Tittle : one story with Rio
Genre : friendship , romance
cast : Mario, Ashilla, Sivia, Gabriel
enjoy read !
*
Aku duduk di kursi depan sambil membungkukan setengah badanku, ku pasang simpul tali sepatu dengan perlahan, ku lihat dengan ekor mata, bunda sudah mendesah beberapa kali, aku terkekeh pelan, sepertinya bunda mengkhawatirkan hari pertamaku masuk sekolah. Detik selanjutnya aku telah duduk sempurna, menyibak poni yang menghalangi sebagian pandanganku dan menatap bunda dengan tatapan teduh.
“rio belum datang bun?” bunda mendelik dan menatapku balik.
“belum, sudah kamu berangkat duluan saja, nanti kamu kesiangan nungguin si gingsul itu” aku menahan tawa, sebelum ku jawab kembali kalimat bunda dari jauh sudah terdengar bunyi klakson klasik dari kendaraan yang akan menghantarkan tubuhku ke sekolah. Dengan gerak cepat aku meraih tangan bunda dan menciumnya. Lantas membuka pintu pagar seraya menyambut remaja laki-laki yang baru saja merem sepedanya tepat di hadapanku.
“pagi bun” sapanya sopan
“iya, sudah kalian berangkat nanti kesiangan” saran bunda.
Dengan arahan dagu ia mengisyaratkan aku untuk segera mendekat. Aku duduk di depan, setelah berpamitan pada bunda, ku rasakan lengan kirinya melingkar hingga menyentuh bahuku. Hingga kini sepeda yang kami tumpangi melaju membelah jalanan komplek.
**
Ckiit.
Aku tersentak ketika itu ia me-rem sepedanya secara mendadak. Tubuhku sedikit terhempas ke depan dan dagunya yang keras beradu dengan puncak kepalaku. Aku berdecak pelan, dan turun secara paksa, untung saja kini gedung sekolah sudah berada di depan mata.
“kamu ini, gak bisa bawa sepeda apa yo, untung saja kepalaku ini masih normal heuh” ia terkekeh pelan dan menyuguhnya cengiran kudanya yang memperlihatkan deretan gigi gingsulnya. Aku mengernyitkan dahi dan menggeleng pelan. Dasar manusia abnormal.
-
“
nama saya mario haling, panggil saja saya Rio”
Begitulah namanya, lucu dan menarik. Di sebutkanya nama belakang yang merupakan nama turunan dari keluarga ayahnya yang seorang TNI AD. Cowok berkulit sawo matang keturunan manado. Tubuhnya jangkung, hobbynya bermusik dan basket. Namun hobby paling utamanya ya apalagi kalau bukan menjailiku. Rutin dan wajib, begitu jawabanya ketika secara spontan aku menanyakan hal tak masuk akal seperti itu. Aku berteman denganya dari kecil, jarak tempat tinggal kami kami hanya terhalang beberapa rumah. Tak jarang Rio selalu berkunjung ke rumah hanya untuk menumpang makan. Meskipun ia anak dari orang berada, sikap dan penampilanya sederhana. Bisa di lihat saat ia di beri pilihan untuk memilih sekolah, sekolah negeri seperti inilah pilihanya.
“gimana perkenalanya, shill? “ tanya rio sambil menyodorkan sebotol pulply orange di tanganya.
“biasa saja, eh malu sih soalnya ada cowo yang ngeliatin mulu” rio tersentak dan menatapku nano-nano.
“serius ? haha dasar ya cewek emang gitu, diliatin dikit kegeeran deh”
Aku menatapnya balik, tak salah apa yang di ucapkanya? Aku menarik kedua ujung bibirku dan membuat senyum simpul.
“kamu tak cemburu yo?” godaku yang spontan membuat kedua bola matanya membelalak lebar.
“mbahmu cemburu” serunya dan berlalu.
*
Melewati setiap garis takdir. Kau membawaku mengarungi mimpi. Bertepi untuk menatap hari. Dan kau kenalkan aku mentari.
Rio meracau tak jelas dengan gerakan tangan yang sepertinya dibuat-buat aku meliriknya sebal. Jika urusan ngomong makhluk ini merajai segalanya. Tangan kirinya masih mengapit sebuah komik genre romance. Sedang tangan kananya sesekali menepuk bahuku dan memperagakan ucapanya. Aku yang berjalan di sampingnya hanya mengangguk lantas menyahut dengan senyum tipis –sekali.
Sahabat kau memberiku harapan, dengan semua keterbatasan...
“kau tau yo, mmm aku gak mudeng dengan pembicaraanmu” jujurku di barengi dengan mengacungkan jari telunjuk dan jari tengah membentuk huruf V. Rio hanya menatapku datar lantas berjalan lagi mendahuluiku.
“kamu marah? Kayak anak perawan”
“aku gak marah”
“bohong”
“buat apa?” ia menoleh pelan.
“kau di ajari artinya menghargai?” tanyanya datar.
Sementara aku diam mengatup dan memandangi punggungnya yang kian menjauh.
*
Melewati lembah sunyi, kita bernyanyi..
Senyumanmu membuatku lebih berarti..
Ganti kali ini aku mendapati Rio tengah duduk di bawah pohon trembesi dan masih di temani komiknya. Aku berusaha menghampirinya. Anak-anak rambutnya ia biarkan terbawa angin, menghempaskan setiap udara yang di hirupnya dan membuangnya dengan nada kepasrahan. Dan setelah seperdetik aku mengamati, Rio rupanya sedang tak baik-baik saja.
“sakit?” Rio meliriku dengan ogah-ogahan.
“pertanyaanmu sungguh gak ikhlas” balasnya datar.
“kau kenapa hal?” sejurus aku mendaratkan tubuhku dan duduk di sampingnya.
“penting bagimu zah? Dan stop memanggilku hal, namaku Rio. Haling itu nama ayahku”
Aku terkekeh pelan. Bukanya nama itu selalu di banggakanya. Setiap apapun yang berhubungan dengan pahlawan ayah-nya lah yang di nomor satukan.
“lantas? Kau kenapa?”
Ia merubah posisinya dan balik menatapku tajam. Di dekatkan wajahnya ke arahku, aku berusaha menjauhkan tubuhku. Takut Rio yang seperti – nya sedang labil ini berbuat yang aneh – aneh.
“kau mau apa?” tanyaku bahkan seperti menggumam.
“sepertinya aku galau”
Aku menelan ludah.
“bodoh” ucapku. Aku langsung berdiri dan membersihkan rok panjang lipit satu abu-abuku. Menarik kuncir rambutku dan membuang wajah ke arah rio yang menatapku heran.
“kamu jatuh cinta?” ia mengangguk cepat.
“sama siapa?”
“Sivia. Teman sebangkumu, shill”
**
Sivia berjalan berdampingan di koridor bersama seorang pemuda. Kakak kelas kami gabriel namanya, ia ketua osis sekaligus ketua eskul photography. Dan kebetulan kami –aku dan sivia- bergabung dalam satu esktakulikuler. Jadinya kami cukup mengenal kak Gabriel dekat. Begitupun kak Gabriel.
Kini aku dan Rio berdiri di ambang pintu kelas X2. Aku tersenyum saat Sivia dan kak Gabriel berhenti di hadapan kami. Sementara Rio hanya melirik tak acuh sambil memainkan dasi abunya yang menjutai tak berdaya.
“hari ini kamu eskul shill?” tanya Sivia si sertai anggukan kak Gabriel. Aku mengedikkan bahu sekali.
“entahlah, kamu?”
“mm jadi justru itu shill, eskul photography hari ini di cancel dulu, kakak sama Sivia mau ambil gambar buat persentasi minggu depan, mau ikut?” saran kak Gabriel.
Aku melirik nyawa di sampingku, kulihat dari ekor mata, bahasa tubuhnya sudah tak karuan. Dan seperti kulihat api mengepul di daun telinga dan di atas kepalanya. membuat wajahnya merah padam.
“aku ada acara, sama Rio nih hehe, kayaknya gak ikut” sivia mengangguk cepat.
“kalau gitu, aku sama kak Iel duluan yah, takut kesiangan hehe”
“duluan ya shill, duluan ya Mario” pamit keduanya.
Rio menatap kedua punggung yang mulai menjauh dari penglihatanya. Dengan ragu aku mengikuti kemana arah manik matanya bertumpu. Rupanya pada benda yang di apit kedua tangan kak Gabriel.
“sivia suka hunting foto shill?”
“bukan suka lagi, tapi pake banget”
“aku tau apa yang harus aku lakuin”
*
Namun sahabat, bukan membantumu untuk menjadi orang lain.
Melainkan untuk berjalan di sampingnya dan menemukan jati dirimu.
Satu minggu ini aku habiskan bersama Rio, ia yang memintaku mengajari semua yang asing untuk dirinya. Dari mulai cara bagaimana menyukai mata pelajaran bahasa inggris, membuat puisi, dan sepertinya hal yang paling krusial adalah mengajarinya tentang photography. Di tambah keganjalan yang di lakukanya adalah ketika ia memintaku untuk mendaftarkanya dalam eskul photography.
Seperti biasa, hari sabtu hanya di fokuskan untuk para siswa mengikuti esktakulikulernya. Pun dengan Rio yang baru
genap menjadi anggota eskul photography. Dengan senyum mengembang ia berjalan ke arahku dan menenteng sebuah ransel mini berwarna hitam yang ia selempengkan di bahu kananya.
“hey shill!” serunya
“ya?” sahutku dengan nada malas-malasan.
Ia mulai membuka resleting ranselnya dan mengeluarkan sebuah benda mengkilat tak asing di hadapanku. Sebuah kamera SLR. Wow! Aku menelan ludah. Baru kali ini aku melihat Rio membawa sebuah barang mewah. Dan kekagetanku terbayar sudah ketika dengan gerak cepat ia menarik pergelangan tangan kiriku dan mengarahkan kameranya pada koridor di lantai atas yang bersebrangan dengan koridor yang kami pijak.
Jepret. Satu gambar ia abadikan. Di tariknya lenganku kembali dan menjauh, dengan sumringah ia melihatkan gambar perdanya padaku.
Gambar seorang gadis berambut sebahu yang sedang tersenyum manis sambil menteng beberapa buku. subjek yang tak asing di penglihatanku. Sivia.
*
Siang ini seluruh anggota eskul photography sedang mengadakan photoroad di daerah yang tak jauh dari sekolahku. Rio yang merupakan anggota baru eskul photograph lah yang memberi usul macam ini, di tambah minat sang ketua –Gabriel- yang tinggi. Jadilah Rio terbang di buatnya.
Dua jam berlalu. Tak ada hal menarik yang ku dapatkan, hanya saja tingkah laku Rio yang sudah di luar perkiraan yang menjadi daya tariku. Ketika Rio mengikuti setiap pergerakan dan tingkah laku Gabriel percis dan sama. Dan yang lebih membuatku risih, cowok manja itu melakukanya atas dasar menginginkan perhatian Sivia. Aku mendengus sebal dan membuntuti langkahnya dari belakangnya.
Aku melirik sebuah kaleng bekas minuman di dekat sepatuku. Dan melirik Rio dengan senyum licik. Dengan gerak reflek aku menendang kaleng bekas itu hingga mengenai bagian tubuh Rio. Si empunya mengaduh dan melirik ke arahku.
“apa sih?” tanyanya di temani dengan sebuah kerutan di dahinya yang mulai berkeringat.
“aku panas. Beliin minum dong” aku mengibas – ngibaskan tanganku tepat di depan wajah hingga berhenti ketika Rio menariknya.
“Rio!” seru Sivia dari jauh.
“bentar vi!” sahutnya di jawab sebuah anggukan sivia.
“nih, lo beli sendiri. Jangan ganggu gue sama via deh” bisiknya pelan padaku sambil memindahkan selembar uang dua puluh ribuan dari tanganya pada telapak tanganku, lantas menjawil pipi kananku dan berlalu menghampiri Sivia.
Aku menatapnya punggungnya datar dan berusaha menahan sesak yang kini mulai berkeliaran pada bagian hatiku.
*
Sebuah rasa memanglah milik mereka. Ketika takdir berkata, sayap – sayap itu akan terbang bersama harapan. Dalam setiap gerakan dan nalurinya. Pun dengan kita –aku dan kamu- akan juga terbang bersama sayap – sayap kenangan. Akan menjadi sebuah ingatan. Menjadi sebuah memori. Kelak saat kita dewasa. Kan kurindukan yang pernah ada. Tentang kita.
Kau datang dan pergi sesukamu,
Melupakanku yang rindu akan hadirmu..
Kau telah dewasa, telah mengerti tentang cinta
Dan membutakan semuanya dengan..
“hey!” aku terkesiap dan menutup buku dengan tergesa. Si gingsul lagi. Mau apa dia.
“apa?”
“kau marah ?” terlihat wajah polosnya saat bertanya macam itu, aku memilih memburamkan pandanganku dan pura – pura mengacuhkanya.
“ice cream coklat buat shilla”
Aku berusaha tak tergoda dengan sesuatu yang di ucapkan tadi. Meliriknya pun ogah. Rio menggaruk kepalanya dan menatapi ice cream coklat di genggamanya.
Ku lihat dengan ekor mata ada senyum ganjal yang terukir dari bibirnya. Dan benar saja setelah sekian menit aku mengacuhkanya, ia bertindak dengan leluasa, mengoleskan cream itu ke pipi kananku. Selanjutnya ia terbahak dan menjulurkan lidahnya seraya berlari menjauh. Aku kini tak tahan untuk membalas perbuatanya. Mengekori Rio yang berlari. Tak peduli berapa pasang mata yang melihat kelakuanku denganya.
Rio mulai menyerah dan membungkukan badanya. Ice cream di tanganya sudah lenyap entah kemana. Hanya sedikit yang tersisa. Aku menepuk punggung kokohnya, Rio memutar tubuhya dan tercekat ketika melihat ke arahku.
“ini buat kamu haha” cream yang sama mendarat di hidungnya.
“shilla awas kamu!” Rio menarik lenganku dan memutar tubuhku hingga kini membelakanginya. Ia melingkarkan kedua lengan kokohnya dan menggelitiki badanku. Sesekali aku meninju kecil perutnya dengan sikut. Dan Seperti itu seterusnya.
“Rio , shilla!” Rio menghentikan gerakanya lantas melirik pemilik suara itu.
“via” dengan gerak cepat ia menjauhkan lenganya dari tubuhku dan tersenyum ke arah gadis impianya. Menghampirinya dan meninggalkanku.
“eh via, um ke kantin yu?” ajak rio basa – basi. Sivia mengarahkan dagu ke arahku. Rio menoleh ke belakang dan mengedipkan mata. Aku mengerti dan segera menjauh dari keduanya. Meninggalkan lagi – lagi hal yang sama.
“tadi shilla mau ke perpus kok. Kita berdua aja yu?” sivia mengangguk dan kemudian keduanya mulai menjauh.
**
Kan ku genggam tanganmu, dan kembali..
Bersamaku sahabat
“aku gak suka kamu yang sekarang, yo” ujarku lirih. Rio tak menjawab.
“jadi kamu minta ajarin semuanya sama aku, Cuma buat sivia semata?” rio pun belum menjawab.
“aku kecewa yo, kecewa” rio kini meraih kedua bahuku dan tersenyum.
“kamu bukan kecewa kan,shill? Kamu Cuma takut kehilangan aku, tenang shill. Kita masih sahabatan kok, walau rasa sayang aku kini terbagi buat via” jelasnya.
Aku semakin kecewa dengan kenyataan yang baru saja ia lontarkan. Aku menggigit bibir bawahku hingga terasa sakit. Mengepalkan tanganku erat-erat. Dan mencoba menahan butiran kristal yang terbendung di kelopak mataku.
“aku gak kecewa karena kamu suka sama via, yo” aku berusaha menjauhkan kedua tangan rio dari bahuku.
“aku kecewa karena kamu berubah, kamu berubah jadi orang lain. Bukan kamu” lanjutku dan berlari dari hadapan Rio.
Sebuah persahabatan akan indah dengan kejujuran.
Dengan keikhlasan, dan senyuman kepastian..
Sudah dua hari ini aku tak kunjung melihat Rio di sekolah. Dan genap dua hari juga aku tak saling sapa denganya, di lingkungan rumah sekalipun. Kejadian seperti ini seringkali hinggap pada persahabatan kami, tapi tak lewat satu jam keadaan sudah mulai kembali seperti biasa. Dan tidak untuk kali ini.
Aku berjalan sempoyongan di koridor. lewat angin yang berhembus memasuki rongga tubuhku, aku baru menyadari arti sebuah kehilangan, arti sebuah rindu dan arti sebuah penyesalan. Apakah hal yang tinggal sejarah itu terlalu keras ku ungkapkan?
Dan dengan bodoh di sertai polos anak remaja aku memaksa Rio untuk tetap seperti inginku? Apa itusalah? Tentu. Aku tau aku bukan siapa-siapa dan tak pernah berhak menyinggung apapun pilihanya. Ya inilah Rio, bahkan aku dengan kasar merenggut sebuah anugrah tuhan untuk umatnya. Sebuah perasaan krusial. Cinta. Dan inilah cerita yang Rio pilih, mencintai sivia dengan kesempurnaan yang harus dimilikinya.
“kamu nangis?”
“kangen gak sama aku?” aku melirik suara itu dan tersenyum.
“rio” kuraih bahu kananya. Ia menatapku lama. Membuat sebuah getaran halus melewati hatiku. Rio menarik lenganku kembali.
“hm shill, maafin aku?” aku mengangguk dua kali, rio memperlihatkan senyumanya lagi.
“maafin aku sahabat. Aku udah sia-sia-in waktu kita Cuma karena cinta, hehe” racaunya, aku menggeleng keras.
“apa sih yo, wajarlah kamu itu suka-sukaan, kamu kan normal”
“shill. Aku tuh gak cinta kok sama via, aku Cuma suka ngeliatnya. Soalnya tipe cewekku ada di dia, dan aku baru nemuin itu pertama di sivia”
Entah kenapa ucapan Rio itu sedikit menohok dan membuat luka di sekitar hatiku. Aku tetap tersenyum dan memberi arti kepadanya.
“naik sepeda yu? Aku mau bilang sesuatu”
*
Setelah kau pergi, ku mohon untuk kembali..
Aku akan menunggumu sahabat.
Rio mengayuh sepedahnya. Seperti biasa aku duduk di depan. Rambutku kubiarkan tergerai terbawa angin, rio memboncengku mengelilingi perkebunan teh. Saat itu hujan mulai memperlihatkan tanda-tandanya, tetap saja rio keukeuh dan terus melajukan cepat sepedanya. Dan dengan cepat, ribuan kristal itu turun bersama pasukanya yang lain. Seragam putih-abu kami sudah sempurna terkontaminasi air Hujan. Tawa rio membahana walau tak sedikit guyuran air hujan yang menerpa indra penglihatanya.
“bodoh, jalanya licin” teriaku. Rio seperti menulikan telinganya dan terus mengayuh dengan laju cepat.
“woyyyy!”
Ckiiitttt.
Ia me-rem sepedanya. Kali ini dengan kedua lenganya yang ia angkat bebas ke udara. Jalan yang kami lalui cukup licin dan membuat sepeda yang kami tumpangi hilang keseimbangan, aku berusaha mengalihkan laju stang, namun segera ku tepis setelah bunyi decit dan kresek terdengar, baru ku angkat tanganku ke udara.
“sial” gerutuku kesal. Sepeda yang kami tumpangi jatuh dan menerobos pada pada semak - semak teh. Keningku beradu dengan pangkal hidung rio, sementara yang empunya hidung hanya tertawa terbahak walau kini posisinya tertindih oleh tubuhku.
“ini gila rio. Huuuh” aku berusaha bangkit namun tangan kokoh rio lebih dulu menahanya.
“aku sayang kamu shilla”
Untung saja saat itu rambut ku biarkan tergerai dan posisi wajahku tak tertangkap oleh kedua matanya.
Rio mendorong tubuhku dan membantuku berdiri. Ia menyibak rambutku dan menautkanya pada daun telinga, lantas menyeka air hujan yang membasahi wajahku.
“kamu tau, ini yang aku rinduin yo” rio mengangguk pelan.
“aku seneng bisa nikmatin masa putih abu pertamaku bareng kamu shill”
Aku membalas tatapan matanya dengan teduh. Namun detik setelahnya ia menekuk sedikit wajahnya.
“tapi – “ ia menggantung kalimatnya.
“aku harus pergi” mataku membelalak lebar di ikuti dengan jeritan hatiku yang memaksa rio menghentikan ucapanya.
“maksud kamu?”
“aku harus ke pulang ke manado. Papa pindah tugas lagi, shill”
Rio menarik tubuhku, aku membenamkan wajah pada bahu kokohnya. Pelukan pertama yang aku dapat dari seorang adam setelah ayah-ku.
“jangan nakal ya shill” bisiknya pelan.
Seakan ucapan perpisahan itu semakin terdengar nyata. Aku mencoba menepis kasar dan menulikan pendengaranku. Namun nyatanya suara lembut Rio mampu mengalahkan deburan keras manapun yang berusaha menolaknya.
“kita tetap sahabat shill” ia mengacungkan jari kelingkingnya.
“sahabat” ujarku.
“Ini ada puisi buat kamu shill” rio merogoh saku celananya dan mengambil sebuah kertas berwarna merah ati.
Sahabatku sayang, shilla
Melewati setiap garis takdir. Kau membawaku mengarungi mimpi. Bertepi untuk menatap hari. Dan kau kenalkan aku mentari.
Sahabat kau.. memberiku harapan, dengan semua keterbatasan...
Melewati lembah sunyi, kita bernyanyi..
Senyumanmu membuatku lebih berarti..
Sebuah persahabatan akan indah dengan kejujuran.
Dengan keikhlasan, dan senyuman kepastian..
Setelah kau pergi, ku mohon untuk kembali..
Aku akan menunggumu sahabat.
Menjadi dan mewujudkan mimpi kembali
Terntanda –mario :)
*
Kini aku berjalan sendiri. Bukan dengan bayangnya sekalipun. Karena kini ia adalah satu cerita bersamaku, kenangan indah di masa putih – abu. Satu cerita bersama Rio.
The end-
Welcome!

A Geminian ♊

Scripts:

Author:

- Nita Julianti Sukandar Putri
- Pemilik jemari sederhana yang mampu merekam kata-kata. Gadis berkacamata yang senang mengabadikan tulisan lewat setiap lembar cerita. Dan sewujud raga yang acapkali mengkristalkan kenangan dibalik lensa kamera.
Most Viewed
-
** “apa maksudmu ?” sebuah suara menarik perhatian kaki panjang seorang gadis yang tengah melewati koridor kelas di lantai dua, ia m...
-
Sebelum memulai kalimat untuk mereview novel ajaib ini, sekiranya saya hendak berterimakasih kepada saudari Alipia Noor Rizki dan tem...
-
Title: You're my destiny Author: Nita & Ruth Saat perbedaan cinta, dan benci hanya selarik benang tipis. * Bandara Coo...
-
enjoy it ! * Aku duduk termenung dari balik jendela kamarku, ada dua alasan mengapa sampai detik ini aku masih betah menatapi jendela ...
-
Tittle : one story with Rio Genre : friendship , romance cast : Mario, Ashilla, Sivia, Gabriel enjoy read ! * Aku duduk di kursi...
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar