Masih
Kamu (flash fiction)
Oleh: Nita J.
Dia
adalah laki-laki terhebat yang pernah aku kenal setelah Papa. Setiap hari,
setelah aktivitas rutin yang keluargaku lakukan; Mama menyiram bunga-bunga
krisan, Papa membaca koran harian, tepat pukul 06:30, dia selalu lewat dengan
sebuah vespa berwarna kuning yang menurutku sudah berkarat.
Lalu,
Papa akan berseru, menghentikan laju vespa itu, memaksanya untuk ikut sarapan
bersama keluarga kami. Ia tidak menolak, bagi seorang pemuda perantauan
sepertinya, yang hanya tinggal di satu kotak rumah bernama kos, sarapan gratis
di rumah tetangga adalah salah satu bentuk tabungan yang mampu menghemat
pengeluaran, dan mungkin tidak akan pernah datang untuk yang kedua kali. Kadang
aku mencibir, sebagai seorang remaja SMP yang tidak terlalu suka orang asing
hadir secara tiba-tiba.
Namun
segalanya berubah sejak satu bulan kehadirannya sebagai ‘tamu sarapan’ disetiap
pagi. Ia acapkali mengantarku ke sekolah dengan vespa kuningnya, katanya, ia
akan menjadi supir pribadiku terhitung hari itu, dan entah mengapa aku tidak
menolak mendengar tawarannya.
Kami
sering bercerita satu sama lain, ia dari sebuah kota bernama Purwakarta,
menjalani hari-harinya sebagai jurnalis di sebuah kantor koran daerah di kota
Bandung. Ia seorang sarjana Ilmu Komunikasi, sedangkan aku seorang pelajar
kelas tiga. Tiga SMP. Jarak usia yang terpaut cukup jauh untuk menjadi kawan
bercerita. Namun, aku tidak pernah mempersalahkan itu.
Aku
selalu menyukai caranya berbicara, dan yang tidak akan pernah terlupa adalah,
“Kiara, hidup itu terkadang memiliki alur yang tidak pernah terduga. Secerdik
apapun manusia menuliskan rencana-rencana hebat untuk masa depan mereka, tapi
Tuhan adalah sang sutradara, semuanya bisa berubah tidak peduli kapan dan dimana,
kita hanya perlu menerima.”
Hari-hariku,
entah bagaimana cuacanya, selalu terasa indah jika bersamanya. Ia seperti
memiliki sentuhan magis, yang membuat hidup tidak hanya statis, namun dinamis.
Ia selalu ada ketika aku bermuram durja, ia selalu disana ketika Papa atau Mama
bahkan tidak mengerti keadaan anaknya. Ia selalu jadi penyangga, ketika aku
hendak jatuh dan menjadi obat ketika aku terluka. Ya, aku mungkin diam-diam jatuh
cinta kepada seorang pemuda berumur 22, tapi entah dia. Namun, aku sudah
berjanji pada diriku sendiri, akan mengungkapkan perasaanku padanya meskipun
jawaban yang ia berikan adalah tidak.
Tapi
seolah hidup tidak selalu indah seperti kisah-kisah di fairy tale, kenyataan
membuatku terjaga dari alam tidurku selama ini. Bahwa, Papa dan Mama mungkin
tidak akan menyetujui segala hal gila yang ada dibenak putri mereka. Aku tidak
mengerti bagaimana Papa bisa menemukan secarik kertas berwarna merah muda di
bawah bantalku, surat cinta pertama untuk dia.
Papa marah, ia tidak bisa menerima sebuah fakta
bahwa anaknya telah jatuh cinta pada laki-laki yang setiap hari sarapan di Rumah
mereka. Dan sejak hari itu, Papa akhirnya memberikan ultimatum yang membuat
segalanya berubah dengan sekejap mata. Papa membentangkan jarak antara kami,
aku tidak pernah lagi menemukannya disetiap pagi. Aku tidak pernah menemukan
tempatku berbagi.
Papa
menatapku tajam hari itu, beliau tampak sangat kecewa. Dengan secarik kertas
merah muda yang sudah tidak berbentuk dalam genggamannya, ia menatapku yang
berdiri dengan mata sembab, lalu berkata, “Seharusnya ini tidak pernah
terjadi.”
Papa
lantas membanting pintu kamar, meninggalkanku sendiri ditemani sepi,
membiarkanku bercokol dengan waktu, bersiap-siap berteman dengan rasa rindu.
**
Itu
sudah berlalu bertahun-tahun lamanya. Namun, aku tidak pernah bisa lupa. Rindu,
yang menjadi kawanku ber-adiksi terlalu pekat sehingga namanya masih terukir
terlalu jelas dalam zona ingatanku.
Aku
sekarang tumbuh, menjadi seorang wanita karier di bidang fashion designer. Kenyataan dimasa lalu membuatku tidak memiliki
pilihan selain mengikuti perintah orang tuaku untuk melanjutkan pendidikan di
luar negeri. Mungkin, mereka percaya bahwa itu adalah satu-satunya jalan agar
aku bisa melupakan dia.
Tapi
dia masih menjadi nomor satu, pemilik tahta tertinggi di singgasana hatiku. Aku
merindukannya, dan kadar rindu ini tidak pernah berkurang dari dulu. Aku ingin
bertemu dengannya, menyampaikan pernyataan yang belum sempat aku lontarkan.
Bahwa
aku mencintainya, selalu dia.
Dan
aku berharap, rindu ini mampu berhilir seperti anakan angin yang berteman
dengan udara. Aku berharap, rindu ini mampu menjangkau jarak semesta, lalu
menyapa dia yang entah kini berada dimana.
Aku
ingin, angin akan menyampaikan pesan berupa; gadis kecil yang dulu jatuh cinta
padanya, kini masih tetap sama.
**
Hihi another flash fiction…. Fyi, naskah ini
sebenarnya pernah diikutsertakan lomba FF di Pena meta kata, cuman karena belum
jodoh, naskah saya gak tembus. ^^
Nah so, akhirnya flash fiction ini di posting saja di
blog.
Enjoy it readdarlings!
Salam hakunanitata!❥