Lembar
papirus terakhir terisi dengan tulisan tangan Arya yang menyemut rapi,
menyuarakan selapis terakhir perasaan yang bisa ia rekam sebelum benar-benar
terlupakan.
Uap
kecil dalam sebuah mug mewakili
bagian penting dalam sejarah kehidupannya. Jejak-jejak pengakuan yang menahun
hanya memakan spasi dalam ingatan dan tulisan. Bersama musim panas, musim hujan
dan musim lainnya yang tidak pernah terlewat satupun tanpa sebuah nama.
Adalah
bulan juni terakhir yang bisa ia nikmati dengan berpura-pura memiliki apa yang
menjadi milik orang lain, dibalut kepura-puraan, bersembunyi di balik senyum
seorang teman, untuk kali terakhir ia benar-benar melakukannya.
Tanda
titik mengakhiri proklamasinya sore itu, pada sebuah kalimat penutup di lembar
paling belakang yang sejujurnya ingin ia teriakkan dengan lantang;
Saya cinta kamu.
**
Bulan
juni pertama ia menemukan perempuan itu, di kelas dua SMA. Perempuan bernama
Raia, yang pronounsasi namanya-pun hampir mirip dengannya. Perempuan kecil
dengan rambut sebahu dan sebuah kacamata yang bertengger melindungi mata
indahnya.
Tidak
ada hal istimewa yang seharusnya menjadi dasar untuk menyukai Raia. Tidak
sampai suatu hari Raia memergokinya menangis setelah seminggu memasuki ajaran
baru. Menjelang petang, setelah menghabiskan waktu dengan ekstakulikuler
basket, Arya kembali ke kelas, menangis karena merasa menyesal menuruti
tuntutan keluarganya untuk masuk jurusan IPS, dan jutaan beban lain dipundaknya
yang hanya dimengerti oleh ia sendiri.
Arya
tidak menangis seperti perempuan, ia hanya terisak kecil—tidak selaras dengan
kaus basket yang membuatnya terlihat tangguh. Ia bahkan tidak menyadari Raia
sudah duduk disebelahnya, menyodorkan sebuah saputangan tanpa mengatakan apa-apa.
Dan pada petang itu, di Kelas yang hanya terisi oleh mereka berdua, detak
jantung yang seirama dengan detik jarum jam pada satu petang, satu senti
bermula oleh hal yang amat sederhana, Arya jatuh cinta.
Bulan
juni kedua, mereka sibuk mempersiapkan Ujian Nasional dan aplikasi memasuki
perguruan tinggi. Tidak ada yang berubah pada hubungan Arya dan Raia dua tahun
setelahnya, stagnansi pada sebuah siklus bernama teman sekelas yang hanya
bertukar tiga sampai empat kata dalam sehari. Satu hal yang tidak pernah
diketahui adalah, Arya masih menggenggam sebuah perasaan pada Raia yang urung
ia ungkapkan bahkan setelah mereka berpisah karena melanjutkan pendidikan
tinggi di universitas berbeda. Raia menetap di Indonesia, sedangkan Ia pergi ke
Eropa.
Bulan
juni ketiga, Arya pulang ke Indonesia untuk menghadiri agenda sakral yang
diam-diam ia simpan dalam post it dan
notes ponselnya. Sebuah reuni. Arya dan teman-temannya bertukar kabar, saling
melempar miliaran kata rindu, berbagi cerita yang berjam-jam melesat ke udara.
Tapi, Arya tidak menemukan Raia. Perempuan itu sedang melakukan ekspedisi ke
daerah pedalaman untuk berbagi ilmu pada anak-anak, begitu kata salah satu
teman sekelas Arya. Dan sekali lagi, Arya harus menitipkan rindu itu pada angin
yang berhilir, menitipkan pesan pada awan gempal yang berarak berharap
tersampaikan.
Bulan
juni keempat dan kelima terlewati dengan rutinitas biasa. Arya seperti
laki-laki dewasa pada umumnya, berkencan, menyalurkan hobi, traveling dan ratusan
aktivitas lainnya. Tapi idak satu haripun melewatkan kesempatan untuk berbagi
rindu pada malam, dan sekecil ingatan tentang seorang perempuan yang menahun
masih ada di sudut kecil hatinya, enggan untuk pergi.
Pada
bulan juni keenam setelah ia kembali ke Indonesia, Arya baru mampu menafsirkan
perasaan itu. Sebongkah rasa yang masih bertahta dan detak jantung yang tidak
biasa acapkali ia mengingat nama Raia adalah akibat dari ungkapan yang
terlambat tersampaikan. Seharusnya, biar saja ia dulu menembus dinding gengsi
dalam dirinya dengan jujur berkata bahwa ia menyukai Raia sedalam yang tidak
pernah dapat terukur dengan takaran manusia.
Tapi
mengungkapkan adalah hal paling tersulit yang dilakukan manusia, bukan? Manusia
terlalu enggan mengungkapkan sesederhana kata maaf dan seringan rasa
terimakasih. Apalagi untuk mengungkapkan perasaan.
Arya
sadar Raia selalu ada dalam setiap memori yang diingatnya. Ribuan kebohongan
dan kepura-puraan tertanam rapi dalam kontak pandora. Tapi Raia bukanlah sebuah
kebohongan baginya. Raia adalah sesuatu yang nyata, Raia adalah muse-nya.
Lagu
I bet my life milik Imagine Dragons
masih terdengar di sela-sela goresan pena dan kertas;
I’ve
told a million lies
But
now I tell a single truth..
There’s
you in everything I do
Uap dalam mug itu sudah tidak nampak, tersisa kopi
dingin yang terlalu lama diabaikan. Laki-laki itu memasukan buku yang penuh
coretan ungkapan perasaan pada sebuah kotak cantik berpita, dengan dua benda
lain di dalamnya. Sebuah saputangan dan kado pernikahan.
Ia sekali lagi melirik
selembar undangan di meja, melihat ukiran nama Raia dan nama lain yang bukan
dirinya, lalu memilih pergi.
**
Lima tahun yang lalu.
Raia
Jam
menunjukan pukul 17:30 dan langit siang sudah saatnya berganti tugas dengan
petang. Aku melihat punggung laki-laki itu bergerak tergesa di koridor setelah
melempar bola terakhir dengan kasar. Aku mengenalinya sebagai teman sekelasku,
Arya. Laki-laki itu cukup populer, tidak perlu bertukar nama untuk tahu siapa dia karena belasan siswa
perempuan mengelu-elu namanya setiap hari.
Aku
tidak sampai hati untuk mengekorinya kembali ke Kelas, aku hanya berniat
mengambil tumbrl yang tertinggal di
kolong meja setelah menyelesaikan rapat osis. Tepat saat aku melangkah di bibir
pintu, aku melihat Arya menyeka kedua matanya dengan kaus basket berulang kali.
Aku
tidak tahu apa yang mendorongku untuk terus melangkah, pelan, mendekatinya dan terdorong
untuk duduk di sampingnya. Arya seperti tidak menyadari kehadiranku, tidak
sampai aku menyerahkan selapis sapu tangan yang membuatnya mendongak.
Pada
detik pertama mata kami bertemu, Arya seolah mengalirkan luka dalam dirinya
padaku. Laki-laki itu terlihat serapuh ranting kering yang tipis. Aku tidak
mengatakan apapun karena tiba-tiba aku ingin menangis dan melindunginya. Namun
yang bisa aku lakukan hanya melempar senyum tipis padanya, menepuk pundaknya
dua kali sebelum aku benar-benar pergi.
Pada
langkah ketiga, aku benar-benar menyesali keputusanku untuk pergi. Seharusnya
aku ada disana, mendengarnya berbagi cerita, mengobati luka itu tidak peduli ia
menerima atau tidak.
Petang
itu, saat mata kami terkunci, ada jejak lain yang mengikutiku sampai pulang
hingga beratus hari kemudian. Satu senti bermula dari keinginanku untuk tetap
ada disisinya.
Aku
menyukai Arya.
**
Ensiklopenita:
Ost. Imagine Dragons – I bet My life.
Akhirnya
saya kembali bersua di blog ini setelah beberapa bulan semi hiatus dari
menulis. Sangat-sangat disayangkan karena proyek #MonthlySeries ini lebih
banyak hiatus daripada aktifnya. Dan akhirnya saya sampai pada bulan juni
kedua, dimana tahun lalu menjadi bulan juni pertama saya mendekralasikan proyek
ini dengan seri pertama berjudul Juna Evolusi. Mudah-mudahan kedepannya, satu
seri bisa hadir kembali setiap bulan untuk mengisi blog ini.
Satu
Senti Bermula, kalimat itu terinspirasi dari salah satu blogger yang ceritanya
dulu acapkali saya baca. Kalimat yang benar-benar magis dan indah untuk
dirangkai pada jutaan cerita. Dari satu senti bermula, ada banyak semoga yang
teriring untuk menjadi nyata di hari-hari berikutnya.
Dan
satu senti bermula menjadi cerita terakhir saya di usia 21. Esok hari tidak
lagi sama. Saya sudah 22 dan harus mulai mencari daripada menciptakan karakter
laki-laki sempurna yang selalu saya inginkan dikehidupan nyata.
Selamat
idul fitri! Mohon maaf lahir dan batin.
Regard,
Nita J