Mendung
itu, juga kian tak terbaca..
**
Hai..
Mengapa
kamu terus menjadi candu bagiku?
Aku
kira, seusai kamu merajut jarak dariku itu akan menjadi halau.
Ternyata
tidak ya..
Kamu,
malah terus berdawai dipikiranku, bahkan hatiku.
Dan,
rasa itu terus mendorongku untuk bisa menggapaimu..
Mencari
titik dimana kamu berada, hingga aku menemukan potongan puzzle yang malah
membuat gemuruh di dadaku bergolak, tak tenang.
Sudahkah
kamu membaca mendung itu?
**
Kanaya
bergerak pelan, mencari titik nyaman agar duduknya tak lagi menimbulkan gemuruh
tak beraturan di dadanya, potongan puzzle yang harus segera dibacanya, agar
organ bernama hati itu tidak lagi berdenyut penasaran.
Ia
tetap memberi fokus pada layar monitor di hadapanya. Menggerakan mouse
hingga tampilan dilayar itu bergerak silih bergantian menampilkan deretan
kalimat yang berbeda. Pekerjaan rutin yang kembali ia jalani setelah ia
memutuskan me-non-aktifkan akun facebook-nya.
Rupanya,
perjuanganya cukup sia-sia..
Nyatanya
nama lain itu juga menghuni salah satu jejaring sosial favoritnya. Hhh.. ia
menghela nafas berat. Harusnya.. ia tak melakukan ini. Ya, harusnya. "Harusnya" yang hanya berkata di pikiranya, tidak dihatinya, karna pada kenyataan yang
berbeda, hatinya malah menguasai pikiran, untuk terus mencari sebuah nama,
melihatnya, kemudian menemukan puzzle-puzzle itu.
Ia
tak paham mengapa laki-laki yang tak pernah ia duga dihidupnya menjadi
sepenting ini, seakan pekerjaan rutin mencari nama itu (walaupun hanya dibalik
layar monitor) menjadi kewajiban. Dan, jika sehari saja ia tidak melakukanya,
ia merasa akan mati karena tak menemukan oksigen.
Kanaya
tidak mengerti, mengapa pemuda itu terus menjadi candu, yang harus setiap saat
diburu. Kanaya juga tidak mengerti, mengapa cinta begitu membuatnya semrawut
seperti ini.
**
Ternyata,
pemuda itu piawai memainkan nada-nada berbeda di pikiran Kanaya.
Sebentar-sebentar, ia memainkan nada mengganggu yang kemudian Kanaya tepis,
namun disaat yang berbeda ia malah memainkan nada lain, membentuk sebuah melodi
yang kini terus mengalun ceria di pikiran Kanaya. Kanaya seperti anak kecil
yang bingung menentukan arah kemana ia akan pergi atau terus berlari. Ia
seperti dikepung dengan banyak kenyataan dan pilihan yang terus berakar hingga
pemiliknya sendiri yang hanya mampu memutuskan.
Hhh,
Kanya mendesah lagi. haruskah ia berjuang lagi? dengan segala keabsurdan
tentang pilihan hati? Namun, kebimbanganya kini hanya satu, mendung itu....
puzzle-puzzle yang terus mengganggu.
Jadi, telahkah pemilik hatinya jatuh cinta?
Virus
merah jambu. Tiga suku kata dari potongan puzzle lainya yang menari-nari
dipikiran Kanaya. Karena potongan puzzle itu adalah pertanda, bendera, dan
fakta bahwa pemilik hatinya sudah tidak di titik yang sama. Ia hendak terbang,
menghempaskan segala pendirianya, melonggarkan setiap inci suku kata
keyakinanya tentang cinta selama ini, yang Kanaya kagumi. Ia akan segera
berubah. Setelah ini.
**
Namun
senyumu tetap mengikuti.
Senyum.
Senyum. Senyum. Senyum siapa sih yang dia maksud? Sebegitu berartikah senyum
itu hingga akan membobrokan pendirianmu, ha? Akankah sosokmu hilang dibalik
lembaran baru hidupmu? Akankah kamu mengendurkan setiap kekagumanku?
Potongan
puzzle baru. Membuat Kanaya terus merana. Ia tidak ingin memperdulikan itu,
tapi...hatinya menentang hebat. Ia terus memerintah dengan seenaknya pada
Kanaya, jika otaknya lebih pintar untuk mengendalikan organ tubuhnya yang
bernama hati, pasti akan ia lakukan. Melupakan pemuda dan puzzle-puzzle nya
yang ia sematkan.
Sudahlah...
Kanaya
lelah, ia ingin hidup sesederhana saja, tanpa bayang-bayang pemuda itu. Jika
pemuda itu saja bisa melelehkan pendirianya sendiri, mengapa tidak untuk
Kanaya?
“My heart still has
feeling for you, even if you never know what the feeling about....”
Love.
**
Mendung
itu... hanyalah perasaan duka yang menyelimuti Kanaya. Perasaan takut
kehilangan. Yang terus bertunas hingga akan tida saatnya benteng itu
membentang. Toh, pemuda itu takkan pernah tahu mendung yang Kanaya titipkan
lewat setiap benda hitam gendut yang terus berarak di cakrawala. Mendung itu
juga, kian tak terbaca bukan? Sarat kekhawatiran iu tak berarti apa-apa. Karena
bagi pemuda itu, mungkin sosok Kanaya bukanlah siapa-siapa. Hanya segelintir
makhluk kecil yang terus ingin menggenggam potongan namanya. Hingga, pemuda itu
pun tak akan peka, selama ini dirinya terus menulis cerita di hati yang tak ia sangka. Dan
sampai pada akhirnya ia akan kehilangan hati yang benar-benar menobatkan diri
menjadi miliknya, yang tulus menyodorkanya tanpa meminta balasan apa-apa. Hati
milik Kanaya.
Mendung
itu.... isyarat ketakutan..
Yang
tidak berarti apa-apa.
“Pada
akhirnya, aku memilih (lagi) diam sebagai penawar satu-satunya, ketika tak ada
satu hati pun yang memberitahu apa obatnya. Karena ombak kemarin dan kelabu
kini juga tak turut terbaca oleh sepasang matamu. Jika memang aku boleh menjadi
tulang rusukmu, takkan pernah ku coba-coba pasangkan atau bahkan ku pinjamkan
pada orang lain, demi menjaga keutuhanya untukmu. Ka, jika aku boleh lancang
memberitahu, aku akan berkata; aku benar-benar mantap memilihmu, walau kamu
tidak pernah sudi memilihku,” –Kay
Untaian kata tak bermakna.
Fyi: Puzzle yang aku maksud di atas adalah berupa potongan-potongan tweet miliknya.