Title: Lost in Amsterdam (A3)
Author: Nita Julio & Ruth Nirmala
*
Sebuah ruangan dengan aksen Skotlandia bercat abu-abu tua, kini dihuni oleh tiga
orang berbeda usia. Dua diantara mereka
menelusuri pajangan kaca berisi beberapa pasang pakaian pengantin.
Satu lagi, laki-laki berkacamata yang lebih tua dari mereka, mengambil
sebuah notepad di meja kerjanya, lalu
membubuhkan beberapa kata diatas lembar yang kosong dengan pena.
Laki-laki itu menghentikan gerakan jemarinya lantas melirik salah satu
tamu wanitanya,
"Jadi, Dara ingin gaun pengantin bertema Eropa tahun 80han,
ya?"
Adara, yang dimaksud laki-laki berkacamata tadi mengangguk dua kali.
"Iya Mas Danar."
Laki-laki berkacamata bernama Danar itu mencatat lagi beberapa kata di notepadnya, lalu ganti melirik seorang
pemuda dengan setelan polo t-shirt
putih, dibalut sebuah jas hitam yang sangat pas ditubuh jangkungnya.
"Kalau Antares mau yang bagaimana?"
Antares menoleh, "Ares saja, Mas." Kata pemuda itu menyebutkan
nama panggilannya.
"Saya sebenarnya... terserah Dara. Wanita biasanya selalu tahu yang terbaik untuk
masalah ini."Lanjut Ares seraya melirik Adara, kekasihnya, yang juga
tengah melempar senyum.
"Kalau EO nya sudah dapat?" Tanya Mas Danar lagi.
"Sudah." Jawab keduanya serempak.
Ares dan Adara menghampiri sofa yang terletak manis didekat meja
kerja Mas Danar, perancang busana menikah mereka.
“Terus kalian ngapain ke Belanda?Pernikahan kalian bukannya dua bulan
lagi?"
Ares memilih menjawab, "Untuk sekedar refreshing, Mas.Saya dan Dara tidak ingin terlalu terbebani dengan usia
pernikahan kita yang semakin dekat."
Adara tersenyum meng-iyakan ucapan kekasihnya.
"Hati-hati.Pamali calon
pengantin pergi jauh-jauh saat pernikahannya sebentar lagi."
Ares yang lahir di kota Bandung mengerti makna pamali yang di ucapkan partner
wedding gownnya itu.
Ares mengangguk paham atas kekhawatiran Mas Danar, hal itu juga acapkali
diutarakan teman-teman dan keluarganya. Tapi.. Ares menoleh pada
Adara, ia yakin bisa menjaga
calon istrinya.
Mas Danar selesai merampungkan beberapa point penting di notepadnya
lantas melirik lagi dua client muda
dihadapannya.
"Jadi kapan kalian ke Belanda?" Tanyanya.
Ares dan Adara saling melempar pandangan.
"Besok." Jawab mereka.
*
Adara sibuk packing perlengkapan travel mereka ke Belanda. Memang tidak
lama, mereka berencana menghabiskan waktu selama seminggu, karena ada pekerjaan
Ares yang tidak bisa berlama-lama ditinggalkan begitu saja.
Sementara kekasihnya, Ares, masih sibuk
merapikan beberapa paper pekerjaan
yang akan dibawanya juga ke Belanda, untuk dirampungkan. Ares berhenti dengan
kegiatan packingnya memilih
menghampiri Adara.
Ares sempat mengernyit
ketika kekasihnya menenggelamkan satu kantong kresek putih beras merah pada
koper mereka.
“Dara kita ini mau
liburan bukan camp, buat apa kamu
bawa-bawa banyak persediaan makanan?” Protes Ares ketika mendapati sekotak buah
naga yang juga menghuni koper kekasihnya.
Adara membuang nafas,
merasa Ares sangat keterlaluan karena melupakan kebiasaan dirinya satu bulan
terakhir ini.
“Kamu lupa, Res? Aku
kan nggak makan nasi putih sama
makanan berat lainnya. Aku lagi diet. Masa aku kelihatan gendut dihari
pernikahan kita?”
Ares menahan senyumnya.
Adara itu... selalu saja bisa membuatnya kesal juga membuatnya tidak bisa
berhenti tertawa. Kepolosan yang mendarah daging pada diri Adara sejak belia
juga menjadi salah satu alasan mengapa Ares sangat mencintai gadisnya, gadis
yang tiga tahun menjalin hubungan dengannya, dan sebentar lagi akan menjadi
istrinya.
Ares meraih kedua bahu
Adara dengan lembut, menatapnya seakan ia tidak pernah ingin kehilangan
gadisnya.
“Sayang, I love you just the way you are. Kamu
gak perlu jadi Adara yang sesempurna mungkin untuk tampil cantik diluar sana.
Cukup dengan kesederhanaan kamu saja Antares bisa jatuh cinta.”
Adara tersenyum malu.
Sepertinya Ares tengah menggombal. Seperti abg labil saja. Pikir Adara. Tapi..
Adara menyukainya. Ia selalu menyukai setiap pujian (maupun celaan yang
sebenarnya bahan candaan) yang Ares lontarkan kepadanya. Adara yakin dengan
segala perjalanan cinta, dengan segala sikap saling menerima mereka, ia dan
Ares akan menyusun cerita bahagia didepan sana.
Adara mencubit lengan
lalu meninju pelan dada bidang kekasihnya, “Gombalan kamu, sudah gak mempan
ditelinga aku. Jadi lebih baik diam saja!” katanya lalu menjulurkan lidah.
Ares terpaksa harus
mengalah, mengizinkan Adara membawa semua barang sesukanya. Dasar wanita,
selalu saja keras kepala. Batin Ares.
“Sayang, jangan lupa
minyak angin.” Seru Ares. Adara tidak menjawab, hanya mengacungkan sebotol
minyak angin lantas menaruhnya pada koper yang sama.
“P3K? Cardigan? Beani hat? Passport? Apalagi ya –“
Ares menimang sebentar,
mengingat benda-benda wajib yang harus ia bawa.
“Ah, obat maag kamu. Jangan lupa sayang..” sekotak
pil melayang didepan wajah Ares sebagai jawaban.
“Sayang!” seru Ares
belum menyerah.
Mata Adara membulat
kesal, lalu melirik Ares dengan tampang pongah.
“Apalagi?” katanya.
Ares tersenyum jahil.
“Hati aku, jangan lupa.” Yang sukses membuat kedua pipi Adara bersemu merah.
*
Perjalanan
Jakarta-Amsterdam, kota yang dipilih Ares dan Adara untuk liburan pra wedding mereka menghabiskan waktu
selama 14 jam. Ya, mereka menggunakan penerbangan langsung dengan maskapai
Garuda Indonesia tanpa transit terlebih dahulu.
Mereka tiba pukul 10.00
pagi, karena memilih penerbangan pada
dini hari. Bandara Schipol, Amsterdam
menyambut dua pasang mata milik Ares dan Adara. Kekaguman gadis disampingnya
tak henti-henti bahkan setelah Ares mencoleknya untuk segera bergegas pergi.
Adara bersikeras untuk
berfoto dengan latar belakang ikonik timbul Schipol,
Amsterdam airport. Katanya, “Kan biar
aku bisa posting di instagram, path, terus –“
Sementara Ares berjalan
lebih dulu meninggalkan kekasihnya yang mengerucutkan bibir kesal. Dasar udik. Cela Adara dalam hati.
Adara menyamakan
langkah kaki besar-besar milik Ares. Ares masih berkutat dengan gadget digenggamannya, juga berusaha
menulikan telinganya karena Adara terus saja menyeru manja.
“Ares! Kenapa gak ambil
beberapa foto dulu coba? Kan bisa aja ini terakhir kita mengunjungi Amsterdam!”
yang lantas dibalas pelototan Ares.
“Kamu.. jangan bicara
begitu. Kemanapun kamu mau pergi suatu saat nanti, Amsterdam lagi atau ujung
dunia pun selama kamu sama aku itu gak akan berakhir. Jadi jangan bawel.” Ujar
Ares.
Adara tidak menjawab
lagi. Ia sibuk mencela Ares dengan isyarat yang dibuat-buat.
“Tunggu sebentar
disini, ya. Tour guide kita sebentar
lagi datang.” Kata Ares. Oh. Adara bergugam, pasti kekasihnya sibuk ber-email ria dengan sitour guide. Awas saja kalau Ares membayar seorang wanita sebagai
Jasa traveling mereka.
“Excuss! Sir Antares?”
seorang lelaki paruh baya menghampiri Ares, sepertinya penduduk lokal Amsterdam
karena ia menyapa mereka dengan bahasa Belanda.
Ares mengangguk. Lalu
selanjutnya Adara hanya mendengar Ares menggumamkan sepotong nama.
Laki-laki itu
membimbing Ares dan Adara untuk mengikutinya.
“Follow me.”
Mereka memasuki sebuah
mobil, lalu bergegas membelah jalanan Ibukota Amsterdam.
*
Mereka akhirnya memilih
hotel Golden Tulip Amsterdam West
sebagai tempat beristirahat. Setelah tranksaksi dan semacamnya, mereka mendapat
dua kamar berbeda yang bersebelahan di lantai lima.
Ares lebih dulu
memasuki kamar Adara, membawakan koper gadisnya. Hotel mereka berada di pusat
kota, juga didekat De dam – Dam Square – atau alun-alun kota
Amsterdam. Dan setelah ini mereka berencana untuk mengunjungi De Dam sebagai tempat pertama untuk
mengisi list wisata mereka.
Sebenarnya, Adara
merasa sesuatu yang tidak baik tengah menjajah kekasihnya. Ares terlihat
sedikit pucat. Adara yakin kekasihnya tidak mungkin memiliki paranoid terhadap ketinggian udara.
Setelah meletakkan
ranselnya di atas ranjang, Adara berjalan menghampiri Ares yang masih sibuk
memindahkan koper didekat lemari. Adara menyentuh lengan Ares, tidak panas.
“Kenapa?” tanya Ares
pelan.
Adara menggeleng. Entah
karena perasaannya semata, tapi Adara semakin yakin bahwa Ares dalam keadaan
tidak baik-baik saja. Suaranya ketika menyahut sikap Adara terdengar lirih.
Atau... Ares masih menaruh dendam dengan sikap kekanak-kanakan Adara ketika di
Bandara? Pikir Adara.
Ares menoleh, mendapati
tatapan kekasihnya yang terlihat... terluka? Ares meraih kedua tangan Adara,
lalu membimbing profile cantik milik
Adara untuk menatapnya.
“Hey kenapa?” tanya
Ares pelan.
Adara menggeleng. Tapi
bagi Ares itu bukan jawaban yang ia harapkan. Ares tidak ambil pusing, ia juga
tidak ingin memaksa kekasihnya untuk menjawab. Ares sejurus memilih pilihan
ampuh untuk kerisauan yang ‘mungkin’ tengah dirasakan Adara. Merengkuhnya.
Menenggelamkan wajah cantik itu pada dada bidangnya.
Tapi Adara tetap tidak
merasakan aura ketenganan disana. Ia tidak tahu mengapa, sesuatu yang tidak
baik tiba-tiba berkelebat dalam pikirannya. Adara menggeleng keras-keras,
membuang segala pikiran buruk yang menjadi mozaik di otakknya. Ia memilih
membalas rengkuhan kekasihnya.
*
De
Dam
sangat ramai pagi itu. Beberapa turis dari mancanegara juga terlihat
berlalu-lalang dihadapan Ares dan Adara. Adara, yang untuk kesekian kali
mengambil alih perjalanan mereka menggenggam tangan Ares, tidak ingin
kehilangan.
Mereka menghampiri
beberapa seniman jalanan, juga sempat mengunjungiIstana Royal Palace of Amsterdam dan Museum Madame Tussauds yang juga berdiri kokoh mengapit alun-alun De Dam.
Adara tidak merasakan
bahwa genggaman tangan Ares melonggar. Gadis itu sibuk memberi makan
burung-burung merpati yang berkeliaran disekitarnya.
Adara hanya menyadari
ketika seseorang menyerukan namanya. Ares. Yang tiba-tiba sudah berada
disebrang berbeda. Ares berdiri disamping badut Micky Mouse, ternyata tidak
hanya di Disneyland badut Micky Mouse
berkeliaran. Pikir Adara.
Adara melihat Ares
hendak menyebrang lagi ke arahnya, sebelumnya sempat berbisik sesuatu pada si
badut, mungkin mengatakan bahwa badut itu jangan pergi kemana-mana. Adara juga
berjalan pada titik yang sama.
Tapi, tanpa di duga,
sebuah prahoto dengan kemudi cepat
membelah jalanan tepat ketika Ares berlari untuk menghampiri Adara.
Gadis itu tidak sempat
berteriak juga tidak sempat berlari, karena prahoto
di jalanan sana telah lebih dulu menghujam tubuh Ares. Kepala pemuda itu sempat
terbentur keras pada kap prahoto,
hingga Ares kini tergeletak dibibir jalan dengan darah yang tumpah dimana-mana.
Adara mengatup rapat
bibirnya. Didetik berikutnya, ia jatuh terduduk. Adara hanya mampu menggumam
lirih, “Ares..” dan satu tetes beserta pasukan lainnya luruh berkejaran.
Seorang gadis berambut
sebahu yang juga melihat kejadian didepan matanya berlari menghampiri Adara.
Gadis berambut sebahu
itu meraih bahu kanan Adara yang bergoncang hebat, “Are you ok?” tanyanya.
Adara tidak menjawab,
ia hanya menghambur memeluk gadis yang berjongkok dihadapannya, lalu bergumam,
“Please save him.”
Gadis berambut sebahu
itu berbisik pelan.
“Ik smeek je rustig.”
Saya
harap anda tenang. Ulang gadis itu dalam hati.
*
Althea, nama gadis berambut sebahu itu, dia mencoba menenangkan diri
dengan mengambil nafas, dan mengembuskannya perlahan. Meskipun bau anyir
juga merembes masuk kedalam indra penciumannya.
Sebelah tangannya masih merengkuh perempuan asing yang tadi merengkuhnya
secara tiba-tiba, dia tahu, perempuan ini pasti berhubungan dengan korban yang
sedang berlumuran darah dihadapannya sekarang.
Orang ini harus segera ditolong, teriak batinnya.
“Alstublieft!” teriaknya,
hingga mencuri perhatian orang-orang yang berlalu-lalang disana.Tidak
membutuhkan waktu lama, ambulance
segera datang, membawa tubuh Ares yang tergeletak tak berdaya.
*
Rumah Sakit Sint Lucas Andreas, Amsterdam. Menjadi tempat pertolongan
pertama Ares saat ini.
Adara, masih tidak percaya dengan apa yang terjadi dengan kekasihnya.
Apa memang pamali itu ada? dia hanya
bisa berdoa sekarang, berharap kekasihnya baik-baik saja.
Dia memandang gadis yang duduk disampingnya yang memandangnya dengan
tatapan cemas. “Is jy okay?” tanya
gadis itu dengan aksen belandanya.
Meskipun Adara masih panik setengah mati, dia masih sempat
mengingat kosa kata belanda yang diberikan tour
guide mereka, saat di hotel kemarin, “Het
spijt me, ik spreek gen Hollands.” Saya
tidak bisa bahasa Belanda,
ulangnya dalam
hati.
Gadis itu mengangguk tanda mengerti, “Are you okay?” dia mengulang pertanyaannya dalam bahasa Inggris.
Adara hanya mengangkat bahu, kemudian bergumam.“Tuhan,
apa salah kami berdua?”
Althea tidak sengaja mendengar gumaman gadis disampingnya ternyata orang
Indonesia, pantas saja.“Anda orang Indonesia?”
Adara mengangguk.Lidahnya sudah terlalu kelu untuk
berbicara.
Sekali lagi, Althea merengkuh gadis disampingnya.“Saya juga orang
Indonesia.Tenang saja, orang itu pasti akan selamat, Ayah saya yang
menanganinya. Dia dokter disini.”
Tak lama setelah itu, sosok pria paruh baya dengan tubuh sedikit tambun,
datang menghampiri mereka berdua.“Thea?Pemuda itu temanmu?”
Althea tidak tahu harus menjawab apa, toh dia juga tidak mengenalnya
kan? “Bagaimana keadaannya Dad?”
Dokter John, mengembuskan napas dengan tidak sabaran, membuat Adara yang sedari tadi diam, gelisah setengah mati.
“Benturan di kepalanya sangat serius.Mengenai otak bagian memory-nya.
Sejauh ini, diagnose saya mengatakan,
dia akan mengalami amnesia retrograde.
Dimana dia tidak bisa mengingat masa lalunya dengan baik.”
Setitik air mata lagi, jatuh dari pelupuk mata Adara, dengan sigap,
Althea merengkuh gadis yang terlihat rapuh itu sekali lagi.
“Bagaimana dia dapat sembuh Dad?”
Althea bertanya sekali lagi.
Dokter John, memandang anak semata wayangnya yang terlihat panik. “Semoga
saja dia dapat mengingat ingatannya kembali, sebelum satu bulan.Dia tidak
sepenuhnya lupa.Tenang saja.”
“Dank u Dad.”
Dokter John mengangguk.“Masuklah ke dalam, sebentar lagi dia akan
sadar.”
*
Althea dan Adara, memandang Antares yang sedang berbaring tak sadarkan
diri.“Dia itu, calon suamiku.Tujuan kami kesini adalah berlibur sebelum hari
pernikahan kami, tetapi yang terjadi malah seperti ini.”
Althea menepuk pundak gadis yang ada disampingnya.“Tidak
ada yang bisa menebak apa yang terjadi setelah ini.
Emm— kita belum berkenalan.
Saya Althea, dua puluh dua tahun.” Katanya sambil mengulurkan tangan.
“Saya Adara. Dua puluh empat tahun.”Ucapnya, sambil menjabat tangan
mungil Althea.
“Kakak sebaiknya membasuh wajah Kakak terlebih dahulu, menyegarkan diri,
jangan terlalu banyak pikiran.Percayalah, semua akan baik-baik saja.”
Adara memandang Thea ragu. “Tetapi Antares?”
“Saya akan menjaganya selagi Kakak membasuh muka.” ujar Althea tulus.
Dara mengangguk, berlalu dan memasuki toilet yang berada di dalam sana.
Dia merasa, sesuatu yang buruk akan terjadi setelah ini.
*
Antares merasakan pening menjalari kepalanya.Rasanya seperti mau
meledak.Dia mengerjapkan mata, hingga sosok nyata hadir di dalam
pandangannya.Cantik.
Dia tidak menghiraukan bau antiseptic
yang membuatnya mual, bahkan dia tidak sadar berada diruangan serba putih macam
kamar rumah sakit.Dia, memandangi
wajah cantik itu, dengan jantung berdebum halus.
Bayangan hitam kembali menghantui pikirannya, rengkuhan, juga canda tawa
yang dia lakukan bersama sebuah sosok, berambut sebahu dengan wajah oriental,
apa itu orang yang ada dihadapannya kini?
Entah apa yang mendorongnya, dia merengkuh gadis di hadapannya.
“Eh?” adalah reaksi alamiah yang dilakukan oleh Althea, kenapa pemuda
ini merengkuhnya? Bahkan memberikan kenyamanan tak kasat mata.
Adara yang sedari tadi mematung di depan pintu, mengerjap tidak percaya
dengan apa yang terjadi dihadapannya. Antares-memeluk-gadis-lain.
“Kamu siapa?” tanya Antares setelah melonggarkan pelukannya, pandangannya
beralih pada sosok yang ada dibelakang Althea.
Antares memandang dua gadis dihadapannya dengan lekat.Mereka mirip,
tetapi yang mana sosok itu?Dia menjambak surai hitamnya dengan tidak
sabaran.Sakit, rasanya sakit jika mencoba mengingat.
Tak lama setelah itu, Dokter John datang, dan menyuntikan sedativum pada tubuh Antares, membuatnya
sedikit tenang, lalu kembali terlelap.
“Saya harus memeriksanya lagi, ada yang salah dengan diagnose saya. Kalian bisa tunggu di
luar.” Putus Dokter John.
*
Althea tidak pernah merasakan ini sebelumnya, jantungnya
berdetak abnormal ketika pemuda itu merengkuhnya. Tidak.Pasti tadi dia hanya
kaget saja.
“Kak, maaf tadi itu… saya nggak tahu, kenapa Kak Antares peluk saya
tiba-tiba.Saya nggak maksud bikin Kakak sakit hati.”
Adara tersenyum miris, tidak menyangka dilupakan secepat
itu oleh orang yang ia cintai. “Tidak apa-apa.”Ucapnya mencoba tegar.
Tidak lama setelah itu, Dokter John keluar dengan tatapan mendung.“Ini
buruk.” ucapnya.
Kedua gadis dihadapannya memandangnya heran.
“Antares, dia menderita kanker otak stadium akhir. Dan, amnesia tadi
sebenarnya akan terjadi cepat atau lambat. Tetapi, kecelakaan itu membuat
kondisinya semakin buruk, dan ya, dia lupa ingatan.Jangan paksa dia untuk mengingat.”Jeda
sejenak, Dokter John mengembuskan napas.“Harapan hidupnya tinggal sebentar,
saya harap dia dapat memperoleh kenangan terindah, sebelum dia pergi dari dunia
ini.”
Adara kembali menintikan air mata, ini buruk, sangat
buruk bagi dirinya, tidak apa-apa dia dilupakan, tetapi kehilangan?Dia tidak
mau kehilangan Ares, tidak mau.
*
Antares sedikit mual, mungkin karena bau antiseptic yang terus-terusan
terbau oleh hidungnya.Kepalanya masih pening. Entah karena apa. Yang dia tahu,
namanya Antares, selebihnya dia tidak ingat.Aneh, gumamnya miris.
“Halo Ares, aku Adara, dan dia adalah Althea, kami temanmu.”Ucap seorang
gadis dengan sedikit gemetar.
Althea memandang Adara heran, kenapa gadis itu menyembunyikan hubungan
aslinya dengan si pemuda?
“Kenapa mengingat rasanya sakit?” gumam pemuda itu ambigu.
“Jangan dipaksa.Jangan dipaksa untuk mengingat.”Kata Adara lagi, menahan air matanya yang siap jatuh.
“Kalian yang menungguku disini?” tanya pemuda itu.
Kedua gadis dihadapannya mengangguk.
“Kamu, pulang saja, wajahmu pucat.Biar dia yang menjagaku disini.”Kata
Ares pada Dara, membuat Thea membulatkan mata.
“Tapi—“ belum sempat Thea mengutarakan pendapatnya, Dara menyahut.
“Tidak apa-apa, aku mau ke panginapan dulu.Titip Ares ya.”
Jika begini caranya, Thea ingin tubuhnya menghilang saja.Dia seperti
pengganggu hubungan orang.Gadis itu memilih diam, duduk di sofa paling
ujung.Tak berani menatap Antares yang dari tadi memandangnya nyalang.
“Kenapa menghindar?” tanya suara baritone itu.
Thea masih bergeming.
“Kalau kamu temanku kenapa kamu menghindar?”Pemuda itu bertanya sekali
lagi, kali ini dengan penuh penekanan.
“Tidak.”Sahut gadis itu singkat.
“Bawa aku melihat bunga tulip.”Pinta pemuda itu.Mau tidak mau, Thea
menurut saja, membawa Ares dengan bantuan kursi roda, dengan sebelah tangan
membawa infus pemuda itu.
Sedari tadi, Thea tidak berani memandang Ares, takut jatuh dengan pesona
pemuda itu, dia tahu, pemuda itu bukan miliknya, hampir beristri.Dia tidak
berhak untuk jatuh cinta padanya.
Dan, disinilah mereka.Taman belakang Rumah Sakit Sint Lucas Andreas,
tidak begitu luas, namun dipenuhi berbagai macam warna dari bunga tulip, bunga
khas Negara Belanda.
Ares memandang takjub, tidak menyangka ada tempat seindah ini di rumah
sakit, entah kenapa dia yakin, sosok itu adalah gadis ini.
“Boleh aku bertanya?” suara Ares membuat Thea melirik pemuda itu
sekilas.
“Boleh.”
“Apa bahasa Belanda aku cinta kamu?” tanya pemuda itu, tanpa
mengalihkan pandangan dari gadis disampingnya, sosok ayu yang sedang menikmati
semilir angin berembus.
“Ik hou van jou.”Jawabnya,
sambil menatap langit biru cerah dihadapan mereka.
“Sama aku juga.”Kata Ares sambil terkekeh.Mengambil tangan kanan Althea,
dan meletakannya pada dadanya.
“Dengar detak jantung ini kan? Aku percaya sosok yang muncul di tiap
pikiranku itu kamu.”
Sebuah rasa nyata yang seharusnya tidak pernah hadir pada tiap keping
hati yang ada disana, akhirnya datang.Ada rasa nyata, yang kembali membungkam
perasaan.
Ini salah.Teriak batin Thea dalam hati, gadis itu, mati-matian
menyangkal hatinya, dia tidak boleh jatuh cinta pada pria yang ada
dihadapannya.
Dengan sedikit kepayahan, Ares berdiri, merengkuh sosok mungil dihadapannya
untuk yang kedua kali, di sekeliling bunga tulip, dibawah langit yang sama,
dengan detak jantung bertempo sama, tanpa mereka sadari. Perasaan itu harusnya
tak pernah ada.
Di balik koridor Rumah Sakit, seorang gadis memandang penuh luka dua
insan yang baru saja dipanah oleh eros,
mencoba meyakinkan dirinya, bahwa dia akan merelakan, merelakan pria-nya
dengan gadis yang baru ia kenal.
*
“Tolong bahagiakan Ares.” Kata Dara, ketika Thea menutup pintu kamar
Ares.
“Maksud Kakak?” tanya Thea dengan menaikan sebelah alisnya.
“Aku tahu, Ares mencintaimu sekarang.
Kamu yang tergambar nyata dimata dan pikirannya, Althea.
Aku
tidak akan memaksa Ares untuk mengingatku jika bersama kamu dia bahagia. Dan aku akan bahagia jika melihat orang yang aku cintai
bahagia. Tolong, jadilah sosok Adara
baginya. Tolong wujudkan
keinginanku ini.”
Thea tidak tahu harus berkata apa. Dia tahu, dia tahu hatinya sekarang,
dia telah jatuh oleh pesona Antares, sejak pemuda itu merengkuhnya saat membuka
mata pertama kali.
Berkali-kali dia menyangkal, tetapi hatinya tidak bisa berbohong, dia
telah jatuh cinta. Dan hatinya terus ingin membuat Ares
bahagia, bahkan jauh sebelum Adara meminta.
“Tetapi, aku tidak mau menyakiti hati Kakak.” Ujar Thea, ketika dia
menyadari setitik air mata jatuh dari pelupuk Dara.
“Aku, tidak apa-apa Thea. Aku bahagia, jika kamu membuat Ares bahagia.” Thea menghambur memeluk Dara, tidak menyangka ada
perempuan berhati malaikat seperti gadis dihadapannya ini.
“Aku tidak bisa Kak, aku hanya ingin membantu kesembuhannya. Sampai
kapanpun dia akan tetap menjadi milikmu.” Kata Althea lirih, kembali menyangkal
hatinya.
*
Hari-hari setelah itu, terasa pahit bagi Dara, ketika melihat tawa Ares,
senyuman Ares, rengkuhan hangat itu… bukan lagi untuknya.
Rasanya sudah sangat jauh baginya, untuk kembali bersama pemuda itu,
bukan jarak nyata yang memisahkan mereka, tetapi jarak hati mereka.Seperti
berada dibelahan bumi berbeda.
Dia tahu, ini konsekuensi yang dia ambil, dia harusnya tahu merelakan
ternyata sesakit ini. Dia menatap miris, kemoterapi yang baru saja dijalani
Ares, bukan dia yang mendapinginya, tetapi Althea. Bukan tangannya yang di
genggam oleh Ares, tetapi Althea, keadaanya berubah.Dan dia harus sadar itu.
Ares menggenggam erat tangan Althea yang terasa hangat.
Kemoterapi membuatnya ingin
lenyap saja, injeksinya memang tidak seberapa, tetapi efeknya bisa membuatnya
gila.
“Tetaplah disini.” gumamnya
Membuat Althea menahan detak jantung yang telah berdetak menyalahi
aturan, mungkin kata sang ayah, ini kardiotonik
alami. Yang tidak dia dapatkan dari laki-laki manapun.
Sesaat setelah kemoterapi selesai, tangannya masih saja digenggam oleh
Ares, dia tidak tahu harus bersikap bagaimana pada pemuda dihadapannya.
“Aku cinta kamu.”
Lagi, pemuda itu membawa perasaan yang seharusnya tidak boleh ada,
perasaan yang sama yang dimiliki Althea sekarang. Gadis itu bungkam,
mengalihkan pandangan pada jendela kamar Ares.
“Kenapa diam?senyum dong! Jelek tahu.” ucap Ares, tidak tahan mencubit pipi tembam Thea
dengan tangan kanannya.
Thea hanya mengerucut kesal, menahan gejolak yang seharusnya tidak ada
disana, dia tahu, posisinya salah.
“Tersenyumlah, kamu cantik jika tersenyum.” Kata Ares lagi.
Membuat Althea tersenyum tipis, tidak tahan kedua pipinya merona.
Adara memandang miris.Kini, dihadapannya Thea dan Ares sedang bercanda,
Ares tersenyum lebar, sambil mengacak rambut Thea penuh sayang.Bahkan
tatapannya lebih hidup jika dibandingkan dengannya dulu. Membuat langkahnya
tertahan di depan pintu.
Ares memandang aneh, gadis yang dari tadi mematung di depan pintu, dia
menghentikan acakan rambutnya pada Thea yang sudah mengerucut menahan kesal.
Neutron otaknya kembali terhubung tiba-tiba, bayangan hitam itu memudar,
berganti sebuah adegan durasi pendek dengan menampilkan wajah yang jelas, tidak
lagi kabur, seperti waktu itu, Adara. Adara gadisnya.
Demi apapun, kepalanya sangat sakit.Dia merintih, membuat dua gadis
disekitarnya panik.Dia menjambak rambutnya dengan kasar.Berteriak-teriak
seperti orang kemasukan setan.Rasanya sangat sakit, asal kau tahu itu.
Dokter John kembali datang, menyuntikan diazepam pada lengan kanan pemuda itu, membuat pemuda bernama
Antares itu memejamkan mata tiba-tiba.
“Kondisinya memburuk, sel kanker membelah dengan sangat cepat, harapan
hidupnya semakin menipis.” Kata Dokter John, setelah memeriksa kondisi Antares.
Kedua gadis yang sama-sama mencintai Antares menangis bersamaan, tidak
menyangka pemuda tampan itu sedang berada diambang hidup dan mati.
*
Adara memandang nanar
langkah tergesa-gesa dari kaki-kaki manusia yang mulai mendekat ke arahnya.
Keluarganya dan keluarga Antares kini telah berdiri sempurna didepan matanya.
Adara tidak sanggup
menahan segala beban yang kini dialami hidupnya. Bayang-bayang sosok tinggi
Ares memakai jas pengantin, menyematkan cincin dijari manisnya, kini telah
hilang dalam sekejap mata.
Adara menghambur pada
pelukkan sang Mama, membiarkan tangis penuh luka itu berkejaran dengan pilu.
Sepotong adegan
mengharukan itu berhenti ketika kenop pintu kamar rawat Ares terbuka,
menampilkan sosok gadis berbeda dengan mata sembab serupa dengan Adara. Gadis
itu Althea.
Althea tersenyum lirih
tatkala dua keluarga itu sama-sama menatapnya penuh dengan tanda tanya, ia
bahkan sempat mendengar ucapan menyiratkan luka yang keluar dari bibir orangtua
Adara.
“Kamu itu calon
istrinya! Kenapa membiarkan wanita lain mengambil hati Ares dengan Cuma-Cuma?”
Lalu Althea benar-benar
ingin bergegas pergi darisana. Enggan mendengar kenyataan lain tentangnya.
Althea tahu, ia telah jatuh pada kisah cinta yang tidak pernah ia duga. Apa ia
salah mencintai Antares? Jika segalanya salah kenapa ia sulit untuk tidak
membiarkan rasa itu menghilang saja? Jika rasa cinta bisa diatur kehendaknya
oleh dia, tentu Althea tidak akan mencintai Antares. Mencintai Antares milik
Adara.
*
Antares merasakan pandangannya mengabur, meskipun dia masih bisa
menebak, siapa yang menunggunya saat terpuruk seperti ini, Adara dan Althea.Dua
gadis yang memberi warna berbeda dalam hidupnya.
Dia salah, mengumbar rasa cinta pada dua gadis yang berbeda.Dan dia
tidak bisa memilih salah satu dari mereka.Mereka sama-sama berarti, dan
sama-sama dia cintai.
Dia tahu, penyakit ganas itu akan menghabisinya sebentar lagi, dia juga
sudah tidak tahan berbagai sediaan obat merajai setiap tubuhnya. Dia menyerah.Dia
ingin menuju keabadian sekarang.
Tetapi, sebelum itu, dia ingin meminta maaf kepada dua gadis yang sedang
memandangnya lega.
“Adara.” Katanya lirih.
“Mendekatlah.”Sambungnya.
“Aku mencintaimu, aku telahmencoba mengingat semuanya.Maaf aku membuatmu sakit hati
akhir-akhir ini. Maaf aku sempat melupakanmu. Itu bukan
kesengajaanku.”
Antares bangkit dari
tempatnya berbaring, merengkuh gadis dihadapannya, tak menghiraukan alat-alat
medis yang menempel di tubuhnya, dengan senyuman lebar di wajah pucatnya.
Antares melonggarkan dekapannya, kemudian memandang Althea dengan sayu.“
Aku juga menyayangimu, Althea. Perasaanku bukan pura-pura.Semua memang benar adanya,
ketika pertama kali melihatmu saat tersadar. Terimakasih telah memberikan warna baru dalam hidupku.”
Ares menggenggam kedua
tangan Althea, tanpa
menghilangkan senyumnya. Setelah melepas genggaman tangannya pada kedua tangan Althea, Antares kembali berkata, “Aku salah.
Aku tidak bisa memilih salah
satu dari kalian. Aku tidak pantas.
Aku bahkan tidak pantas hidup
pada dimensi yang sama dengan kalian.”
Kedua gadis dihadapannya menangis pilu.
“Carilah laki-laki yang
lebih baik dari aku.” Katanya, kemudian melirik Elektrokardiogram yang ada
disampingnya. “Aku sudah tidak butuh alat itu.”
Gumamnya lirih.
“Aku lelah.Aku ingin tidur, Ik hou
van jou, Tot ziens, Hartelijk dank.”
Setelah itu, mata Ares
tertutup rapat, dia menghembuskan nafas untuk yang terakhir kali, seiring Elektrokardiogram yang kini telah
menujukan garis lurus. Pertanda, jiwa Ares telah menuju Sang Pencipta.
“Semoga kamu bahagia disana Ares, aku selalu mencintaimu.” gumam Adara
lirih. Setidaknya, dia tahu, Ares masih mencintainya.Dan
mengingatnya disaat terakhir.
“Goede reis,Ik hou ook van jou.” gumam Althea.Dia tidak menyangka akhir
cintanya akan secepat ini, singkat, tetapi tidak akan terlupa. Selamat jalan, aku juga mencintaimu.Ulangnya
dalam hati.
Adara melirik Althea
yang tidak sanggup menahan air matanya, lalu berkata pelan, “Apa ada yang lebih
terluka dari seorang gadis yang kehilangan calon suaminya?”
Adara menyentuh bahu
Althea, “Saya tahu, kamu juga terluka. Tapi saya berharap, jadilah Althea
dengan senyum yang sama ketika mata Ares pertamakali terbuka. Jangan pernah
berpikir takdir mempermainkan kita. Kita, mungkin cinta terakhir bagi Ares. Tapi
jangan jadikan Ares cinta terakhir buat kita. Kamu adalah bagian dari diri
saya. Jadilah wanita yang tegar.”
Adara, sekali lagi
memandangi seonggok manusia yang terbujur kaku didepan matanya. Lalu bergegas
pergi, membimbing tangan Althea bersamanya.
Kematian adalah hal yang tidak bisa dilepas pada kehidupan manusia,
bagaimanapun cara mengelak, dan sejauh apapun berlari menentang takdir, ia akan
tetap menemukan, dan terus menjadi pemenang, seperti takdir Antares sekarang.
THE END
Dan finally! Ini karya
kolaborasi kedua saya dengan agen Solo –pemilik pipi bolong– bernama Ruth
Nirmala! :-D akhirnya kami bisa merampungkan ‘random collab sad ending' ini dalam dua hari
(termasuk revisi, re-sent dan beberapa perdebatan lucu mengenai setting dan
alur yang mengharukan di inbox) HAHAHA. Enjoy it Readdarlings! Hakunanitama!
Silahkan baca cerpen
kolaborasi kami yang lain disini:
Regard, victim of writesyndrome
@nitajulio_