Memoar rasa; Agra in Love

Diposting oleh Nita Julianti Sukandar Putri




TITLE       : Agra in Love:  Love at the first sight
AUTHOR : @nitajulio_ 


*
Berbekal tas punggung dan peta alakadarnya, aku menyusuri jalanan Kota Agra, dengan penat yang bergelayut manja hampir menyeluruh pada tubuhku yang terbalut cardigan abu-abu.
Kota Agra, terletak di Uttar Pradesh, India. Membutuhkan waktu empat jam dari Ibukota New Delhi untuk menempuhnya. Aku hampir satu hari penuh sejak tiba di India untuk menuju kota indah pemilik Taj Mahal.
Aku mengusap keringat yang berkeliaran dipelipis, berniat istirahat senejak ketika menemukan sebuah bangku panjang ditiap sisi benteng Agra, atau banyak yang menyembutnya kota berdinding karena memiliki benteng terbesar juga menjadi pusat keluar masuk kota Agra.
Sudah kali kelima aku menghampiri penduduk lokal, bertanya seberapa jauh lagi Taj Mahal untuk bisa ditempuh, juga kali kelima mereka memberiku jawaban dengan gelengan kepala, aku mengerti, mereka tidak berbicara bahasa Inggris.
Hhh. Aku membuang nafas, lantas meletakkan tas punggung di bangku panjang yang kududuki. Aku mengibas-ngibas telapak tangan menggantikan fungsi kipas dengan sebisanya, salah juga sepertinya menggunakan outfit berlebihan seperti ini diantara cuaca terik kota Agra.
Aku melepas cardigan yang membalut tubuhku, juga beani hat bertuliskan history yang sejak awal bertahta sepenuhnya diatas kepalaku. Begini lebih baik, batinku.
Lima menit berselang, aku melirik kanan-kiri, mulai banyak penduduk lokal serta turis dari berbagai negara yang berlalu lalang dihadapanku. Mataku bertumbuk pada sosok pemuda tinggi tegap terbalut jacket hitam menggendong sebuah ransel yang tidak begitu besar. Ia mengarahkan lensa kamera pada sepasang kakek dan nenek yang berjalan beriringan menggunakan pakaian sari, pakaian khas India. Aku tanpa sadar mengikuti setiap gerak-geriknya lantas mengukir senyum pelan.
Ia menurunkan bidikkan kameranya lantas yang kulihat ia merapatkan dua telapak tangannya, mengangkatnya sampai batas dada lalu menggumamkan suatu kalimat. Sepasang manula itu juga melakukan hal serupa sebelum menjauh pergi darinya.
Ia melihat kesembarang arah, hampir membuat mataku membelalak lebar. Aku cepat-cepat memasukkan beani hat serta cardigan kedalam tas punggung, menyambar peta yang tergeletak dibangku panjang tadi. Aku berjalan setengah berlari, berusaha mengejar langkah besar-besar pemuda itu yang bergerak pergi.
 Pemuda itu seperti sadar tengah dibuntuti, kemudian menghentikan langkahnya, lalu membalikan tubuh. Keningnya berkerut lucu ketika menatapku yang membungkukkan setengah badan dengan nafas memburu.
"Kṣamā karēṁ!" Seruku.
Ia tidak menjawab, hanya mengangkat dua telapak tangannya yang merapat, seperti yang ia lalukan ketika bercakap dengan sepasang manula tadi. Aku mengikutinya, menyadari bahwa hal itu merupakan adat dalam mengucapkan salam di India.
Setelah mengimbangi nafas, aku kembali berdiri sempurna lalu menatapnya, "Are you speak English?"
Ia mengangguk sekali.
"I'm sorry for disturb your trip. But, when I look at you, I think you're Asian. So I tried to approach you. Many people here didn't speak English."
Ia lantas tersenyum, "No problem. Umm  what can I do for you?"
Aku cepat-cepat menyerahkan peta kecil yang selalu kugenggam sejak mendarat di India, menunjuk satu tempat terkenal di kota ini.
"Do you know how far left Taj Mahal from here?"
Ia hendak membuka suara ketika tiba-tiba ponselnya berdering, ia mengucap excuse me yang kubalas dengan anggukkan kecil, lalu mulai mengucap halo dengan seseorang diujung telepon sana.
"Ya, Ma'am?"
"Iya, aku sudah sampe dari kemaren. Maaf baru bisa email mama nomor ponselku disini. Baru pasang dan aktifin tadi pagi. Mama, kok bisa telpon kesini?"
Aku mengerutkan kening. Tunggu? Dia orang Indonesia? Nirvana! Jeritku dalam hati. Sepertinya Tuhan memberiku kemudahan sebagai pelancong pemula di negeri orang.
Aku tersenyum-senyum sendiri hingga pemuda itu menjauhkan ponselnya dari telinga, lalu menatapku bingung.
"I'm sorry. My mom just called from Indonesia. She's too worried bout her son." Katanya lalu menambahkan sebuah tawa diujung kalimat.
"So, what place that you're look for?"
Aku mengerjap duakali, melempar senyum lagi.
"Kamu orang Indonesia?" Tanyaku.
Pemuda itu membuka mulutnya pelan, menggaruk pelipisnya lalu mengangguk. Ia mengarahkan telunjuknya kearahku, bertanya sebaliknya.
"Nirvana sekaliiii! Pantas saja sejak pertama aku melihatmu, aku seperti menemukan arah diantara asingnya kota ini." seruku.
Ia tertawa pelan. "Berarti saya membawa keberuntungan buat kamu." Katanya kemudian.
Aku mengangguk setuju. Pemuda itu tertawa lagi. Baiklah, ini adalah kali pertama aku menginjakkan kaki di negara India, negara dengan penduduk terbesar kedua di dunia yang berada dibelahan Asia Selatan. Dan kali pertama juga aku ditakdirkan bertemu seorang pemuda bertubuh tinggi tegap, berambut hitam seperti kebanyakan warna rambut penduduk Asia, berhalis tebal dan berhidung bangir, rahangnya kokoh, ia juga memiliki kumis tipis, terlihat lucu ketika melempar senyum dengan gigi putihnya yang teratur.
Aku hampir lupa bertanya sesuatu. Namanya. Kami hampir terus tertawa atas kebetulan ini.
Aku mengarahkan tangan kananku, "Diandra."
Ia tersadar lantas menjabat tanganku,  "Nathan."
"O, iya!" Seruku. "Aku hampir lupa niat awalku membuntutimu. Aku pertama kali mendarat di kota Agra, di peta juga google maps, Taj Mahal tidak jauh dari benteng Agra ini, aku hampir menghabiskan setengah hari untuk mencarinya."
Nathan mengangguk paham, membaca kebingunganku. Sungguh, caranya menatapku seolah aku tidak pernah merasa asing dengannya, padahal ini pertama kalinya aku bertemu dengan Nathan.
"Memang sudah tidak jauh. Taj Mahal bisa ditempuh sekitar 2,5 km ke barat laut darisini. Kebetulan penginapan saya juga disekitar sana, mau bareng?"
Aku tersenyum simpul. Nirvana lagi! Tanpa menjawab, aku mengangguk setuju lalu mulai mengekorinya dari belakang.
"Kita tak usah naik kendaraan saja, ya. Sambil jalan-jalan juga tidak akan kerasa."
Aku mengangguk, menurut lagi. Entah ia menyadari atau tidak. Karena sejak langkah pertama kami, ia berjalan didepanku, melanjutkan kegiatannya yang sempat tersita, mengarahkan lensa, lalu membidik apa saja yang terekam melalui kamera.
Tak jarang ia melihat kebelakang, melirikku sambil mengarahkan lensa kameranya, memotretku dengan asal hingga aku beberapa kali berusaha mengejarnya, berusaha menghentikan keusilannya. Dan perjalan pertamaku dengan Nathan di kota Agra, terus diiringi dengan tawa.
*
Pemandangan bangunan kokoh Taj Mahal menyita perhatianku. Sore ini, dibatas senja, Taj Mahal begitu elok rupanya. Aku menggeleng takjub, tidak menyangka bisa menempuh perjalanan mengesankan hingga berdiri disini.
Nathan tidak menghiraukan segala keterpesonaanku. Ia masih fokus memotret apa saja yang menyita perhatiannya. Aku melirik kearahnya, tidak menyangka untuk yang kedua kalinya, aku mengenal seseorang yang belum pernah aku temui sebelumnya dalam sekejap mata.
Belum habis kekagumanku, Nathan menyentuh bahuku pelan.
"Kamu tidak istirahat? Bukannya sudah hampir seharian kamu berpetualang di India?"
Aku menjawab tanpa menatapnya, "Sebentar lagi, Taj Mahal sudah menghilangkan segala penat yang tadi menjajah tubuhku. Kamu istirahat duluan saja, umm aku tidak berniat mengusirmu, tapi."
Nathan tertawa lagi. Aku suka bunyi renyah dari tawanya. Terdengar lucu dan entah kenapa selalu membuatku terdorong untuk menatapnya. Untung saja, Taj Mahal dihadapanku bisa memecah fokus yang sejak awal aku berikan padanya.
Kulihat dari ekor mata, ia memasukkan kameranya pada tas lain yang berukuran lebih kecil dari ranselnya, lalu ia sampirkan disatu bahu.
"Penginapan saya sekitar 500 meter dari sini. Kalau mau mampir, kamu tinggal lurus ke arah timur, lalu belok kekiri disitu ada hotel bernama Atulyaa Taj. Nah, sekarang lebih baik pelancong dari Indonesia bernama Diandra ini juga segera istirahat!" Ia meraih kedua bahuku.
Aku hampir tak berkedip beberapa detik hingga ia melepaskan kedua tangannya.
"Penginapanmu dimana? Mau saya antar?"
Aku sesegera menggeleng pelan. Bukan karena tidak ingin. Tapi aku yakin sudah terlalu merepotkan Nathan satu hari ini.
"Kamu lebih baik istirahat saja, gawat kalau mamamu menelepon lagi, kan?" Kataku, menyinggung kejadian di siang tadi.
Nathan mengangkat jempolnya. Ia tidak menjawab, hanya tersenyum. Tidak lama kami bergeming, ia memutar tubuhnya lalu mulai mengambil langkah pergi.
Aku sempat berteriak mengucapkan, "Dhan'yavāda!" yang berarti terimakasih sampai ia menoleh sekilas dibalik bahu.
Tidak tahu mengapa. Aku merasa sedikit tidak rela ketika Nathan mulai berjalan menjauh dari penglihatanku, hanya menyisakan punggung bidangnya yang semakin mengecil. Sudahlah.. Aku membuang nafas. Jika nirvana esok merajut takdir indah lagi, aku akan menyelipkan doa dilangit kota Agra, semoga aku bisa bertemu dengannya, untuk kembali bertukar cerita dan tawa.
*
Tidak ada yang lebih istimewa dari cinta pada pandangan pertama.
Ya, aku merasakan getaran berbeda kali pertama menatap matanya.
Ia seolah membawa setitik cahaya ketika aku berada diruang gelap dan tak berwarna.
Ia mengajakku mengarungi setiap pijakkan asing dan mengiringku melihat dunia di bawah langit yang sama dengannya.
Dan aku berharap, pandangan pertama dengannya tidak memiliki akhir yang sia-sia.
*
Aku merekam ribuan kata yang berkejaran dengan gila di otakku, lalu mulai menyalinnya hingga menyemut rapi dibalik layar laptop. Aku berjanji, ditempat ini, segala mimpiku akan segera menjadi sempurna.
Aku seorang mahasiswi semester akhir, mencoba merampungkan tugas skripsi. Sebelumnya, tidak pernah terpikir sama sekali bahwa India akan menjadi tempat tujuanku merampungkan mimpi.
Tapi rupanya, ada cerita lain yang menunggu disini. Aku tersenyum mengingat potongan kenangan yang memutar bergantian bagai slide dipikiranku.
Semilir angin menggerakkan helaian rambut yang menjuntai dipelipisku. Aku menjumputkan sebagian anakan rambut pada daun telinga tepat ketika ada tangan lain yang juga menyematkan sesuatu beraroma wangi didaun telingaku yang sama.
Aku hampir terlonjak kaget dan bergerak untuk melawan jika si pelaku tidak melempar senyum yang... Aku kenali.
"Nathan?!"
Pelaku itu, Nathan, melempar seringai menyerupai kuda kepadaku. Aku mendaratkan pukulan pada dada bidangnya beberapa kali. Ia hanya tertawa.
Aku menyadari bahwa ada benda asing yang masih menghuni daun telingaku, aku meraihnya. Sebuah bunga melati segar. Aku melirik Nathan juga menggenggam beberapa bunga yang sama ditangannya.
"Iseng!" Aku melemparkan bunga melati tadi hingga menyentuh pangkal hidungnya.
Nathan tertawa ringan, "Ah c'mon, girl. It just a jasmine."
Aku hanya menjulurkann lidah. Nathan tidak kuhirauhkan lagi, meski kedatangannya menciptakan debaran menyenangkan dihatiku. Aku sibuk menyalin ribuan ide untuk tugas skripsiku.
Merasa ia diasingkan, Nathan melirik layar laptopku.
"Lagi sibuk ketik apa?" Tanya Nathan.
Aku menoleh sekilas sebelum mengetik  kalimat terakhir. "Tugas skripsi." Jawabku singkat.
"Good girl! Sudah mau sidang skripsi, ya? Semoga lancar. Tunggu.. Jangan-jangan kamu kesini untuk berkenala mencari ide?" Ujarnya.
Aku mengangguk lagi. Laptopku sudah menampilkan layar shuting down. Fokusku terbagi dengan kedatangan Nathan. Ya, karena Nathan menempati urutan pertama dalam mencuri perhatianku, dibanding si tugas skripsi.
"Mahasiswi jurusan apa?" Tanyanya lagi.
Dan aku akan selalu bangga menjawab, "Ilmu sejarah."
Mata Nathan berbinar, aku sempat tersihir dengan mata tajam miliknya, tapi bukan Diandra jika tidak bisa berpura-pura tidak terpesona.
"Ah! Ah!" Nathan berseru pelan, lalu melanjutkan, "Kalau kamu mahasiswi ilmu sejarah, coba ceritakan apa saja yang kamu ketahui tentang Taj Mahal!" Perintahnya.
Aku menarik satu ujung bibirku, rupanya Nathan menantangku. Ia ikut tersenyum, memberikan senyum smirk yang untuk kesekian kali menebarkan adiksi.
"Kaisar Shah Janan membangun Taj Mahal sebagai mausoleum untuk mengenang istrinya ketiganya, Mumtaz Ul Zamani atau lebih dikenal dengan Mumtaz Mahal cucu dari bangsawan Persia, Arjumand Banu Begum."
Aku menghela nafas pelan, "Mumtaz Mahal meninggal ketika melahirkan putri keempat belas mereka yang bernama Gauhara Begum pada tahun 1631. Sehingga, untuk mengenang istri  paling dicintainya, Shah Janan membangunan bangunan kokoh yang dinamakan Taj Mahal. Butuh waktu hingga 22 tahun dalam pembangunannya, dengan 20.000 pekerja dan merupakan sebuah adikarya dari arsitektur kerajaan Mughal."
Aku mengakhiri penjelasan singkatku. Nathan menggeleng pelan, "Benar-benar mahasiswi ilmu sejarah!" Lalu mengacungkan kedua jempolnya.
Aku tertawa pelan. Sebenarnya aku hanya menceritakan sejarah singkat Taj Mahal, karena jika aku deskripsikan, butuh waktu yang cukup lama, dan mungkin Nathan akan seperti menonton film telenovela dibandingkan dengan mendengarkan cerita Diandra.
Aku teringat sesuatu, aku sendiri tidak tahu tujuan Nathan disini, pekerjaan atau kegiatan lainnya selain memotret, dengan menyusun kalimat sesederhana mungkin, aku mulai membuka suara.
"Kamu sendiri di Agra sedang apa?"
Nathan tersenyum tipis, ia hanya membimbingku melirik pada kamera yang menggantung dari lehernya. Iya, aku tahu itu kamera, tapi apa maksudnya?
"This is my job." Katanya. Oh, aku mengangguk paham. Ia mungkin seorang photographer.
"Nope." Ujarnya tiba-tiba. Keningku berkerut lagi.
"Kalau dipikiran kamu saya seorang photographer, itu jelas  bukan. Ini hanya rutinitas wajib dibalik hobby traveling saya. Saya bekerja di Indonesia, mengurus kantor Papa bahkan sejak saya belum merampungkan Sarjana." Jelasnya.
Ia melirikku tajam, "Saya sudah bergelut dengan bisnis sejak belia, sampai saya tidak bisa menjalani hobby saya. Dan ini, kesempatan berharga yang jarang terjadi dalam hidup saya."
"Juga kesempatan berharga mengenal seorang teman baru yang unik seperti kamu." Lanjutnya.
Waktu seolah berhenti begitu saja. Aku dimabuk kata-kata olehnya. Kesempatan berharga mengenal kamu. Meski Nathan menambahkan kata 'teman' dibalik kalimatnya, tapi aku merasa segalanya akan segera dimulai dengan cara yang sederhana.
Aku menunduk malu, dan yakin Nathan masih menatapku. Tidak tahu kenapa, kami jadi membisu.
Aku yang tidak terbiasa berlama-lama dengan keheningan mulai kembali membuka suara.
"Sejak kapan kamu suka traveling?"
Ia menoleh kepadaku, "Sejak kelas lima SD. Coba saja saya punya pasangan seorang menyuka ilmu sejarah seperti kamu, pasti kami akan sama-sama memiliki semangat yang menggebu-gebu untuk mengunjungi seluruh tempat indah bersejarah di bumi ini, tapi"
Nathan menggantungkan ucapannya. Sementara aku, aku tidak tahu sudah semerah apa pipiku, hatiku bahkan berdebar melewati batas aturan. Nathan seperti mengajakku menyusuri dunia yang penuh dengan...
"Tapi sayang, pacar saya tidak memiliki keduanya."
Dengan harapan?
Aku terperanjat kecil. Tubuhku tiba-tiba menegang mendengar kalimat terakhir yang diutarakan Nathan. Pacar?
"Pa..car?" Gumamku.
Nathan mengangguk dengan muka masam, "Iya. Pacar saya tidak memiliki hobby traveling dan tidak menyukai sejarah sedikitpun. Yang dia tahu hanya.."
Aku hampir tidak bisa mendengar kalimat-kalimat selanjutnya dari Nathan. Telingaku seperti tersumbat suara badai yang sangat kencang, juga tidak tahu sejak kapan mataku mulai memanas serta berkunang-kunang.
Meski aku masih melihat Nathan terus menggerakan bibir, melanjutkan kalimatnya, "Hanya pergi berbelanja, menyibukkan diri dengan segala kemewahan duniawi.."
"Aku kelilipan!" Seruku cepat memotong ucapan Nathan.
 Nathan bergerak cepat, lalu mata kami bertemu. Mungkin, segala yang kulakukan kini seolah berupa kenyataan, karena kedua mataku memang memerah dan mengeluarkan beberapa tetes air mata. Tapi sungguh ini bukanlah karena debu semata. Nathan membantuku berdiri, tinggiku hanya sebatas leher dengannya. Ia membuang nafas pelan lantas meraih wajahku dengan kedua tangannya.
Tubuhku kembali menegang dengan sensasi berbeda. Aku tidak tahu apa yang terjadi selanjutnya, yang aku sadari hanya.. Nathan mendekatkan wajahnya lalu mulai meniup kedua mataku secara bergantian.
Jadi, jatuh cinta pada pandangan pertama itu harus sesulit ini rasanya?
*
Nathan seolah tidak peduli dengan retaknya perasaan aneh yang kurasakan kepadanya. Ia mengajakku berkelana di India, menyusuri sungai Yamuna, mengunjungi beberapa tempat seperti Agra Fort, Akbar Mousoleom, dan Ittimad-ud-daulah, atau sering dikenal sebagai Baby Taj. Ia juga mengajakku berfoto lengkap dengan pakaian sari ala India. Kami bahkan sempat tertawa ketika Nathan mengucapkan kalimat "Kisa kīmata para?" Yaitu menanyakan berapa harga pada pedagang di bahu-bahu jalan dengan aksen bahasa Hindi yang sangat lucu.
Sayangnya, kami tidak bisa mengikuti festival holly atau adat melempar serbuk warna-warni yang pernah aku lihat dibeberapa film bollywood karena ini bukanlah awal musim semi.
Kami menghabiskan waktu bersama, tidak peduli dengan realita di Indonesia. Bukan tentang kekasih Nathan atau tugas skripsi milikku, milik Diandra. Kami menaklukkan hari ini dengan bongkahan tawa, tidak sadar bahwa rasa yang melekat menyerupai benih dihatiku mulai berkecambah, lalu semakin tumbuh.
Dan tidak ada yang tahu bahwa Nathan mulai ditaburi benih serupa. Benih asing yang tiba-tiba tercipta dihari yang sama. Nathan tahu ini sebuah kesalahan, tapi ia tidak mencoba dan tidak mau menolak.
Lalu, potongan terakhir dihari itu adalah, kami mengunjungi pesta pernikahan adat, disana Nathan menitipkan sebuah tanda merah atau bindi dengan jempolnya di keningku dan sebuah tanda merah lain.
Didalam hatiku.
*
Aku tidak mengerti perasaan aneh bernama apa yang telah India titipkan untuk seorang Nathan. Aku hanya merasakan sebuah getaran yang menghangat lalu menjalar pada tiap sel tubuh, lantas selalu menuntutku untuk tersenyum. Dan getaran seperti itu terus terjadi jika aku mengingat Nathan.
Nathan berjalan disampingku dengan senyum lebar, lagi mengarahkan lensa kameranya pada tiap mozaik indah di kota Agra. Ia mulai menurunkan kameranya, membiarkan mata tajamnya melirik ke arahku yang tidak mengutarakan apa-apa.
Ia berhenti berjalan, hingga membuatku melakukan hal serupa.
"Kamu sampai kapan di India, Di?"
Aku tidak segera menjawab. Pertanyaan Nathan seperti mengingatkanku pada realita yang sejenak aku lupakan. Realita dimana tidak selamanya aku akan berdiri bersama Nathan dibawah langit kota Agra. Tidak selamanya aku akan menatap indahnya senja bersama Nathan di Taj Mahal. Dua kata 'sampai kapan' dari bibir Nathan membuatku tersadar bahwa akan ada akhirnya aku disini. Dan Indonesia sudah menantiku kembali.
Nathan masih bergeming menunggu jawabanku. Akhirnya aku menggeleng, "Tidak tahu. Mama dan Papa memberiku unlimited time disini, mungkin sampai skripsiku rampung,"
Nathan hanya menambahkan kata Oh untuk merespon ucapanku, namun aku tak pernah menyadari air wajahnya tiba-tiba berubah sedikit masam.
"Kamu sendiri sampai kapan disini?" Tanyaku.
Nathan tidak sedikitpun menoleh kepadaku, ia masih berkutat dengan kameranya, lalu menjawab, "Mungkin lusa juga sudah pulang. Pekerjaan saya tidak bisa lama-lama ditinggalkan,"
"Aku juga tidak ingin berlama-lama di India," kalimat yang ku utarakan sukses membuat Nathan mengalihkan pandangannya, ia menoleh menunggu penjelasanku.
"Kenapa?" Ujarnya pelan.
Aku tersenyum tipis, "Aku hanya... Tidak ingin menciptakan kenangan lebih banyak lagi di India, akan sangat kusayangkan karena aku pasti tidak bisa meninggalkannya."
Kenangan itu bersama kamu. Tambahku dalam hati.
Tidak ada lagi kata yang keluar dibibir kami. Nathan kembali sibuk dengan kegiatan memotretnya, dan aku sibuk menetralisir perasaanku yang tidak mau diam membisu.
*
Lusa itu benar-benar terjadi. Hari ini. Aku sama sekali tidak ingin meninggalkan penginapanku. Aku tidak ingin bertemu dengan Nathan dengan cara kebetulan untuk kesekian kali, karena bertemu dengannya hari ini, mungkin harus membuatku berpura-pura untuk merelekannya pergi.
Ya, Nathan akan meninggalkan kota Agra, meninggalkan elok rupa Taj Mahal dan meninggalkan India, ia harus kembali menyusun cerita nyata di Indonesia.
Aku sama sekali tidak memiliki nomor ponsel, alamat email ataupun alamat penginapannya disini. Aku tidak akan mengucapkan salam perpisahan. Biarkan saja Nathan pergi membawa sekeping kenangan yang aku berikan dengan cara tidak sengaja. Aku tidak ingin ada kebetulan berulangkali, aku tidak ingin kebetulan itu semakin memumpuk perasaanku untuk tumbuh lebih jauh lagi. Dan aku tidak ingin mengharapkan seseorang yang akan segera menjauh pergi.
*
Hari ini aku berkemas. Aku akan kembali ke Indonesia. Tugas skripsiku sudah hampir aku rampungkan dalam satu hari kemarin, hari yang sama dimana Nathan meninggalkan India.
Aku berjalan dengan tas punggung yang sama seperti kali pertama bertemu Nathan. Juga, menyusuri jalan setapak didepan Taj Mahal, jalanan yang acapkali aku lalui bersama Nathan dengan canda dan tawa.
Aku menatap untuk terakhir kalinya Taj Mahal yang menjadi saksi pertemuan tak terduga dengan Nathan.
Indonesia, aku pulang.
*
Bandara Soekarno-Hatta kini terbentang dipenglihatanku. Pesawat India air mulai mendarat dilapang penerbangan.
Aku menuruni undakkan anak tangga hingga berhasil menginjakkan kaki ditanah kelahiranku. Indonesia. Memang, tidak ada yang lebih indah dari tanah airku, setidaknya, Indonesia tidak memberiku harapan setinggi udara yang tidak tahu ujungnya.
Aku berjalan diantara ramainya bandara, aku hampir lupa membuka email dari Mama, aku meraih sebuah gadget dalam ransel, lalu mulai membaca dengan seksama.
Diandra pulang hari ini? Kenapa cepat-cepat sekali! Mama bukannya tidak ingin bertemu Diandra, tapi apa tugas skripsinya sudah selesai? Terus bagaimana selama di India? Sudah bertemu Shahrukh Khan?
Aku tersenyum membaca kalimat terakhir email Mama. Mama selalu saja sempat bercanda. Aku bergerak merogoh ponsel disaku celana dan hampir terhuyung ketika benda besar menyenggol bahu kananku.
"Maaf!" Serunya.
Aku mengangguk pelan sebagai jawaban dari permintaan maafnya, lalu memilih melanjutkan langkah kaki tanpa membagi fokus dari ponselku.
"Halo Ma?" Aku menyapa Mama diujung telepon.
"Di?"
Suara itu.. Sangat tidak asing di indra pendengaranku. Aku menoleh pelan, mendapati tubuh tinggi tegap yang sama seperti aku temui di India.
"Nath?"
Dia Nathan. Pemilik benda besar berupa tas punggung yang menyenggol bahuku tadi.
"Di, kamu kok... Bisa ada disini?" Nathan bertanya dengan canggung.
Aku merasakan kecanggungan yang sama dengan Nathan. Entah karena kita tidak lagi berpijak di tanah Agra atau mengapa? Tapi, yang aku dapati, mata yang sama, mata Nathan berbinar seperti kali pertama kami bertukar kata.
"Kamu sendiri kenapa ada disini? Bukannya sudah pulang dari kemarin?" Aku malah balik bertanya.
Nathan tersenyum seraya membuang nafas. Ia merogoh tas punggungnya, mengeluarkan miniatur kecil Taj Mahal.
"Saya menunggu kamu di Taj Mahal dari matahari terbit sampai berganti senja. Tapi, kamu tidak datang juga." katanya lalu tertawa kecil.
"Tapi rupanya nirvana memang selalu membawa keberuntungan dimanapun saya berpijak, penantian saya tidak sia-sia. Saya bertemu kamu lagi di tanah air kita. Apa ini yang dinamakan jodoh tidak akan kemana?" Ia melanjutkan.
Kami melempar tawa diantara keramaian bandara. Aku meninju pelan bahu Nathan hingga ia meringis, lantas mendaratkan telapak tangannya dipuncak kepalaku, menepuknya dua kali.
Nathan mengambil nafas panjang, "So, shall we go there again? The both of us, might be?"
Aku mengerucutkan bibir, "The both of us? How about your girlfriend, eh?"
Nathan mengerutkan keningnya, memanah mataku dengan mata tajam miliknya. Sepertinya, aku telah salah membubuhkan kata.
Ia masih memandangku, "Why did you said about a girlfriend? How funny that sounds!"
Aku masih menunggu penjelasan darinya sampai ia meraih bahu kiriku.
"She's no longer my girl. I had broke up with her since–” Ia menggantungkan ucapannya,  lalu mengangkat miniatur kecil berbentuk Taj Mahal lurus didepan mataku.
Since we’ve meet in this beautiful place.”
"And since that day, I think I fallen for a girl named Diandra." Lanjutnya.
Aku belum merespon karena Nathan tidak memberiku kesempatan menjawab. Ia masih mengambil alih percakapan kami. Aku hampir saja menjerit histeris mendengar kalimat yang keluar dari bibir Nathan. Dan dari mata tajamnya yang berbinar, aku tidak sama sekali menemukan kebohongan disana.
Nathan mengambil secari kertas disaku Jeansnya, lalu bergumam pelan seperti, Listen it carefully.
“Di, Maiṁ tumasē pyāra karatā hūm̐.” Ucapnya.
 Nathan mengulurkan telapak tangan kanannya, tangan lainnya yang menggenggam miniatur Taj Mahal membimbing tangan milikku hingga bertaut dengan miliknya. Nathan bergumam lagi, "Let us conquer the world.s"
Lalu mengajakku mengukir senyum dibawah langit yang sama.
Let us conquer the world. Ulangku dalam hati.
Dan aku berharap, pandangan pertama dengannya tidak memiliki akhir yang sia-sia.
Ya, tidak sia-sia. Karena kami kini berjalan bersama lagi, meski bukan dibawah langit kota Agra.
“Soal bahasa Hindi yang tadi saya baca, nanti kamu cari tahu di google saja, ya? Lalu beri saya jawaban.” Kata Nathan.
*
The end


AAHHH senangnya hatiku, turun panas demamku, kini aku bermain dengan riang (Dude, what a song it is?) oke forget it. Akhirnya saya bisa memposting cerita absurd bersetting Taj Mahal India:--D fyi, saya sebenarnya menjadi korban film “Me and You vs The World” karena mengangkat setting you know what lah buat yang udah pernah nonton. But at all, my story didn’t use the same plot with em. Kenapa saya histeris sekali? Ya, karena ini salah satu cerpen happy ending yang terekam melalui jari-jari saya hanya dengan satu malam! (meski dini hari saya masih terjaga untuk merampungkan cerita ini). A second reason why I look too happy, karena saya akhirnya bisa keluar dari ‘zona sad ending’ atau kata salah satu teman saya, genrenya itu-itu saja. Ya, memang saya lebih suka genre semacam secret admirer and etc you named it penganggum rahasia lalu berakhir dengan ketidakpastian. Dan see? Saya bisa membuat cerpen happy ending seperti tahun-tahun sebelumnya, tahun dimana saya sedang gemar-gemarnya mengunggah kata, meski ini merupakan karya buruk seperti karya-karya lama saya (At least, I could :P)

Oke, ini hanya sedikit curahan hati saya. Selebihnya saya hanya ingin berkata, happy reading and enjoy it! Hakunanitama!



You can download too my first e-book here:  Agra in Love pdf 


Regard, victim of writesyndrome,

@nitajulio_
   

0 komentar:

Posting Komentar

 

Gema Aksara✎ Template by Ipietoon Blogger Template | Gift Idea