pelangi dan janji (cerpen)

Diposting oleh Nita Julianti Sukandar Putri 0 komentar
Pelangi & janji


Ada sepasang merpati terbang meniti pelangi, ada sepasang hati terbang meniti janji.


Ketika sepasang hati terikat menjadi satu jiwa, mengusir luka, membawa cinta, ketika janji tergugus pasti akan ada waktu yang menjadi saksi.


*

Sambil berkacak pinggang, seorang remaja laki-laki dengan balutan seragam putih-abu itu menatap matahari di ufuk barat yang sudah lelah bersembunyi terkalahkan oleh sang hujan , menyongsong waktu yang kian berputar akan menjadi malam. Di temani seorang gadis berperawakan seadanya, ia terlihat begitu bahagia. Ia melangkah kembali dan duduk di samping kiri gadis itu, matanya menyusuri setiap pahatan sempurna sang pencipta alam, gadis itu- ingin sekali ia selalu bersamanya hingga akhir nanti.
“kamu sangat cantik shilla” aku rio
“ga usah gombal mario”


Sementara remaja laki-laki bernama Rio itu terkekeh sendiri, sulit sekali rasanya untuk tidak tersenyum jika sedang bersama gadis itu, gadis yang sebulan lalu berhasil merebut seonggok hatinya, yang menghipnotis kedua telaga beningnya dengan senyum sederhana. Saat hujan tiba-tiba datang bersama pasukan kristal membekukan tubuh rio yang saat itu ikut berteduh di sebuah saung kecil dekat perkebunan teh, gadis itu datang membawa sepucuk kehangatan.


“shill” gadis itu melirik cepat
“aku pengen bersama kamu cuman dua waktu, sekarang dan selamanya”


Tujuh warna sempurna terlukis di langit sana, pelangi. Sore itu baru saja langit selesai menjalankan tugasnya membasahi bumi, ketujuh warna itu tergambar indah menyapu setiap sisi awan yang kelabu, bagai rencana yang di bubuhkan tuhan untuk menyempurnakan kalimatnya tadi.

“aku janji shill, kita akan bersama selamanya”


Dua jari kelingking anak manusia itu terpaut di tengah-tengah pelangi kala hujan sore itu.



*


Ketulusan cinta sejati bukanlah di cari, tapi cobalah di resapi, di pahami dan di mengerti.


Detik kian tersaru waktu.
Tiga tahun kemudian


Waktu berjalan begitu cepat, merubah keadaan, merubah perasaan.

Bingkai kacamata melindungi kedua telaga beningnya, sepasang kaki panjang  melangkah di atas aspal yang masih basah dengan genangan air sisa hujan sore itu, tak ada hal banyak yang berubah dari penampilanya. Hanya saja ia tampak begitu dewasa di banding tiga tahun sebelumnya saat ia masih berusia 15 tahun.


“aku harus ketemu shilla” tekadnya dalam hati.




Sementara di lain tempat, seorang gadis duduk di dekat sebuah pusara, matanya berkaca-kacata, menyusuri tempat peristirahatan terakhir orang yang paling ia kasihi.
Satu tahun lalu, saat dirinya baru saja lulus di bangku SMA, kebahagiaan itu terenggut sudah ketika sang takdir meminta harta paling berharganya berpulang. Hatinya mencelos, kikuk pedih meresapi sampai tulang-belulang, ia rindu sosok itu, sosok yang selalu menjadi semangatnya, ibu.


Waktu berjalan membawa cerita, bersama roda putar waktu pada porosnya.


Sebuah rasa tergoyahkan sudah, bersama lajuardi malam ia bermimpi. Akankah kebahagiaan itu datang kembali? Tidak, maksudnya ia telah lebih bahagia dengan semua ini, hanya saja, masih ada janji yang membebani, janji bersama pelangi, di sore itu.


Shilla –gadis itu, satu bulan setelah kepergian ibunda tercintanya, ada dua malaikat yang memberi terang hidupnya, jonathan, yang tak lain adalah sahabat ibundanya semasa SMA, sahabat yang sudah ia anggap saudara, yang juga punya janji tersendiri dengan almarhum ibunda shilla, kelak jika mereka sudah memiliki keluarga masing-masing, dan lahirlah keturunan dari mereka, jika jonathan memiliki seorang putri, maka akan ia jodohkan dengan putra dari ibunda shilla, begitupun sebaliknya. Dan janji itu tergugus pasti.
Saat inilah, saat shilla tinggal menepati janji sang bunda, bagaimanapun hatinya harus bisa mengadaptasi dengan seonggok hati yang nanti akan menjadi sepasang dengan miliknya, seonggok hati milik putra tunggal jonathan.


“shilla” pekik seorang pemuda sipit
“hey”

“malam-malam di luar, masuk yu” ajaknya, shilla menggeleng pelan
“masih pengen liat bintang vin”
“cantik” pemuda itu menggenggam jemari shilla
 “besok aku bawain bintang ke hati kamu” ujarnya tulus

Angin malam melewati setiap sel tubuhnya, membekukan setiap kata yang ingin ia lontarkan, ah, pemuda ini terlalu baik untuknya, mudah sekali bukan untuk mencintainya?
Tidak, itu yang shilla rasakan, semakin pemuda itu berbuat baik padanya semakin sulit untuk shilla mencoba terbuka, singkatnya, ia tak mau jika nanti hatinya hanya pandai berbohong untuk seorang malaikat sebaik sesempurna pemuda di hadapanya.


“aku gak butuh bintangnya vin” seru shilla sambil menyebutkan potongan nama pemuda itu.
“aku cuman mau terus sama kamu di bawah cahayanya” lanjutnya, berbohong.



**

Kota jakarta mulai melakukan aktifitasnya seperti biasa, macet. Hal paling menyebalkan untuk siapapun yang sedang di kejar waktu, sama seperti yang di rasakan Rio, sudah dari 15 menit lalu rush hitamnya tak berkutik, tak tahu juga mobilnya berada di antrian keberapa, membanting stir dan menekan klakson berkali-kali pun rupanya tak menumbuhkan hasil.

“ck, sial”


‘tin tin’ lagi-keseklian kalinya suara klakson itu berbunyi tak sedikit juga para pengemudi yang geleng-geleng melihatnya.


Merasa risih, seorang pemuda sipit turun dari mobil jazz biru  yang berada tepat di depan vios hitam milik rio dan menghampirinya, hanya ingin menegur –cobalah sabar sedikit, begitu niatnya.

“maaf” ia mengetuk kaca mobil sebelah kanan milik rio.
“kenapa?”

Mata keduanya bertemu. Rio terkesiap.
“alvin!” serunya
“rio”
Dengan gerak cepat rio beralih keluar dari mobilnya dan merangkul bahu kanan alvin, yang tak lain adalah –sahabat kecil rio. Ia masih ingat betul mata sipit alvin, kulitnya yang putih seperti susu, begitu pemikirian rio kecil dulu. Dan dunia memanglah sempit. Dengan rencana tersendiri dua nyawa ini bertemu kembali di sebuah pertemuan yang tak terduga.

“lo udah pulang dari Belanda! Gila ya lo ga ngasih tau gue” Alvin meninju pelan bagian bahu kanan alvin, sedang si empunya hanya terkekeh pelan.
“maksud lo? Heh lo pikir lo siapa gue ha? Haha ” gidik Rio
“eh yo. Lo kok masih item? Makin jelek lagi”
Rio mengatup mulutnya.

‘tin tin’
Rio melirik kecil.
“eh kapan kita bisa ngobrol sambil ngopi?hehe kangen gue sama ceramah lo” tanya rio sambil sedikit-sedikit masuk ke dalam mobilnya kembali, mengingat teguran dari para pengendara di belakang kemudinya.
“nih! telfon gue ya” Alvin melempar sebuah kertas berukuran kecil ke arah rio dan segera berbalik ke arah mobilnya.


**

Di sini haru waktu memberinya jawaban.


Shilla telah berulang-ulang mengetuk pintu jati kamar seorang alvin, namun nihil tak ada sahutan, akhirnya dengan berat hati shilla membuka kenop pintu kamar dan masuk ke dalamnya.
Harum bunga lavender kamar alvin memanjakan setiap udara yang shilla hirup, tak ada kehidupan disini, kemana pemuda itu? Batin shilla. Padahal ia membawa sekotak cake hasil jerih payahnya untuk alvin cicip.

 Shilla berjalan mendekat ke arah balkon dan membuka tirai gorden abu, dan saat itu cahaya mentari menerpa setiap jengkal tubuh shilla.


drrtt drrrrt

Shilla menarik tubuhnya kembali dan berjalan ke arah bedcover alvin, ah memang pemuda itu selalu saja lupa membawa barang paling krusial yang setiap insan miliki. Ponselnya ia biarkan tergeletak tak berdaya, shilla meraih dan mengeja beberapa digit nomor di panggilan baru itu.
“angkat gak ya?” gumam shilla
“ini kan telfon buat alvin, tapi siapa tau penting, yaudah angkat deh” tambahnya dalam hati.


haloo?’

“hai vin, lemot lo lama banget angkat telfon gue”

Shilla diam mematung, entah kenapa tiba-tiba tubuhnya terpaku mendengar suara milik seseorang di ujung telefon sana.

“vin? Are you okay bro?”

‘ka kamu siapa?’

“gue mario, masa lo gak kenal hey? Terus suara lo kenapa jadi kaya cewe gitu ck”


‘rio haling?’ tiba-tiba sebuah pertanyaan terlontar dari bibir shilla tanpa perintah apa-apa.

“iya”


Tut tut tut. Shilla menekan tombol reject berwarna merah di ponsel alvin. Gadis itu tertegun, tubuhnya dingin, organ paling krusial miliknya pun terasa mencelos. Katakan ini hanya mimpi.


--

Shilla merebahkan tubuhnya di kasur, matanya sudah begitu sulit untuk membendung cairan itu untuk tidak mengalir. Namun apa daya, ia hanyalah seonggok hati yang sedang rapuh. Bahwasanya sebuah kenyataan baru saja ia dengar. Sebuah memori yang telah lama ia kubur hadir kembali di ingatanya, sebuah kenyataan bahwa janji itu telah nyata harus ia gali kembali.

“penjahat” gumam shilla di sela-sela tangisanya.


*


Rio mengatur nafasnya, lima belas menit sudah lewat dari jam yang di janjikan. Rio mengacak bagian rambut ikalnya, bosan sekali menunggu. Dan tak lama sebuah tangan kokoh meraih bahu rio.

“pyuhh sorry bro gue telat” ujarnya di sertai sengiran kuda khasnya.
“liat noh pantat gue udah jamuran nungguin elo” ketus rio
“sorry bro, tadi gue nungguin bintang gue hehe eh taunya dia udah duluan ke tempat golf”
Rio mengerutkan dahi.
“siapa yang ngasih lo bintang, gila keren”
“dia cewe gue bego” sahut alvin dan berlalu mendahului rio, sedang rio hanya menggaruk tengkuk dan mengekori alvin dari belakang.

-

“cewe lo mana vin?”

“bentar katanya dia mau kesini kok”
Rio mengangguk dan melanjutkan permainanya.

“maaf vin aku telat” ganti rio yang segera melirik ke sumber suara itu.
Gadis itu tersenyum sambil memainkan ujung rambutnya yang baru saja mendapat pujian dari pemuda di hadapnya.

Rio tersenyum masam.

“ehm” keduanya melirik cepat.

Deg. Luka hati yang menganga itu mengelupas sekejap.
Sebuah desiran berlalu di masing-masing organ krusial milik seorang pemuda dan seorang gadis. Senyum milik seorang pemuda jangkung itu terukir, senyum kepahitan.

“hay shilla”

Shilla diam mematung, tubuhnya bergetar tak karuan, matanya terasa panas. Bibirnya mengatup rapat. Dia Rio. Ejanya dalam hati.

“gue Mario, hm panggil aja rio. Lo shilla kan , calon tunanganya alvin?” belum mendapat jawaban, rio melirik ke sembarang arah dengan tak acuh. Sedang alvin hanya memutar kedua bola matanya, menepuk bahu shilla pelan. Dan tersenyum.
“aku Ashilla, calon tunanganya Alvin, mario” ujarnya dengan fasih.


*


PRAAAANG!

Pemuda itu melempar beberapa lusin barang-barang keramik ke sembarang arah, wajahnya beringas, tubuhnya sudah tak pantas di katakan –tidak apa-apa, karena memang ialah hati yang sedang kacau, gelisahnya memuncak, amarahnya tak berbendung. Para pekerja di rumah besar milik orang tuanya hanya menggeleng-geleng seraya memasang wajah cemas, iba dan khawatir terhadap tuan muda tunggal mereka.

“sudah den Rio, jika tuan haling dan nyonya tahu bagaimana”
Hanya angin lalu, begitulah setiap ucapan yang terlontar dari pembantu-pembantu di rumahnya, pemuda itu terus nampak acuh.

“diem lo semua! Atau mau gue pecat ha?”
“aarrrrrgghhh” erangnya dan berlalu meninggalkan setiap jengkal kecemasan para pembantunya.


Mario haling’s bedroom.

Message tone ponsel Rio berbunyi, pemuda itu mengarahkan dagu pada benda di atas meja panjang sana, kakinya melangkah pelan sempoyongan dan meraihnya.

From : AlvinJo
Bro. Please Tonight come to my parent’s party ya?
Dengan lincah jemarinya mengetik balasan dari pesan Alvin.

To : AlvinJo
Yeaah. Sure :)


*

Ruangan bernuansa ungu ini mengindahkan setiap pasang mata yang hadir di dalamnya. Pesta yang di adakan oleh keluarga Jonathan. Acara anniversary pernikahan orang tua Alvin yang ke 25. Rio turut di undang malam itu, mengingat ia adalah sahabat alvin, dan Haling adalah sahabat karib ayah Alvin. Haling –ayah rio.

“can you give me a drink dear?” rio menarik perhatian sepasang mata di sampingnya.
“tinggal ambil, apa susahnya” sahut seorang gadis acuh.
“gue mau lo yang ambil, shilla. Seperti lo yang udah ambil hati gue sampai saat ini” bisik rio pada telinga kanan shilla dan kemudian melangkahkan kedua kaki panjangnya perlahan. Shilla mencekalnya erat. Tubuh rio tertarik hingga tinggal berjarak beberapa senti dari titik shilla berdiri, namun dengan gerak cepat shilla segera memberi jarak antara mereka.


“jangan asal ngomong tuan muda Rio, saya tak pernah mengambil hati anda. Sedikitpun”
Rio terkekeh pelan dan menatap kedua mutiara shilla dengan tajam.
“bilang sekali lagi dan tatap mata gue nona shilla”
“i never do it” rio mendekatkan tubuhnya ke arah shilla, untung saja malam itu mereka berada di luar ruangan, tepatnya di dekat taman yang sepi di kunjungi para tamu, lampu di sana juga tak seterang di dalam ruangan, jadilah rio bisa bertingkah dengan leluasa.
“dont approach me” seru shilla. Rio semakin tertarik dengan ucapan gadis itu dan kembali mendekatkan tubuhnya hingga punggung shilla mencapai batas dinding.
“please go away from me, rio” shilla tersenyum kecut. Mulai rasa takut itu merajalela pada dirinya, menyadari tak ada jarak yang tersisa saat ini. Bahkan rio mengurung tubuh gadis itu  dengan kedua lengan kokohnya.
Rio memiringkan wajahnya, dan perlahan telunjuknya menyusuri tengkuk shilla. Sebuah desiran hangat kembali melewati setiap sel organ krusial keduanya. Hati. Bahkan shilla -gadis itu bungkam, tak berkutik sedikitpun, hanya menatap dalam dua danau milik rio. Rindu.


“gue masih sayang elo Ashilla, gue masih pegang janji kita” ujar rio dengan tulus, setulus-tulusnya tanpa kiasan kata apapun. Shilla tertegun. Sebuah kristal mulai mengalir di pelupuk matanya.

“aku gak..”


“Rio Shilla!”
Shilla mengerjap dan mendorong tubuh Rio dengan kasar, lantas berlari menuju seorang pemuda yang tengah berdiri dengan raut wajah kecewa tak jauh dari tempat keduanya tadi berdiri, sedang rio menunduk dalam-dalam, kembali ia harus menelan harapan itu bulat-bulat.

“maafin aku vin, aku...”
“ssstt” Alvin mendekatkan telunjuknya ke arah shilla tanpa sebulir ekspresi apapun.
“rio” dari jauh pemilik nama itu mengangkat wajahnya perlahan dan menatapi alvin dengan nanar, memohon ampun sedalam-dalamnya atas perilaku bodoh yang tadi ia lakukan.

“lo pulang aja” lanjut alvin dan berlalu.


*

Jika boleh ia meminta pada tuhan, detik ini ia ingin sekali mengunjungi tempat sang bunda berada. Ingin menumpahkan rasa yang merenggut kekecewaan dua nyawa sekaligus. Dan sialnya dua nyawa itu memiliki ikatan yang kuat, dan pasti saja ia akan ada sebuah kesalahan untuk jalan manapun yang nantinya ia akan pilih.

“lihatlah bunda, betapa bodoh anakmu ini, yang bahkan belum bisa menjadi apa-apa tapi telah dengan sempurna mengecewakan malaikat yang bunda titipkan” ujarnya di temani kerlap-kerlip bintang mengisyaratkan bahwa ia tengah melakukan interaksi dengan bundanya.

“bunda, shilla gak tau harus gimana.. shilla capek bund. Shilla gak mau gini bund” lanjutnya dengan isakan tangis senada dengan isi hatinya.
“kasih tau shilla bunda, jalan mana yg harus shilla pilih?”


*
Rio’s doing otp -
‘luna ?’
‘hah? Jangan ngomong sembarangan kamu’
‘haaah luna aku gak mau’
‘itu kan urusan kamu pribadi, aku juga ada masalah sama alvin’
‘ayolah lun’
‘luna?’

Rio melirik ponselnya. Ah panggilan itu terputus.
“si luna balik dari singapore? Emang bego tu cewe” gumam rio.
Sedikit tentang Luna, gadis itu adalah mantan kekasih Alvin. Sahabat rio sejak SMA. Jadilah perkenalan itu membuat sebuah hubungan yang cukup serius, hingga saat luna duduk di kelas 2 SMA hubungan itu mulai goyah, dan luna meninggalkan alvin tanpa tanda.

Sebenarnya cara yang tuhan bubuhkan untuk keempatnya sama. Ada yang di tinggalkan dan ada yang meninggalkan, dan kau akan tahu seberapa jarak bisa membuat pertahanan cinta itu dengan kuat.

“luna udah balik dari singapore” mata alvin membelalak lebar
“jangan bercanda lo yo, tau darimana lo?”
“gue kan temenya , lo lupa?” ganti alvin memandangi sosok sahabat di hadapanya.
“gue gak bisa balik ke dia, gue udah punya shilla yo”
“shilla milik gue, lo egois vin”
BUG. Sebuah tamparan mendarat di wajah rio.
“elo yang egois yo, jangan pernah lo pikir gue mainin perasaan cewe, luna itu masa lalu gue, dan shilla adalah masa depan gue, gue bakal lupain luna sejauh mungkin. Begitupun elo, lo harus bisa lupain masa lalu elo, shilla”
Manik mata rio membunuh tatapan tajam dari mata alvin, keduanya tengah di ambang emosi.
“gue bakal rebut shilla dari lo” pekik rio dan berlalu meninggalkan alvin yang masih diam mematung.

=====
Dan dengan cara tuhan, cinta itu tumbuh bersama keping-keping harapan. Bersama sisa-sisa penantian, dan dengan jalan takdir yang tuhan gariskan. Ada banyak rencana dan kita tak tau akan seperti apa setelahnya.
Begitupun dengan janji, tuhan punya rencana tersendiri. Dua takdir yang saling melengkapi.

“luna siapa vin?” shilla meraih ponsel alvin dengan –tak sopan. Pemiliknya segera berlari dan merebut dengan kasar benda miliknya di genggaman shilla, hati shilla mencelos. Pasti alvin kecewa untuk kesekian kalinya pada gadis itu, ah bodoh mengapa juga ia harus mengambil barang yang jelas-jelas bukan miliknya, tapi niatnya kan hanya ingin memberikan pada alvin, apa itu salah?

“maaf vin, aku gak maksud”
“stop bilang maaf, udah lah bukan dari siapa-siapa kok, umm kamu keluar aja shill, aku mau ganti baju” potong alvin, shilla mengangguk dan melangkahkan kakinya ke arah pintu.

“eh shill?” shilla menoleh lagi ke arah alvin yg masih membilas rambutnya dengan handuk.
“lain kali jangan ambil barang milik orang lain sembarangan, gak sopan”

-
BUG. Shilla membanting pintu jati kamarnya ia terduduk lemas, membenamkan wajahnya di antara tumpuan lengan di atas lututnya. Benar-benar sudah tak kuat dengan keadaan seperti ini, rio yang tiba-tiba hadir kembali dalam kehidupanya, dan Alvin yang jelas-jelas menjadi dingin terhadapnya.

*

Saat ini akan di temukan jawaban.

“ini luna pah. Makin cantik yah” ujar Alvin. Di sana nampak hadir kedua orang tuanya yang juga menyambut antusias gadis di samping putranya.

Di tempat yang tak jauh Shilla menunduk. Rupanya kali ini ia memang benar-benar telah salah, membuat Alvin begitu cepat melupakanya. Entah kenapa rasa kecewa itu terobati dengan rasa lega. Dan pikiranya saat ini mencetuskan nama rio. Tolong katakan sekali lagi. RIO! Tidak.

-

 Shilla berlari di antara guyuran pasukan kristal hujan sore itu. Angin menerpa kulitnya dengan kasar. Di ringkuhnya sebuah nama dalam hati kecilnya. Ia harus bertemu Rio. Harus.

Hujan itu berhenti. Menjelma menjadi langit berwarna jingga yang indah. Gadis itu menangis sekencang-kencangnya, ingin sekali meluapkan buncahan emosi yang mengganjal di hatinya.
“dasar cewe, bawaanya melow terus yah? Ckck ntar kamu sakit gimana coba”
Shilla terkesiap. Di hapusnya air mata itu dengan kasar oleh kedua telapak tanganya. Ia mencari sumber suara itu dengan cepat. Ah rio!
Dengan gerak cepat shilla menubruk tubuh pemuda di sampingnya. Ada kehangatan tulus yang terasa, ada kerinduan yang mendalam.
Rio balas merengkuh dekapan gadisnya itu, di genggamnya tangan shilla erat-erat. Katakan pada Tuhan bahwa ini memang jalanya. Shilla adalah miliknya.
“dont leave me again , rio”
“aku janji shill, janji dan janji kita akan bersama terus, maafin aku udah pernah sia-sia-in waktu kita kemaren”
Shilla menarik tubuhnya.
“janji?”
“janji” dan untuk janji ini tuhan berikan jawaban atas terpautnya dua kelingking anak manusia ini, kembali bersama pelangi. Goresan tuhan dengan tujuh warna indah. Melengkapi kisah, dua insan ini. Dengan kepastian yang terbayar sudah.


Tentang janji bersama pelangi.

24oktober2011 : Untaian kata untuk mario :)

Diposting oleh Nita Julianti Sukandar Putri 1 komentar
 **




Bersama euphoria malam kami menggema.
Untuk sosok seorang mario, mario yang kini telah dewasa.


Rio kecil yang dua tahun lalu bernyanyi mengalunkan suara bak malaikat di surga.


Detik ini jarum jam bergulir, menjalankan detik menuju kedewasaan sosok mario.


Rio yang selalu menjadi bintang paling terang di hati RISE.


Rio, hari ini penantianmu tiba. Jadilah sekarang sosok mario yang dewasa, bisa terus menjadi cahaya terang bagi rise, menjadi bagian inci dari rise.
Tetap menjadi rio yang sederhana, jangan pernah lupa, kedewasaan bukan untuk menjadikanmu melupa, right?


Kamu tau rio, dua tahun aku menjadi rise bersama mereka, dua tahun juga kami bertahan untukmu.
Menemani keluh kesah dirimu, menuntun kisah hidupmu, menjadi cahayamu.
Buat kami bangga selalu rio! Kamu bisa!

Jangan lihat sisi pahit yang kau rasa dari kami, hanya itu semata kami menyayangimu, kami masih ingin memilikimu seutuhnya.
Bimbing kami untuk tetap menyayangimu, untuk tetap bernaung di bawah cahayamu.
Terlelap dalam pilumu, kita akan bersama, ketika luka, ketika ada tawa.
Kita, satu untuk kamu. Seperti pelangi. Jika bersatu, indah itu akan nyata ada.

Jangan janjikan kami apa-pun.
Cukup berjanji, kamu, aku, kita tetap dalam satu genggaman tuhan, satu senyuman tulus.
Bersama kita denganmu, meraih mimpi di depan sana!
Gerbang kokoh menantimu .




SELAMAT ULANG TAHUN BINTANG, CAHAYAMU TAK AKAN LEKANG OLEH MALAM. TAK AKAN PUDAR OLEH DEBU. TAK AKAN HILANG OLEH JAMAN.
WE LOVE U RIO.
#RIO14thBornDay –


@nittajullio

the letter of feel

Diposting oleh Nita Julianti Sukandar Putri 0 komentar

This thread is just about feelings, and not just a story forerever.
happy reading, guys :)




*



‘jika aku melihat mentari, sinarnya seperti ketika aku melihat senyumu, maka saat aku menatapimu di sanalah aku menemukan ribuan cahaya yang bisa membuat damai’- A




Aku merobek secarik kertas bagian belakang yg bertuliskan kalimat tadi, melipatnya dan memasukanya pada sebuah amplop hijau warna kesukaan subjek yg akan menerima tulisan itu. Dengan senyum merekah aku melanjutkan niatku untuk meletakanya pada salah satu kolong meja di kelas.





-
Surat pertama membungkam rasa.



Aku duduk di dekat koridor yang berhadapan langsung dengan lapangan basket luas di halaman sekolahku, menunggu seorang pemuda yang masih bergelayut manja bersama sebuah bola memantul di sana, Rio, pemuda berperawakan tinggi, hitam manis, dan pujaan para hawa seantero sekolah –sahabat ‘ku’ yang satu ini. Jika bukan pemuda itu yang aku tunggu rasanya tak akan ku pikir dua kali untuk pergi meninggalkanya.



 Tanpa berkata apa-pun, aku masih bungkam. Di satu sisi aku bosan namun ingin terus seperti ini, menatapinya , mengilhami setiap gerak-geriknya. Dan di sisi lain ada sebuah rasa ganjil yg menjadi beban di hatiku, apa aku telah melewati batas ?




“shill, sorry lama hehe” aku menggeleng cepat
“haha nyantai aja yo, udah maenya? Pulang yu udah sore?” rio menautkan kedua alisnya.
“tunggu di sini bentar yah, aku mau ke kelas dulu takut ada yg ketinggalan”



Rasa cemas itu melambatkan denyut nadiku, menghambat saluran nafas dan sempurna membuat  getar di hatiku bergemuruh ketakutan.



Aku tak mengindahkan ucapan rio, tanpa sepengetahuan pemuda itu aku mengikuti ayunan kedua langkah kakinya dari belakang, ingin tau apa yang akan di lakukanya –nanti.



Aku menatap siluit itu gusar. Perlahan jemarinya menyusuri setiap titik di kolong meja,  keningnya berkerut ketika mendapati sebuah ampop hijau dan mengacungkan benda itu di hadapan wajahnya. Dengan dorongan penasaran pemuda itu perlahan membuka amplop dan mengeluarkan secarik kertas usang di dalamnya. Membaca dengan khidmat tanpa sebulir ekspersi di wajahnya, sedang aku yang berdiri di dekat jendela paling ujung hanya diam mematung dengan wajauh pucat entah karena apa alasanya.



‘jika aku melihat mentari, sinarnya seperti ketika aku melihat senyumu, maka saat aku menatapimu di sanalah aku menemukan ribuan cahaya yang bisa membuat damai’- A



Aku yg masih diam mematung tak sadar jika subjek yang ku intip itu kini telah berdiri di sampingku dengan wajah jengah, aku mengerjap ketika mendengar desahan suara baritonya. Rio meringkus benda tak –asing di hadapanku dengan kasar, dan tanpa perasaan pemuda itu melemparnya tepat di di depan kedua bola mataku.




*
Surat kedua berteriak dalam diam.


 
‘kala menatapmu aku merasakan sebuah getaran yang membuncah di hatiku, dan karena itu perasaan ini jadi kian aneh jika terus menerus memikirkanmu’-S



“ck” aku menoleh pada suara itu, rio baru saja melipat sebuah kertas plus amplop yang di temukanya lagi-lagi di kolong mejanya, tanpa basa-basi ia melempar ke arah via yang sedang melaksanakan piket yg menjadi kewajiban rutin kelas di setip jadwalnya.
“sekalian sapuin tuh kertas sampah, bikin gue empet aja” perintah rio.




Aku yang duduk di bangku yang bersebrangan dari arah kiri hanya bungkam, tak ada yang ingin aku ucapkan, tak ingin berkomentar apapun. Hanya cukup hati ini yang menjerit hebat, biarkan ia berceloteh dengan nada-nada kekecewaan tanpa seorangpun yang bisa menafsirkanya.

“shill, pulang yu?” ajak rio . aku menelan rasa sakit itu dalam-dalam. Cukup aku bisa cut untuk beberapa waktu dan setelah itu aku akan berteriak pada lajuardi malam, pada bintang, bahwa aku tak cukup kuat untuk meneruskanya.
“shill? Are you okay?”
“yes, i am”




*

Surat ketiga membuncahkan-kan gundah.



 
Rio menarik kursi kayu ke hadapanku dan duduk di atasnya, menopangkan dagu pada dua lengan yang menjadi titik tumpuanya , menatapku dalam-dalam yang kala itu hanya bertumpu pada deretan kalimat buku tebal di pangkuanku, ah tidak itu hanya beberapa saja, 99% nya aku lebih memilih memusatkan manik mataku pada gerak-gerik rio.



“rio apa sih” malu di tatap seperti itu, aku menghalangi jarak antara kami dengan buku di tanganku, rio hanya terkekeh lantas mengambil buku itu dan menyimpanya jauh-jauh dari kami, detik itu juga ia menarik lengan kananku hingga kini pangkal hidungku beradu dengan dagunya.
“eh” ujarku was-was menyadari ini adalah perpustakaan, walau sepi tapi tak menutup kemungkinan akan ada siswa/i yang melihat adegan frontal ku  bersama rio.
“ops sorry hehe kekencengan yah nariknya?” aku menggeleng kecil lantas menarik tubuhku agar sedikit berjarak dengan tubuh rio.



“ada apa sih?” tanyaku. Lagi-lagi rio membawa sebuah amplop dan mengeluarkan sebuah kertas berwarna merah ati lalu menyodorkanya ke arahku.


Aku mengerutkan kening.
“baca nih surat, gue gak ngerti, kayaknya my secret admirer yg satu ini agak beda dari yang lain”



Aku terkekeh pelan, lucu juga. Sebelum ku buka lipatan kertas itu aku telah lebih dulu tahu rio akan memintaku menterjemahkan isi dari kalimat berbahasa inggris itu.

“hmm guess who?” godaku, rio menggelembungkan pipinya, lucu sekali.
“baca aja deh”



You have become my dream on every day, at any time, anywhere, and has been shining on my days’ -H


“kamu telah menjadi impianku di setiap hari, di setiap waktu, di manapun, dan telah menyinari hari-hariku.” ujarku lantang.

Rio menyimaki setiap ucapanku, aku berharap-harap cemas mencoba menetralisir getaran itu dan bersikap seadanya tanpa ada perkara yang membuat pemuda itu curiga.

“gila ya. Selama tiga hari ini udah 3 orang yang ngasih surat gaje gituan sama gue, tu orang autis kali ya, gak ada kerjaan banget, ck”




Dan setelah itu tak ada jawaban.



*



Hujan memberiku harapan, di setiap tetesnya, sentuhan lembutnya hingga buliran kristalnya yang menerpa bumi.
Kertas dan pena memberiku harapan, di setiap lembarnya, di setiap nodanya, di setiap coretan yang tertumpah di atasnya.


Sejauh ini aku belum bisa memastikan peka dari seorang Mario, yang aku sadari hati ini telah terlalu sakit terbendung semua kebohongan ini. Apa harapanku akan sia-sia? Apa perjuanganku akan seperti kertas yang menjadikanya sampah? Apa iya seperti itu? Tuhan aku mulai ragu.



-
Surat keempat , bukan dia.

 

Aku merapikan peralatan menulisku di atas meja, baru saja aku memalingkan wajah, terlihat ukiran senyum pendamai jiwa yang merekah dari jauh sana, wajahnya berbinar-binar bak seorang pria yang cintanya baru saja terbalaskan. Ah apa seperti itu? Aku harap –never. Egosiku.




“shill” rio menarik tubuhku ke dalam dekapanya. Membuat getaran ini menjalar pada setiap jengkal hatiku, menciptakan pulau merah merona pada kedua pipiku.


“ini yang gue tunggu shill dari surat-surat sebelumnya!” ujarnya sambil menjauhkan tubuhnya dan membuat jarak antara kami.
“gue baca ya shill”



‘tolong lihat aku wahai impian, aku ada di dekatmu, selalu menghujamu dengan senyum, meruntuhkan dengan canda, menumpukan dengan tawa’ –I



“kali ini secret admirer gue namanya dari I shill, dari I yeaaaahh!!” aku mengernyitkan dahi, masih belum mengerti dengan ucapan pemuda itu yang terlewat ceria.
“I sama dengan Ify, gue yakin ini dari ify, siapa lagi cewe yang suka senyum ke gue, bikin gue ketawa kalo bukan ify, akhirnya shill perasaan gue kebales”



DEG. Sebuah harapan yang baru saja tertanam rapi kini goyah di telan kenyataan, sebuah pengakuan yang terlontar dari bibir manis pemuda impianku, hatiku menjerit hebat, batinku mengerang melewati batas, tuhan Bukan dia! Bukan gadis itu!



-


Dengan perasaan tak tentu aku berlari di sepanjang koridor kelas, menumpahkan kekecewaanku, meluapkan perasaan ku yang tak terbalas lewat setiap tetes air yang mengalir di mutiaraku. Sulit sekali rasanya menerima kenyataan pahit itu, dan lengkaplah sudah, sebuah goretan luka menganga tercipta di hatiku.


BRUKK.


Aku terkulai di lantai, baru saja seseorang menubruk tubuhku, aku yang lemah saat itu tak bisa melawan dengan sisa tenaga sekalipun. Aku rapuh, aku hancur.
“shilla?” aku melirik suara itu
“Ify” ucapku getir dan meraih tubuhnya, ify terlonjak kaget dengan gerakanku namun tak ada niat dari gadis itu untuk menolak.



*



Surat kelima, sebuah harapan dalam detik yang hilang.



Aku melanjutkan gerakan pena yang menari di lembaran kertas kelima yang akan kusobek nanti. Tanpa harapan lagi, jemari ini bahkan lelah bekerja hanya demi sebuah surat tentang sebuah perasaan yg bahkan pupus pada surat keempat, lantas mengapa aku masih meneruskanya?



‘tuhan memberiku beribu cara untuk mencintaimu, tanpa aku harus memilkimu dengan niat tegas anganku, tanpa mengharuskan kau sadari perasaanku’-L



Kulipat lagi dan ku masukan sobekan kelima itu pada amplop hijau, biarkan saja nanti surat ini akan berlabuh pada siapa, niatku pun hanya ingin menuntaskan gabungan dari 7 huruf yang kelak akan menyusun menjadi sebuah nama, nama dari pengaggum impian itu.



Dengan langkah gontai aku menyusuri koridor menuju kelas, tulang-belulang ini telah rapuh untuk mengikuti pergerakan organ-organ tubuhku yang lain yang di perintah untuk mencari ilmu, ah benar sekali tak ada niat sedikitpun untuku menginjakakan kaki pada tempat ini.
Aku membelokan langkah kaki ini menuju ruang perpustakaan, baru saja ada sebuah perintah di benaku untuk melanjutkan surat keenam.


Aku mengambil duduk di dekat pajang novel-novel, kebetulan di dekat itu sepi. Aku meraih selembar kertas dan bolpoin di dalam ransel, dengan gerak cepat pena itu menari di atasnya. Aku melirik ke arah kiri, ada seorang pemuda berwajah lugu sambil menenteng beberapa buku tebal dan duduk searah denganku. Ia meliriku cepat kemudian tersenyum, aku membalas senyumnya di sertai anggukan.



“gapapa aku duduk disini?” serunya memulai kebisuan
“sure” ucapku kemudian melanjutkan tulisan yang beberapa kata lagi akan usai.



“eh?” pemuda itu meliriku, dengan kacamata tebalnya di lanjutkan dengan anggukan kecil.
“nama kamu siapa?” seruku
“Deva. Namaku aa ngurah deva ekada saputra” ejanya lancar, aku terkekeh kecil.
“grade?”
“11 ipa 1”
“really? Aku Ashilla, lebih akrab di sapa shilla, salam kenal ya deva” ia mengangguk cepat.




*




Sebuah perkenalan yang tak terduga. Sosok semu yang menorehkan kisah baru. Lengkapnya sejak pertemuan pertamaku dengan deva aku jadi sering bertemu denganya di manapun. Sikapnya yang polos dan terlewat pendiam itu yang membuatku penasaran, namun semua itu terbayar lunas ketika aku bertemu denganya dan ia bercerita apapun yang membuatku kini mengenali arti sosok deva.



“jadi kamu suka sama keke? Anak chers itu?” ucapku tak tahan.
Lucu juga, seorang pendiam seperti deva yang ku rasa lebih mencintai buku ketimbang harus memikirkan rasa yang tuhan anugrahkan itu, pada keke lagi. Gadis elegan terfamous di sekolah, ketua chers yang lebih tepatnya teman sekelasku dengan rio. Ingat juga ketika dulu rio pernah mencurahkan rasa sukanya pada keke lewat sebuah curhatan padaku.
Dan sekarang teman baruku pun mempunyai rasa sama terhadap gadis manis itu, hanya saja alurnya yang berbeda dengan rio.



“aku gak tau aja kenapa bisa suka sama keke, menurutku dia gadis yang beda. Ngga kaya gadis-gadis yang biasanya jadi most wanted itu jutek, sombong, pilih-pilih” jelasnya menerawang.
“kok kamu diam aja? Gak berani ungkapin?” deva menggeleng lemah.
“aku gak cukup pantas buat bertemen aja sama dia”
Dengan gerak cepat aku berdiri di hadapan deva dan meraih kedua bahunya.
“gak ada yang gak mungkin. The power of love itu ada dev, yakin deh. Kamu yang bilang juga kan keke beda. Aku yakin kok kalo kamu berani memulai dari awal, it’ll sucsess later”



Memang bodoh. Aku mengatakan hal seperti itu pada orang lain, lantas aku sendiri?
Gadis buruk rupa yang hanya bisa memendam perasaan, mengintip di celah persahabatan, tentang rasa yang berbeda. Kenapa aku bodoh? Kenapa aku baru sadar bahwa aku telah jauh menelan kesempatan itu? Yang bahkan belum tentu orang lain bisa memilikinya. Aku lebih jauh beruntung dari gadis-gadis yang memiliki rasa yang sama terhadap pemuda impianku, tapi kenapa tuhan, kenapa kemarin dan hari-hari sebelumnya pemuda itu selalu nampak acuh? Dan aku pun Kecewa.




*


Dalam deru hujan aku tertawa miris dalam hati. Perjuanganku untuk membuat senyum itu peka hanya di batas senja, mungkin memang ini takdir yang tuhan tuliskan. Aku tak harus bersamamu dalam indahnya cinta, tapi hanya sebatas kata sayang seorang sahabat.



Aku menghapus deretan kalimat di lembaran kertas untuk surat terakhirku. Sambil menatapi ujung pena yang runcing aku terbayang sosok nya, lengan kokohnya yang selalu meraih bahuku, jemarinya yang selalu bertautan erat dengan jemariku, dan bahunya yang selalu jadi sandaran saat ku terjatuh dalam sedih? Mungkin tidak akan lagi. Dalam satu pemikiran yang kasat mata. Aku lelah dan aku ingin pergi.



“sebait kalimat ini ku torehkan bersama sisa-sisa harapan yang ada. Jika ini memang untuk yang terakhir, maka biarkan pergi dengan kenangan yang sia-sia”



*


‘pluk pluk pluk

“arrgghhhh”
“gue kecewa sama ify!”



Terus saja seperti itu, tanpa sadar aku telah menatapi siluit itu dalam diam. Tak bergerak sedikitpun untuk menghampirinya, hanya berdiri membisu dekat sebuah pohon. Sebenarnya aku ingin sekali menghampirinya dan mengucapkan salam perpisahan, sudah seminggu ini tak ada waktu tersisa pun untuku menemui pemuda itu. Sebenarnya tak sulit untuku menemui pemuda itu, lain denganya setelah kejadian surat tertanda I itu rio selalu menghabiskan waktu dengan ify, mungkin ada harap tinggi untuknya namun nihil. Ketika aku sendiri mendengar kabar bahwa sebenarnya ify tak lebih menganggapnya sebagai sahabat, ify sendiri telah memiliki kekasih jauh sebelumnya.
Dan rio, ah aku tahu pamuda itu pasti sangat rapuh. Maka aku tak ingin semakin membuatnya jatuh jika perasaan ini terbuka.



“shill” aku membalikan tubuhku dan kikuk saat tahu siapa yang kini tengah berdiri di sampingku. Rio.


Satu, dua, di detik ketiga tubuh jangkung itu menubruk tubuhku tanpa ampun. Kembalilah getar itu datang merajalela di sel-sel hati, bersama euphoria hujan yang datang bersama pasukanya tiba-tiba, menggema bersama peluh samar seorang mario.

“gue kangen elo, elo kemana aja sih” aku tak menjawab hanya berusaha melonggarkan dekapan rio dan berhasil.
“aku ada kok, kamu tuh sok sibuk huu” godaku yang sebenarnya hanya mencairkan suasana.

“sumpah deh yah, gue gak pernah sekangen ini sama lo” aku mengulum senyum seraya mencubit pinggang rio pelan, pemuda itu meringis kesakitan.
“aw shilla genit”
“apa sih yo, aku kan emang ngangenin. Baru tau yaa?”

‘cup’

Hening. Suara rintikan hujan pun kian tak terdengar, waktu seakan melambat sampai akhirnya tepat berhenti, hanya sekilas suara dentuman keras di pangkal paling dalam hatimu yang menjerit. Rio apa yang kau lakukan?



*


Minggu. 16-10-2011


Hujan, kau memberiku alasan untuk bertahan.
Bintang, kau memberiku harapan bersama cahayamu.
Rio, kau memberiku jawaban dalam detik yang akan hilang.


-ashilla




“kamu mario?” bola bundar itu berhenti memantul, di genggamnya di kedua lengan rio.
“iya, kenapa?”
“bisa ikut aku sebentar?” rio mengernyitkan dahi, kemudian mengangguk dua kali.


-

“ada yang bisa gue bantu?” ujar rio tanpa basa-basi lagi, deva yang mengajak rio menyerahkan beberapa lembaran kertas yang sudah usang, berdebu, bekas lipatan ke arah rio, rio mengerutkan kening daan segera meraih kertas-kertas yang deva ulurkan.
Benda-benda tak asing di objek penglihatan rio, ah ya ingat ini kan kertas-kertas darii..

“baca dari awal ya” perintah deva.



Surat pertama.

‘jika aku melihat mentari, sinarnya seperti ketika aku melihat senyumu, maka saat aku menatapimu di sanalah aku menemukan ribuan cahaya yang bisa membuat damai’- A


surat kedua.

‘kala menatapmu aku merasakan sebuah getaran yang membuncah di hatiku, dan karena itu perasaan ini jadi kian aneh jika terus menerus memikirkanmu’-S

Surat ketiga.

You have become my dream on every day, at any time, anywhere, and has been shining on my days’ -H

Surat keempat.

‘tolong lihat aku wahai impian, aku ada di dekatmu, selalu menghujamu dengan senyum, meruntuhkan dengan canda, menumpukan dengan tawa’ –I

Surat kelima.

‘tuhan memberiku beribu cara untuk mencintaimu, tanpa aku harus memilkimu dengan niat tegas anganku, tanpa mengharuskan kau sadari perasaanku’-L


“surat keenam, eh” rio meraih saku seragam sekolahnya. Lalu membuka sebuah amplop dan membacanya.
‘bintang, tak cukupkah cahayamu untuk memberikan ia terang? Sudah? Lantas kenapa belum juga ia peka? Aku lelah bintang’ -L

“maksud lo apa sih?” ego rio pun mulai terlihat, menurutnya membuang waktu sekali membaca kertas-kertas sampah seperti itu, bahkan jauh sebelumnya ia telah membuang jauh-jauh kertas-kertas itu, mengapa sosok berkacatamata tebal itu menemukanya? Bahkan semua.

“ini, surat yang terakhir” rio meraihnya cepat.

“sebait kalimat ini ku torehkan bersama sisa-sisa harapan yang ada. Jika ini memang untuk yang terakhir, maka biarkan pergi dengan kenangan yang sia-sia”-A


“bisa kamu susun inisial nama pengirimnya dari awal?” perintah deva –lagi .


Rio menurut saja, kemudian mengeja satu-satu hurup di kalimat paling ujung surat-surat itu.


“A-S—H-I” rio mengernyitkan dahi saat tertumpu pada huruf keempat dan melirik huruf di surat selanjutnya.


“L-L-A”

“Ashilla!” serunya.



Rio mencengkram erat kertas-kertas dalam genggamanya, hatinya mencelos, tubuhnya kikuk tak berdaya, matanya memerah dan melirik deva dengan kedua telaga beningnya.

“bisa habis ini kamu peka dengan keberadaan shilla? Dia orang yang tulus menyayangi kamu, bukan orang lain”
“kejar dia” deva menarik nafas dalam dan membuangnya lewat saluran hidung dengan perlahan.
“kalo kamu bener-bener gak mau kehilangan shilla, sejam lagi pesawatnya bakal terbang, dia mau ngelanjutin sekolah di belanda, seenggaknya kamu bisa bales perasaan dia lewat ucapan”



Tanpa basa-basi rio berlari menuju parkiran dan menancap gas jaguar hitamnya pada kecepatan tertinggi.



@Bandara-

“shilla!”


Aku melirik cepat. Rio. Batinku .


“lo mau kemana? Lo mau pergi ninggalin gue?” serunya pada sisa-sia nafas yang tersendat. Aku mengulum senyum tipis.
“aku mau sekolah rio”
“kenapa harus di belanda? Lo mau jauhin gue kan?
“ngga kok, cie takut kehilangan aku ya?” godaku, rio berdecak kesal.
“ck , kalo iya kenapa?”


“aku mau kamu belajar dulu arti sebuah mencintai yo”
“gue sayang elo shill”

“gak segampang itu yo” ujarku datar.
“aku gak bisa nerima rasa sayang kamu secara tiba-tiba, tapi..” aku meraih kedua bahu kokoh pemuda ‘impianku’ itu.

“semua ini belum berakhir. Aku masih nunggu hati kamu buat terbuka, dan bisa rasain perasaan yang sama kaya aku”

Rio menepis tanganku dan meraih tubuhku ke dalam dekapanya, aku memejamkan mata, ingin sekali bersama rio seperti ini selamanya, namun ini bukan waktunya, ada banyak hal yang harus ku pelajari atas cinta, mencintai,dan di cintai.


Have you got a letter about my feelings, right?”
I've read all of Ms” timpal rio kesal
“haha, lepasin pelukan kamu, sesak tau”


“shill?” aku melirik kedua mutiara hitamnya, tak ingin terlepas sedetik saja untuk yang terakhir kalinya.

“gue bakal nunggu lo disini” dan ia menunjuk hatinya.



*
En nu heb ik gevonden de ware betekenis van liefde, zoals ik hield van de jonge man van mijn dromen.


-Dan kini aku telah menemukan arti mencintai yang sebenarnya, ketika aku mencintai pemuda impianku.

Belanda 24, oktober 2011.


-end
 

Gema Aksara✎ Template by Ipietoon Blogger Template | Gift Idea