Sejarah sabtu sore kita (cerpen)

Diposting oleh Nita Julianti Sukandar Putri 0 komentar
Enjoy :)



“Siapapun kita, pasti pernah melakukan suatu hal –sekecil apapun bentuknya- untuk orang yang kita suka. Maka seperti itulah cerita, dimana kamu berjuang untuk cinta.”

**

Gadis bertubuh tinggi semampai itu belum ingin beranjak dari tempat amunisi ‘mengintipnya’. Di ujung jendela ruang lab bahasa, yang kebetulan penghuninya tengah melakukan praktek ber-orasi. Sebentar-sebentar ia mencuri pandangan pada deretan kalimat yang menyemut rapi dalam sebuah iPad dipangkuanya. Gadis itu –Ashilla- mengernyitkan dahi menjadi beberapa lapis, lantas menggumam pelan. “Tips pertama, mencari perhatian doi. Jatuhkan suatu barang tepat ketika doi berhadapan atau berjalan berdampingan denganmu, itu permulaan kamu dan doi berkomunikasi.”
“Lagu lama banget tipsnya..” katanya mencibir. Tapi.... cobain aja deh. Tambahnya dalam hati.

Tepat ketika bel jam 3-4 berakhir, pintu lab bahasa pun terbuka, Shilla dengan sigap mulai menyalip beberapa siswa-siswiyang berjalan dihadapanya. Kyaaaaa ada dia! Jeritnya dalam hati.

Shilla tidak kehilangan akal, ditariknya jepitan rambut berbentuk beruang yang menjepit poni tebalnya, tepat ketika seorang pemuda tampan berjalan berdampingan bersama dua orang temanya.
Pluk. Sebuah jepitan rambut dengan asal mendarat tepat diujung sepatu pemuda itu.
Karel-salah satu teman pemuda itu- menghentikan langkahnya, “Apaan tuh Yo, di sepatu lo?” tanyanya.
Satrio –pemuda itu- yang akrab disapa Rio memberi fokus kebawah, kedua mata tajamnya menghujam sebuah benda kecil yang terlihat aneh.
“Itu apaan?” katanya heran.

Sementara si pemilik jepitan rambut sudah berada di belakang ketiga pemuda itu dengan harap-harap cemas menunggu reaksi doi hanya bisa melapalkan doa –yang semoga saja bisa sedikit membantu mengurangi rasa waswasnya-.

“Buang aja Yo,” kata Arakay, teman Rio yang satunya.

“Yaudah,”

Shilla menganga kecil, lantas reflek menghentikan gerakan Rio.
“Eh, eh...” Rio menoleh, menautkan alis tebalnya. Menunggu ucapan selanjutnya.

“It itu, punya gue.” Kata Shilla.

Rio melirik benda aneh digenggamanya, “Oh punya lo. Gue kira sampah,” katanya terkekeh pelan.
“Nih, kalau lo butuh jangan dilempar-lempar,” tambahnya lantas berlalu meninggalkan Shilla yang masih melongo, heran.

**

Culun. Rutuknya dalam hati. Baru permulaan saja ia sudah mempermalukan diri sendiri.

Shilla membenarkan letak kacamatanya yang sedikit melorot, lantas berpikir keras.
“Apa gue baca tips selanjutnya aja ya?”

Tips kedua, setelah tips pertama berhasil.. (berhasil emak lo peot, cibirnya) kamu harus lebih sering ketemu doi, ya sekedar menyapa lalu mengucapkan terimakasih untuk yang kemarin, terus kamu kasih dia berupa kode, good luck!”

Helaan nafasnya nampak terasa berat. Shilla tidak tahu tips kedua akan berhasil atau tidak. Jika pada kenyataan hasil pertama tidak seperti rencananya. Baru saja pruit tanda permainan dimulai, ia sudah menyerah dan merasa kalah sebelum perang.

Ia berpikir sebentar, apa bisa tips “7 hari menggaet cowok idaman” diaplikasikanya dijaman serba modern ini? Kenapa juga Shilla jadi korban ocehan-ocehan ditwiiter. Ia merutuk. Bodoh. Harusnya ia tetap menjadi Shilla yang apa adanya. Shilla si pemuja kata-kata. Bukan Shilla sipemuja kicau-kicau.

Ia mengerucutkan bibir lantas men-turnoff  iPad dan memilih meraih buku-buku tebal kesukaanya. Ya sudahlah, mungkin memang membaca satu-satunya penawar agar ia tetap bisa waras dan tahu batas ‘mengagumi’ manusia itu.

**

Satrio menggerutu kesal karena harus dihadapkan dengan mata pelajaran sejarah yang menurutnya –sangat tidak perlu dibahas–karena sekarang ini sudah jaman modern. Beberapa kali juga ia selalu mendapat teguran dari Bu Ucie karena kecolongan tengah menguap bahkan sampai tertidur di jam-sejarah. Rio kesal, ia memilih mengaburkan diri dengan alasan ke kamar mandi dan untung saja kali ini guru yang sangat cinta dunia tarik suara itu mengizinkanya.

Rio meninggalkan kelas dengan tatapan-tatapan memelas dari dua orang sohibnya. Air wajah “gue juga pegen keluar” dari Arakay bahkan membuat Rio ingin segera memuntahkan tawa kemenangan karena dirinya berhasi lolos dari ‘sarang’ kesengsaraan. Nikmatnya dunia. Pikirnya.

Rio memilih perpustakaan sebagai tempat tujuanya berhibernasi. Earphone putih menjuntai dikedua telinganya mendendangkan lagu Love song for no one milik John Mayer. Hingga pilihanya jatuh pada bangku di ujung dekat jendela yang terlihat kosong. Rio merasa tidak ada makhluk apapun diruangan ini. Dan ia bisa istirahat dengan leganya.

Rio melirik sebuah buku kecil berjudul Hati wanita diatas meja, yang merupakan isi dari beberapa penggalan kalimat karya Kahlil Gibran, Rio berfikir sejenak, lantas tubuhnya tersentak ketika sebuah suara terdengar dibelakangnya.

“Eh,”
Rio menoleh, mengernyitkan dahi.

Seorang gadis berkuncir kuda dengan sebuah kacamata yang membingkai mata bulatnya segera menutup mulutnya yang terbuka kaget, didekapnya beberapa buku tebal yang baru saja ia pilih diantara rak jangkung perpustakaan.

“Gue.. gue minta maaf, gue kira gak ada orang disini,” kata gadis itu ragu.

Rio menggaruk kepalanya yang tidak gatal lantas kembali dengan air wajah normal.
“Oh, gak apa-apa,”

“Itu buku gue,” telunjuk gadis itu tertuju pada buku kecil dibalik punggung Rio.

“Oh, ini...” Rio meraihnya, lantas menyodorkan pada gadis itu.

“Berarti lo yang duluan duduk disini, ya?” lanjutnya.
Gadis itu mengangguk pelan. Sebenarnya bukan karena kesal atau marah, ia hanya tengah menetralisir degupan jantungnya yang bekerja diatas batas normal.

“Tadi gue naro buku doang kok, sorry ya gue enggak tau ada lo, yaudah gue pin..”

“Eh enggak usah pindah, lo duduk sebelah gue aja, asal lo gak berisik, gue mau numpang tidur soalnya.” Jelas Rio.

Gadis itu tergugu. Menatap dengan kagum pahatan sempurna dihadapanya yang mulai membenamkan wajah pada lipatan lengan kokohnya. Lima menit berselang baru gadis itu tersadar bahwa yang kini dialaminya bukan mimpi.

“Ini sih dream come true banget.” Katanya dalam hati.

**

“Ah, elo bangun,” Shilla tersentak kaget ketika Rio tiba-tiba membuka matanya spontan.

“Hehe, sorry ya. Lo kaget?”

“Dikit sih, kok ya cepet banget?”

“Biarinlah, udah bel?” tanya Rio. Menyadari mulai ada beberapa siswa-siswi yang memasuki ruang perpustakaan.

Gadis itu melirik jam karet berwarna merah yang melingkar dipergelangan tangan kirinya.

“Lima menit lagi sih,”

“Hm, kenapa ya waktu sekolah selalu terasa lebih lama dibanding waktu free,” Rio mengoceh.

“Entah,” Shilla mengedikkan bahu.

“Eh, lo yang tadi pagi jatohin jepitan rambut itu kan?”

Cit. Hati Shilla menciut. Kok bisa-bisa dia inget sih, malu banget. Batinya.

“Gue Satrio, panggil aja Rio. Lo?” Rio menyodorkan tanganya. Menyadari perubahan Shilla. Ia memilih tidak ambil pusing dengan mengenalkan dirinya.

Gadis itu lagi –membuka mulutnya–heran. Tidak langsung menjawab. Pikiranya terbang. Dengan cara sederhana seperti ini, mimpinya bisa menjadi nyata? Ia mencubit betisnya dengan tangan kiri. Sakit. Berarti bukan mimpi.

“Woy!”

“Eh, gue Ashilla.” Gadis itu buru-buru menjabat tangan Rio.

“Kok tangan lo gemeteran?” tanya Rio. Shilla bengong lagi. Mampus. Sekentara  itu kah dirinya?

“Mm, gue emang begini....”

“Kalau laper.” Bug. Shilla lagi-lagi merasa bodoh berkata demikian.

“Haha, lo lucu. Kelas berapa?” tanya Rio lagi.

“XI IPA 3.” Jawab Shilla.
“Kalau lo?” tambahnya. Sekedar basa-basi. Padahal jauh dari sebelumnya ia sudah hafal betul pemuda itu menghuni kelas mana.

“XI IPS 1. Eh lo suka Gibran?”

Shilla mengangguk antusias. Lantas tanpa perintah ia mengambil beberapa buku di tas jinjing miliknya.

“Gue suka banget, nih hampir punya semua koleksinya,”

“Wih keren. Boleh dong gue pinjem kapan-kapan?” Rio tersenyum. Sangat manis. Membuat ombak berkejaran dimata Shilla. Gadis itu ingin sekali Tuhan menghentikan waktu sebentar saja untuk memotret moment ini.

“Sangat boleh. Kapan kita bisa ketemunya?” tawar Shilla.

“Mmm, tiap sabtu sore deh abis gue basketan. Lo tunggu gue disini. Eh udah bel, gue cabut ya, bye Shill,”

Shilla tersenyum seraya mengangguk pelan. Tubuh jangkung Satrio perlahan meninggalkan ruangan sunyi yang kini hanya dihuni Shilla seorang diri.

**

Shilla mencomot chitato sapi panggang sambil terus membaca deretan huruf dibuku tebal yang dipinjamnya di perpustakaan. Sudah tiga minggu terakhir entah kenapa dirinya terus ingin berada di ruangan ini. Lebih tepatnya jika Rio berada di tempat yang sama. menghampirinya sekadar basa-basi atau meminjam dan mengembalikan bukunya. Selama detik yang telah terajut semakin juga perasaanya yang ia namakan suka bertahta di singgasana tertinggi. Shilla senang asalkan dengan cara sesederhana ini ia bisa terus berada didekat Rio. Ia bahkan sudah lupa rencana awalnya, baginya lebih menyenangkan melakukanya seperti ini.

Nama Rio terus berdawai laksana biola dihati Shilla. Ia bahkan selalu ingat potongan percakapan yang tidak begitu penting dengan pemuda itu dua hari lalu.

“Gue bingung, kenapa ada orang yang ingin jadi sejarawan,”

“Kan penting, Yo..” tanggap Shilla.

Rio mengernyit. Memperhatikan manik mata Shilla cukup lama. Lantas kembali mengemukakan ulasanya.

“Apanya yang penting? Sejarah cuman terus ngajak kita berkelana pada masa lalu kan? Menurut gue, kita belajar sejarah sekarang pun gak akan bisa ngembaliin, ngerubah atau benerin yang udah terjadi..”

“Yah tapi kan kalau kita gak tau sejarah, kita gak akan tahu kehidupan kemarin itu gimana..” komentar Shilla.

“Nah. Begitupun hati kita, kalau kita gak nengok-nengok lagi masa lalu, kita gak akan tahu kehidupan kemarin itu gimana, tapi lebih baik, bukan? Kalau masa lalu itu cuman nampung kepingan-kepingan gak menyenangkan kenapa harus terus diingat-ingat? Lagian kan kita hidup untuk hari ini dan esok, bukan hidup untuk kemarin..”

“Mmh, jadi maksudnya lo menganalogikan sejarah sebagai masa lalu di kehidupan pribadi? Kenapa? Lagi mau menghidupkan teori move on?” goda Shilla.

Rio tidak menjawab lagi. Ia tetap fokus menuntaskan bacaanya.
“Sejarah apapun tidak akan pernah kembali mengulangi wujudnya sendiri kecuali bila sejarah itu telah dibelenggu oleh pikiran-pikiran manusia yang tidak memahami hakikat sejarah itu. Thats from Kahlil Gibran.” Kata Rio, mengutip kalimat terakhir yang dibacanya.


Shilla tersenyum, terus memperhatikan pahatan apik Rio dari ekor mata. Sabtu sore ini, ia ingin berterimakasih pada sejarah. Telah menyusun apik moment berharga bersama Rio.


**

Shilla tersadar dari ingatanya. Ini sabtu sore, dan ia masih berada di sekolah. Tepatnya di ruang yang acap kali dihuninya. Perpustakaan. Diliriknya jam karet berwarna merah di pergelangan tangan kiri, pukul 15.45. Sudah lima menit terlewat, tapi tak ada tanda-tanda kedatanganya. Shilla mulai berpikiran buruk bahwa Rio dengan sengaja tidak datang menemuinya, tapi ia buru-buru menghapusnya, memberi sugesti pada hati dan pikiranya bahwa mungkin Rio telat atau masih bergelut dengan basket.

Pukul 16.00. Ia ‘belum’ menemuinya juga. Biasanya Rio tidak pernah telat seperti ini. Shilla menghembuskan nafas. Sabar. Imbuhnya. Sebentar lagi pasti datang.

Shilla merasa kantuk datang mengganggunya begitu saja. Iapun terjaga, menumpukan kepala pada lipatan tanganya. Mungkin tidur adalah satu-satunya pilihan agar kegiatan menunggunya tidak akan terasa lama.

--

Ia bangun ketika didengarnya sebuah teguran yang ia sadari berasal dari laki-laki paruh baya lengkap dengan seragam tugasnya. Pak Arman. Satpam sekolah yang biasa mengunci ruangan-ruangan jika sudah tidak ada lagi kegiatan.

Ia memohon pamit pada pak Arman lantas melirik lagi jam tanganya. Pukul 17.15. Langit sudah senja, dan ia tidak datang juga.

**

Dan, lagi shilla masih ditempat dan waktu yang sama. Perpustakaan, sabtu sore. Ia ingat kata-kata Rio, buat apa kita mengengok masa lalu jika didalamnya hanya ada kepingan-kepingan tak menyenangkan? Ia pun memilih prinsip itu untuk meneguhkan hati dan pendirianya untuk tetap menunggu. Meskipun kejadian minggu lalu, terus berputar bergantian seperti slide-slide gambar di otaknya.

Pukul 15.40 tepat. Pintu perpustakaan berdenyit terbuka. Seperti ada radar, ia menaruh tangan tepat didadanya yang berdetak kegirangan. Terdengar suara derap langkah yang semakin mendekat. Tap tap tap. Pipinya terasa panas, ia masih menunduk, memilih lantai sebagai objek penglihatanya.

“Hey, elo Ashilla ya?”

Shilla mengendurkan senyumnya. Itu bukan suara dia. Ia mengangkat kepalanya dengan berat, menyambut suara itu. Suara yang tak lagi sama seperti 3 minggu lalu.

“Hah..”

“Gue Marsha sepupu Rio. Gue disuruh Rio ngembaliin buku-buku lo, sebenernya udah disuruh dari minggu lalu cuman gue gak sempet nemuin lo..” jelas suara berbeda yang ternyata milik gadis bernama Marsha.

Shilla segera meraih buku-buku yang disodorkan Marsha, lantas melempar senyum sampai akhirnya Marsha memilih pamit dan hilang dibalik pintu perpustakaan.

Shilla merasa hatinya ditusuk jarum-jarum mungil, yang tidak hanya menjelma menjadi satu diri. Ia merasa kecewa, karena pemuda yang bukan penyuka sejarah itu memilih enyah dari jangkauan penglihatanya.

Dengan lemas, Shilla membuka halaman terakhir buku Kahlik Gibran miliknya yang berjudul Sayap-sayap patah. Melambangkan perasaanya kini. Ia menemukan secarik kertas yang bertuliskan tulisan tangan yang cukup rapi.

“Hai Shill, gue gak tau se-semrawut apa muka lo sekarang ini pas nunggu gue yang gak dateng-dateng hehe. Sorry ya, sabtu-sabtu besok gak usah nunggu gue lagi deh, lo bisa kok nemuin gue diwaktu lain kalau lo mau. Makasih ya buku-bukunya, oh iya, gue mau bilang elo bener Shill, sejarah itu penting. Kalau kita gak tau sejarah, kita gak akan tahu kehidupan kemarin itu gimana. Begitupun gue, kalau gue tetep pada pendirian buat natap lurus kedepan, gue gak akan bisa koreksi diri dan hati gue kemarin. Ternyata berkat masa lalu gue bisa salah gue apa, termasuk salah gue sama Letisha. Cewek gue. Fyi, gue balikan sama dia. Sekarang gue berjanji sama dia buat benerin apa yang salah sama gue di masa lalu. Gue sayang dia Shill, gue gak mau move on :-p hehehe maaf ya jadi curhat. Thanks for all Saturday afternoon ever I have with you, see ya my Shilla Gibran. Ur beloved fans, Satrio ganteng.”

Dan, satu tetes bersama pasukan lainya berjatuhan mengikuti.

**

Shilla berjalan pelan disepanjang koridor. Masih bersama jawaban atas kesetiaanya ‘menunggu’. Menunggu seseorang yang ternyata harus lagi ia nikmati sebatas namanya saja.

Ruangan bahasa. Jepitan beruang. Cibiran Rio.

Ia berhenti, memperhatikan hujan mulai menjamah bumi. Menghujam dua manusia berbeda di lapang saba. Rio dan kekasihnya. Melempar tawa bersama pasukan air yang ternyata mereka suka.

Perpustakaan. Kahlil Gibran.

Shilla belum ingin menggantikan fokusnya, hingga akhirnya Rio menemukan dirinya disebrang sana. Mengajak Letisha melirik sosok yang sama. Keduanya melambaikan tangan dan tersenyum pada Shilla.

Sejarah. Sabtu sore. Hujan.

**

Dan, Shilla mengirim senyumnya lewat sabtu sore terakhir yang berhujan.

With love, 
@nitajulio_

Cerpen amatir yang lagi-lagi dibuat dalam keadaan tidak tersangka.
 

Gema Aksara✎ Template by Ipietoon Blogger Template | Gift Idea