.
“People say that Paris is the city of
love, but for Raia, New York deserve the title more. It’s impossible not to
fall in love with the city like it’s almost impossible not to fall in love in
the city.” –Ika Natassa, The
Architecture of Love.
Hello
there! Kali ini saya akan review
novel Kak Ika Natassa yang berjudul “The
Architecture of Love”. Novel ini pada awalnya adalah sebuah #Pollstory yang
dibuat kak Ika dengan kerjasama twitter Indonesia, yang hadir setiap hari
Selasa dan kamis jam 21.00 WIB. Saya termasuk salah satu yang membaca serial
ini di twitter, namun tidak pernah ikut polling
karena saya sendiri membaca The
Architecture of Love (TAOL) di twitter saat cerita tersebut sudah masuk
episode 13.
Namun,
dari #Pollstory yang saya baca di twitter sebanyak 13 episode dan 1 episode
final itulah yang akhirnya membuat saya jatuh cinta pada cerita ini. Ketika
mendengar bahwa #Pollstory akan lahir dalam bentuk fisik sebuah novel, saya
menjadi salah satu readers yang excited ikut menunggu kelahiran TAOL.
Seperti
biasa, Kak Ika selalu melahirkan cerita-cerita yang bagus, saya harus akui
bahwa saya merupakan salah satu penggemarnya. Novel-novel ka Ika adalah novel
yang membuat saya jatuh cinta pada genre metropop
selain Ilana Tan. Maklum, di usia saya yang masih bisa dibilang remaja, saya
kadang-kadang masih sering membaca novel teenlit, tapi akhirnya, sudah hampir dua
tahun saya ‘puasa’ dari novel teenlit dan lebih senang mengkonsumsi
bacaan-bacaan berat, termasuk metropop.
TAOL
bercerita tentang Raia Risjad, seorang penulis yang ‘mengasingkan’ diri ke New
York untuk mengobati syndrome writer’s
block dan mencari insipirasi agar bisa kembali menulis setelah ia
kehilangan ‘muse or whatever you named it
sesuatu’ dalam hidupya. Dan tokoh utama lainnya, River Jusuf, seorang arsitek
yang sudah lebih dulu mengasingkan diri ke New York setelah mengalami juga ‘masalah
kehilangan’ yang hampir serupa.
Jujur,
saat membaca TAOL saya langsung jatuh cinta pada tokoh utamanya, River dan
Raia. Berlatar belakang hampir 70 % New York, novel ini mampu membuat pembaca menikmati
isi bacaan sambil ‘travel’. Karena Kak Ika mengajak membaca untuk meng-explore New York dan memaksamu
menggambarkannya dalam pikiran. Saya tahu beberapa tempat yang diceritakan,
namun sisanya nyolong-nyolong google juga buat mencaritahu.
Kak
Ika memang paling jago mengolah kata sehingga bisa menjadi kalimat-kalimat yang
menggugah minat pembaca untuk terus larut pada isi cerita tanpa istirahat
barang sejenak. Saya bahkan menuntaskan novel ini dalam waktu sehari. Di
bab-bab awal, saya menikmati pertemuan Raia dan River yang kemudian berlanjut
hingga ke momen-momen mereka berdua menghabiskan waktu bersama. Saya salut
ketika kak Ika dengan jagonya menceritakan sejarah tempat-tempat ataupun gedung
yang menjadi latar belakang cerita. Risetnya jempolan.
River
akan membuat kita jatuh cinta dengan sikap misteriusnya, sedangkan Raia akan membuat
kita salut dengan jiwa penulisnya dengan keingintahuan kuat yang berujung
mencaritahu tentang seorang River. Mereka tidak sadar ‘kebersamaan’ mereka pada
akhirnya diam-diam menghampus pelan-pelan rasa kehilangan mereka.
Well, I’m deeply in
love with this story. But, who knows, Ka Ika dengan begitu
saja berubah kejam sampai mencabik-cabik hati ini dengan konflik yang muncul. For me (yang seorang membaca menyebalkan
dan selalu ingin para tokoh utamanya bahagia), it’s not a big problem, tapi lagi-lagi ka Ika bikin kesal setengah
mati karena membuat—masalah yang sebenarnya menurut gue sepele—tapi bisa
sempurna dijadikannya pergolakan batin yang hebat dari si dua tokoh utama.
Kenapa saya anggap sepele? Karena menurut saya, River saat itu sudah tahu ia
jatuh cinta pada Raia, dan sebaliknya. Namun, rasa bersalah dan etc. dalam dirinya yang kemudian menjadi
sebuah kekuatakan kuat yang akhirnya membuat dia tidak ingin mengakui perasaan
atau tidak ingin melanjutkan hubungan itu pada suatu hubungan yang serius.-. Damn you, Riv.
Masalah
tidak selesai disana, bahkan sampai River harus pulang ke Indonesia dan Raia
ditinggalkan begitu saja dengan berjuta pertanyaan dalam dirinya. Once again, damn you, Riv. Saat Raia
sudah bisa kembali menemukan dirinya yang lama, River membuatnya kembali pada
konflik pertama.
Well,
kalau diteruskan akan banyak emosi-emosi yang muncul dan saya mungkin akan
memaki-maki River berlebihan (ini saja sudah spoiler banget hehe). Yet
overall, TAOL adalah sebuah novel yang layak dan wajib dibaca, sama
kerennya seperti Critical Eleven yang juga mencabik-cabik hati saya.
TAOL,
sekali lagi, akan mengajak pembaca untuk bukan hanya jatuh cinta pada River dan
Raia, tapi juga sekaligus membuatmu jatuh cinta pada New York dan membuatmu
ingin terbang kesana. Sama seperti judulnya, The Architecture of Love, yang dalam Kamus besar Bahasa Indonesia: ar·si·tek·tur
/arsitéktur/ n
1 seni dan ilmu merancang serta membuat konstruksi bangunan, jembatan,
dsb; 2 metode dan gaya rancangan suatu konstruksi bangunan. Cinta juga
butuh arsitektur, cinta harus punya konstruksi yang kokoh, agar cinta bisa
berdiri dengan apik tanpa harus roboh.
“People say that you will never know the
value of a moment until it becomes a memory.”
“Because you’re as lost as I am, Raia. And in
the city this big, it hurts less when you’re not lost alone.”
“With the way he makes me feel, I don’t care
about that shit anymore. I don’t need to know about his past anymore because
his present—and presence—makes me happy. I make him laugh and he makes me laugh
and it’s enough.”
“You know what is wrong about always
searching for answers about something that happened in your past? It keeps you
from looking forward. It distracts you from what’s in front of you, Ya. Your
future.”
— The Architecture of Love
Regard,
Nita
J.