Setiap
orang memiliki siklus kehidupan masing-masing. Siklus yang juga bisa disebut
sebagai rutinitas bagi seorang Abimana Baskoro.
Misalnya
rutinitas seorang guru, ia bisa saja merangkap sebagai Ibu Rumah Tangga yang
rutitinas paginya mengerjakan pekerjaan rumah, mempersiapkan sarapan, pergi
mengajar lalu pulang untuk kemudian mengulang rutinisitas yang sama keesokan
harinya. Atau seorang pegawai kantoran seperti dirinya yang sudah hidup sendiri
di apartemen pribadi yang rutinitas hariannya adalah bangun, menyeduh kopi,
melewatkan sarapan pagi, mengemudi, pergi ke kantor, melihat arloji lebih dari
sepuluh kali setiap hari untuk memastikan jam pulang. Lantas rutinitas itu ia
ulang.
Dulu,
ia menyukai setiap hari yang dilewati—karena ada satu bagian dalam hidupnya
yang menyempurkan rutinitas itu. Tidak setelah beberapa bulan terakhir ketika
ia terlambat menyadari bahwa siklus hidupnya mulai berubah digantikan dengan
sebuah black hole yang membentuk di
sudut hatinya. Sebuah kehilangan.
Detik
jarum jam tepat pada angka 12:30 bersamaan dengan notifikasi ponsel menyadarkan
Bima dari gambaran rutinitasnya. Notifikasi yang menampilkan berbaris kalimat
di pesan baru whatsapp. Bima melirik tidak acuh, memilih menyelesaikan
pekerjaannya yang tanggung sebelum beranjak untuk makan siang, namun lagi-lagi
notifikasi baru muncul, hanya berselang satu menit kemudian.
“Cek
grup WA, si bos ngajak makan di luar nih.” Terdengar suara Ririn di kubikel
sebelah Bima.
“Bim,
mau ikut gak?” Kepala Ririn menyembul dibalik kubikel. Bima hanya melirik
sekilas lantas mengarahkan dagu pada laptopnya memberi kode pekerjaannya yang
tanggung untuk diselesaikan.
“Oh
iya gue lupa tadi Mas Okis nitip ini sebelum lo dateng.” Ririn menyerahkan
selembar undangan ke meja Bima, raut wajah perempuan yang sudah Bima anggap
kakak sendiri itu berubah. “Bim, I owe
sorry to know this...”
Bima
tidak tahu apa yang dimaksud kalimat terakhir Ririn. Ia baru mengerti setelah
melihat sebuah ukiran nama dengan font
cantik di lembar undangan yang sebelumnya diserahkan Ririn. Black hole disudut hatinya semakin menganga,
meninggalkan sebuah luka dan tanda tanya.
**
A
year ago...
Ia
mendengus, memilih opsi sleep pada
laptopnya dan membuka pesan baru yang terus meronta-ronta. Dan ia sudah
menebaknya, dari orang yang sama. Pesan tak ubahnya sebuah reminder yang lebih canggih daripada alarm ponsel atau post it di meja kerjanya, sebuah pesan
dari Dinda.
Seperti
rutinitas biasa, Bima akan mengemudi ke kafe atau restoran yang Dinda share location untuk makan siang. Ia
sebenarnya sudah tidak mau ambil pusing dengan agenda-agenda yang Dinda
ciptakan melebihi list to do yang
ingin ia lakukan di luar pekerjaan. Tetapi, melewati atau absen dari satu
rutinitas yang diagendakan Dinda sama saja dengan melibatkan diri pada
pertengkaran agung.
Perempuan
yang sudah menahun hadir dalam hidupnya dengan status pacar itu melambaikan
tangan begitu Bima masuk. Bima yakin, satu keputusan untuk duduk dihadapan
Dinda sama saja dengan mempersiapkan telinga kanan dan kirinya untuk mendengar
seluruh rangkaian kehidupan perempuan itu dari mulai bangun hingga menginjak
kecoa —seperti yang pernah diceritakannya suatu hari.
Dinda
mengerucutkan bibir ketika Bima baru saja duduk.
“Kakak
telat.”
“Kamu
kaya gak tau SCBD aja.” Bima membela diri, walaupun ia tahu ia baru saja
memercik api.
“Kakak
males ya makan siang sama aku?”
Bima
menatap perempuan itu. Hanya sekilas sebelum ia membuang muka kemudian, enggan
menyudut api perkelahian semakin besar, ia memilih meminta maaf. Beruntung
Dinda sepertinya tidak membahas lebih lanjut karena perempuan itu beralih pada
topik lain.
“Besok
siang habis dari acaraan anniversary
nikahan Oom Adi, kita jadi nonton ya? Nonton yang jam 7 malem aja. Terus Kakak
jangan lupa pake batik yang pernah dipake diacaraan Mbak Kinan, terus—”
“Saya
capek Din.” Bima memotong ucapan Dinda. Menjadi kali pertama dalam lima tahun
hubungannya ia menyela ucapan perempuan itu. Bima tidak tahu, apa yang
membuatnya memberanikan diri memercik kembali api yang tadi ia redupkan
sendiri.
Ia
kembali berucap, “Saya capek sama agenda—bukan, lebih tepatnya tuntutan kamu.
Saya pengen istirahat. Saya ingin rutinitas saya sendiri di akhir pekan. Bukan
seperti yang kamu arahkan.”
Dinda
menatap Bima dengan datar. Tidak mengatakan apapun yang membuat Bima tanpa
sadar kembali mencurahkan isi kepala dan hatinya siang itu.
“Saya
bosen. Kamu bangunin saya setiap pagi kaya saya anak kecil. Bilang hari ini
saya harus sarapan apa, makan siang dimana, pergi kencan kemana. Kamu sama
agenda gak jelas kamu. Saya ingin menyudahinya. Saya bukan robot.”
Bima
tidak tahu sejak kapan lebih tepatnya, air mata perempuan dihadapannya mulai
mengalir melewati pipi pualam yang selalu ingin Bima cubit acapkali pemiliknya
cemberut. Hati Bima mencelos, merasakan sebuah peluru bagai melesat melewati
jantungnya dan menyebabkan luka yang berdenyut menyakitkan.
“Maaf,
Kak.”
Dan
itu adalah kalimat terakhir yang ia dengar langsung dari Dinda ketika ia dengan
bodohnya menyudahi ratusan hari yang mereka lewati bersama. Sebuah keputusan
yang belasan hari kemudian Bima sadari bahwa itu adalah vonis terberat yang ia
jatuhkan pada dirinya sendiri. Ia terpenjara dalam sebuah kenangan yang ia
buang sendiri hanya karena merasa bosan. Di bulan ketiga setelah vonis itu ia
jatuhkan pada hatinya, Bima baru menyadari bahwa ia merindukan rutinitasnya
bersama Dinda, segala agenda yang mereka jalankan bersama, dan satu pengakuan
besar bahwa ia mencintai Dinda diatas segala keegoisan dalam dirinya.
**
Tidak
berapa lama setelah Ririn memberikan selembar undangan dengan ukiran nama yang
diingatnya seperti ia mengingat bagian tubuhnya sendiri, notifikasi lain dari
ponselnya kembali berbunyi. Sebuah nomor asing mengirimnya pesan.
Kak, aku kebetulan lagi
di SCBD. Lagi istirahat gak? Bisa ketemu?
Hati
Bima mencelos membaca satu pesan dengan nada kalimat tidak asing. Tanpa perlu
mempertanyakan siapa pemilik nomor asing itu, Bima bangun dari kursinya.
Sebuah
pemandangan yang sangat ingin Bima lihat dalam kurun setahun terakhir kini
kasat di matanya. Gadis itu melambai dengan senyum sama seperti dulu, tanpa
menyadari lambaian tangan itu membentuk sebuah harapan kecil dihati Bima.
Mereka
bertukar kabar yang diawali dengan sebuah jabatan. Sebuah rutinitas baru
terbentuk, alih-alih sebuah pelukan. Rangkaian kalimat saling mengudara,
melesatkan satu fakta mengerikan tentang sebuah perpisahan. Bima tidak tahu ia
harus bahagia atau sebaliknya, melihat Dinda tersenyum dan tertawa. Seakan dulu
ia tidak pernah menggoreskan luka pada perempuan itu.
Bima
ingin merekam senyum dan tawa itu pada kamus ingatannya, mengabadikan dalam
jejak kenangan yang mungkin pada suatu malam bisa ia ingat-ingat kembali sambil
memandang bintang. Satu perempuan seindah pelangi yang memberinya berbagai
warna kehidupan, dan menyadarkannya pada suatu pemahaman bahwa meninggalkan
bukanlah seharusnya satu-satunya sebuah keputusan.
Ia
berkelana dalam setengah jam pertama dengan Dinda, lalu kembali ke bumi setelah
Dinda mengucapkan kalimat terakhirnya pada pertemuan siang itu.
“Jangan
lupa datang, Kak.”
Bima
tersenyum, mengingat secarik undangan yang terbujur di sudut meja kantor dengan
ukiran nama Dinda, disandingkan dengan nama lain yang bukan dirinya.
**
Ensiklopenita:
Ensiklopenita:
My comeback after hiatus
a while. #MonthlySeries yang akhirnya molor lagi seperti
sebelum-sebelumnya.
Ceritanya
pendek? Emang! As usual as monthly series
was. Tapi aku berharap isinya benar-benar ngasih pehahaman dan pesan yang
buat kita ‘oh bener ya’ ‘oh gini ya’ dll. Karena kebetulan aku mengamati
beberapa teman aku yang punya ikatan hubungan dengan pacarnya dan ada beberapa
dari mereka yang over-protektif atau
bahkan bersinonim seperti sifat Dinda. Aku memang segelintir orang yang kadang
meremehkan ‘apa sih baru pacaran doang sampe begitu’ but I try to see on their view. Gimana dari pandangan orang-orang
yang terlibat dalam ikatan itu? Mungkin seterluka itu saat mereka kehilangan,
marahan atau break dengan pacarnya
saat mereka mengambil keputusan yang sama untuk berpisah gara-gara keegoisan
masing-masing atau alasan kuno seperti yang Bima utarakan. But see? Perasaan cinta dan rindu akan selalu menang di atas
segalanya. It’s on poin. Tapi apa
jadinya kalau kita benar-benar kehilangan dan rutinitas yang kita rindukan
tidak bisa kembali seperti sedia kala? We
lose. And we should move on, -but it was hard than you may even think.
Regard,
Hakunanitata