Puzzle pieces
oleh: Nita J.
“Arin ya?” Adalah sebuah pertanyaan paling menyebalkan
yang mampir ke telingaku saat ini. Diutarakan oleh oknum penabrak yang nyaris
menghancurkan laporan kerjaku. Aku tidak mengindahkan pertanyaannya, hanya
mengumpat karena kesal, lantas spontan berjongkok untuk merapikan
dokumen-dokumen yang berececeran. Laki-laki itu sepertinya peka telah membuatku
dalam kesulitan, karena refleks membantuku.
Detik berikutnya, akulah yang ganti bergeming ketika
mataku menembus tepat pada mata kelamnya yang tajam dan menunjukan ketegasan.
Sayang sekali, imejku sudah terlanjur buruk di depan laki-laki ini ketika aku
mengeluarkan kata-kata pedas tadi. Jika sebelumnya aku tahu Tuhan berencana
membuat tabrakan kecil dengan makhluk setampan ini, aku hanya akan berkata
”tidak apa-apa” dengan senyum manis dan tidak perlu marah-marah.
Aku kembali berdiri, begitupun laki-laki tampan itu.
Sembari menyerahkan beberapa dokumen kepadaku, ia mengulang pertanyaan yang
sama untuk kali kedua. “Arin ya?”
Seharusnya aku spontan bertanya balik ”iya, kok lo
kenal gue?” dengan nada was-was karena ada orang asing yang tiba-tiba bertanya
bahkan mengetahui nama kita. Tetapi, kali ini, sifat judesku tidak keluar sama
sekali. Aku hanya mengangguk sekilas dengan senyum tipis yang dibuat-buat agar
terlihat manis.
Laki-laki tampan itu kemudian tersenyum, memamerkan
lesung pipit dikedua sudut bibirnya yang tertarik. Sehabis ini sepertinya aku
harus berkonsultasi ke dokter apa aku mendadak kena gejala diabetes atau tidak
setelah bertemu laki-laki tampan dan manis seperti ini.
“Sudah saya duga,” katanya, membuatku kini mengerutkan
dahi tidak mengerti.
“Kamu benar-benar gak kenal saya Rin?” Laki-laki
tampan itu kembali bertanya. Aku kini hanya mengeluarkan suara a kecil dimulut,
bingung harus menjawab apa. Jika aku menjawab tidak kenal, aku akan mengutuk
diri sendiri karena begitu bodoh tidak kenal dengan laki-laki tampan seperti
ini yang bahkan mengenaliku sama sekali. Namun jika aku menjawab kenal, aku
akan terlihat sama bodohnya karena aku benar-benar tidak mengetahui siapa
dirinya atau barangkali lupa. Aku orang dengan tingkat ingatan yang buruk.
“Sayang sekali ya, saya masih simpan puzzle kamu yang hilang padahal,”
Tunggu... Ada yang tidak asing dari kalimatnya. Puzzle yang hilang. Permainan masa kecil
yang paling aku sukai. Apa jangan-jangan laki-laki tampan ini adalah orang dari
masa laluku? Tapi siapa? Aku bahkan tidak ingat punya teman setampan ini.
Aku melihatnya
mengeluarkan sebuah dompet dari saku celana, lalu merogoh satu potongan puzzle yang sebelumnya terselip di salah
satu bagian dompetnya. Ia menyodorkannya kepadaku, aku meraihnya dengan ragu.
Benda ini asing, aku tidak ingat apapun.
“Kalau puzzle
itu sudah kembali ke tangan kamu, apa tawaran yang dulu juga masih berlaku,
Rin?”
Aku yang tidak mengerti arah pembicaraan ini hanya mengangkat
kepingan puzzle itu ke udara. “Maaf,
tapi saya gak ingat apapun soal benda ini dan jenis tawaran yang kamu singgung,
sebelumnya saya bahkan gak tahu kamu siapa...”
Aku melihat laki-laki tampan itu tersenyum kembali,
nampaknya baru menyadari aku benar-benar tidak mengingatnya sama sekali. “Saya
Leon Rin, Aleondra Cakra Widjaya.”
Aleondra Cakra Widjaya...
Clue; 1) Masa lalu/masa kecil. 2) Puzzle.
Aku dipaksa menggali satu ingatan di masa lampau. Satu
hal yang tidak pernah aku lupakan sampai sekarang adalah kebiasaanku menghafal
deretan nama-nama temanku di absen kelas. Aku biasa menghapal nama mereka tanpa
tahu wajahnya. Jadi kalau dimulai dari Adrian, Agatha, Aji, Aleondra lalu..
Arinda….
Setelah berdiskusi hebat dalam pikiran, aku spontan
mengangkat wajah dan meneliti laki-laki tampan dihadapanku yang masih
tersenyum. Tapi setahuku Aleondra itu...
“Kamu.. yang dulu...”
Leon memotong, “Gendut, pendek dan pakai kacamata.
Suka sekali kasih kamu permen setiap pagi,”
Astaga... Aku menggeleng tidak habis pikir. Leon ini kan’ anak laki-laki yang sering
mengekori kemana-mana, memberi permen setiap pagi, meminjam penghapus dan
membantuku menyusun puzzle-puzzle
tokoh disney. Si gendut yang digosipkan terlibat cinta monyet denganku di kelas
6 SD. Sekali lagi, aku menggeleng tidak habis pikir.
Time was grown so fast and everything has
changed. Included him. I forgot a thing, that he may grow up being a boy, being
a guy, being a man which many talents. And yet, I really forgot the main thing,
he has grown been a handsome man I've ever seen in the whole time, in the
entire of my life. For God sake, can I repeat the old time? I don't mind to be
his close friend, umm… until now.
“Kamu… jadi beda.” Aku berkomentar singkat, setelah
berdialog norak dan panjang lebar dalam hati.
Leon hanya tersenyum tipis. Kemudian mengembalikanku
pada benda sebelum ini, puzzle itu.
Bagaimana bisa Leon menyimpan puzzle
itu bertahun-tahun lamanya? Untuk motif apa? Dan jenis tawaran semacam apa yang
pernah aku katakan kepadanya?
“Sejak saya kecil, I
really want to ask you one thing, Rin. Am
I, ever.... Stay in your heart even a while? May a hour, a minute or a second?”
Aku bergeming dengan pertanyaan itu. Mendadak atmosfir
dalam percakapan ini menjadi serius.
“Saya masih ingat, dulu kamu pernah bilang, kalau saya
nemuin keping puzzle terakhir gambar
istana disney kamu yang hilang, saya dan kamu akan jadi putri dan pangeran di
dalamnya.”
“Saya tahu, kamu sembunyiin puzzle itu di kolong meja saya. Tempat yang mungkin tidak akan
pernah saya pikir karena terlalu mudah. Saya menemukan puzzle itu bahkan gak sampai lima menit. Tapi butuh waktu
bertahun-tahun lamanya mengumpulkan keberanian untuk mengembalikan puzzle ini dan menagih ucapan kamu.”
Aku mendengar Leon berkata sepanjang itu dengan
perasaan gugup. Bagaimana bisa seorang anak kecil menyimpan perasaan sebegitu
dalam pada lawan jenisnya. Bahkan untuk bertahun-tahun lamanya, tanpa pertemuan
pun dia terus menyiram dan memupuk benih perasaannya sampai dewasa.
Meski aku tidak
sepenuhnya ingat tentang Leon, puzzle
bahkan tawaran putri-pangeran yang pernah aku ucapkan. Aku ingin menjawab
pertanyaan Leon yang sebelumnya. Does he
ever stay in my heart even a while?
The answer
is yes, he does.
Bagiku, Leon kecil yang gendut dulu adalah teman
terbaikku. Puzzle pieces yang harus
selalu ada bersamaku untuk membunuh waktu. Gudang permenku setiap hari,
peminjam penghapus rutin dan bodyguard
terbaik sepanjang masa kecilku. Meski setelah gosip cinta monyet itu, akhirnya
aku memilih menjaga jarak dari Leon, dan melupakan kenangan masa kecil
bersamanya.
“Aku menjawab ya, untuk pertanyaan yang benar-benar
ingin kamu tanyakan.”
Leon tersenyum, lalu merentangkan kedua lengannya,
menawarkan sebuah pelukan. Aku refleks bergerak ke arahnya, lalu tenggelam
dalam dada bidangnya yang nyaman.
“Nice to meet
you again, Rin.”
Aku menarik tubuhku kembali, lalu menjawab, “It’s nice to meet you too, Leon.”
Leon berbisik dalam hatinya sendiri, kalimat yang
sebetulnya tidak pernah aku tahu sama sekali.
“Puzzle-nya,
kunci istana itu, sudah aku kembalikan. I've
found my princess.”
The end.
Enjoy it readdarlings! Salam hakunanitata!❥
Regard,
@nitajulio_