Distance (cerpen)

Diposting oleh Nita Julianti Sukandar Putri 0 komentar

Tittle: Distance
Author: Nita Julio

*
Tik tok tik tok         
Sebentar lagi, pasti aku akan mendengar...
“Anna! Piring sudah kamu cuci belum?” kan, dugaanku tidak melesat sedikitpun. Suara Mama dengan lantang menyusuri setiap gelombang udara.
Aku cepat-cepat mengangguk meski Mama tidak melihatnya. Lalu balas berteriak, “Sudah Ma!” meski sebenarnya tidak sopan berteriak seperti itu.
“Anna, Arnold sudah disuruh pulang belum?” kali ini Mama benar-benar keterlaluan. Mengganggu kegiatanku saja. Arnold, adik laki-lakiku yang berumur 12 tahun. Bocah itu acapkali merepotkanku atas jadwal mainnya yang melewati batas. Dan karena itu, aku harus dengan rela meninggalkan layar komputer yang menampilkan deretan nama pemilik akun jejaring sosial, teman dunia maya yang tengah berdiskusi hebat di forum yang sama.
“Anna!”
Karena tidak mendapat respon dariku, rupanya Mama kini sudah berdiri di mulut pintu dengan celemek yang masih terpatri di tubuh tambunnya. Ia melotot ke arahku lalu melirik layar komputerku. Dengan gerak cepat, aku menshutdown komputer lalu bergegas keluar kamar untuk menjemput Arnold.
**
Aku menarik kerah kaus adik laki-laki satu-satunya paling nakal bernama Arnold. Lantas aku menyerahkan Arnold kepada Mama, biarkan Arnold di eksekusi sesuka Mama. Sebelum benar-benar berlari menuju kamar, aku berbisik ditelinga Mama.
“Arnold main PS terus Ma!” yang sukses dihadiahi pukulan meleset dari Arnold.
Aku bergegas menuju kamar, kembali menturnon komputer, aku masih sempat tersenyum kecil ketika mendengar wejangan Mama pada adik semata wayangku itu, kasihan juga.
Aku kembali menyorot bagian beranda, ketika berhasil log in pada akun sosial media yang akhir-akhir ini banyak mencuri perhatianku, facebook. Sebenarnya, aku tidak terlalu menyukai hal yang berupa menghabiskan waktu di depan komputer. Namun, akhir-akhir ini, setelah aku bergabung pada satu forum menulis disana, semangatku jadi menggebu-gebu untuk terus mengikuti perkembangan.
Komunitas Bisa Menulis adalah forum sharing bagi orang-orang penyuka dunia tulis, termasuk aku. Member disana sudah mencapai dua ribuan, tapi tidak semua aktif, hanya beberapa member yang acapkali ikut bergabung, sekedar sharing puisi, cerpen baru mereka, atau hanya sekedar ikut berkomentar.
Dan karena hanya beberapa yang selalu terlihat aktif, aku menjadi hafal pemilik-pemilik akun disana. Salah satunya adalah Dio.
Aku tidak mengerti awal mula perkenalan kami. Hanya saja, Dio acapkali memposting puisi-puisi miliknya di dinding grup, dan aku tidak tahan untuk tidak menyelipkan komentar dibawah postingannya.
Lalu, setiap hari seperti itu. Dio dan aku bahkan sering bertukar komentar di postingan masing-masing. Dan satu potong komentarnya yang selalu kuingat sampai saat ini adalah..
Kamu seperti mampu menghidupkan sebuah cerita yang semula tidak ada, Anna. Great poem! Terus berkarya :)
Dan aku tidak tahan untuk tidak tersenyum.
**
Semakin hari aku semakin sering menghabiskan waktu didepan komputer. Aku kebetulan baru saja lulus di tingkat SMA, dan berbulan-bulan harus rela menjadi manusia pengangguran untuk menunggu waktu masuk kuliah.
Mama sempat menyarankan aku ikut beberapa kursus untuk mengisi waktu luang, tapi aku menolak. Bukan karena tidak ingin, aku hanya takut tidak punya waktu untuk menyapa teman-teman di forum KBM, terutama Dio. Ah! Anna! Kenapa tiba-tiba memikirkan Dio?
Aku seperti terkena sengatan setiap bertukar kata dengan Dio, namun rasanya menyenangkan. Dio orang yang sangat humble, dia tidak basa-basi dan sangat dewasa. Dia juga member yang paling pintar di antara member yang lain. Dan tidak salah ia selalu memberi saran dan kritikan membangun pada setiap puisi kami.
Hampir empat bulan kami saling mengenal di dunia maya, tepatnya di forum KBM. Benar, aku hanya berkomunikasi dengan Dio di forum itu. Kami tidak berteman di akun masing-masing. Aku tidak melayangkan friend request dan sebaliknya.
Tapi bagiku, bertukar kata dengannya meski beberapa kata dalam satu hari seperti sebuah keharusan, jika tidak, aku akan merasa hidupku tidak lengkap. Iya, aku memang terlihat berlebihan, tapi mau bagaimana lagi, Dio terlalu menganggumkan untuk tidak dihiraukan.
Sampai pada suatu hari, ketika aku melakukan kegiatan serupa, menjemput Arnold, aku merasakan ponselku yang kuberi profile vibrate only bergetar menggelitik kantung celana jeansku. Aku hampir tercengang mendapati sebuah notification berupa 1 new friend request, dan user account itu bernama Dio Fauzi Gibran. Aku hampir menjerit ditempat jika Arnold tidak berjalan disamping.
Tidak menunggu waktu lama, aku menyorot bagian accept dan aku resmi berteman dengan Dio secara pribadi, bukan hanya sebagai member di forum yang sama.
**
Semakin hari aku semakin tidak bisa lepas dari forum itu. Terlebih, aku sebenarnya sudah resmi menjadi secret stalker Dio. Ya, sejak kami berteman dengan akun masing-masing, Dio lebih sering menyapa dan memberi komentar untuk beberapa karya yang masih sempat aku posting di forum KBMlewat chat inbox dibanding memberi komentar dibawahnya.
Beberapa hari setelah kami berteman, aku menelusuri profile Dio. Rupanya dia empat tahun lebih tua dariku. Kata Dio, Ya, ketika aku mencoba bertanya lewat history chat yang belum kuhapus. Dio sempat bercerita (meskipun aku tidak meminta) bahwa dia merupakan mahasiswa semester tingkat akhir di salah satu perguruan tinggi di tempat tinggalnya, Kalimantan. Aku sempat bergidik mendengar kata Kalimantan, tidak membayangkan sejauh apa jarak antara Jawa Barat – Kalimantan.
Aku sempat bingung darimana Dio belajar sastra, sedangkan ia sempat menambahkan informasi lain bahwa ia sedang di jurusan matematika murni.
Matematika... tidak terlalu buruk karena aku cukup menyukai mata pelajaran yang satu itu sejak SMA. Jadi aku dan Dio sudah terlihat cocok, kan? Kami sama-sama penyuka sastra dan matematika. Eh? Kenapa aku jadi berpikir sejauh ini?
Lamunanku tersita ketika chat room berdenyut-denyut, aku segera menyorot bagian message dan mendapati pesan baru dari Dio.
Dio Fauzi  G : Belum tidur Anna?
Aku bersumpah tidak bisa berhenti tersenyum. Aku melirik lagi potongan kalimat dari Dio, lantas melirik jam weker di meja belajar, pukul 22.45, pantas saja Dio mengirimkan pertanyaan semacam itu.
Dio Fauzi G : Sudah larut malam dek, cepat tidur :)
Aku melirik lagi new message lain dari Dio. Aku sempat mengutuk diri karena terlalu banyak melamun sehingga lupa membalas chat yang masih berdenyut-denyut.
Anna Yustina : Belum ngantuk. Kakak?
Dio Fauzi G   : Ini jam saya merampungkan tugas :)
Anna Yustina : Ada tugas kuliah?
Dio Fauzi G   : Ya. :)Tbh, saya sebenarnya gak suka angka.
Aku mengernyit membaca potongan chat berikutnya yang Dio kirimkan, tidak menyukai angka? Lantas kenapa Dio bisa bertahan hingga semester akhir dengan matematika? Aku tidak ambil pusing terlalu lama lantas kembali membalasnya.
Anna Yustina : Memangnya kenapa dengan angka?
Dio Fauzi G   : Karena angka membuat hidup serba perhitungan.
Aku hampir tertawa membaca potongan chat berikutnya, tapi aku benarkan juga. Angka membuat hidup serba perhitungan. Sekarang aku hanya bisa menyimpulkan bahwa ‘kata’ sepertinya obat mujarab bagi Dio untuk tetap waras menghadapi angka-angka.
Anna Yustina : Hahaha kakak benar! Memang selalu bisa ya! :p
Dio Fauzi G  : Saya juaranya :p Anna, kakak boleh minta sesuatu?
Hatiku tiba-tiba berdesir hangat. Apa yang Dio minta sebenarnya? Kenapa terlihat serius sekali?
Anna Yustina : Minta apa kak? Kalau sesuatunya Syahrini aku gak punya.
Aku sedikit menambahkan lelucon, agar tidak terlalu serius.
Dio Fauzi G  : Skor 1-1 deh. Kamu bisa bercanda juga :p saya minta nomor handphone boleh?
Kalian boleh percaya atau tidak, tapi aku tiba-tiba saja melonjak kegirangan dari atas ranjang. Hal yang tidak pernah aku duga tiba-tiba muncul ke permukaan.
Aku menunda buncahan menyenangkan itu lantas kembali merespon chat Dio, tak lupa membubuhkan nomor telepon disana.
Anna Yustina : With my pleasure kak, 08989xxx :D
Dio lantas membalas lagi dan itu menjadi potongan chat terakhir kami malam ini.
Dio Fauzi G  : Thanks. Saya ada puisi penghantar tidur untuk kamu, di salin dan simpan di catatan ponsel ya :)
Lembayung senja menghantarkan jingga di cakrawala
Aku menemukanmu duduk menepi dibawahnya
Dua mata ini, enggan berpindah dari pahatan indah sang pencipta
Karena kamu satu-satunya, tidak ada dua di dunia
Dan aku tidak pernah ingin kehilangan eloknya
Selamat malam Anna :)
**

Aku tidak bisa berbohong lebih lama lagi. Aku benar-benar jatuh cinta pada sosok semu yang terlalu nyata dihatiku. Dio. Meski aku tahu, semua ini terdengar seperti sebuah lelucon tidak masuk akal bagi sebagian orang, tetapi bagiku, semuanya sah-sah saja. Aku sudah kepalang yakin bahwa Dio adalah orang yang sangat tepat untukku.
Dio dewasa, Dio pintar, Dio perhatian. Dio adalah sosok yang selama ini selalu aku impikan. Dio seperti sosok pujaan yang acapkali aku ciptakan dalam setiap cerita-cerita serta puisi-puisiku. Dio merupakan jelmaan dari setiap inspirasi menulisku.
Iya, aku jatuh cinta. Entah dia. Semuanya terlalu rumit untuk aku jelaskan secara gamblang. Aku tidak tahu perasaan Dio seperti apa untuk seorang Anna sepertiku. Hanya saja, aku menemukan sebuah kepastian dalam setiap kata yang dia utarakan lewat pesannya.
Setiap kata... yang ia bubuhkan seolah memiliki nadi. Aku seperti yakin bahwa ia ada disini. Sosok Dio yang selama ini hanya berupa sebuah nama di forum Komunitas Bisa Menulis kini bukan hanya sebuah nama di pikiranku, tapi nama yang hidup dihatiku.
Entah sejak kapan aku juga tidak pernah tahu, yang aku tahu hanya aku selalu terlalu nyaman bertukar kata dengannya, aku terlalu nyaman berbicara panjang lebar dengannya (Iya, sejak bertukar nomor kami akhirnya tidak jarang mengobrol lewat telepon).
Dan entah sejak kapan hari itu tiba-tiba saja ada, ia mengatakan sebuah kata yang lantas menjadi adiksi memambukkan. Ia mengatakan kata yang ternyata diam-diam aku harapkan. Ia memilihku, ia mengajakku menyusun cerita baru bersamanya dalam sebuah cerita cinta. Iya, Dio memintaku menjadi kekasihnya, dan aku sudah pastikan bahwa aku menerimanya.
Suatu malam, ponselku bergetar. Aku tahu bahwa itu tanda Ping!!! pada blackberry messenger, aku lantas merunning aplikasi BBM, ternyata itu Dio. Aku tidak menemukan kalimat disana, hanya tiga tanda ping dan sebuah Voice note yang dilampirkan.
Entah kenapa aku merasakan desiran hangat tatkala mencoba mendengarkan pesan suara Dio. Benar saja, tidak lama sebuah melodi dari keyboard menyapa gendang telingaku. Nada yang cukup asing. Tidak berselang lama, sebuah suara bariton mulai menyahuti nada-nada yang tercipta darisana, suara Dio.
Aku merasakan aliran darahku berpacu hangat dan cepat mendengar sebuah lantunan lagu pertama dari Dio.
Always said I would know where to find love,
Always thought I'd be ready and strong enough,
But some times I just felt I could give up.
But you came and you changed my whole world now,
I'm somewhere I've never been before.
Now I see, what love means.

It's so unbelievable,
And I don't want to let it go,
Something so beautiful,
Flowing down like a waterfall.
I feel like you've always been,
Forever a part of me.
And it's so unbelievable to finally be in love,
Somewhere I'd never thought I'd be.

In my heart, in my head, it's so clear now,
Hold my hand you've got nothing to fear now,
I was lost and you've rescued me somehow-.
I'm alive, I'm in love you complete me,
And I've never been here before.
Now I see, what love means

Aku mendengarkan hingga koda yang Dio bubuhkan. Aku hampir saja melayang jika Dio tidak segera mengirim pesan lain, juga lirik lengkap dari lagu yang baru saja ia nyanyikan. Lagu lawas milik Craig David berjudul Unbelievable, menggambarkan perasaan yang datang tidak terduga.
Dio Fauzi Gibran
Busy
Seluruh isi hati saya sudah diwakili dalam lirik. You came and you changed my whole world now, and it's so unbelievable to finally be in love, yea in love with you, Anna :) So, would you be mine?
Aku tidak perlu menjawab karena aku sudah berkata, aku pastikan aku menerimanya.
**
Akhirnya, sampai pada minggu keempat aku berhasil menjalani hubungan dengan Dio dalam jarak yang kasat mata. Meskipun kami jarang menyinggung masalah ini, tapi tetap saja salah satu diantara kami terkadang terlalu lupa untuk tidak mengatakannya.
Aku masih menjadi Anna yang biasanya, menjadi secret stalker Dio meski pemuda itu kini bahkan sudah resmi menjadi pacarku.
Sejak kami sibuk menghabiskan waktu berdua, kami secara langsung vakum dari forum Komunitas Bisa Menulis, aku dan Dio sangat jarang menulis postingan puisi atau memberi komentar disana. Sempat ada beberapa postingan yang menanyakan keberadaan Dio dan aku, yang aku tahu, beberapa jam berikutnya Dio menuliskan sebuah komentar disana bahwa ia sedang sibuk merampungkan tugas skripsi.
Aku sedikit tidak enak dengan menjadi member pasif seperti ini, seolah aku telah merenggut Dio sang guru besar-komentator yang selama ini mereka miliki. Tapi Dio selalu berkata bahwa bukan berarti semuanya sudah berakhir begitu saja. Meski aku dan Dio akhirnya menjadi satu, aku tetap tidak akan lupa bahwa perkenalan kami bermula di forum sana.
Sampai suatu hari....
Aku jenuh. Aku jenuh dengan keadaan monoton seperti ini. Setiap hari, selama satu bulan lebih terakhir ini aku dan Dio hanya bertukar kata lewat pesan, mengobrol beberapa percakapan, bertukar puisi dan bertukar komentar. Hanya seperti itu saja.
Aku seolah terdasar dari tidur panjang, aku dan Dio tidak berpijak di tanah yang sama, bahkan tanah yang kami pijak terlalu jauh untuk berusaha di dekatkan. Aku baru tersadar bahwa aku dan Dio hanya menyusun cerita cinta di atas sebuah kisah yang maya.
Aku mencintainya. Sungguh. Aku benar-benar terlalu jatuh kepadanya. Tapi entah mengapa sesuatu yang dulu berdetak-detak menyalahi aturan di dalam hatiku kini perlahan menghilang.
Aku merasakan sebuah perasaan aneh ini ketika melihat postingan terbaru Dio di dinding profilenya, seolah menyiratkan tetaki dalam yang harus aku pecahkan.
Aku telah menemukanku..
Kepingan di dalam anganku.
Aku menggalimu sedalam yang aku bisa..
Kepingan itu di sudut yang berbeda.
Semuanya telah tersusun rapi
Hingga suatu hari aku mencoba menepi
Aku tidak melihat apapun disini
Hanya ada hati, tidak ada jiwa
Aku menggalimu sedalam yang aku bisa..
Kepingan itu masih berada di sudut yang berbeda.

Dan aku mengerti apa artinya. Dio telah menemukan hati yang dia pilih, tapi dia tidak menemukan jiwa dari pemilik hatinya. Ia terlalu dangkal, terlalu jauh hingga Dio berada di antara kebingungan untuk terus berjalan atau tidak mempertahankan.
Dan aku kemudian mengerti, karena aku juga merasakan hal yang sama pada akhirnya.
**
Tanpamu, langit tak berbintang..
Tanpamu, hampa yang kurasa..
Seandainya jarak tiada berarti
Akan ku arungi ruang dan waktu
Dalam sekejap saja
Seandainya sang waktu dapat mengerti
Takkan ada rindu yang terus mengganggu
Kau akan kembali bersamaku..
Lagu LDR dari Raissa mengalun dari layar komputerku. Aku sempat mengumpat mencela liriknya karena terlalu gamblang menggambarkan kisahku.
Aku tidak berlama-lama terbawa dalam suasana mellow karena suara memekakkan telinga milik Arnold tiba-tiba saja terhantar gelombang udara hingga menyapa telingaku.
“Teteh!” Arnold berteriak.
Aku menoleh dengan malas, hanya mengarahkan dagu untuk merespon Arnold.
Arnold mengangkat benda yang tidak asing di genggaman tangannya. Ponselku! Aku hampir lupa bahwa telah meninggalkan ponselku di kamar mandi selama satu hari ini.
Arnold melirik ponselku sekali lagi, “Hape teteh bunyi terus di kamar mandi. Kayaknya yang telepon pacar teteh deh, soalnya nama kontaknya
Aku cepat-cepat berlari dan membekap mulut Arnold sebelum bocah itu melanjutkan ucapannya. Aku meraih ponselku dengan kasar, lantas mendorong tubuh Arnold yang masih berdiri dibibir pintu untuk keluar.
Ponselku kembali berbunyi, menampilkan nama “A lovely Distance”. Pantas saja Arnold benari menyebutkan bahwa itu pacarku, Arnold cukup pintar bahasa Inggris, bocah itu pasti mengerti arti dari lovely disana.
Aku menghela nafas, nada dering ponselku terus berteriak meminta di respon. Akhirnya dengan perasaan tidak keruan, aku menerima telepon dari Dio.
“Hallo.” Ucapku tenang.
“Hai.”
Rupanya hatiku masih berdesir mendengar suaranya. Aku tidak menjawab lagi, Dio akhirnya berdehem, melanjutkan.
“Apa kabar Anna?”
Apa kabar. Ulangku dalam hati. Memang selama dua minggu ini aku tidak melakukan komunikasi apapun dengan Dio. Kali terakhir, Dio hanya memberi kabar bahwa dia akan sangat sibuk merampungkan tahap akhir skripsi, dan hari rabu kemarin, Dio sudah di wisuda. Aku tahu, iya tahu rasanya sangat disayangkan tidak hadir ketika Dio mendapat gelar sarjana.
Dio kembali berdehem.
“Apa kabar Anna?” Ulangnya.
Aku menghela nafas berat.
“Baik. Kakak?”
“Sangat baik.”
Aku menggaruk pelipis yang tidak gatal, meski yakin Dio tidak akan tahu.
“Selamat untuk kelulusan kakak! Selamat menjadi sarjana.”
Dio terdengar menghela nafas, “Terimakasih Anna. Kamu juga sukses untuk selanjutnya.”
“Ya.” Jawabku singkat.
Setelah itu hanya hening beberapa menit. Aku sibuk dengan pikiranku, meski masih harap-harap cemas mendengar kalimat selanjutnya dari Dio.
“Anna..” panggil Dio pelan. Aku kembali membetulkan posisiku, membalas dengan “hmm” kecil.
“Saya akan semakin jauh dengan kamu.” Katanya telak.
Aku tidak mengerti makna sebenarnya dari kalimat itu. Tetapi, sebuah kemungkinan dalam imajinasiku bekerja liar sehingga aku harus menahan rasa sesak yang tiba-tiba menyerang.
“Anna saya tahu kamu pasti
“Kak..” aku dengan tidak sopan memotong percakapan.
I don’t need yours. Aku tidak butuh apa-apa milik kakak, jangan berpikir aku akan marah atau aku akan cengeng seperti anak kecil.”
Dio belum menjawab. Akhirnya, aku berani melanjutnya semua yang telah mengganjal di hatiku.
“Jarak aja sudah gak mengizinkan kita bersama. Apa yang harus kita paksakan hanya karena sebuah rasa? Aku harap kakak bisa mengerti maksud aku, karena aku udah ngerti maksud kakak jauh sebelum ini.”
Dio terdengar mendesah di sebrang sana, lalu aku kembali bungkam karena kini ganti Dio yang membuka suara.
“Anna, saya harus ke Jepang. Melanjutkan study magister saya disana. Beasiswa itu, yang pernah saya ceritakan ke kamu, saya dapat.”
Rasa sesak yang sejak tadi menghimpit hatiku perlahan memudar, memang tidak seberapa, tapi rasanya sedikit melegakan.
“Berapa IPK kakak?” tanyaku, aku sudah tidak peduli pernyataanku sebelum ini.
“Tidak besar, 3,7.”
Aku menelan ludah, 3,7 dia bilang tidak besar? Aku menggeleng pelan lantas menggertak pelan.
“Itu nyaris sempurna kakak!”
Aku mendengar Dio tertawa disana. Suara tawa itu, masih juga membuat debaran di hatiku.
“Jadi?”
Aku mengernyit heran.
“Jadi apa?” ulangku.
“Bagaimana dengan kita?” katanya lagi.
Aku bergidik mendengar kata ‘kita’ darinya. Kenapa harus bertanya padaku? Demi nirwana, aku tidak pernah tahu jawabannya.
“Saya sudah non aktif semua akun sosial media saya.”
Hah? Kali ini mataku membulat kaget. Kenapa harus? Oh aku tahu. Menjauhlah.. kalau itu memang pilihanmu. Batinku sarkatis.
“Jangan berpikir negatif, Anna. Saya hanya ingin kamu melanjutkan mimpi kamu tanpa ada halangan apapun dari saya.”
Aku mengerling. Sekarang Dio sudah bisa membaca pikiran orang lain ternyata?  Aku lagi-lagi mencibir tak kasat mata.
“Jadilah Anna yang hebat jauh sebelum kamu mengenal saya. Saya yakin kamu bisa, karena disini juga saya akan mencobanya.”
Aku tidak tahan karena Dio terus berucap sesukanya tanpa mengizinkan aku merespon apa-apa.
“Jangan tunggu saya.”
Sungguh. Seolah ada aliran listrik ribuan volt yang tiba-tiba menyerang seluruh tubuhku. Dio mengucapkan kalimat terakhir dengan sangat tenang? Sementara aku disini sudah hampir memuai?
“Anna?”
“Ya?” aku hanya spontan merespon itu karena pasukan air mata sudah merembes jatuh melalui pipi pualamku.
“Jangan tunggu saya.” ulangnya lagi.
“Kenapa?” adalah spontan yang kedua kali aku ucapkan. Aku bahkan memukul kepalaku sendiri karena telah salah membubuhkan kata.
“Karena kamu punya masa depan yang lebih baik daripada hanya menunggu saya. Kamu percaya perimbon jodoh tidak akan kemana, kan?” kata Dio.
Aku menggangguk dari jauh. Dio sepertinya tahu jawabanku karena kemudian ia kembali melanjutkan.
“Karena kalau jodoh, tanpa menunggu saya pun, kamu, lebih tepatnya kita, akan bertemu di lain masa dengan cara tak terduga. Dan bagi saya, meminta kamu menunggu itu hanya seperti memerintahmu untuk berenang mengejar saya menuju palung laut. Jika kamu sudah berenang pada kedalaman yang paling dasar, saya tidak yakin kamu bisa kembali ke permukaan. Karena itu saya tidak ingin menyia-nyiakan kamu dengan harapan.”
Aku nyaris jatuh jika tidak ada ranjang yang siap menopang. Seperti yang pernah aku katakan sebelumnya, Dio terlalu menganggumkan untuk tidak di hiraukan.
Aku akhirnya mengangguk keras-keras. Meyakinkan ucapan Dio untuk menjadi sebuah kebenaran. Aku mencoba mengukir senyum, memulai hariku yang baru tanpa ada bayangan semu lagi dihidupku.
Tidak ada percakapan lagi di antara kami karena itu sudah dua hari yang lalu. Aku sudah memutuskan hubunganku dengan Dio, tepat sehari setelah aku mengirim sebuah puisi penghantar mimpi panjang untuknya di Jepang.

Malamku tidak lagi kelabu meski tidak ada kamu
Hariku tidak lagi terasa semu karena aku harus maju
Katamu, “Aku tidak perlu menunggu.”
Aku tidak akan menunggu,
Aku tidak akan menunggu kamu.
Aku tidak akan menunggu harapanku,
Aku akan mencari mimpiku, seperti kamu mencari mimpimu
Aku akan melakukan itu, untuk lebih pantas di lain waktu
Kepakkan sayapmu, terbanglah taklukan waktu
Dengarkan; aku tidak akan menunggumu,
Aku tidak akan menunggumu..

Karena aku yakin suatu hari kita pasti bertemu.

For you, A best part of my life, Dio Fauzi Gibran.

- The end - 

And there is! Finally akhirnya saya bisa merampungkan cerpen-seret ide banget-ini. Ini adalah cerpen request teman saya, mengutip sedikit kisah tentangnya (I am true? :P). Dan parahnya, cerpen ini sudah masuk list request untuk waktu yang sangat lamaaaaaa! Tapi, karena saya sibuk dengan segala macam tetek bengek ospek etc or we could embrance those KULIAH, jadi cerpen ini juga harus mengalami masa pending untuk waktu beberapa minggu. Saya seperti penulis yang di kejar deadline, akhirnya mengambil pilihan menulis maraton hingga dini hari untuk menyelesaikannya (Dan entah kenapa, ide gila selalu muncul di tengah malam). Last of all, enjoy read this new bad short story, especially for my friend, who excited for the complete of it, Nuryustinah :P I'm so sorry for the bad quality of mine. You know, I still learn same such as y'all.
Enjoy it readdarlings! Salam hakunanitama!

Regard, a victim of writesyndrome,
@nitajulio_

 Ps: Picture source from tumbrl//edited by me.


 

Gema Aksara✎ Template by Ipietoon Blogger Template | Gift Idea