Seven
days, 7 hours before.
Author: Nita J.
Nama
gue Reuben, orang-orang memanggil gue Ben. Selain agar terdengar keren, nama
panggilan gue memang dari kecil seperti itu, jadi nggak punya alasan ‘menye-menye’ agar gue mengutip potongan
nama dengan sengaja supaya terdengar man-full.
Okay,
seperti kebanyakan orang, Ben, atau gue juga pasti pernah merasakan bagaimana
itu jatuh cinta. Dan setiap orang pasti pernah memiliki atau punya cara
tersendiri bagaimana ‘menjatuhkan’ diri mereka pada satu kata jutaan cerita
bernama cinta. Begitu pula gue. Disini, di tempat sekarang gue nongkrong
bersama setumpuk tugas kuliah, gue mengingat kali pertama gue jatuh cinta pada
seorang gadis….
And the story began while….
Day
1;
Perpustakaan
Taman kota, letaknya tidak jauh dari kampus gue, sekitar satu kilometer. Gue
biasa mengayuh sepeda untuk sampai kesana. Officially,
sebenarnya bukan hanya ke perpustakaan Taman kota gue bawa sepedah, ke kampus
juga gue lebih sering menggunakan kendaraan bebas polusi itu.
Perpustakaan
Taman kota, buat gue, sangat nyaman untuk dijadikan tempat mengerjakan tugas.
Memang sih, perpustakaan kampus, atau perpustakaan fakultas, gak kalah lengkap,
tapi gue gak suka pengunjung di dalamnya yang kebanyakan mahasiswa, dan
paling-paling 30 % yang beneran belajar, sisanya ngerumpi.
Setelah
mengisi data pengunjung, gue biasa meluncur ke tempat favorit di lantai dua, di
pojok timur, menghadap jendela dengan pemandangan taman kota, spot yang sering kosong (makanya jadi
favorit) juga karena mungkin orang-orang lebih memilih baca dilantai dasar,
malas naik tangga.
Tapi
kali ini, kursi yang biasa gue pake duduk, nggak kosong. Ada seorang cewek yang
mengisinya, memunggungi gue. Rambutnya yang panjang dibiarkan tergerai. Dan gue
melihat ranselnya menduduki kursi disebelah kanannya. Terpaksa, gue harus duduk
dengan jarak dua kursi setelah ranselnya.
Gue
mengeluarkan laptop dari ransel, menyalakannya dan menelusuri folder tugas. Tapi
karena penasaran, sesekali gue melirik cewek itu dengan ekor mata. Dia pakai
kacamata, dan nampak serius membaca novel karangan Nicholas Spark. Gue kira dia
lagi belajar atau mengerjakan tugas juga.
Entah
otak gue yang berkhianat atau memang mata gue yang genit, naluri seorang cowok
dalam diri gue mendorong untuk terus melirik cewek itu, melupakan tujuan utama
mengerjakan tugas.
Gue
gak bisa lihat wajahnya dengan jelas dari samping. Namun di detik berikutnya,
ada sihir yang seolah membuat dunia baru saja mengalihkan perhatian gue
sepenuhnya.
Gue
melihat cewek itu merubah posisi duduknya, caranya menjumputkan sedikit rambut
ke belakang telinga, caranya membenarkan letak kacamata, dan tumpuan tangannya
di dagu yang menandakan dia hanyut dalam bacaannya. Itu semua terlihat…. sangat
indah. Gue bahkan terpana, hanya karena gerakan refleks dan mungkin normal bagi
orang-orang pada umumnya.
Gue
melihat dia menyelipkan bookmark pada
entah halaman keberapa, sebelum memasukkan novel itu ke ransel di kursi
sebelahnya. Dia sepertinya nampak baru menyadari kehadiran gue saat berdiri
dari kursinya, dan refleks terperanjat kecil seraya membelalak dibalik
kacamatanya, lalu tidak lama menarik kedua ujung bibirnya, melemparkan senyum
kepada gue yang juga tertangkap basah sedang memperhatikannya.
Tanpa
berkata apa-apa, dia melipir pergi, meninggalkan gue yang terpesona untuk kali
kedua.
Day
2;
Yang
membuat orang-orang menjadi gila ketika tertarik pada lawan jenisnya adalah
selalu berharap segala hal menjadi mungkin. Termasuk gue, yang berniat kembali
ke perpustakaan Taman Kota dihari kedua, pada jam yang sama. Kenapa? Karena
‘mungkin’ cewek yang kemarin ada disana. Mungkin dia lagi duduk dikursi lantai
dua menghadap jendela, mungkin dia sedang menuntaskan novel Nicholas Spark yang
kemarin sempat di jeda. All of those
things were possible, weren’t it?
Akhirnya
gue kembali disini, naik tangga ke lantai dua, berjalan ke deretan kursi di
pojok timur. Tapi sepertinya gue harus kecewa, karena disana tidak ada
siapa-siapa. Jadi gue memilih mengeluarkan iPod, mendengarkan lagu sambil review mata kuliah hari ini.
Yang
gue sadari pada menit ke 1:56 lagu A face
to call home-nya John Mayer adalah sebuah ransel yang mendarat di kursi
sebelah kiri gue. Gue melirik ransel itu, mencoba menggali ingatan dimana gue
pernah melihatnya. Akhirnya, setelah menyadari itu adalah ransel yang sama percis
seperti milik cewek kemarin, gue mengangkat wajah, meneliti sekitar ruangan dan
melihat cewek itu sedang berdiri di depan salah satu rak buku bagian fiksi. Gue
menghela nafas, dan menyenderkan punggung dengan lega, karena kedatangan gue
kesini tidak sia-sia.
Cewek
itu berjalan ke kursi, sambil membawa dua novel tebal entah karya siapa. Lagi,
dia terperanjat ketika melihat gue sedang meliriknya. Sumpah, gue suka cara
kagetnya yang alami. Apalagi kerutan didahinya sedetik kemudian.
Gue
melihatnya menarik kursi, sebelumnya memindahkan ranselnya disebelah kursi gue
ke atas meja, lalu dia duduk DI SAMPING GUE TANPA JARAK. Gue terkesiap, namun
berusaha stay cool. Dia melempar
senyum, lalu berkata, “Yang kemarin,” gue mengerti maksud ‘kemarin’ itu adalah
mungkin dia ingat gue cowok yang kemarin duduk disini. Permulaan bagus, ya?
“Nicholas
Spark lagi?” gue berusaha membalas kalimatnya, dengan pertanyaan yang justru
membuat dia mengerutkan dahi. Merasa salah bicara, gue cepat-cepat menambahkan,
“kemarin gak sengaja lihat cover
novelnya,” supaya dia tidak curiga.
“John
Green,” jawabnya sambil-tersenyum-lagi. “Kota kertas,” Dia menambahkan.
Gue
ber-oh pendek. “Paper town, ya.”
Dia
hanya mengangguk sekilas, lalu mulai membuka halaman pertama.
“Have you watching its film?” Aduh Ben,
kelihatan banget sih basa-basinya. Tapi bodo amatlah, udah terlanjur. Dia
mengalihkan perhatian dari novelnya ke gue, lalu menjawab, “I have. Tapi bagi pembaca, always prefer the original story. Itu
sih, menurut aku,”
Gue
mengangguk-angguk sok paham. Padahal jarang sekali membaca novel yang diangkat
ke layar lebar selain Seri Harry Potter, Percy Jackson dan The Mortal Instruments.
Jadi bagaimana mungkin bisa membandingkan.
“Is that out of expectation?” tanya gue
lagi.
Dia
menggeleng, “Nggak semua sih. Banyak film yang diangkat dari novel hasilnya
memuaskan. Tapi ada beberapa juga yang gak sesuai ekspektasi. Yah, namanya juga
pandangan orang. Bisa jadi ada yang lebih suka filmnya dibanding novelnya,”
Gue
tersenyum. Senang mendengar dia berkomentar sepanjang itu. Menandakan dia
nyaman dengan obrolan ini. Gak mau melewatkan kesempatan, gue menyodorkan
tangan, “Gue Reuben, panggil Ben aja,”
Dia
menyambut uluran tangan gue dengan ramah. “Melody.
Just call me Ody. I know its sound weird, but my friend gave me that nick name.”
dia menuntaskan kalimatnya.
Ody.
Nama yang lucu. Tunggu…. Dia memberitahu gue nama panggilan yang biasa
teman-temannya pakai. Jadi diperkenalan pertama ini, gue udah dianggap teman
juga, ya? Gila Ben, you won too many
today.
Day
3;
Kayaknya
Ben udah benar-benar gila. Karena dihari ketiga, gue mengayuh sepeda dan
kembali ke perpustakaan Taman kota. Seperti biasa, setelah mengisi data
pengunjung, gue cepat-cepat ke lantai dua, menuju kursi di pojok timur.
Ody
ada disana. Dia lagi-lagi sedang membaca, entah kali ini novel siapa. Gue
berusaha terlihat normal, dan nggak nervous.
Akhirnya, gue memberanikan diri, berjalan menuju kursi, berusaha tidak
menimbulkan suara. Tapi insting Ody terhadap kehadiran seseorang sepertinya
kuat, dia menoleh ke belakang dan membentuk a kecil dimulut melihat kehadiran
gue, lalu seperti biasa, melempar senyum, yang dua hari terakhir menjadi candu
bagi gue.
Gue
menarik kursi disebelahnya. “Three times.
Dapat piring cantik nggak ya?” Gue mencoba bercanda.
Dia
tertawa kecil. Gue suka bunyi tawanya yang lucu.
“Kali
ini novel siapa yang kamu lahap?” gue bertanya lagi. Ody memperlihatkan cover novelnya tanpa menjawab. Stephen
King.
Gue
manggut-manggut, kehabisan bahan pertanyaan. Tapi kemudian gue melihat dia
menyelipkan bookmark disalah satu
halaman, lalu melirik gue. “Kamu sering banget ke perpus ini?”
Gue
mengangguk dua kali. “Iya sih, sambil ngerjain tugas. Di perpus kampus terlalu
rame, I don’t like the crowd while I do
my tasks.” Supaya lebih meyakinkan, gue mengeluarkan laptop dari ransel dan
menyalakannya.
Ody
mengangguk paham. Dia lalu bertanya lagi, “Kuliah dimana emang? Jurusan dan
semester berapa?”
Gue
tersenyum girang dalam hati. Karena pertanyaan dia bisa menjadi bahan buat gue bertanya
balik. “Universitas Harapan Bangsa, Ekonomi manajemen, semester 5. Kalau kamu?”
Ody
tersenyum setelah menyerap jawaban gue, lalu balas menjawab, “Aku semester 3,
di Cambridge University, jurusan sastra Inggris.”
Wow.
Gue berdecak kagum. Lagi-lagi lo menang banyak, Ben. More information, more close you are. Tapi tunggu, Cambridge
University? Kok dia bisa ada di Indonesia selama berhari-hari ini?
Day
4;
Hari
ini, hari keempat gue kenal Ody. Oke, tingkat kewarasan gue yang harus
dipertanyakan sekarang mungkin udah mencapai 60 %, besok mungkin 70 % besoknya
nambah lagi. Who knows, kan.
Sepertinya ya semua ini memang efek samping dari curiously to a girl syndrome yang sedang dialami Ben.
Gue
selalu putus urat malu kalau udah sok-sok dekat sama seseorang. Termasuk dalam
hal kepingin tahu alias kepo. Kali ini, gue ketemu Ody di taman kota,
nggak-sengaja lagi (signs of mate,
kayaknya.) walaupun tujuan ke perpusnya memang sengaja, tapi pertemuan di taman
Kota murni nggak sengaja.
Gue
akhirnya berani tanya kenapa dia di Indonesia. Ody jawab, “Aku emang udah satu
minggu libur semester 3, jadi pengen liburan dulu ke tanah air dong,”
Gue
jadi nyesel banget, kenapa kampus gue liburnya masih 3 minggu lagi. Tapi ada
satu hal yang gue sadarin hari ini. Berarti setelah liburan habis, Ody bakal
balik ke Inggris, melanjutkan study-nya.
Gue
menahan langkah di pintu masuk perpustakaan. Ody dua langkah di depan gue
dengan ceria, dia sempat menoleh ke belakang dengan pandangan heran, lalu menarik lengan gue untuk masuk dengan gerakan
alami. My first skin-ship with her.
Do you think this relation, I mean, this
friendship grow so fast, don’t you?
Day
5;
Kemarin,
Ody sempat tersipu saat menyadari dia masih narik lengan gue bahkan setelah
kami dilantai dua. Ada jeda cukup panjang, sampai akhirnya gue memecah
kecanggungan dengan mengobrol tentang kegiatan dia selama kuliah disana.
Hari
ini, gue datang ke perpustakaan taman kota (lagi) walau telat dari biasanya.
Dosen gue yang udah kakek-kakek bersikukuh untuk mengganti jam kosong minggu
lalu, sehingga gue harus rela belajar Sistem Informasi Manajemen selama 6 SKS
sekaligus.
Saat
gue berhasil memarkir sepeda, gue segera masuk dan mengisi data pengunjung.
Tepat ketika gue berlari menuju tangga, gue melihat Ody turun sambil mendekap
dua novel tebal, lalu air wajahnya berubah……. menjadi lega? Gue gak ngerti apa
artinya, sebagai cowok, gue minim dalam membaca perubahan mimik seorang
perempuan.
Gue
menahan langkah, menunggu Ody turun. Melihat dia tersenyum ke gue dengan
tatapan seperti itu, rasanya ada sesuatu yang berdesir hangat di seluruh tubuh
gue, jantung gue pun berdetak lebih kencang dari biasanya. Mampus lo, Ben.
Sebentar lagi lo paham apa nama dari perasaan itu.
Ody
menjejak dua anak tangga yang lebih tinggi di depan gue, lalu berkata pelan,
“Aku pikir kamu gak kesini, Ben,” sumpah, itu adalah kali pertama dia manggil
nama gue. Biasanya konteks obrolan kami hanya aku-kamu, no one mention each name even once.
“Aku
kan udah disini,” demi Kendall Jenner yang foto-fotonya baru gue hapus di
galeri ponsel entah karena dorongan apa, gue merasa jadi cengeng ketika
mengucapkan kalimat itu.
Ody
tersenyum, terlihat malu-lalu. Tapi entah kenapa gue suka.
Kami
terdiam sebentar saling berpandangan, seolah saling memberi pertanyaan dalam
hati. Sampai akhirnya gue kembali membuka percakapan, “Baca novel siapa hari
ini?”
Dia
menunjukan Perahu Kertas-nya Dee Lestari.
Day
6;
Hari
ke-6, adalah hari pertama sejak gue bertemu Ody yang dibikin perjanjian. Iya,
kemarin gue sama Ody sempat janjian untuk ketemu di perpustakaan taman kota jam
10 pagi, karena hari ini hari sabtu dan perpustakaan taman kota hanya buka
sampai jam 12 siang.
Gue
sengaja nunggu Ody di lahan parkir, sambil otak-atik iPod, nge-shuffle lagu-lagu yang baru gue unduh,
yang kebanyakan liriknya menggambarkan perasaan jatuh cinta. Please, Ben, you’re so pathetic.Too much.
Ody
gak lama dateng dengan senyum ceria. Kami masuk dan mengisi data pengunjung.
Ody hanya mengembalikan beberapa novel yang dia pinjam, dan gue hanya nemenin,
setelah beres meletakan novel ke rak semula, kami keluar lagi dan duduk-duduk
di bangku taman kota.
“Gak
baca lagi, Dy?” gue bertanya yang disambut gelengan oleh Ody.
“Besok
kan perpus libur, aku gak bisa balikin. Lagian lusa aku udah balik ke Inggris,”
Gue,
Albyan Reuben Wiguna langsung kehabisan kata-kata mendengar kalimat Ody. Seriously, siapa yang gak kaget
tiba-tiba dengar kabar begitu? Gue baru sadar enam hari rasanya sesingkat ini
ketika bareng-bareng sama cewek yang lo suka. Wait, Ben, lo suka? Sama Melody?
Sepertinya
Ody tahu isi pikiran gue, dia kembali mencari bahan pembicaraan. “Besok ada
acara gak, Ben? Aku pengen ke toko buku, beli beberapa bahan bacaan buat dibawa
ke Inggris, mau nemenin?”
Gue
spontan mengangguk. Gak mungkin gue bilang nggak bisa. Meskipun tahu besok ada
jadwal futsal mingguan. Bodo amat ah, mangkir sekali kan gak haram.
“Besok
biar aku jemput kamu. Jam berapa? Dimana?” tanya gue.
Ody
menimbang sebentar. “Jam 10, disini. Okay?”
Gue
setuju.
Day
7;
Satu
hal ajaib yang baru gue sadari dihari ketujuh ini adalah, rasa suka menjamin
ketidakpastian. Contohnya, gue sama Ody, kami bahkan gak saling komunikasi
selain mengobrol langsung ketika bertemu. No
phone call. No message. No social media. Gue benar-benar takjub
sama kegigihan gue kali ini, gue bahkan benar-benar dateng jam 9 pagi ke taman
kota, meski gak tahu Ody pasti datang apa nggak. Rasa suka menjamin
ketidakpastian, sekali lagi.
Satu
jam gue nunggu di dalam mobil. Oke, kali ini gue bawa audi A5 hitam gue yang
biasanya teronggok di bagasi buat jalan sama Ody. Gak mungkin gue ajak dia
boncengan di sepeda lipat, kan? How funny
that’s sound, huh?
Dari
dalam kaca film mobil, gue melihat Ody jalan sambil melirik kanan-kiri, mungkin
mencari gue. Tapi ketika melihat dia dengan outfit
hari ini. Dress selutut bermotif bunga, rambut digerai dan tanpa kacamata. She looks so stunning. Damn pretty. Natural, sesuai umurnya.
Demi menikmati pemandangan indah itu, gue sengaja berlama-lama di dalam mobil untuk
melihat Ody.
Tapi
sifat gak tegaan gue akhirnya mendorong gue untuk keluar dari kemudi, lalu
menghampiri Ody yang sedang duduk di bangku taman.
Gue
udah berdiri dihadapan Ody. “Flowers-suit
girl, shall we go now?”
Ody
tersenyum, sangat cantik tanpa menggunakan kacamata, walaupun memakai atau
tidak bagi gue dia selalu punya pesona. Ody mengangguk antusias.
Gue
dengan berani menggenggam tangan kiri Ody, gue gak tahu ekspresi dia seperti
apa, gak berani lihat wajahnya. Gue ajak dia ke mobil, dia sempat bingung
ketika gue membuka pintu depan.
“Please have a seat, don’t forget to use the
seatbelt,” gue sempat memberi pesan biar terlihat cool, Ody hanya terkikik geli.
Setelah
gue memasuki kemudi dan memasang sabuk pengaman. Gue sempat mendengar Ody
berkata pelan, “Drive well bicycle-guy,”
**
Still day 7.
Gue menghabiskan waktu sehari penuh dengan nemenin Ody belanja buku. Dan gue
gak habis pikir Ody memborong 10 pieces
buku berbeda sekaligus.
Meski
hampir 2 jam penuh di toko buku, waktu gak kerasa berjalan dan gue gak pernah
bosan kasih saran. Setelah membayar di kasir (dan berdebat supaya gue yang
bayar tapi dia gak mau) akhirnya kami menuju food court yang ada di Mall.
Setelah
lunch, kami lalu ke arena time zone
untuk bermain. Sempat main bom-bom car dan saling tabrak, main basket dan Ody
kesal karena gak masuk-masuk sampai memancing boneka dan baru kali ke 10 gue
berhasil pancing boneka minion. Itupun ukuran mini. Ody girang setengah mati.
Gak
kerasa, waktu udah sore. Sebelum gue anter dia balik, gue ajak dia ke kampus
dan dia setuju. Gue nawarin es kuwut Bali yang super enak di dekat kampus. Kami
kembali ngobrol, sampai akhirnya Ody minta diantar pulang.
Sudah
petang, nyaris magrib, tapi dia bersikukuh untuk diantar sampai taman kota,
katanya rumahnya gak begitu jauh. Gue akhirnya menyerah, walaupun bikin
perjanjian gue harus lihat dia pulang dan ya, memang dia pulang di jemput
Papanya.
Tapi
sebelum dia turun dari mobil gue, dia sempat mengeluarkan novel Nicholas Spark
versi Bahasa Inggris ke gue (yang mungkin sekarang udah gak dicetak lagi), novel
yang sama ketika gue kali pertama ketemu Ody dan jatuh dalam pesonanya.
A walk to remember.
Kan Ku’ kenang selalu. Gue melirik judulnya dan mengambil novel itu, hanyut
dalam momen yang sangat berharga hari ini dan sangat yakin akan gue kenang
selamanya.
Saking
gue hanyutnya, gue sampai melupakan hal paling krusial yang dari awal belum gue
tanya ke dia. Alamat rumah atau kontak yang bisa gue hubungin. Dan gue baru
sadar, besok Ody take off ke Inggris.
Gue gak sempat ngejar karena mobil Papanya Ody sudah bergerak pergi. Gue hampir
frustasi, lantas membolak-balik halaman novel itu, barangkali ada setitik
informasi. Gue gak menemukan apa-apa kertas itu bersih, tapi begitu gue melihat
ke bawah, ada secarik kertas di dekat sepatu gue, yang gue duga jatuh dari
halaman novel sebelum ini. Dengan harap-harap cemas, gue membaca isi dari
kertas itu.
Back to day 1, seven
hours before, Soekarno-Hatta. See you, Ben! –Ody
Gue
membaca isi dari kertas itu yang sama sekali gak gue mengerti. Ayo Ben, putar
otak, putar otak! Nyaris setengah jam gue memikirkan pesan itu, clue yang paling jelas ya Bandara
Soekarno Hatta. Day 1…. Apa ya? Ah, hari senin! Besok adalah hari senin, hari
pertama gue ketemu Ody. Tapi kenapa gak Day 8 ya, clue-nya lebih mudah, tapi tiba-tiba gue teringat ucapan dia siang
tadi, “Nyadar gak Ben, pertemuan kita pas 7 hari? Hari diciptain cuman 7 kan?
Berikutnya kita ngulang lagi ke awal, hari senin.”
Terus seven
hours before? Tujuh jam sebelum? Jelas bukan menunjukan waktu, kalau 7 AM
atau 7 PM gue masih bisa paham. Tapi ini? Ayo Ben, puter otak looooooo! Before… before, adalah kata kunci
satu-satunya yang gue punya.
Tiba-tiba
otak cemerlang gue menjawab; seven hours
before, jangan-jangan tujuh jam sebelum waktu pertama gue ketemu Ody. Kalau
dulu gue ketemu Ody jam 3 sore berarti……. Tujuh jam sebelumnya adalah jam 8
pagi! Great Ben, you did it.
Akhirnya, setelah yakin gue menjawab teka-teki dengan benar. Gue membelokan
setir, pulang ke rumah.
Day
1 part 2;
Gue
rela bolos kuliah demi menjawab pesan Ody. Dan disini gue berada, dekat counter check in pesawat tujuan London
tepat jam 8 pagi.
Walaupun
kemarin gue yakin setengah mati jawaban teka-teki Ody, mendadak gua skeptis
hari ini, karena Ody gak muncul-muncul…
Tapi,
mungkin dewa amore selalu menyusun takdir indah buat setiap cerita cinta, gue
melihat Ody melambaikan tangan ke gue dari jarak tiga meter, sambil menyeret
koper, ditemani-mungkin- Mama dan Papanya.
For God sake Melody…
lo hampir buat gue patah hati karena skeptis kita gak akan bisa bertemu lagi.
“Have you solved the message, huh?” Ody
tersenyum jahil. Gue menunjukan carikan kertas berisi clue kemarin.
“It was really nice to meet you, Ben!”
Ody berkata dengan tulus. Gue gak melihat kebohongan dalam matanya.
Tapi
bukan it was really nice to meet you too
yang akan gue balas, gue takut lupa untuk yang kesejuta kalinya. Akhirnya, gue
menyodorkan ponsel.
“Nomor
hape, email dan kontak apapun yang bisa aku hubungin,” perintahku tanpa
basa-basi. Ody meraih ponselku sambil geleng-geleng dan tertawa jahil. Dia
mencatat semua kontaknya di note ponsel gue.
Ada satu kalimat yang sebenarnya ingin gue
sampaikan ke dia, Cuma karena disini ada Mama dan Papanya, terpaksa gue
menyelipkan pernyataan itu dalam hati, I
like you, Dy, or more than you never know, whatever it name. And I’ll miss you.
Yang hanya bisa gue katakan sebatas, “See
you, book’s girlfriend.”
Ody
melambaikan tangan dan mengukir senyum yang sama, seperti hari ke 1 sampai ke
7, senyum yang selalu gue suka, lalu membalas, “See you in a few months later, bicycle’s guy.”
Day
1 part 2 done.
Satu lagi cerita yang lahir di tengah malam. Cerpen ini, ngalir begitu aja pada saat saya kebangun jam 10 malam, lalu kata-kata berlarian di otak untuk disalin ke dalam sebuah cerita sampai korupsi jam tidur saya selama 3 jam. And yet, I love them. I love Ben and Ody. They steal my times to do one positive thing. HEHE. Mereka bagai hantu yang membangunkan saya malam-malam hanya untuk membobrokan sindrom writer’s block yang sudah berminggu-minggu saya idap sejak masuk awal semester 3. Dan satu hal penting lagi, ketika saya menulis ini saya terinspirasi memakai sudut pandang orang pertama dan itu cowok setelah habis membaca Critical Eleven dan Somewhere Only We Know. So, thanks Ale dan Kenzo… Thanks Kak Ika Natassa dan Kak Alexander Thian untuk cerita luar biasa kalian. You both inspired me a lot! Besok-besok saya review novelnya deh… (padahal udah selesai baca dari beberapa minggu yang lalu).
Ps: Kak Alexander Thian aka Amrazing, makasih untuk draft lagu-lagu di SOWK-nya, ketagihan denger Anyone at all-nya Caroline King. Cocok deh, jadi soundtrack cerpen ini juga :P
Enjoy
it readdarlings! Salam hakunanitata!❥
Regard,
Nita J.
Pic source: s1.bwallpapers.com / edited by me.