“Siapapun
kita, pasti pernah melakukan suatu hal –sekecil apapun bentuknya- untuk orang
yang kita suka. Maka seperti itulah cerita, dimana kamu berjuang untuk cinta.”
**
Gadis
bertubuh tinggi semampai itu belum ingin beranjak dari tempat amunisi ‘mengintipnya’.
Di ujung jendela ruang lab bahasa, yang kebetulan penghuninya tengah melakukan
praktek ber-orasi. Sebentar-sebentar ia mencuri pandangan pada deretan kalimat
yang menyemut rapi dalam sebuah iPad dipangkuanya. Gadis itu –Ashilla-
mengernyitkan dahi menjadi beberapa lapis, lantas menggumam pelan. “Tips pertama, mencari perhatian doi.
Jatuhkan suatu barang tepat ketika doi berhadapan atau berjalan berdampingan
denganmu, itu permulaan kamu dan doi berkomunikasi.”
“Lagu
lama banget tipsnya..” katanya mencibir. Tapi....
cobain aja deh. Tambahnya dalam hati.
Tepat
ketika bel jam 3-4 berakhir, pintu lab bahasa pun terbuka, Shilla dengan sigap
mulai menyalip beberapa siswa-siswiyang berjalan dihadapanya. Kyaaaaa ada dia!
Jeritnya dalam hati.
Shilla
tidak kehilangan akal, ditariknya jepitan rambut berbentuk beruang yang
menjepit poni tebalnya, tepat ketika seorang pemuda tampan berjalan
berdampingan bersama dua orang temanya.
Pluk.
Sebuah jepitan rambut dengan asal mendarat tepat diujung sepatu pemuda itu.
Karel-salah
satu teman pemuda itu- menghentikan langkahnya, “Apaan tuh Yo, di sepatu lo?”
tanyanya.
Satrio
–pemuda itu- yang akrab disapa Rio memberi fokus kebawah, kedua mata tajamnya
menghujam sebuah benda kecil yang terlihat aneh.
“Itu
apaan?” katanya heran.
Sementara
si pemilik jepitan rambut sudah berada di belakang ketiga pemuda itu dengan
harap-harap cemas menunggu reaksi doi hanya bisa melapalkan doa –yang semoga
saja bisa sedikit membantu mengurangi rasa waswasnya-.
“Buang
aja Yo,” kata Arakay, teman Rio yang satunya.
“Yaudah,”
Shilla
menganga kecil, lantas reflek menghentikan gerakan Rio.
“Eh,
eh...” Rio menoleh, menautkan alis tebalnya. Menunggu ucapan selanjutnya.
“It
itu, punya gue.” Kata Shilla.
Rio
melirik benda aneh digenggamanya, “Oh punya lo. Gue kira sampah,” katanya
terkekeh pelan.
“Nih,
kalau lo butuh jangan dilempar-lempar,” tambahnya lantas berlalu meninggalkan
Shilla yang masih melongo, heran.
**
Culun.
Rutuknya dalam hati. Baru permulaan saja ia sudah mempermalukan diri sendiri.
Shilla
membenarkan letak kacamatanya yang sedikit melorot, lantas berpikir keras.
“Apa
gue baca tips selanjutnya aja ya?”
“Tips kedua, setelah tips pertama berhasil.. (berhasil
emak lo peot, cibirnya) kamu harus lebih
sering ketemu doi, ya sekedar menyapa lalu mengucapkan terimakasih untuk yang
kemarin, terus kamu kasih dia berupa kode, good luck!”
Helaan
nafasnya nampak terasa berat. Shilla tidak tahu tips kedua akan berhasil atau
tidak. Jika pada kenyataan hasil pertama tidak seperti rencananya. Baru saja
pruit tanda permainan dimulai, ia sudah menyerah dan merasa kalah sebelum
perang.
Ia
berpikir sebentar, apa bisa tips “7 hari menggaet cowok idaman” diaplikasikanya
dijaman serba modern ini? Kenapa juga Shilla jadi korban ocehan-ocehan ditwiiter.
Ia merutuk. Bodoh. Harusnya ia tetap menjadi Shilla yang apa adanya. Shilla si
pemuja kata-kata. Bukan Shilla sipemuja kicau-kicau.
Ia
mengerucutkan bibir lantas men-turnoff
iPad dan memilih meraih buku-buku tebal kesukaanya. Ya sudahlah, mungkin
memang membaca satu-satunya penawar agar ia tetap bisa waras dan tahu batas
‘mengagumi’ manusia itu.
**
Satrio
menggerutu kesal karena harus dihadapkan dengan mata pelajaran sejarah yang
menurutnya –sangat tidak perlu dibahas–karena sekarang ini sudah jaman modern.
Beberapa kali juga ia selalu mendapat teguran dari Bu Ucie karena kecolongan
tengah menguap bahkan sampai tertidur di jam-sejarah. Rio kesal, ia memilih
mengaburkan diri dengan alasan ke kamar mandi dan untung saja kali ini guru
yang sangat cinta dunia tarik suara itu mengizinkanya.
Rio
meninggalkan kelas dengan tatapan-tatapan memelas dari dua orang sohibnya. Air
wajah “gue juga pegen keluar” dari
Arakay bahkan membuat Rio ingin segera memuntahkan tawa kemenangan karena
dirinya berhasi lolos dari ‘sarang’ kesengsaraan. Nikmatnya dunia. Pikirnya.
Rio
memilih perpustakaan sebagai tempat tujuanya berhibernasi. Earphone putih
menjuntai dikedua telinganya mendendangkan lagu Love song for no one milik John Mayer. Hingga pilihanya jatuh pada
bangku di ujung dekat jendela yang terlihat kosong. Rio merasa tidak ada
makhluk apapun diruangan ini. Dan ia bisa istirahat dengan leganya.
Rio
melirik sebuah buku kecil berjudul Hati
wanita diatas meja, yang merupakan isi dari beberapa penggalan kalimat
karya Kahlil Gibran, Rio berfikir sejenak, lantas tubuhnya tersentak ketika
sebuah suara terdengar dibelakangnya.
“Eh,”
Rio
menoleh, mengernyitkan dahi.
Seorang
gadis berkuncir kuda dengan sebuah kacamata yang membingkai mata bulatnya
segera menutup mulutnya yang terbuka kaget, didekapnya beberapa buku tebal yang
baru saja ia pilih diantara rak jangkung perpustakaan.
“Gue..
gue minta maaf, gue kira gak ada orang disini,” kata gadis itu ragu.
Rio
menggaruk kepalanya yang tidak gatal lantas kembali dengan air wajah normal.
“Oh,
gak apa-apa,”
“Itu
buku gue,” telunjuk gadis itu tertuju pada buku kecil dibalik punggung Rio.
“Oh,
ini...” Rio meraihnya, lantas menyodorkan pada gadis itu.
“Berarti
lo yang duluan duduk disini, ya?” lanjutnya.
Gadis
itu mengangguk pelan. Sebenarnya bukan karena kesal atau marah, ia hanya tengah
menetralisir degupan jantungnya yang bekerja diatas batas normal.
“Tadi gue naro buku doang kok, sorry ya gue enggak tau ada lo, yaudah gue pin..”
“Eh
enggak usah pindah, lo duduk sebelah gue aja, asal lo gak berisik, gue mau
numpang tidur soalnya.” Jelas Rio.
Gadis
itu tergugu. Menatap dengan kagum pahatan sempurna dihadapanya yang mulai
membenamkan wajah pada lipatan lengan kokohnya. Lima menit berselang baru gadis
itu tersadar bahwa yang kini dialaminya bukan mimpi.
“Ini
sih dream come true banget.” Katanya dalam hati.
**
“Ah,
elo bangun,” Shilla tersentak kaget ketika Rio tiba-tiba membuka matanya
spontan.
“Hehe,
sorry ya. Lo kaget?”
“Dikit
sih, kok ya cepet banget?”
“Biarinlah,
udah bel?” tanya Rio. Menyadari mulai ada beberapa siswa-siswi yang memasuki
ruang perpustakaan.
Gadis
itu melirik jam karet berwarna merah yang melingkar dipergelangan tangan
kirinya.
“Lima
menit lagi sih,”
“Hm,
kenapa ya waktu sekolah selalu terasa lebih lama dibanding waktu free,” Rio
mengoceh.
“Entah,”
Shilla mengedikkan bahu.
“Eh,
lo yang tadi pagi jatohin jepitan rambut itu kan?”
Cit.
Hati Shilla menciut. Kok bisa-bisa dia inget sih, malu banget. Batinya.
“Gue
Satrio, panggil aja Rio. Lo?” Rio menyodorkan tanganya. Menyadari perubahan
Shilla. Ia memilih tidak ambil pusing dengan mengenalkan dirinya.
Gadis
itu lagi –membuka mulutnya–heran. Tidak langsung menjawab. Pikiranya terbang.
Dengan cara sederhana seperti ini, mimpinya bisa menjadi nyata? Ia mencubit
betisnya dengan tangan kiri. Sakit. Berarti bukan mimpi.
“Woy!”
“Eh,
gue Ashilla.” Gadis itu buru-buru menjabat tangan Rio.
“Kok
tangan lo gemeteran?” tanya Rio. Shilla bengong lagi. Mampus. Sekentara itu kah dirinya?
“Mm,
gue emang begini....”
“Kalau
laper.” Bug. Shilla lagi-lagi merasa bodoh berkata demikian.
“Haha,
lo lucu. Kelas berapa?” tanya Rio lagi.
“XI
IPA 3.” Jawab Shilla.
“Kalau
lo?” tambahnya. Sekedar basa-basi. Padahal jauh dari sebelumnya ia sudah hafal
betul pemuda itu menghuni kelas mana.
“XI
IPS 1. Eh lo suka Gibran?”
Shilla
mengangguk antusias. Lantas tanpa perintah ia mengambil beberapa buku di tas
jinjing miliknya.
“Gue
suka banget, nih hampir punya semua koleksinya,”
“Wih
keren. Boleh dong gue pinjem kapan-kapan?” Rio tersenyum. Sangat manis. Membuat
ombak berkejaran dimata Shilla. Gadis itu ingin sekali Tuhan menghentikan waktu
sebentar saja untuk memotret moment ini.
“Sangat
boleh. Kapan kita bisa ketemunya?” tawar Shilla.
“Mmm,
tiap sabtu sore deh abis gue basketan. Lo tunggu gue disini. Eh udah bel, gue
cabut ya, bye Shill,”
Shilla
tersenyum seraya mengangguk pelan. Tubuh jangkung Satrio perlahan meninggalkan
ruangan sunyi yang kini hanya dihuni Shilla seorang diri.
**
Shilla
mencomot chitato sapi panggang sambil terus membaca deretan huruf dibuku tebal
yang dipinjamnya di perpustakaan. Sudah tiga minggu terakhir entah kenapa
dirinya terus ingin berada di ruangan ini. Lebih tepatnya jika Rio berada di
tempat yang sama. menghampirinya sekadar basa-basi atau meminjam dan
mengembalikan bukunya. Selama detik yang telah terajut semakin juga perasaanya
yang ia namakan suka bertahta di singgasana tertinggi. Shilla senang asalkan
dengan cara sesederhana ini ia bisa terus berada didekat Rio. Ia bahkan sudah
lupa rencana awalnya, baginya lebih menyenangkan melakukanya seperti ini.
Nama Rio
terus berdawai laksana biola dihati Shilla. Ia bahkan selalu ingat potongan
percakapan yang tidak begitu penting dengan pemuda itu dua hari lalu.
“Gue
bingung, kenapa ada orang yang ingin jadi sejarawan,”
“Kan
penting, Yo..” tanggap Shilla.
Rio
mengernyit. Memperhatikan manik mata Shilla cukup lama. Lantas kembali
mengemukakan ulasanya.
“Apanya
yang penting? Sejarah cuman terus ngajak kita berkelana pada masa lalu kan?
Menurut gue, kita belajar sejarah sekarang pun gak akan bisa ngembaliin,
ngerubah atau benerin yang udah terjadi..”
“Yah
tapi kan kalau kita gak tau sejarah, kita gak akan tahu kehidupan kemarin itu
gimana..” komentar Shilla.
“Nah.
Begitupun hati kita, kalau kita gak nengok-nengok lagi masa lalu, kita gak akan
tahu kehidupan kemarin itu gimana, tapi lebih baik, bukan? Kalau masa lalu itu
cuman nampung kepingan-kepingan gak menyenangkan kenapa harus terus
diingat-ingat? Lagian kan kita hidup untuk hari ini dan esok, bukan hidup untuk
kemarin..”
“Mmh,
jadi maksudnya lo menganalogikan sejarah sebagai masa lalu di kehidupan
pribadi? Kenapa? Lagi mau menghidupkan teori move on?” goda Shilla.
Rio
tidak menjawab lagi. Ia tetap fokus menuntaskan bacaanya.
“Sejarah apapun
tidak akan pernah kembali mengulangi wujudnya sendiri kecuali bila sejarah itu
telah dibelenggu oleh pikiran-pikiran manusia yang tidak memahami hakikat
sejarah itu. Thats from Kahlil Gibran.” Kata Rio, mengutip kalimat terakhir
yang dibacanya.
Shilla tersenyum,
terus memperhatikan pahatan apik Rio dari ekor mata. Sabtu sore ini, ia ingin
berterimakasih pada sejarah. Telah menyusun apik moment berharga bersama Rio.
**
Shilla tersadar dari ingatanya.
Ini sabtu sore, dan ia masih berada di sekolah. Tepatnya di ruang yang acap
kali dihuninya. Perpustakaan. Diliriknya jam karet berwarna merah di
pergelangan tangan kiri, pukul 15.45. Sudah lima menit terlewat, tapi tak ada
tanda-tanda kedatanganya. Shilla mulai berpikiran buruk bahwa Rio dengan
sengaja tidak datang menemuinya, tapi ia buru-buru menghapusnya, memberi
sugesti pada hati dan pikiranya bahwa mungkin Rio telat atau masih bergelut
dengan basket.
Pukul 16.00. Ia ‘belum’
menemuinya juga. Biasanya Rio tidak pernah telat seperti ini. Shilla
menghembuskan nafas. Sabar. Imbuhnya. Sebentar lagi pasti datang.
Shilla merasa kantuk datang
mengganggunya begitu saja. Iapun terjaga, menumpukan kepala pada lipatan
tanganya. Mungkin tidur adalah satu-satunya pilihan agar kegiatan menunggunya
tidak akan terasa lama.
--
Ia bangun ketika didengarnya
sebuah teguran yang ia sadari berasal dari laki-laki paruh baya lengkap dengan
seragam tugasnya. Pak Arman. Satpam sekolah yang biasa mengunci ruangan-ruangan
jika sudah tidak ada lagi kegiatan.
Ia memohon pamit pada pak Arman
lantas melirik lagi jam tanganya. Pukul 17.15. Langit sudah senja, dan ia tidak
datang juga.
**
Dan, lagi shilla masih ditempat
dan waktu yang sama. Perpustakaan, sabtu sore. Ia ingat kata-kata Rio, buat apa
kita mengengok masa lalu jika didalamnya hanya ada kepingan-kepingan tak
menyenangkan? Ia pun memilih prinsip itu untuk meneguhkan hati dan pendirianya
untuk tetap menunggu. Meskipun kejadian minggu lalu, terus berputar bergantian
seperti slide-slide gambar di otaknya.
Pukul 15.40 tepat. Pintu
perpustakaan berdenyit terbuka. Seperti ada radar, ia menaruh tangan tepat
didadanya yang berdetak kegirangan. Terdengar suara derap langkah yang semakin
mendekat. Tap tap tap. Pipinya terasa panas, ia masih menunduk, memilih lantai
sebagai objek penglihatanya.
“Hey, elo Ashilla ya?”
Shilla mengendurkan senyumnya.
Itu bukan suara dia. Ia mengangkat kepalanya dengan berat, menyambut suara itu.
Suara yang tak lagi sama seperti 3 minggu lalu.
“Hah..”
“Gue Marsha sepupu Rio. Gue
disuruh Rio ngembaliin buku-buku lo, sebenernya udah disuruh dari minggu lalu
cuman gue gak sempet nemuin lo..” jelas suara berbeda yang ternyata milik gadis
bernama Marsha.
Shilla segera meraih buku-buku
yang disodorkan Marsha, lantas melempar senyum sampai akhirnya Marsha memilih
pamit dan hilang dibalik pintu perpustakaan.
Shilla merasa hatinya ditusuk
jarum-jarum mungil, yang tidak hanya menjelma menjadi satu diri. Ia merasa
kecewa, karena pemuda yang bukan penyuka sejarah itu memilih enyah dari
jangkauan penglihatanya.
Dengan lemas, Shilla membuka
halaman terakhir buku Kahlik Gibran miliknya yang berjudul Sayap-sayap patah.
Melambangkan perasaanya kini. Ia menemukan secarik kertas yang bertuliskan
tulisan tangan yang cukup rapi.
“Hai Shill, gue gak tau se-semrawut
apa muka lo sekarang ini pas nunggu gue yang gak dateng-dateng hehe. Sorry ya,
sabtu-sabtu besok gak usah nunggu gue lagi deh, lo bisa kok nemuin gue diwaktu
lain kalau lo mau. Makasih ya buku-bukunya, oh iya, gue mau bilang elo bener
Shill, sejarah itu penting. Kalau kita gak tau sejarah, kita gak akan tahu
kehidupan kemarin itu gimana. Begitupun gue, kalau gue tetep pada pendirian
buat natap lurus kedepan, gue gak akan bisa koreksi diri dan hati gue kemarin.
Ternyata berkat masa lalu gue bisa salah gue apa, termasuk salah gue sama
Letisha. Cewek gue. Fyi, gue balikan sama dia. Sekarang gue berjanji sama dia
buat benerin apa yang salah sama gue di masa lalu. Gue sayang dia Shill, gue
gak mau move on :-p hehehe maaf ya jadi curhat. Thanks for all Saturday
afternoon ever I have with you, see ya my Shilla Gibran. Ur beloved fans,
Satrio ganteng.”
Dan, satu tetes bersama pasukan
lainya berjatuhan mengikuti.
**
Shilla berjalan pelan disepanjang
koridor. Masih bersama jawaban atas kesetiaanya ‘menunggu’. Menunggu seseorang
yang ternyata harus lagi ia nikmati sebatas namanya saja.
Ruangan bahasa. Jepitan beruang.
Cibiran Rio.
Ia berhenti, memperhatikan hujan
mulai menjamah bumi. Menghujam dua manusia berbeda di lapang saba. Rio dan
kekasihnya. Melempar tawa bersama pasukan air yang ternyata mereka suka.
Perpustakaan. Kahlil Gibran.
Shilla belum ingin menggantikan
fokusnya, hingga akhirnya Rio menemukan dirinya disebrang sana. Mengajak
Letisha melirik sosok yang sama. Keduanya melambaikan tangan dan tersenyum pada
Shilla.
Sejarah. Sabtu sore. Hujan.
**
Dan, Shilla mengirim senyumnya
lewat sabtu sore terakhir yang berhujan.
With
love,
@nitajulio_
Cerpen
amatir yang lagi-lagi dibuat dalam keadaan tidak tersangka.