#MonthlySeries July - Routine

Diposting oleh Nita Julianti Sukandar Putri 0 komentar


Setiap orang memiliki siklus kehidupan masing-masing. Siklus yang juga bisa disebut sebagai rutinitas bagi seorang Abimana Baskoro.
Misalnya rutinitas seorang guru, ia bisa saja merangkap sebagai Ibu Rumah Tangga yang rutitinas paginya mengerjakan pekerjaan rumah, mempersiapkan sarapan, pergi mengajar lalu pulang untuk kemudian mengulang rutinisitas yang sama keesokan harinya. Atau seorang pegawai kantoran seperti dirinya yang sudah hidup sendiri di apartemen pribadi yang rutinitas hariannya adalah bangun, menyeduh kopi, melewatkan sarapan pagi, mengemudi, pergi ke kantor, melihat arloji lebih dari sepuluh kali setiap hari untuk memastikan jam pulang. Lantas rutinitas itu ia ulang.
Dulu, ia menyukai setiap hari yang dilewati—karena ada satu bagian dalam hidupnya yang menyempurkan rutinitas itu. Tidak setelah beberapa bulan terakhir ketika ia terlambat menyadari bahwa siklus hidupnya mulai berubah digantikan dengan sebuah black hole yang membentuk di sudut hatinya. Sebuah kehilangan.
Detik jarum jam tepat pada angka 12:30 bersamaan dengan notifikasi ponsel menyadarkan Bima dari gambaran rutinitasnya. Notifikasi yang menampilkan berbaris kalimat di pesan baru whatsapp. Bima melirik tidak acuh, memilih menyelesaikan pekerjaannya yang tanggung sebelum beranjak untuk makan siang, namun lagi-lagi notifikasi baru muncul, hanya berselang satu menit kemudian.
“Cek grup WA, si bos ngajak makan di luar nih.” Terdengar suara Ririn di kubikel sebelah Bima.
“Bim, mau ikut gak?” Kepala Ririn menyembul dibalik kubikel. Bima hanya melirik sekilas lantas mengarahkan dagu pada laptopnya memberi kode pekerjaannya yang tanggung untuk diselesaikan.
“Oh iya gue lupa tadi Mas Okis nitip ini sebelum lo dateng.” Ririn menyerahkan selembar undangan ke meja Bima, raut wajah perempuan yang sudah Bima anggap kakak sendiri itu berubah. “Bim, I owe sorry to know this...”
Bima tidak tahu apa yang dimaksud kalimat terakhir Ririn. Ia baru mengerti setelah melihat sebuah ukiran nama dengan font cantik di lembar undangan yang sebelumnya diserahkan Ririn. Black hole disudut hatinya semakin menganga, meninggalkan sebuah luka dan tanda tanya.
**
A year ago...
Ia mendengus, memilih opsi sleep pada laptopnya dan membuka pesan baru yang terus meronta-ronta. Dan ia sudah menebaknya, dari orang yang sama. Pesan tak ubahnya sebuah reminder yang lebih canggih daripada alarm ponsel atau post it di meja kerjanya, sebuah pesan dari Dinda.
Seperti rutinitas biasa, Bima akan mengemudi ke kafe atau restoran yang Dinda share location untuk makan siang. Ia sebenarnya sudah tidak mau ambil pusing dengan agenda-agenda yang Dinda ciptakan melebihi list to do yang ingin ia lakukan di luar pekerjaan. Tetapi, melewati atau absen dari satu rutinitas yang diagendakan Dinda sama saja dengan melibatkan diri pada pertengkaran agung.
Perempuan yang sudah menahun hadir dalam hidupnya dengan status pacar itu melambaikan tangan begitu Bima masuk. Bima yakin, satu keputusan untuk duduk dihadapan Dinda sama saja dengan mempersiapkan telinga kanan dan kirinya untuk mendengar seluruh rangkaian kehidupan perempuan itu dari mulai bangun hingga menginjak kecoa —seperti yang pernah diceritakannya suatu hari.
Dinda mengerucutkan bibir ketika Bima baru saja duduk.
“Kakak telat.”
“Kamu kaya gak tau SCBD aja.” Bima membela diri, walaupun ia tahu ia baru saja memercik api.
“Kakak males ya makan siang sama aku?”
Bima menatap perempuan itu. Hanya sekilas sebelum ia membuang muka kemudian, enggan menyudut api perkelahian semakin besar, ia memilih meminta maaf. Beruntung Dinda sepertinya tidak membahas lebih lanjut karena perempuan itu beralih pada topik lain.
“Besok siang habis dari acaraan anniversary nikahan Oom Adi, kita jadi nonton ya? Nonton yang jam 7 malem aja. Terus Kakak jangan lupa pake batik yang pernah dipake diacaraan Mbak Kinan, terus—”
“Saya capek Din.” Bima memotong ucapan Dinda. Menjadi kali pertama dalam lima tahun hubungannya ia menyela ucapan perempuan itu. Bima tidak tahu, apa yang membuatnya memberanikan diri memercik kembali api yang tadi ia redupkan sendiri.
Ia kembali berucap, “Saya capek sama agenda—bukan, lebih tepatnya tuntutan kamu. Saya pengen istirahat. Saya ingin rutinitas saya sendiri di akhir pekan. Bukan seperti yang kamu arahkan.”
Dinda menatap Bima dengan datar. Tidak mengatakan apapun yang membuat Bima tanpa sadar kembali mencurahkan isi kepala dan hatinya siang itu.
“Saya bosen. Kamu bangunin saya setiap pagi kaya saya anak kecil. Bilang hari ini saya harus sarapan apa, makan siang dimana, pergi kencan kemana. Kamu sama agenda gak jelas kamu. Saya ingin menyudahinya. Saya bukan robot.”
Bima tidak tahu sejak kapan lebih tepatnya, air mata perempuan dihadapannya mulai mengalir melewati pipi pualam yang selalu ingin Bima cubit acapkali pemiliknya cemberut. Hati Bima mencelos, merasakan sebuah peluru bagai melesat melewati jantungnya dan menyebabkan luka yang berdenyut menyakitkan.
“Maaf, Kak.”
Dan itu adalah kalimat terakhir yang ia dengar langsung dari Dinda ketika ia dengan bodohnya menyudahi ratusan hari yang mereka lewati bersama. Sebuah keputusan yang belasan hari kemudian Bima sadari bahwa itu adalah vonis terberat yang ia jatuhkan pada dirinya sendiri. Ia terpenjara dalam sebuah kenangan yang ia buang sendiri hanya karena merasa bosan. Di bulan ketiga setelah vonis itu ia jatuhkan pada hatinya, Bima baru menyadari bahwa ia merindukan rutinitasnya bersama Dinda, segala agenda yang mereka jalankan bersama, dan satu pengakuan besar bahwa ia mencintai Dinda diatas segala keegoisan dalam dirinya.
**
Tidak berapa lama setelah Ririn memberikan selembar undangan dengan ukiran nama yang diingatnya seperti ia mengingat bagian tubuhnya sendiri, notifikasi lain dari ponselnya kembali berbunyi. Sebuah nomor asing mengirimnya pesan.
Kak, aku kebetulan lagi di SCBD. Lagi istirahat gak? Bisa ketemu?
Hati Bima mencelos membaca satu pesan dengan nada kalimat tidak asing. Tanpa perlu mempertanyakan siapa pemilik nomor asing itu, Bima bangun dari kursinya.
Sebuah pemandangan yang sangat ingin Bima lihat dalam kurun setahun terakhir kini kasat di matanya. Gadis itu melambai dengan senyum sama seperti dulu, tanpa menyadari lambaian tangan itu membentuk sebuah harapan kecil dihati Bima.
Mereka bertukar kabar yang diawali dengan sebuah jabatan. Sebuah rutinitas baru terbentuk, alih-alih sebuah pelukan. Rangkaian kalimat saling mengudara, melesatkan satu fakta mengerikan tentang sebuah perpisahan. Bima tidak tahu ia harus bahagia atau sebaliknya, melihat Dinda tersenyum dan tertawa. Seakan dulu ia tidak pernah menggoreskan luka pada perempuan itu.
Bima ingin merekam senyum dan tawa itu pada kamus ingatannya, mengabadikan dalam jejak kenangan yang mungkin pada suatu malam bisa ia ingat-ingat kembali sambil memandang bintang. Satu perempuan seindah pelangi yang memberinya berbagai warna kehidupan, dan menyadarkannya pada suatu pemahaman bahwa meninggalkan bukanlah seharusnya satu-satunya sebuah keputusan.
Ia berkelana dalam setengah jam pertama dengan Dinda, lalu kembali ke bumi setelah Dinda mengucapkan kalimat terakhirnya pada pertemuan siang itu.
“Jangan lupa datang, Kak.”
Bima tersenyum, mengingat secarik undangan yang terbujur di sudut meja kantor dengan ukiran nama Dinda, disandingkan dengan nama lain yang bukan dirinya.
**

Ensiklopenita:
My comeback after hiatus a while. #MonthlySeries yang akhirnya molor lagi seperti sebelum-sebelumnya.
Ceritanya pendek? Emang! As usual as monthly series was. Tapi aku berharap isinya benar-benar ngasih pehahaman dan pesan yang buat kita ‘oh bener ya’ ‘oh gini ya’ dll. Karena kebetulan aku mengamati beberapa teman aku yang punya ikatan hubungan dengan pacarnya dan ada beberapa dari mereka yang over-protektif atau bahkan bersinonim seperti sifat Dinda. Aku memang segelintir orang yang kadang meremehkan ‘apa sih baru pacaran doang sampe begitu’ but I try to see on their view. Gimana dari pandangan orang-orang yang terlibat dalam ikatan itu? Mungkin seterluka itu saat mereka kehilangan, marahan atau break dengan pacarnya saat mereka mengambil keputusan yang sama untuk berpisah gara-gara keegoisan masing-masing atau alasan kuno seperti yang Bima utarakan. But see? Perasaan cinta dan rindu akan selalu menang di atas segalanya. It’s on poin. Tapi apa jadinya kalau kita benar-benar kehilangan dan rutinitas yang kita rindukan tidak bisa kembali seperti sedia kala? We lose. And we should move on, -but it was hard than you may even think.

Regard,
Hakunanitata
 

Gema Aksara✎ Template by Ipietoon Blogger Template | Gift Idea