyum sedikitpun. Mungkin karena ia menghargai posisiku, atau dia mengerti betawa rawan segala hal yang menyinggung perasaan?

Haikal. Satu-satunya teman dekatku dua tahun terakhir ini. Ia adalah telinga yang selalu mendengar segala apa keluh kesahku tanpa mengatakan ‘a’ atau ‘b’ sebagai sanggahan atau kritikan. Haikal setahun lebih tua dariku. Aku memantenkan dirinya sebagai sosok kakak laki-laki paling berharga sepanjang masa. Ia hanya tertawa.

Haikal tahu, aku Kiara Aresta tidak lain hanyalah seonggok manusia, yang selalu percaya bahwa cinta tidak pernah sia-sia. Cinta tidak bisa dipandang sebelah mata, ia akan tetap sama bagi hati yang benar-benar mengizinkanya ada.

“Dua puluh dua tahun bukan umur untuk mengeja perasaan, Ra. Apalagi ia sudah hidup terlalu lama. Ia sudah bernyawa. Ia sudah menjiwa. Kamu tidak perlu menuntut hal yang seharusnya tidak ada.” Kata Haikal, suatu ketika.

Aku mengerutkan dahi, tidak terima atas jawaban Haikal.
“Kenapa aku tidak perlu menuntut padahal ia sudah terlalu lama hidup di dalam hatiku? Apa yang salah?”

Haikal tersenyum, melanjutkan, “Justru karena ia sudah tumbuh, kemudian hidup terlalu lama, ia sudah senyawa, ia sudah memiliki jiwa yang kamu sendiri beri tempatnya. Kamu ataupun dia akan selalu hidup tanpa ada sosok yang nyata. Karena kamu sendiri yang memilih untuk menempatkanya.”

Aku bergeming. Menarik nafas. Haikal sudah terlalu sering bermonolog seperti itu. Tapi, kali ini ia terlalu bicara secara gamblang yang aku sendiri bingung bagaimana menyikapinya.

Dan, seiring berjalanya waktu. Percakapan itu sudah berlalu. Tanpa terasa, umurku sekarang dua puluh tiga. Haikal dua puluh empat. Dia, aku tidak tahu. Karena aku sendiri tidak pernah tahu, apa ia masih bernyawa atau sudah hilang ditelan masa.

Tapi, perasaan itu tetap sama. Aku selalu memujanya.


**



Alarm berbunyi memekakkan telinga. Hari minggu seperti ini biasanya aku mengasingkan weker itu dimana saja. Tetapi, rupanya Mama menghentikan rutinitasku minggu ini. Aku mengeluh, yang haya di jawab tunjukan tak masuk akal. Kotak surat di dekat pagar. Mungkin, Mama menyuruhku mengambil secarik kertas didalam sana.

Masih mengenakan piyama, aku berjalan dengan rambut yang sedikit awutawutan karena kubiarkan tergerai begitu saja.

Kotak surat itu masih terbuka, di dalamnya ada sebuah brosur telanjang tanpa amplop, aku meraihnya. Mengucek mata sekali lagi, tidak percaya pada kalimat awal pembukanya.



Reunian. Aku menelan ludah. Diam mematung. Sampai akhirnya, Mama menepuk bahuku pelan dan aku nyaris bergoncang. Tanpa aba-aba, Mama merebut brosur yang masih menghuni lenganku. Dua menit kemudian, beliau mengguncang bahuku, berbisik,

“Kamu harus ikut, Ra. Tunjukin sama teman-teman kamu, kalau kamu sudah sukses.”
Aku mengedikkan bahu. Entahlah.


**


Semua tinggal cerita
Antara kau dan aku
Namun satu yang perlu engkau tahu
Api cintaku padamu
Tak pernah padam

Suara Sandy sandoro masih mengalun di tape mobilku. Sengaja aku putar dengan volume paling maksimal. Malas mendengar bunyi klakson dari mobil di belakangku yang juga mengantri akibat dari peradaban Jakarta yang tidak pernah berubah. Macet. Aku tidak terlalu peduli dengan suara bising di luar sana. Sungguh, sejak hadirnya secarik brosur itu, hidupku seminggu ini selalu terganggu.

Aku dihantui bertubi-tubi bayangan masa lalu. Ia. Lesung pipi di senyumnya. Jemari kokohnya. Pernyataanya.

Dan sekali lagi, perasaan menganggu ini begitu fatal setelah aku memutuskan mengirim email sebagai jawaban bersedia. Dua hari berikutnya, ponselku lantas tidak pernah sepi dari ocehan teman-teman SMA-ku di chat room, yang dibuat khusus untuk mempermudah komunikasi sesama alumnus menjelang hari inti.

Entah harus pecaya atau tidak, besok hari itu tiba.


**

Lilin-lilin kecil menyala hingga sepanjang jalan menuju lapangan utama. Rupanya Galih memang benar-benar nekat menggelar acara ‘meet old friends’ ini diluar ruangan.

Aku baru menginjakkan kaki setelah berhasil menemukan tempat strategis untuk memarkir mobil. Aku memakai dress berwarna merah maroon selutut, berlengan buntung. Rambut panjangku, sengaja aku kuncir kuda dengan membiarkan sedikit rambut tipis lainya jaruh di sekitar pelipis. Kata Haikal, hal itu membuatku selalu terlihat manis. Tapi, salah sepertinya memakai setelan seperti ini, karena belum beberapa menit udara malam menyapaku dengan ganas.

Aku berjalan kecil-kecil di sekitar lapangan utama. Disana-sini sudah berseliweran alumni-alumni yang mulai asing di penglihatanku. Tapi, belum lima menit aku memandang heran, sebuah tangan terulur menyentuh bahu kananku.


Aku menoleh.


“Hei, Kiara, ya?” tanyanya dengan seringai lebar.

Aku mengangguk pelan, sambil menimang siapa orang yang berani menyapaku.

“Gue Guntur, temenya Arial anak IPA 3. Masih inget gak?” katanya tidak menyerah.

Aku mulai menggali ingatan. Tapi, hatiku berdesir hangat ketika ia menyebutkan sepotong nama lain. Nama itu.

“Lo sekarang cantik ya, Ra. Mm maksud gue lo makin cantik.” Pujinya. Aku menunduk malu.

“Lo belum ketemu temen sekelas?mau gabung bareng gue? Tuh ada Arial juga,”

Aku membelalakkan mata. Hendak membuka suara untuk menolak, tetapi ia telah lebih dulu meraih pergelangan tangan kiriku,  membawaku berjalan mendekat ke arah gerombolan yang tadi disinggungnya.


Tiga meter hampir dekat. Aku menunduk.


Satu meter terakhir. Tidak ada pilihan lain. Aku mengangkat wajah. Pelan.


Akhirnya, mataku tidak bisa menolak saat senyum itu menampilkan deretan gigi putih sekaligus lesung pipi yang masih menyebarkan adiksi berlebihan. Sehingga, tidak aku saja yang mungkin kecanduan.

Guntur, kemudian melonggarkan jemarinya. Menarikku agar berdiri lebih depan darinya. Semua mata melirikku, dan tawa mereka berhenti. Seakan ingin menikamku, karena aku benda asing yang tidak diinginkan untuk hadir disana.

Aku tersenyum simpul. Belum melirik dua bola mata bening yang tajam milik pemuda di sisi kanan.

Ternyata senyumku tidak menjadi asing bagi mereka. Detik berikutnya mereka saling melempar tawa ketika Guntur mengenalkanku sebagai Kiara. Kiara si penghuni bangku di bawah pohon akasia. Kiara si bendaraha osis. Kiara si kutu buku.


**

Senyawa itu bukan berarti satu hal berkaitan dengan hal lain. Bukan berarti satu zat terkontaminasi dengan zat lain. Senyawa itu hanyalah, dimana ketika kamu membiarkan satu hal yang seharusnya tidak terlalu diharapkan ada, tetapi kamu terus membiarkanya nyata, hidup di dalam satu jiwa yang sama.

Jika saja kemarin aku tidak berjanji pada Haikal, mungkin aku sudah berlari jauh, menumpahkan tangis dan menyumpah segalanya akan selalu ‘baik-baik saja’. Tapi, janji adalah sesuatu yang harus ditepati.

Satu jam berlalu, tapi tidak ada satu kata pun terlontar. Kami, memandangi mereka dibawah sana dengan nyaris tanpa menganggap semuanya ada.

Rupanya,  bahasa tubuhku terlalu tergambar nyata bagi dua bola mata tajam miliknya. Ia menyampirkan jas hitam yang mengunci tubunhya ke dua bahuku. Katanya, “Maaf, karena aku baru pulang kerja. Jadi, aromanya seperti itu,” lalu kemudian terkekeh pelan. Ia kembali memandangi nyawa-nyawa dibawah sana.


Bosan hanya diam. Aku memecah keheningan.

“Menurut kamu, apa ada yang lebih gila dari menunggu hal yang seharusnya bukan milik kita selama bertahun-tahun?”

Dia tersenyum, menggeleng.

“Lalu, apa ada yang lebih waras dari seseorang yang selalu memandangi bangkai bunga mawar, berharap pemilikya kembali?”

Dia menghela nafas. Menggeleng lagi.

“Lantas apa yang membuat seonggok manusia di samping kamu terus melakukan hal itu?”


Dia kini tidak menggeleng, menoleh, lantas tersentak mendapati kedua mataku mulai berkaca-kaca.

Aku membalas tatapanya dengan senyum yang bergetar. Mengoceh lagi, “Aku. Gadis bodoh yang bahkan tidak pernah telat mengeja nama kamu di setiap malamku. Aku. Gadis tolol yang selalu berusaha membuat kamu nyata disegala hal absurd yang hampir membuatku gila. Aku. Gadis ya–“

“Kamu gadis yang terlalu istimewa.” Potongnya.

Aku mengatupkan bibir. Masih memandangnya tidak mengerti.

“Setidaknya kamu tidak seorang diri. Perasaan saya pernah sama, tiga tahun lalu. Selama itu saya mencari kamu, memahat kamu disetiap jengkal harapan saya. Tapi usaha saya tidak pernah membuahkan apa-apa.” Katanya, tenang.

Ia menunduk sepersekian detik. Tersenyum lantas mengangkat lagi wajahnya, mengarahkan mataku untuk melirik pada apa yang diarahkan telunjuknya. Ia menulis sebuah nama di udara. Di langit malam. Kemudian, menunjuk bintang yang paling terang.

“Tapi, waktu itu saya tidak pernah sia-sia. Enam bulan kemudian, saya menemukan dia, ya, dia yang berbeda. Sampai sekarang saya menyelipkanya disini–“ ia kemudian mengangkat lengan kirinya ke udara. Di jari manisnya, sebuah benda berkilau melingkar begitu nyata. Yang kemudian, aku tahu jawabanya.


“Dan disini.” Tambahnya. Menunjuk dadanya, hatinya, dengan telapak tangan kanannya.

Ia tersenyum lagi. Meraih bahuku. Menghadap kepadanya.

“Nah, Kiara, kamu sekarang sudah tidak perlu saya. Hati kamu seluas semesta, biarkan orang lain menggantikan tempat saya. Kamu, terlalu istimewa untuk menjadi milik saya yang terlampau biasa.” Ujarnya.

Ia menepuk puncak kepalaku, lantas merengkuh tubuhku ke dalam peluknya. Dan, pada akhirnya tangis itu tumpah juga. Bahuku bergoncang hebat. Senyumku bergetar dibalik bahunya.

Arial. Ia membiarkanku menangis dipelukkanya. Mungkin untuk terakhir kali. Mengizinkan gadis pemujanya menumpahkan segala hal yang  menua selama enam tahun. Gadis yang terus mengukir namanya.


Aku masih terus terisak. Ia mengelus rambutku. Ini terlalu menyakitkan untuk jadi sebuah kenyataan. Kesuksesanku sekarang ini hanyalah pengejawantahan dari segala pikiranku tentangnya. Tentang seonggok bayangan yang sudah kembali nyata, namun memang bukan milikku, selamanya.

Terakhir, ia meraih jemariku. Merapatkan ke dalam dadanya. Katanya, “Kiara, selamat berjumpa lagi di lain masa. Nanti, anak-anak kita harus bersama. Saya selalu bangga sama kamu, terimakasih sudah pernah menyayangi saya sejauh ini.”

Dan ia pergi. Meninggalkanku di kesunyian malam yang memekik.

Arial.

Aku pulang.

Senyumanmu
Masih jelas terkenang
Hadir selalu
Seakan tak mau hilang dariku
Takkan mudah
Ku bisa melupakan, segalanya
Yang telah terjadi di antara kau dan aku
Di antara kita berdua

Kini tak ada terdengar
Kabar dari dirimu
Kini kau telah menghilang
Jauh dari diriku
Semua tinggal cerita
Antara kau dan aku
Namun satu yang perlu engkau tahu
Api cintaku padamu
Tak pernah padam

Sandy Sandoro – Tak pernah padam

The end-

Finally, cerita absurd yang lagi-lagi dan untuk kesekian kali tercipta di waktu yang tidak terduga. Awalnya dari iseng mendengarkan lagu Sandy sandoro, akhirnya pucuk-pucuk ide bermunculan dengan lincah. Terimakasih sudah mau membaca. Don't be a silent reader. Copy paste? Go away.

Regard,
@nitajulio_

0 komentar:

Posting Komentar

 

Gema Aksara✎ Template by Ipietoon Blogger Template | Gift Idea