#MonthlySeries June Pt. 2 - Satu Senti Bermula

Diposting oleh Nita Julianti Sukandar Putri 1 komentar

Lembar papirus terakhir terisi dengan tulisan tangan Arya yang menyemut rapi, menyuarakan selapis terakhir perasaan yang bisa ia rekam sebelum benar-benar terlupakan.
Uap kecil dalam sebuah mug mewakili bagian penting dalam sejarah kehidupannya. Jejak-jejak pengakuan yang menahun hanya memakan spasi dalam ingatan dan tulisan. Bersama musim panas, musim hujan dan musim lainnya yang tidak pernah terlewat satupun tanpa sebuah nama.
Adalah bulan juni terakhir yang bisa ia nikmati dengan berpura-pura memiliki apa yang menjadi milik orang lain, dibalut kepura-puraan, bersembunyi di balik senyum seorang teman, untuk kali terakhir ia benar-benar melakukannya.
Tanda titik mengakhiri proklamasinya sore itu, pada sebuah kalimat penutup di lembar paling belakang yang sejujurnya ingin ia teriakkan dengan lantang;
Saya cinta kamu.
**
Bulan juni pertama ia menemukan perempuan itu, di kelas dua SMA. Perempuan bernama Raia, yang pronounsasi namanya-pun hampir mirip dengannya. Perempuan kecil dengan rambut sebahu dan sebuah kacamata yang bertengger melindungi mata indahnya.
Tidak ada hal istimewa yang seharusnya menjadi dasar untuk menyukai Raia. Tidak sampai suatu hari Raia memergokinya menangis setelah seminggu memasuki ajaran baru. Menjelang petang, setelah menghabiskan waktu dengan ekstakulikuler basket, Arya kembali ke kelas, menangis karena merasa menyesal menuruti tuntutan keluarganya untuk masuk jurusan IPS, dan jutaan beban lain dipundaknya yang hanya dimengerti oleh ia sendiri.
Arya tidak menangis seperti perempuan, ia hanya terisak kecil—tidak selaras dengan kaus basket yang membuatnya terlihat tangguh. Ia bahkan tidak menyadari Raia sudah duduk disebelahnya, menyodorkan sebuah saputangan tanpa mengatakan apa-apa. Dan pada petang itu, di Kelas yang hanya terisi oleh mereka berdua, detak jantung yang seirama dengan detik jarum jam pada satu petang, satu senti bermula oleh hal yang amat sederhana, Arya jatuh cinta.
Bulan juni kedua, mereka sibuk mempersiapkan Ujian Nasional dan aplikasi memasuki perguruan tinggi. Tidak ada yang berubah pada hubungan Arya dan Raia dua tahun setelahnya, stagnansi pada sebuah siklus bernama teman sekelas yang hanya bertukar tiga sampai empat kata dalam sehari. Satu hal yang tidak pernah diketahui adalah, Arya masih menggenggam sebuah perasaan pada Raia yang urung ia ungkapkan bahkan setelah mereka berpisah karena melanjutkan pendidikan tinggi di universitas berbeda. Raia menetap di Indonesia, sedangkan Ia pergi ke Eropa.
Bulan juni ketiga, Arya pulang ke Indonesia untuk menghadiri agenda sakral yang diam-diam ia simpan dalam post it dan notes ponselnya. Sebuah reuni. Arya dan teman-temannya bertukar kabar, saling melempar miliaran kata rindu, berbagi cerita yang berjam-jam melesat ke udara. Tapi, Arya tidak menemukan Raia. Perempuan itu sedang melakukan ekspedisi ke daerah pedalaman untuk berbagi ilmu pada anak-anak, begitu kata salah satu teman sekelas Arya. Dan sekali lagi, Arya harus menitipkan rindu itu pada angin yang berhilir, menitipkan pesan pada awan gempal yang berarak berharap tersampaikan.
Bulan juni keempat dan kelima terlewati dengan rutinitas biasa. Arya seperti laki-laki dewasa pada umumnya, berkencan, menyalurkan hobi, traveling dan ratusan aktivitas lainnya. Tapi idak satu haripun melewatkan kesempatan untuk berbagi rindu pada malam, dan sekecil ingatan tentang seorang perempuan yang menahun masih ada di sudut kecil hatinya, enggan untuk pergi.
Pada bulan juni keenam setelah ia kembali ke Indonesia, Arya baru mampu menafsirkan perasaan itu. Sebongkah rasa yang masih bertahta dan detak jantung yang tidak biasa acapkali ia mengingat nama Raia adalah akibat dari ungkapan yang terlambat tersampaikan. Seharusnya, biar saja ia dulu menembus dinding gengsi dalam dirinya dengan jujur berkata bahwa ia menyukai Raia sedalam yang tidak pernah dapat terukur dengan takaran manusia.
Tapi mengungkapkan adalah hal paling tersulit yang dilakukan manusia, bukan? Manusia terlalu enggan mengungkapkan sesederhana kata maaf dan seringan rasa terimakasih. Apalagi untuk mengungkapkan perasaan.
Arya sadar Raia selalu ada dalam setiap memori yang diingatnya. Ribuan kebohongan dan kepura-puraan tertanam rapi dalam kontak pandora. Tapi Raia bukanlah sebuah kebohongan baginya. Raia adalah sesuatu yang nyata, Raia adalah muse-nya.
Lagu I bet my life milik Imagine Dragons masih terdengar di sela-sela goresan pena dan kertas;
I’ve told a million lies
But now I tell a single truth..
There’s you in everything I do

Uap dalam mug itu sudah tidak nampak, tersisa kopi dingin yang terlalu lama diabaikan. Laki-laki itu memasukan buku yang penuh coretan ungkapan perasaan pada sebuah kotak cantik berpita, dengan dua benda lain di dalamnya. Sebuah saputangan dan kado pernikahan.
Ia sekali lagi melirik selembar undangan di meja, melihat ukiran nama Raia dan nama lain yang bukan dirinya, lalu memilih pergi.
**
Lima tahun yang lalu.
Raia
Jam menunjukan pukul 17:30 dan langit siang sudah saatnya berganti tugas dengan petang. Aku melihat punggung laki-laki itu bergerak tergesa di koridor setelah melempar bola terakhir dengan kasar. Aku mengenalinya sebagai teman sekelasku, Arya. Laki-laki itu cukup populer, tidak perlu bertukar nama  untuk tahu siapa dia karena belasan siswa perempuan mengelu-elu namanya setiap hari.
Aku tidak sampai hati untuk mengekorinya kembali ke Kelas, aku hanya berniat mengambil tumbrl yang tertinggal di kolong meja setelah menyelesaikan rapat osis. Tepat saat aku melangkah di bibir pintu, aku melihat Arya menyeka kedua matanya dengan kaus basket berulang kali.
Aku tidak tahu apa yang mendorongku untuk terus melangkah, pelan, mendekatinya dan terdorong untuk duduk di sampingnya. Arya seperti tidak menyadari kehadiranku, tidak sampai aku menyerahkan selapis sapu tangan yang membuatnya mendongak.
Pada detik pertama mata kami bertemu, Arya seolah mengalirkan luka dalam dirinya padaku. Laki-laki itu terlihat serapuh ranting kering yang tipis. Aku tidak mengatakan apapun karena tiba-tiba aku ingin menangis dan melindunginya. Namun yang bisa aku lakukan hanya melempar senyum tipis padanya, menepuk pundaknya dua kali sebelum aku benar-benar pergi.
Pada langkah ketiga, aku benar-benar menyesali keputusanku untuk pergi. Seharusnya aku ada disana, mendengarnya berbagi cerita, mengobati luka itu tidak peduli ia menerima atau tidak.
Petang itu, saat mata kami terkunci, ada jejak lain yang mengikutiku sampai pulang hingga beratus hari kemudian. Satu senti bermula dari keinginanku untuk tetap ada disisinya.
Aku menyukai Arya.
**

Ensiklopenita:
Ost. Imagine Dragons – I bet My life.
Akhirnya saya kembali bersua di blog ini setelah beberapa bulan semi hiatus dari menulis. Sangat-sangat disayangkan karena proyek #MonthlySeries ini lebih banyak hiatus daripada aktifnya. Dan akhirnya saya sampai pada bulan juni kedua, dimana tahun lalu menjadi bulan juni pertama saya mendekralasikan proyek ini dengan seri pertama berjudul Juna Evolusi. Mudah-mudahan kedepannya, satu seri bisa hadir kembali setiap bulan untuk mengisi blog ini.
Satu Senti Bermula, kalimat itu terinspirasi dari salah satu blogger yang ceritanya dulu acapkali saya baca. Kalimat yang benar-benar magis dan indah untuk dirangkai pada jutaan cerita. Dari satu senti bermula, ada banyak semoga yang teriring untuk menjadi nyata di hari-hari berikutnya.
Dan satu senti bermula menjadi cerita terakhir saya di usia 21. Esok hari tidak lagi sama. Saya sudah 22 dan harus mulai mencari daripada menciptakan karakter laki-laki sempurna yang selalu saya inginkan dikehidupan nyata.
Selamat idul fitri! Mohon maaf lahir dan batin.

Regard,
Nita J

 

Gema Aksara✎ Template by Ipietoon Blogger Template | Gift Idea