Ada
banyak hal yang berevolusi. Manusia, hewan, tumbuhan, teknologi bahkan.... rasa
cinta. Namun, itu tidak berlaku untuk perasaanku pada Juna. Ia memilih stagnan,
berlabuh hanya untuk orang yang sama.
Waktu
berlalu dengan pasti, musim berganti, orang-orang mobilisasi, tapi Juna masih
jadi teka-teki. Desau angin, rintik hujan, pergantian siang dan malam tetap
tidak mampu mengenyahkannya dalam hidup ini.
Pada
suatu hari berhujan, ratusan hari yang lalu, Juna merampas sebuah rasa yang
amat krusial. Rasa cinta. Momen dimana mata kami terkunci satu sama lain,
tangan kecilku dalam genggaman kokohnya, sebuah pelukan singkat yang hangat,
dan tiga kata dengan harga mati; Aku cinta kamu.
Juna mengerahkan seluruh perasaannya, aku
membalasnya dengan hal serupa. Satu yang berbeda, sekali menyerahkan, aku tidak
menerima kembalian. Juna sudah menjadi pemilik yang aku punya. Aku dengan
sukarela menjadi seluruh bagian dalam dirinya.
Dengan
angkuhnya, aku berkata lantang pada dunia bahwa Juna dan aku adalah kebahagiaan
yang hakiki. Kami adalah definisi dari cinta yang sesungguhnya. Tapi satu
ketidaksadaran fatal adalah, aku melupakan evolusi yang mungkin saja terjadi
pada kami. Cinta dapat memerdekakan, namun cinta pula yang dapat memenjarakan
seseorang.
Belum
genap satu tahun, Juna memilih untuk berevolusi. Sendiri. Mendahului aku yang
masih stagnan di belakang, mempertahankan apa yang sudah kami rangkai bersama;
momen, kebahagiaan, suka dan duka. Aku tidak percaya, Juna pergi dengan alasan
yang tak pasti, “apapun dapat berubah, tidak terkecuali perasaan seseorang.
Pergi dan melupakan adalah pilihan yang tepat untuk saat ini.”
Melewati
fakta itu, aku memegang definisi tentang kejahatan paling kejam di dunia, yaitu
cinta. Seolah waktu mempermainkan dengan maha dahsyat, kemarin aku merasa
merdeka karena cinta Juna, hari ini aku merasa cinta Juna pula yang
memenjarakanku dengan gila.
Aku
menangis di bawah pohon akasia, ditertawakan udara, dicemooh langit, dicerca
angin. Mereka sama-sama menyumpah gadis itu, yang kemarin dengan angkuhnya
me-mahasegalakan cinta pada dunia, untuk tidak mengalami evolusi cinta sama sekali.
Ia akan melewati ratusan hari berikutnya dibelenggu pada rasa yang sama, yang membuatnya
merdeka sekaligus terpenjara.
**
Uap
dari mug berisi coklat panas adalah
pemandangan yang pertama yang aku lihat di minggu berhujan, pada bulan juni
kesekian yang kulewati seorang diri. Berkas-berkas pekerjaan masih belum aku
sentuh sama sekali. Aku tidak ingin kehilangan momen ini, duduk memandangi
kristal hujan di sudut kafe dengan iringan musik dari playlist yang sengaja aku request
pada pemilik kafe. Through the years
milik Kenny Rogers adalah lagu kelima, dan masih ada sepuluh lagu tersisa
sebelum biasanya aku memutuskan beranjak untuk pergi. Hal itu sudah jadi
rutinitas selama tiga tahun. Beruntung, pemilik kafe sudah mengenaliku dengan
baik.
Di
detik Kenny Rogers menyanyikan bagian lirik I’ve
learned what’s life about by loving you through the years, pintu kafe
berderit terbuka, yang otomatis mengembalikanku pada realita. Seberuntung-beruntungnya
aku, realita terkadang bisa menjadi sangat kejam. Sama kejamnya pada realita
yang aku hadapi saat ini. Aku mengutuk pada pilihan untuk mendongak, melihat
siapa yang berdiri mengganggu di depan mejaku.
Saat
itu, lagu Every time you go away
Brian Mcknight memenuhi seluruh sudut kafe, seolah menjadi latar belakang musik
pada apa yang kuhadapi di minggu berhujan bulan juni.
Dua
ribu sembilan ratus dua puluh hari menjawab teka-teki yang selama ini aku cari.
Dia adalah Juna. Berdiri dengan gagah, mencolok diantara semua pengunjung kafe
ini. Hujan berhenti, meja-meja kosong mulai penuh terisi, dan Juna masih
memandangku tidak pasti. Ada banyak bahasa dalam matanya yang meminta untuk aku
kenali.
Tidak
ada kata yang terucap. Aku bisa mengkalkulasikan waktu yang kami habiskan untuk
berbicara lewat mata adalah lima menit lamanya. Sebelum akhirnya, Juna membuka
gembok sunyi diantara kami.
“Apa
kabar, Alea?”
Tujuh
tahun lamanya aku berusaha menulikan telinga pada suara bariton milik Juna.
Selama itu pula aku belajar untuk membenci. Namun, hari ini aku sadar bahwa membenci
Juna adalah ujian tersulit yang tidak mampu aku lewati. Aku benar-benar tidak
tahu cinta bisa menjadi begitu keji padahal manusia selalu berusaha untuk
membuatnya suci.
Tidak
ada sepotong kata pun yang terucap secara verbal olehku, tapi lima menit kehadiran
Juna mampu meluruhlantakan segalanya. Manusia mungkin berevolusi, tetapi sekali
mencintai, ada beberapa dari mereka yang lebih baik memilih untuk tidak
mengalami evolusi itu sama sekali.
Aku
tidak tahu apa yang bisa mendefinisikan diriku saat ini, satu hal yang jelas
adalah aku menginginkannya kembali. Juna yang telah meninggalkanku dengan
misteri dan teka-teki, Juna yang telah menyia-nyiakan perasaanku dengan sesuka
hati, Juna yang penuh dengan belati dan bisa saja menikamku sekali lagi. Tapi
aku benar-benar tidak peduli, aku ingin merengkuhnya, membisikan kata yang dulu
tidak sempat aku katakan kepadanya;
Tolong jangan pergi.
**
Lima menit
bersamamu meluruhlantakan segalanya
Senyummu
mengembalikanku pada momen itu
Saat kali pertama
kita bertemu
Bertukar satu,
dua, hingga lebih kata yang tidak dapat kuhitung lagi dengan angka
Dulu, aku
bersamamu karena kita memiliki rasa yang sama
Kini, bertemu lagi
denganmu, aku sadar, seharusnya kata yang tak terhingga itu tidak harus punya
jeda.
Kamu masih menjadi
nomor satu yang tidak bisa aku temukan di nomor dua, tiga dan sisanya.
Ku kira, apa yang
salah jika mencoba untuk membubuhkan hurup A di kata dan kalimat pertama.
Misalnya, Ayo kita
makan siang?
Aku tidak akan
menyesali apa yang terjadi selanjutnya, karena bersamamu, segala momen adalah
kebahagiaan.
THE END
**Sekeping
kata:
Juna
evolusi merupakan rangkaian cerita pertama untuk proyek #MonthlySeries yang
saya buat. Monthly Series diposting setiap tanggal 10 dalam satu bulan. Ikuti
terus serial pendek #MonthlySeries dan nantikan judul berikutnya di bulan Juli.
Salam
hakunanitata!
Regard,
Nita
J.