Puzzle Pieces (Cerpen) - Flash fiction

Diposting oleh Nita Julianti Sukandar Putri 0 komentar


Puzzle pieces
oleh: Nita J. 
“Arin ya?” Adalah sebuah pertanyaan paling menyebalkan yang mampir ke telingaku saat ini. Diutarakan oleh oknum penabrak yang nyaris menghancurkan laporan kerjaku. Aku tidak mengindahkan pertanyaannya, hanya mengumpat karena kesal, lantas spontan berjongkok untuk merapikan dokumen-dokumen yang berececeran. Laki-laki itu sepertinya peka telah membuatku dalam kesulitan, karena refleks membantuku.
Detik berikutnya, akulah yang ganti bergeming ketika mataku menembus tepat pada mata kelamnya yang tajam dan menunjukan ketegasan. Sayang sekali, imejku sudah terlanjur buruk di depan laki-laki ini ketika aku mengeluarkan kata-kata pedas tadi. Jika sebelumnya aku tahu Tuhan berencana membuat tabrakan kecil dengan makhluk setampan ini, aku hanya akan berkata ”tidak apa-apa” dengan senyum manis dan tidak perlu marah-marah.
Aku kembali berdiri, begitupun laki-laki tampan itu. Sembari menyerahkan beberapa dokumen kepadaku, ia mengulang pertanyaan yang sama untuk kali kedua. “Arin ya?”
Seharusnya aku spontan bertanya balik ”iya, kok lo kenal gue?” dengan nada was-was karena ada orang asing yang tiba-tiba bertanya bahkan mengetahui nama kita. Tetapi, kali ini, sifat judesku tidak keluar sama sekali. Aku hanya mengangguk sekilas dengan senyum tipis yang dibuat-buat agar terlihat manis.
Laki-laki tampan itu kemudian tersenyum, memamerkan lesung pipit dikedua sudut bibirnya yang tertarik. Sehabis ini sepertinya aku harus berkonsultasi ke dokter apa aku mendadak kena gejala diabetes atau tidak setelah bertemu laki-laki tampan dan manis seperti ini.
“Sudah saya duga,” katanya, membuatku kini mengerutkan dahi tidak mengerti.
“Kamu benar-benar gak kenal saya Rin?” Laki-laki tampan itu kembali bertanya. Aku kini hanya mengeluarkan suara a kecil dimulut, bingung harus menjawab apa. Jika aku menjawab tidak kenal, aku akan mengutuk diri sendiri karena begitu bodoh tidak kenal dengan laki-laki tampan seperti ini yang bahkan mengenaliku sama sekali. Namun jika aku menjawab kenal, aku akan terlihat sama bodohnya karena aku benar-benar tidak mengetahui siapa dirinya atau barangkali lupa. Aku orang dengan tingkat ingatan yang buruk.
“Sayang sekali ya, saya masih simpan puzzle kamu yang hilang padahal,”
Tunggu... Ada yang tidak asing dari kalimatnya. Puzzle yang hilang. Permainan masa kecil yang paling aku sukai. Apa jangan-jangan laki-laki tampan ini adalah orang dari masa laluku? Tapi siapa? Aku bahkan tidak ingat punya teman setampan ini.
 Aku melihatnya mengeluarkan sebuah dompet dari saku celana, lalu merogoh satu potongan puzzle yang sebelumnya terselip di salah satu bagian dompetnya. Ia menyodorkannya kepadaku, aku meraihnya dengan ragu. Benda ini asing, aku tidak ingat apapun.
“Kalau puzzle itu sudah kembali ke tangan kamu, apa tawaran yang dulu juga masih berlaku, Rin?”
Aku yang tidak mengerti arah pembicaraan ini hanya mengangkat kepingan puzzle itu ke udara. “Maaf, tapi saya gak ingat apapun soal benda ini dan jenis tawaran yang kamu singgung, sebelumnya saya bahkan gak tahu kamu siapa...”
Aku melihat laki-laki tampan itu tersenyum kembali, nampaknya baru menyadari aku benar-benar tidak mengingatnya sama sekali. “Saya Leon Rin, Aleondra Cakra Widjaya.”
Aleondra Cakra Widjaya...
Clue; 1) Masa lalu/masa kecil. 2) Puzzle.
Aku dipaksa menggali satu ingatan di masa lampau. Satu hal yang tidak pernah aku lupakan sampai sekarang adalah kebiasaanku menghafal deretan nama-nama temanku di absen kelas. Aku biasa menghapal nama mereka tanpa tahu wajahnya. Jadi kalau dimulai dari Adrian, Agatha, Aji, Aleondra lalu.. Arinda….
Setelah berdiskusi hebat dalam pikiran, aku spontan mengangkat wajah dan meneliti laki-laki tampan dihadapanku yang masih tersenyum. Tapi setahuku Aleondra itu...
“Kamu.. yang dulu...”
Leon memotong, “Gendut, pendek dan pakai kacamata. Suka sekali kasih kamu permen setiap pagi,”
Astaga... Aku menggeleng tidak habis pikir. Leon ini kan’ anak laki-laki yang sering mengekori kemana-mana, memberi permen setiap pagi, meminjam penghapus dan membantuku menyusun puzzle-puzzle tokoh disney. Si gendut yang digosipkan terlibat cinta monyet denganku di kelas 6 SD. Sekali lagi, aku menggeleng tidak habis pikir.
 Time was grown so fast and everything has changed. Included him. I forgot a thing, that he may grow up being a boy, being a guy, being a man which many talents. And yet, I really forgot the main thing, he has grown been a handsome man I've ever seen in the whole time, in the entire of my life. For God sake, can I repeat the old time? I don't mind to be his close friend, umm… until now.
“Kamu… jadi beda.” Aku berkomentar singkat, setelah berdialog norak dan panjang lebar dalam hati.
Leon hanya tersenyum tipis. Kemudian mengembalikanku pada benda sebelum ini, puzzle itu. Bagaimana bisa Leon menyimpan puzzle itu bertahun-tahun lamanya? Untuk motif apa? Dan jenis tawaran semacam apa yang pernah aku katakan kepadanya?
“Sejak saya kecil, I really want to ask you one thing, Rin. Am I, ever.... Stay in your heart even a while? May a hour, a minute or a second?”
Aku bergeming dengan pertanyaan itu. Mendadak atmosfir dalam percakapan ini menjadi serius.
“Saya masih ingat, dulu kamu pernah bilang, kalau saya nemuin keping puzzle terakhir gambar istana disney kamu yang hilang, saya dan kamu akan jadi putri dan pangeran di dalamnya.”
“Saya tahu, kamu sembunyiin puzzle itu di kolong meja saya. Tempat yang mungkin tidak akan pernah saya pikir karena terlalu mudah. Saya menemukan puzzle itu bahkan gak sampai lima menit. Tapi butuh waktu bertahun-tahun lamanya mengumpulkan keberanian untuk mengembalikan puzzle ini dan menagih ucapan kamu.”
Aku mendengar Leon berkata sepanjang itu dengan perasaan gugup. Bagaimana bisa seorang anak kecil menyimpan perasaan sebegitu dalam pada lawan jenisnya. Bahkan untuk bertahun-tahun lamanya, tanpa pertemuan pun dia terus menyiram dan memupuk benih perasaannya sampai dewasa.
 Meski aku tidak sepenuhnya ingat tentang Leon, puzzle bahkan tawaran putri-pangeran yang pernah aku ucapkan. Aku ingin menjawab pertanyaan Leon yang sebelumnya. Does he ever stay in my heart even a while?
The answer is yes, he does.
Bagiku, Leon kecil yang gendut dulu adalah teman terbaikku. Puzzle pieces yang harus selalu ada bersamaku untuk membunuh waktu. Gudang permenku setiap hari, peminjam penghapus rutin dan bodyguard terbaik sepanjang masa kecilku. Meski setelah gosip cinta monyet itu, akhirnya aku memilih menjaga jarak dari Leon, dan melupakan kenangan masa kecil bersamanya.
“Aku menjawab ya, untuk pertanyaan yang benar-benar ingin kamu tanyakan.”
Leon tersenyum, lalu merentangkan kedua lengannya, menawarkan sebuah pelukan. Aku refleks bergerak ke arahnya, lalu tenggelam dalam dada bidangnya yang nyaman.
Nice to meet you again, Rin.”
Aku menarik tubuhku kembali, lalu menjawab, “It’s nice to meet you too, Leon.”
Leon berbisik dalam hatinya sendiri, kalimat yang sebetulnya tidak pernah aku tahu sama sekali.
Puzzle-nya, kunci istana itu, sudah aku kembalikan. I've found my princess.”
The end.


Enjoy it readdarlings! Salam hakunanitata!

Regard, 
@nitajulio_

Ayo mampir ke Academia.edu!

Diposting oleh Nita Julianti Sukandar Putri 0 komentar


Hello!
Sudah lama saya gak nge-blog. And yet, here I am. Lebih tepatnya bukan untuk posting fiksi sih, tapi cuman mau introduce laman informasi yang baru-baru ini saya aktifin. (Dulu masih pengguna pasif, sekarang udah mulai aktif) hehe.
Jadi ceritanya, saya ingin merubah blog ini bukan hanya untuk sekadar posting-posting cerpen dan another ”menye-menye things” doang. Tapi, pengen juga blog saya berisi muatan yang bermanfaat bagi visitor-visitor yang sengaja maupun gak sengaja mampir.
So, sebagai mahasiswi semester 3, saya harus aktif upload-upload paper kuliah buat bantu-bantu nambahin bahan referensi teman-teman mahasiswa lain (karena sadar sendiri internet lumayan berpengaruh cukup banyak sebagai bahan informasi).
Maka, selamat mengunjungi laman pribadi saya di academia.edu ! Pusat paper, dll. yang banyak menyimpan bahan belajar. Semuanya nyaris ada disana. Like online library gitu. Kalian juga bisa unduh bahan-bahan belajarnya, asalkan sudah punya akun disana.
Silah sesekali mampir ke laman saya di:
Ada beberapa paper yang sudah saya unggah, seperti bahan kuliah Bank dan Lembaga Keuangan lainnya, bahan kuliah kewirausahaan, penganggaran perusahaan dan analisis perekonomian Indonesia Trans pacific partnership.
Kalian bisa download salah satu contohnya disini:
So, selamat belajar! Salam mahasiswa!



Regard,
@nitajulio_

Seven days, 7 hours before (Cerpen)

Diposting oleh Nita Julianti Sukandar Putri 0 komentar


Seven days, 7 hours before.
Author: Nita J.

Nama gue Reuben, orang-orang memanggil gue Ben. Selain agar terdengar keren, nama panggilan gue memang dari kecil seperti itu, jadi nggak punya alasan ‘menye-menye’ agar gue mengutip potongan nama dengan sengaja supaya terdengar man-full.
Okay, seperti kebanyakan orang, Ben, atau gue juga pasti pernah merasakan bagaimana itu jatuh cinta. Dan setiap orang pasti pernah memiliki atau punya cara tersendiri bagaimana ‘menjatuhkan’ diri mereka pada satu kata jutaan cerita bernama cinta. Begitu pula gue. Disini, di tempat sekarang gue nongkrong bersama setumpuk tugas kuliah, gue mengingat kali pertama gue jatuh cinta pada seorang gadis….
And the story began while….
Day 1;
Perpustakaan Taman kota, letaknya tidak jauh dari kampus gue, sekitar satu kilometer. Gue biasa mengayuh sepeda untuk sampai kesana. Officially, sebenarnya bukan hanya ke perpustakaan Taman kota gue bawa sepedah, ke kampus juga gue lebih sering menggunakan kendaraan bebas polusi itu.
Perpustakaan Taman kota, buat gue, sangat nyaman untuk dijadikan tempat mengerjakan tugas. Memang sih, perpustakaan kampus, atau perpustakaan fakultas, gak kalah lengkap, tapi gue gak suka pengunjung di dalamnya yang kebanyakan mahasiswa, dan paling-paling 30 % yang beneran belajar, sisanya ngerumpi.
Setelah mengisi data pengunjung, gue biasa meluncur ke tempat favorit di lantai dua, di pojok timur, menghadap jendela dengan pemandangan taman kota, spot yang sering kosong (makanya jadi favorit) juga karena mungkin orang-orang lebih memilih baca dilantai dasar, malas naik tangga.
Tapi kali ini, kursi yang biasa gue pake duduk, nggak kosong. Ada seorang cewek yang mengisinya, memunggungi gue. Rambutnya yang panjang dibiarkan tergerai. Dan gue melihat ranselnya menduduki kursi disebelah kanannya. Terpaksa, gue harus duduk dengan jarak dua kursi setelah ranselnya.
Gue mengeluarkan laptop dari ransel, menyalakannya dan menelusuri folder tugas. Tapi karena penasaran, sesekali gue melirik cewek itu dengan ekor mata. Dia pakai kacamata, dan nampak serius membaca novel karangan Nicholas Spark. Gue kira dia lagi belajar atau mengerjakan tugas juga.
Entah otak gue yang berkhianat atau memang mata gue yang genit, naluri seorang cowok dalam diri gue mendorong untuk terus melirik cewek itu, melupakan tujuan utama mengerjakan tugas.
Gue gak bisa lihat wajahnya dengan jelas dari samping. Namun di detik berikutnya, ada sihir yang seolah membuat dunia baru saja mengalihkan perhatian gue sepenuhnya.
Gue melihat cewek itu merubah posisi duduknya, caranya menjumputkan sedikit rambut ke belakang telinga, caranya membenarkan letak kacamata, dan tumpuan tangannya di dagu yang menandakan dia hanyut dalam bacaannya. Itu semua terlihat…. sangat indah. Gue bahkan terpana, hanya karena gerakan refleks dan mungkin normal bagi orang-orang pada umumnya.
Gue melihat dia menyelipkan bookmark pada entah halaman keberapa, sebelum memasukkan novel itu ke ransel di kursi sebelahnya. Dia sepertinya nampak baru menyadari kehadiran gue saat berdiri dari kursinya, dan refleks terperanjat kecil seraya membelalak dibalik kacamatanya, lalu tidak lama menarik kedua ujung bibirnya, melemparkan senyum kepada gue yang juga tertangkap basah sedang memperhatikannya.
Tanpa berkata apa-apa, dia melipir pergi, meninggalkan gue yang terpesona untuk kali kedua.
Day 2;
Yang membuat orang-orang menjadi gila ketika tertarik pada lawan jenisnya adalah selalu berharap segala hal menjadi mungkin. Termasuk gue, yang berniat kembali ke perpustakaan Taman Kota dihari kedua, pada jam yang sama. Kenapa? Karena ‘mungkin’ cewek yang kemarin ada disana. Mungkin dia lagi duduk dikursi lantai dua menghadap jendela, mungkin dia sedang menuntaskan novel Nicholas Spark yang kemarin sempat di jeda. All of those things were possible, weren’t it?
Akhirnya gue kembali disini, naik tangga ke lantai dua, berjalan ke deretan kursi di pojok timur. Tapi sepertinya gue harus kecewa, karena disana tidak ada siapa-siapa. Jadi gue memilih mengeluarkan iPod, mendengarkan lagu sambil review mata kuliah hari ini.
Yang gue sadari pada menit ke 1:56 lagu A face to call home-nya John Mayer adalah sebuah ransel yang mendarat di kursi sebelah kiri gue. Gue melirik ransel itu, mencoba menggali ingatan dimana gue pernah melihatnya. Akhirnya, setelah menyadari itu adalah ransel yang sama percis seperti milik cewek kemarin, gue mengangkat wajah, meneliti sekitar ruangan dan melihat cewek itu sedang berdiri di depan salah satu rak buku bagian fiksi. Gue menghela nafas, dan menyenderkan punggung dengan lega, karena kedatangan gue kesini tidak sia-sia.
Cewek itu berjalan ke kursi, sambil membawa dua novel tebal entah karya siapa. Lagi, dia terperanjat ketika melihat gue sedang meliriknya. Sumpah, gue suka cara kagetnya yang alami. Apalagi kerutan didahinya sedetik kemudian.
Gue melihatnya menarik kursi, sebelumnya memindahkan ranselnya disebelah kursi gue ke atas meja, lalu dia duduk DI SAMPING GUE TANPA JARAK. Gue terkesiap, namun berusaha stay cool. Dia melempar senyum, lalu berkata, “Yang kemarin,” gue mengerti maksud ‘kemarin’ itu adalah mungkin dia ingat gue cowok yang kemarin duduk disini. Permulaan bagus, ya?
“Nicholas Spark lagi?” gue berusaha membalas kalimatnya, dengan pertanyaan yang justru membuat dia mengerutkan dahi. Merasa salah bicara, gue cepat-cepat menambahkan, “kemarin gak sengaja lihat cover novelnya,” supaya dia tidak curiga.
“John Green,” jawabnya sambil-tersenyum-lagi. “Kota kertas,” Dia menambahkan.
Gue ber-oh pendek. “Paper town, ya.”
Dia hanya mengangguk sekilas, lalu mulai membuka halaman pertama.
Have you watching its film?” Aduh Ben, kelihatan banget sih basa-basinya. Tapi bodo amatlah, udah terlanjur. Dia mengalihkan perhatian dari novelnya ke gue, lalu menjawab, “I have. Tapi bagi pembaca, always prefer the original story. Itu sih, menurut aku,”
Gue mengangguk-angguk sok paham. Padahal jarang sekali membaca novel yang diangkat ke layar lebar selain Seri Harry Potter, Percy Jackson dan The Mortal Instruments. Jadi bagaimana mungkin bisa membandingkan.
Is that out of expectation?” tanya gue lagi.
Dia menggeleng, “Nggak semua sih. Banyak film yang diangkat dari novel hasilnya memuaskan. Tapi ada beberapa juga yang gak sesuai ekspektasi. Yah, namanya juga pandangan orang. Bisa jadi ada yang lebih suka filmnya dibanding novelnya,”
Gue tersenyum. Senang mendengar dia berkomentar sepanjang itu. Menandakan dia nyaman dengan obrolan ini. Gak mau melewatkan kesempatan, gue menyodorkan tangan, “Gue Reuben, panggil Ben aja,”
Dia menyambut uluran tangan gue dengan ramah. “Melody. Just call me Ody. I know its sound weird, but my friend gave me that nick name.” dia menuntaskan kalimatnya.
Ody. Nama yang lucu. Tunggu…. Dia memberitahu gue nama panggilan yang biasa teman-temannya pakai. Jadi diperkenalan pertama ini, gue udah dianggap teman juga, ya? Gila Ben, you won too many today.
Day 3;
Kayaknya Ben udah benar-benar gila. Karena dihari ketiga, gue mengayuh sepeda dan kembali ke perpustakaan Taman kota. Seperti biasa, setelah mengisi data pengunjung, gue cepat-cepat ke lantai dua, menuju kursi di pojok timur.
Ody ada disana. Dia lagi-lagi sedang membaca, entah kali ini novel siapa. Gue berusaha terlihat normal, dan nggak nervous. Akhirnya, gue memberanikan diri, berjalan menuju kursi, berusaha tidak menimbulkan suara. Tapi insting Ody terhadap kehadiran seseorang sepertinya kuat, dia menoleh ke belakang dan membentuk a kecil dimulut melihat kehadiran gue, lalu seperti biasa, melempar senyum, yang dua hari terakhir menjadi candu bagi gue.
Gue menarik kursi disebelahnya. “Three times. Dapat piring cantik nggak ya?” Gue mencoba bercanda.
Dia tertawa kecil. Gue suka bunyi tawanya yang lucu.
“Kali ini novel siapa yang kamu lahap?” gue bertanya lagi. Ody memperlihatkan cover novelnya tanpa menjawab. Stephen King.
Gue manggut-manggut, kehabisan bahan pertanyaan. Tapi kemudian gue melihat dia menyelipkan bookmark disalah satu halaman, lalu melirik gue. “Kamu sering banget ke perpus ini?”
Gue mengangguk dua kali. “Iya sih, sambil ngerjain tugas. Di perpus kampus terlalu rame, I don’t like the crowd while I do my tasks.” Supaya lebih meyakinkan, gue mengeluarkan laptop dari ransel dan menyalakannya.
Ody mengangguk paham. Dia lalu bertanya lagi, “Kuliah dimana emang? Jurusan dan semester berapa?”
Gue tersenyum girang dalam hati. Karena pertanyaan dia bisa menjadi bahan buat gue bertanya balik. “Universitas Harapan Bangsa, Ekonomi manajemen, semester 5. Kalau kamu?”
Ody tersenyum setelah menyerap jawaban gue, lalu balas menjawab, “Aku semester 3, di Cambridge University, jurusan sastra Inggris.”
Wow. Gue berdecak kagum. Lagi-lagi lo menang banyak, Ben. More information, more close you are. Tapi tunggu, Cambridge University? Kok dia bisa ada di Indonesia selama berhari-hari ini?
Day 4;
Hari ini, hari keempat gue kenal Ody. Oke, tingkat kewarasan gue yang harus dipertanyakan sekarang mungkin udah mencapai 60 %, besok mungkin 70 % besoknya nambah lagi. Who knows, kan. Sepertinya ya semua ini memang efek samping dari curiously to a girl syndrome yang sedang dialami Ben.
Gue selalu putus urat malu kalau udah sok-sok dekat sama seseorang. Termasuk dalam hal kepingin tahu alias kepo. Kali ini, gue ketemu Ody di taman kota, nggak-sengaja lagi (signs of mate, kayaknya.) walaupun tujuan ke perpusnya memang sengaja, tapi pertemuan di taman Kota murni nggak sengaja.
Gue akhirnya berani tanya kenapa dia di Indonesia. Ody jawab, “Aku emang udah satu minggu libur semester 3, jadi pengen liburan dulu ke tanah air dong,”
Gue jadi nyesel banget, kenapa kampus gue liburnya masih 3 minggu lagi. Tapi ada satu hal yang gue sadarin hari ini. Berarti setelah liburan habis, Ody bakal balik ke Inggris, melanjutkan study-nya.
Gue menahan langkah di pintu masuk perpustakaan. Ody dua langkah di depan gue dengan ceria, dia sempat menoleh ke belakang dengan pandangan heran, lalu  menarik lengan gue untuk masuk dengan gerakan alami. My first skin-ship with her.
 Do you think this relation, I mean, this friendship grow so fast, don’t you?
Day 5;
Kemarin, Ody sempat tersipu saat menyadari dia masih narik lengan gue bahkan setelah kami dilantai dua. Ada jeda cukup panjang, sampai akhirnya gue memecah kecanggungan dengan mengobrol tentang kegiatan dia selama kuliah disana.
Hari ini, gue datang ke perpustakaan taman kota (lagi) walau telat dari biasanya. Dosen gue yang udah kakek-kakek bersikukuh untuk mengganti jam kosong minggu lalu, sehingga gue harus rela belajar Sistem Informasi Manajemen selama 6 SKS sekaligus.
Saat gue berhasil memarkir sepeda, gue segera masuk dan mengisi data pengunjung. Tepat ketika gue berlari menuju tangga, gue melihat Ody turun sambil mendekap dua novel tebal, lalu air wajahnya berubah……. menjadi lega? Gue gak ngerti apa artinya, sebagai cowok, gue minim dalam membaca perubahan mimik seorang perempuan.
Gue menahan langkah, menunggu Ody turun. Melihat dia tersenyum ke gue dengan tatapan seperti itu, rasanya ada sesuatu yang berdesir hangat di seluruh tubuh gue, jantung gue pun berdetak lebih kencang dari biasanya. Mampus lo, Ben. Sebentar lagi lo paham apa nama dari perasaan itu.
Ody menjejak dua anak tangga yang lebih tinggi di depan gue, lalu berkata pelan, “Aku pikir kamu gak kesini, Ben,” sumpah, itu adalah kali pertama dia manggil nama gue. Biasanya konteks obrolan kami hanya aku-kamu, no one mention each name even once.
“Aku kan udah disini,” demi Kendall Jenner yang foto-fotonya baru gue hapus di galeri ponsel entah karena dorongan apa, gue merasa jadi cengeng ketika mengucapkan kalimat itu.
Ody tersenyum, terlihat malu-lalu. Tapi entah kenapa gue suka.
Kami terdiam sebentar saling berpandangan, seolah saling memberi pertanyaan dalam hati. Sampai akhirnya gue kembali membuka percakapan, “Baca novel siapa hari ini?”
Dia menunjukan Perahu Kertas-nya Dee Lestari.
Day 6;
Hari ke-6, adalah hari pertama sejak gue bertemu Ody yang dibikin perjanjian. Iya, kemarin gue sama Ody sempat janjian untuk ketemu di perpustakaan taman kota jam 10 pagi, karena hari ini hari sabtu dan perpustakaan taman kota hanya buka sampai jam 12 siang.
Gue sengaja nunggu Ody di lahan parkir, sambil otak-atik iPod, nge-shuffle lagu-lagu yang baru gue unduh, yang kebanyakan liriknya menggambarkan perasaan jatuh cinta. Please, Ben, you’re so pathetic.Too much.
Ody gak lama dateng dengan senyum ceria. Kami masuk dan mengisi data pengunjung. Ody hanya mengembalikan beberapa novel yang dia pinjam, dan gue hanya nemenin, setelah beres meletakan novel ke rak semula, kami keluar lagi dan duduk-duduk di bangku taman kota.
“Gak baca lagi, Dy?” gue bertanya yang disambut gelengan oleh Ody.
“Besok kan perpus libur, aku gak bisa balikin. Lagian lusa aku udah balik ke Inggris,”
Gue, Albyan Reuben Wiguna langsung kehabisan kata-kata mendengar kalimat Ody. Seriously, siapa yang gak kaget tiba-tiba dengar kabar begitu? Gue baru sadar enam hari rasanya sesingkat ini ketika bareng-bareng sama cewek yang lo suka. Wait, Ben, lo suka? Sama Melody?
Sepertinya Ody tahu isi pikiran gue, dia kembali mencari bahan pembicaraan. “Besok ada acara gak, Ben? Aku pengen ke toko buku, beli beberapa bahan bacaan buat dibawa ke Inggris, mau nemenin?”
Gue spontan mengangguk. Gak mungkin gue bilang nggak bisa. Meskipun tahu besok ada jadwal futsal mingguan. Bodo amat ah, mangkir sekali kan gak haram.
“Besok biar aku jemput kamu. Jam berapa? Dimana?” tanya gue.
Ody menimbang sebentar. “Jam 10, disini. Okay?”
Gue setuju.
Day 7;
Satu hal ajaib yang baru gue sadari dihari ketujuh ini adalah, rasa suka menjamin ketidakpastian. Contohnya, gue sama Ody, kami bahkan gak saling komunikasi selain mengobrol langsung ketika bertemu. No phone call. No message. No social media. Gue benar-benar takjub sama kegigihan gue kali ini, gue bahkan benar-benar dateng jam 9 pagi ke taman kota, meski gak tahu Ody pasti datang apa nggak. Rasa suka menjamin ketidakpastian, sekali lagi.
Satu jam gue nunggu di dalam mobil. Oke, kali ini gue bawa audi A5 hitam gue yang biasanya teronggok di bagasi buat jalan sama Ody. Gak mungkin gue ajak dia boncengan di sepeda lipat, kan? How funny that’s sound, huh?
Dari dalam kaca film mobil, gue melihat Ody jalan sambil melirik kanan-kiri, mungkin mencari gue. Tapi ketika melihat dia dengan outfit hari ini. Dress selutut bermotif bunga, rambut digerai dan tanpa kacamata. She looks so stunning. Damn pretty. Natural, sesuai umurnya. Demi menikmati pemandangan indah itu, gue sengaja berlama-lama di dalam mobil untuk melihat Ody.
Tapi sifat gak tegaan gue akhirnya mendorong gue untuk keluar dari kemudi, lalu menghampiri Ody yang sedang duduk di bangku taman.
Gue udah berdiri dihadapan Ody. “Flowers-suit girl, shall we go now?”
Ody tersenyum, sangat cantik tanpa menggunakan kacamata, walaupun memakai atau tidak bagi gue dia selalu punya pesona. Ody mengangguk antusias.
Gue dengan berani menggenggam tangan kiri Ody, gue gak tahu ekspresi dia seperti apa, gak berani lihat wajahnya. Gue ajak dia ke mobil, dia sempat bingung ketika gue membuka pintu depan.
Please have a seat, don’t forget to use the seatbelt,” gue sempat memberi pesan biar terlihat cool, Ody hanya terkikik geli.
Setelah gue memasuki kemudi dan memasang sabuk pengaman. Gue sempat mendengar Ody berkata pelan, “Drive well bicycle-guy,”
**
Still day 7. Gue menghabiskan waktu sehari penuh dengan nemenin Ody belanja buku. Dan gue gak habis pikir Ody memborong 10 pieces buku berbeda sekaligus.
Meski hampir 2 jam penuh di toko buku, waktu gak kerasa berjalan dan gue gak pernah bosan kasih saran. Setelah membayar di kasir (dan berdebat supaya gue yang bayar tapi dia gak mau) akhirnya kami menuju food court yang ada di Mall.
Setelah lunch, kami lalu ke arena time zone untuk bermain. Sempat main bom-bom car dan saling tabrak, main basket dan Ody kesal karena gak masuk-masuk sampai memancing boneka dan baru kali ke 10 gue berhasil pancing boneka minion. Itupun ukuran mini. Ody girang setengah mati.
Gak kerasa, waktu udah sore. Sebelum gue anter dia balik, gue ajak dia ke kampus dan dia setuju. Gue nawarin es kuwut Bali yang super enak di dekat kampus. Kami kembali ngobrol, sampai akhirnya Ody minta diantar pulang.
Sudah petang, nyaris magrib, tapi dia bersikukuh untuk diantar sampai taman kota, katanya rumahnya gak begitu jauh. Gue akhirnya menyerah, walaupun bikin perjanjian gue harus lihat dia pulang dan ya, memang dia pulang di jemput Papanya.
Tapi sebelum dia turun dari mobil gue, dia sempat mengeluarkan novel Nicholas Spark versi Bahasa Inggris ke gue (yang mungkin sekarang udah gak dicetak lagi), novel yang sama ketika gue kali pertama ketemu Ody dan jatuh dalam pesonanya.
A walk to remember. Kan Ku’ kenang selalu. Gue melirik judulnya dan mengambil novel itu, hanyut dalam momen yang sangat berharga hari ini dan sangat yakin akan gue kenang selamanya.
Saking gue hanyutnya, gue sampai melupakan hal paling krusial yang dari awal belum gue tanya ke dia. Alamat rumah atau kontak yang bisa gue hubungin. Dan gue baru sadar, besok Ody take off ke Inggris. Gue gak sempat ngejar karena mobil Papanya Ody sudah bergerak pergi. Gue hampir frustasi, lantas membolak-balik halaman novel itu, barangkali ada setitik informasi. Gue gak menemukan apa-apa kertas itu bersih, tapi begitu gue melihat ke bawah, ada secarik kertas di dekat sepatu gue, yang gue duga jatuh dari halaman novel sebelum ini. Dengan harap-harap cemas, gue membaca isi dari kertas itu.
Back to day 1, seven hours before, Soekarno-Hatta. See you, Ben! –Ody
Gue membaca isi dari kertas itu yang sama sekali gak gue mengerti. Ayo Ben, putar otak, putar otak! Nyaris setengah jam gue memikirkan pesan itu, clue yang paling jelas ya Bandara Soekarno Hatta. Day 1…. Apa ya? Ah, hari senin! Besok adalah hari senin, hari pertama gue ketemu Ody. Tapi kenapa gak Day 8 ya, clue-nya lebih mudah, tapi tiba-tiba gue teringat ucapan dia siang tadi, “Nyadar gak Ben, pertemuan kita pas 7 hari? Hari diciptain cuman 7 kan? Berikutnya kita ngulang lagi ke awal, hari senin.”
 Terus seven hours before? Tujuh jam sebelum? Jelas bukan menunjukan waktu, kalau 7 AM atau 7 PM gue masih bisa paham. Tapi ini? Ayo Ben, puter otak looooooo! Before… before, adalah kata kunci satu-satunya yang gue punya.
Tiba-tiba otak cemerlang gue menjawab; seven hours before, jangan-jangan tujuh jam sebelum waktu pertama gue ketemu Ody. Kalau dulu gue ketemu Ody jam 3 sore berarti……. Tujuh jam sebelumnya adalah jam 8 pagi! Great Ben, you did it. Akhirnya, setelah yakin gue menjawab teka-teki dengan benar. Gue membelokan setir, pulang ke rumah.
Day 1 part 2;
Gue rela bolos kuliah demi menjawab pesan Ody. Dan disini gue berada, dekat counter check in pesawat tujuan London tepat jam 8 pagi.
Walaupun kemarin gue yakin setengah mati jawaban teka-teki Ody, mendadak gua skeptis hari ini, karena Ody gak muncul-muncul…
Tapi, mungkin dewa amore selalu menyusun takdir indah buat setiap cerita cinta, gue melihat Ody melambaikan tangan ke gue dari jarak tiga meter, sambil menyeret koper, ditemani-mungkin- Mama dan Papanya.
For God sake Melody… lo hampir buat gue patah hati karena skeptis kita gak akan bisa bertemu lagi.
Have you solved the message, huh?” Ody tersenyum jahil. Gue menunjukan carikan kertas berisi clue kemarin.
It was really nice to meet you, Ben!” Ody berkata dengan tulus. Gue gak melihat kebohongan dalam matanya.
Tapi bukan it was really nice to meet you too yang akan gue balas, gue takut lupa untuk yang kesejuta kalinya. Akhirnya, gue menyodorkan ponsel.
“Nomor hape, email dan kontak apapun yang bisa aku hubungin,” perintahku tanpa basa-basi. Ody meraih ponselku sambil geleng-geleng dan tertawa jahil. Dia mencatat semua kontaknya di note ponsel gue.
 Ada satu kalimat yang sebenarnya ingin gue sampaikan ke dia, Cuma karena disini ada Mama dan Papanya, terpaksa gue menyelipkan pernyataan itu dalam hati, I like you, Dy, or more than you never know, whatever it name. And I’ll miss you. Yang hanya bisa gue katakan sebatas, “See you, book’s girlfriend.”
Ody melambaikan tangan dan mengukir senyum yang sama, seperti hari ke 1 sampai ke 7, senyum yang selalu gue suka, lalu membalas, “See you in a few months later, bicycle’s guy.”
Day 1 part 2 done.

Satu lagi cerita yang lahir di tengah malam. Cerpen ini, ngalir begitu aja pada saat saya kebangun jam 10 malam, lalu kata-kata berlarian di otak untuk disalin ke dalam sebuah cerita sampai korupsi jam tidur saya selama 3 jam. And yet, I love them. I love Ben and Ody. They steal my times to do one positive thing. HEHE. Mereka bagai hantu yang membangunkan saya malam-malam hanya untuk membobrokan sindrom writer’s block yang sudah berminggu-minggu saya idap sejak masuk awal semester 3. Dan satu hal penting lagi, ketika saya menulis ini saya terinspirasi memakai sudut pandang orang pertama dan itu cowok setelah habis membaca Critical Eleven dan Somewhere Only We Know. So, thanks Ale dan Kenzo… Thanks Kak Ika Natassa dan Kak Alexander Thian untuk cerita luar biasa kalian. You both inspired me a lot! Besok-besok saya review novelnya deh… (padahal udah selesai baca dari beberapa minggu yang lalu).
Ps: Kak Alexander Thian aka Amrazing, makasih untuk draft lagu-lagu di SOWK-nya, ketagihan denger Anyone at all-nya Caroline King. Cocok deh, jadi soundtrack cerpen ini juga :P
Enjoy it readdarlings! Salam hakunanitata!
Regard,
Nita J.


Pic source: s1.bwallpapers.com / edited by me.
 

Gema Aksara✎ Template by Ipietoon Blogger Template | Gift Idea