This thread is just about feelings, and not just a story forerever.
happy reading, guys :)
*
‘jika aku melihat mentari, sinarnya seperti ketika aku melihat senyumu, maka saat aku menatapimu di sanalah aku menemukan ribuan cahaya yang bisa membuat damai’- A
Aku merobek secarik kertas bagian belakang yg bertuliskan kalimat tadi, melipatnya dan memasukanya pada sebuah amplop hijau warna kesukaan subjek yg akan menerima tulisan itu. Dengan senyum merekah aku melanjutkan niatku untuk meletakanya pada salah satu kolong meja di kelas.
-
Surat pertama membungkam rasa.
Aku duduk di dekat koridor yang berhadapan langsung dengan lapangan basket luas di halaman sekolahku, menunggu seorang pemuda yang masih bergelayut manja bersama sebuah bola memantul di sana, Rio, pemuda berperawakan tinggi, hitam manis, dan pujaan para hawa seantero sekolah –sahabat ‘ku’ yang satu ini. Jika bukan pemuda itu yang aku tunggu rasanya tak akan ku pikir dua kali untuk pergi meninggalkanya.
Tanpa berkata apa-pun, aku masih bungkam. Di satu sisi aku bosan namun ingin terus seperti ini, menatapinya , mengilhami setiap gerak-geriknya. Dan di sisi lain ada sebuah rasa ganjil yg menjadi beban di hatiku, apa aku telah melewati batas ?
“shill, sorry lama hehe” aku menggeleng cepat
“haha nyantai aja yo, udah maenya? Pulang yu udah sore?” rio menautkan kedua alisnya.
“tunggu di sini bentar yah, aku mau ke kelas dulu takut ada yg ketinggalan”
Rasa cemas itu melambatkan denyut nadiku, menghambat saluran nafas dan sempurna membuat getar di hatiku bergemuruh ketakutan.
Aku tak mengindahkan ucapan rio, tanpa sepengetahuan pemuda itu aku mengikuti ayunan kedua langkah kakinya dari belakang, ingin tau apa yang akan di lakukanya –nanti.
Aku menatap siluit itu gusar. Perlahan jemarinya menyusuri setiap titik di kolong meja, keningnya berkerut ketika mendapati sebuah ampop hijau dan mengacungkan benda itu di hadapan wajahnya. Dengan dorongan penasaran pemuda itu perlahan membuka amplop dan mengeluarkan secarik kertas usang di dalamnya. Membaca dengan khidmat tanpa sebulir ekspersi di wajahnya, sedang aku yang berdiri di dekat jendela paling ujung hanya diam mematung dengan wajauh pucat entah karena apa alasanya.
‘jika aku melihat mentari, sinarnya seperti ketika aku melihat senyumu, maka saat aku menatapimu di sanalah aku menemukan ribuan cahaya yang bisa membuat damai’- A
Aku yg masih diam mematung tak sadar jika subjek yang ku intip itu kini telah berdiri di sampingku dengan wajah jengah, aku mengerjap ketika mendengar desahan suara baritonya. Rio meringkus benda tak –asing di hadapanku dengan kasar, dan tanpa perasaan pemuda itu melemparnya tepat di di depan kedua bola mataku.
*
Surat kedua berteriak dalam diam.
‘kala menatapmu aku merasakan sebuah getaran yang membuncah di hatiku, dan karena itu perasaan ini jadi kian aneh jika terus menerus memikirkanmu’-S
“ck” aku menoleh pada suara itu, rio baru saja melipat sebuah kertas plus amplop yang di temukanya lagi-lagi di kolong mejanya, tanpa basa-basi ia melempar ke arah via yang sedang melaksanakan piket yg menjadi kewajiban rutin kelas di setip jadwalnya.
“sekalian sapuin tuh kertas sampah, bikin gue empet aja” perintah rio.
Aku yang duduk di bangku yang bersebrangan dari arah kiri hanya bungkam, tak ada yang ingin aku ucapkan, tak ingin berkomentar apapun. Hanya cukup hati ini yang menjerit hebat, biarkan ia berceloteh dengan nada-nada kekecewaan tanpa seorangpun yang bisa menafsirkanya.
“shill, pulang yu?” ajak rio . aku menelan rasa sakit itu dalam-dalam. Cukup aku bisa cut untuk beberapa waktu dan setelah itu aku akan berteriak pada lajuardi malam, pada bintang, bahwa aku tak cukup kuat untuk meneruskanya.
“shill? Are you okay?”
“yes, i am”
*
Surat ketiga membuncahkan-kan gundah.
Rio menarik kursi kayu ke hadapanku dan duduk di atasnya, menopangkan dagu pada dua lengan yang menjadi titik tumpuanya , menatapku dalam-dalam yang kala itu hanya bertumpu pada deretan kalimat buku tebal di pangkuanku, ah tidak itu hanya beberapa saja, 99% nya aku lebih memilih memusatkan manik mataku pada gerak-gerik rio.
“rio apa sih” malu di tatap seperti itu, aku menghalangi jarak antara kami dengan buku di tanganku, rio hanya terkekeh lantas mengambil buku itu dan menyimpanya jauh-jauh dari kami, detik itu juga ia menarik lengan kananku hingga kini pangkal hidungku beradu dengan dagunya.
“eh” ujarku was-was menyadari ini adalah perpustakaan, walau sepi tapi tak menutup kemungkinan akan ada siswa/i yang melihat adegan frontal ku bersama rio.
“ops sorry hehe kekencengan yah nariknya?” aku menggeleng kecil lantas menarik tubuhku agar sedikit berjarak dengan tubuh rio.
“ada apa sih?” tanyaku. Lagi-lagi rio membawa sebuah amplop dan mengeluarkan sebuah kertas berwarna merah ati lalu menyodorkanya ke arahku.
Aku mengerutkan kening.
“baca nih surat, gue gak ngerti, kayaknya my secret admirer yg satu ini agak beda dari yang lain”
Aku terkekeh pelan, lucu juga. Sebelum ku buka lipatan kertas itu aku telah lebih dulu tahu rio akan memintaku menterjemahkan isi dari kalimat berbahasa inggris itu.
“hmm guess who?” godaku, rio menggelembungkan pipinya, lucu sekali.
“baca aja deh”
‘You have become my dream on every day, at any time, anywhere, and has been shining on my days’ -H
“kamu telah menjadi impianku di setiap hari, di setiap waktu, di manapun, dan telah menyinari hari-hariku.” ujarku lantang.
Rio menyimaki setiap ucapanku, aku berharap-harap cemas mencoba menetralisir getaran itu dan bersikap seadanya tanpa ada perkara yang membuat pemuda itu curiga.
“gila ya. Selama tiga hari ini udah 3 orang yang ngasih surat gaje gituan sama gue, tu orang autis kali ya, gak ada kerjaan banget, ck”
Dan setelah itu tak ada jawaban.
*
Hujan memberiku harapan, di setiap tetesnya, sentuhan lembutnya hingga buliran kristalnya yang menerpa bumi.
Kertas dan pena memberiku harapan, di setiap lembarnya, di setiap nodanya, di setiap coretan yang tertumpah di atasnya.
Sejauh ini aku belum bisa memastikan peka dari seorang Mario, yang aku sadari hati ini telah terlalu sakit terbendung semua kebohongan ini. Apa harapanku akan sia-sia? Apa perjuanganku akan seperti kertas yang menjadikanya sampah? Apa iya seperti itu? Tuhan aku mulai ragu.
-
Surat keempat , bukan dia.
Aku merapikan peralatan menulisku di atas meja, baru saja aku memalingkan wajah, terlihat ukiran senyum pendamai jiwa yang merekah dari jauh sana, wajahnya berbinar-binar bak seorang pria yang cintanya baru saja terbalaskan. Ah apa seperti itu? Aku harap –never. Egosiku.
“shill” rio menarik tubuhku ke dalam dekapanya. Membuat getaran ini menjalar pada setiap jengkal hatiku, menciptakan pulau merah merona pada kedua pipiku.
“ini yang gue tunggu shill dari surat-surat sebelumnya!” ujarnya sambil menjauhkan tubuhnya dan membuat jarak antara kami.
“gue baca ya shill”
‘tolong lihat aku wahai impian, aku ada di dekatmu, selalu menghujamu dengan senyum, meruntuhkan dengan canda, menumpukan dengan tawa’ –I
“kali ini secret admirer gue namanya dari I shill, dari I yeaaaahh!!” aku mengernyitkan dahi, masih belum mengerti dengan ucapan pemuda itu yang terlewat ceria.
“I sama dengan Ify, gue yakin ini dari ify, siapa lagi cewe yang suka senyum ke gue, bikin gue ketawa kalo bukan ify, akhirnya shill perasaan gue kebales”
DEG. Sebuah harapan yang baru saja tertanam rapi kini goyah di telan kenyataan, sebuah pengakuan yang terlontar dari bibir manis pemuda impianku, hatiku menjerit hebat, batinku mengerang melewati batas, tuhan Bukan dia! Bukan gadis itu!
-
Dengan perasaan tak tentu aku berlari di sepanjang koridor kelas, menumpahkan kekecewaanku, meluapkan perasaan ku yang tak terbalas lewat setiap tetes air yang mengalir di mutiaraku. Sulit sekali rasanya menerima kenyataan pahit itu, dan lengkaplah sudah, sebuah goretan luka menganga tercipta di hatiku.
BRUKK.
Aku terkulai di lantai, baru saja seseorang menubruk tubuhku, aku yang lemah saat itu tak bisa melawan dengan sisa tenaga sekalipun. Aku rapuh, aku hancur.
“shilla?” aku melirik suara itu
“Ify” ucapku getir dan meraih tubuhnya, ify terlonjak kaget dengan gerakanku namun tak ada niat dari gadis itu untuk menolak.
*
Surat kelima, sebuah harapan dalam detik yang hilang.
Aku melanjutkan gerakan pena yang menari di lembaran kertas kelima yang akan kusobek nanti. Tanpa harapan lagi, jemari ini bahkan lelah bekerja hanya demi sebuah surat tentang sebuah perasaan yg bahkan pupus pada surat keempat, lantas mengapa aku masih meneruskanya?
‘tuhan memberiku beribu cara untuk mencintaimu, tanpa aku harus memilkimu dengan niat tegas anganku, tanpa mengharuskan kau sadari perasaanku’-L
Kulipat lagi dan ku masukan sobekan kelima itu pada amplop hijau, biarkan saja nanti surat ini akan berlabuh pada siapa, niatku pun hanya ingin menuntaskan gabungan dari 7 huruf yang kelak akan menyusun menjadi sebuah nama, nama dari pengaggum impian itu.
Dengan langkah gontai aku menyusuri koridor menuju kelas, tulang-belulang ini telah rapuh untuk mengikuti pergerakan organ-organ tubuhku yang lain yang di perintah untuk mencari ilmu, ah benar sekali tak ada niat sedikitpun untuku menginjakakan kaki pada tempat ini.
Aku membelokan langkah kaki ini menuju ruang perpustakaan, baru saja ada sebuah perintah di benaku untuk melanjutkan surat keenam.
Aku mengambil duduk di dekat pajang novel-novel, kebetulan di dekat itu sepi. Aku meraih selembar kertas dan bolpoin di dalam ransel, dengan gerak cepat pena itu menari di atasnya. Aku melirik ke arah kiri, ada seorang pemuda berwajah lugu sambil menenteng beberapa buku tebal dan duduk searah denganku. Ia meliriku cepat kemudian tersenyum, aku membalas senyumnya di sertai anggukan.
“gapapa aku duduk disini?” serunya memulai kebisuan
“sure” ucapku kemudian melanjutkan tulisan yang beberapa kata lagi akan usai.
“eh?” pemuda itu meliriku, dengan kacamata tebalnya di lanjutkan dengan anggukan kecil.
“nama kamu siapa?” seruku
“Deva. Namaku aa ngurah deva ekada saputra” ejanya lancar, aku terkekeh kecil.
“grade?”
“11 ipa 1”
“really? Aku Ashilla, lebih akrab di sapa shilla, salam kenal ya deva” ia mengangguk cepat.
*
Sebuah perkenalan yang tak terduga. Sosok semu yang menorehkan kisah baru. Lengkapnya sejak pertemuan pertamaku dengan deva aku jadi sering bertemu denganya di manapun. Sikapnya yang polos dan terlewat pendiam itu yang membuatku penasaran, namun semua itu terbayar lunas ketika aku bertemu denganya dan ia bercerita apapun yang membuatku kini mengenali arti sosok deva.
“jadi kamu suka sama keke? Anak chers itu?” ucapku tak tahan.
Lucu juga, seorang pendiam seperti deva yang ku rasa lebih mencintai buku ketimbang harus memikirkan rasa yang tuhan anugrahkan itu, pada keke lagi. Gadis elegan terfamous di sekolah, ketua chers yang lebih tepatnya teman sekelasku dengan rio. Ingat juga ketika dulu rio pernah mencurahkan rasa sukanya pada keke lewat sebuah curhatan padaku.
Dan sekarang teman baruku pun mempunyai rasa sama terhadap gadis manis itu, hanya saja alurnya yang berbeda dengan rio.
“aku gak tau aja kenapa bisa suka sama keke, menurutku dia gadis yang beda. Ngga kaya gadis-gadis yang biasanya jadi most wanted itu jutek, sombong, pilih-pilih” jelasnya menerawang.
“kok kamu diam aja? Gak berani ungkapin?” deva menggeleng lemah.
“aku gak cukup pantas buat bertemen aja sama dia”
Dengan gerak cepat aku berdiri di hadapan deva dan meraih kedua bahunya.
“gak ada yang gak mungkin. The power of love itu ada dev, yakin deh. Kamu yang bilang juga kan keke beda. Aku yakin kok kalo kamu berani memulai dari awal, it’ll sucsess later”
Memang bodoh. Aku mengatakan hal seperti itu pada orang lain, lantas aku sendiri?
Gadis buruk rupa yang hanya bisa memendam perasaan, mengintip di celah persahabatan, tentang rasa yang berbeda. Kenapa aku bodoh? Kenapa aku baru sadar bahwa aku telah jauh menelan kesempatan itu? Yang bahkan belum tentu orang lain bisa memilikinya. Aku lebih jauh beruntung dari gadis-gadis yang memiliki rasa yang sama terhadap pemuda impianku, tapi kenapa tuhan, kenapa kemarin dan hari-hari sebelumnya pemuda itu selalu nampak acuh? Dan aku pun Kecewa.
*
Dalam deru hujan aku tertawa miris dalam hati. Perjuanganku untuk membuat senyum itu peka hanya di batas senja, mungkin memang ini takdir yang tuhan tuliskan. Aku tak harus bersamamu dalam indahnya cinta, tapi hanya sebatas kata sayang seorang sahabat.
Aku menghapus deretan kalimat di lembaran kertas untuk surat terakhirku. Sambil menatapi ujung pena yang runcing aku terbayang sosok nya, lengan kokohnya yang selalu meraih bahuku, jemarinya yang selalu bertautan erat dengan jemariku, dan bahunya yang selalu jadi sandaran saat ku terjatuh dalam sedih? Mungkin tidak akan lagi. Dalam satu pemikiran yang kasat mata. Aku lelah dan aku ingin pergi.
“sebait kalimat ini ku torehkan bersama sisa-sisa harapan yang ada. Jika ini memang untuk yang terakhir, maka biarkan pergi dengan kenangan yang sia-sia”
*
‘pluk pluk pluk
“arrgghhhh”
“gue kecewa sama ify!”
Terus saja seperti itu, tanpa sadar aku telah menatapi siluit itu dalam diam. Tak bergerak sedikitpun untuk menghampirinya, hanya berdiri membisu dekat sebuah pohon. Sebenarnya aku ingin sekali menghampirinya dan mengucapkan salam perpisahan, sudah seminggu ini tak ada waktu tersisa pun untuku menemui pemuda itu. Sebenarnya tak sulit untuku menemui pemuda itu, lain denganya setelah kejadian surat tertanda I itu rio selalu menghabiskan waktu dengan ify, mungkin ada harap tinggi untuknya namun nihil. Ketika aku sendiri mendengar kabar bahwa sebenarnya ify tak lebih menganggapnya sebagai sahabat, ify sendiri telah memiliki kekasih jauh sebelumnya.
Dan rio, ah aku tahu pamuda itu pasti sangat rapuh. Maka aku tak ingin semakin membuatnya jatuh jika perasaan ini terbuka.
“shill” aku membalikan tubuhku dan kikuk saat tahu siapa yang kini tengah berdiri di sampingku. Rio.
Satu, dua, di detik ketiga tubuh jangkung itu menubruk tubuhku tanpa ampun. Kembalilah getar itu datang merajalela di sel-sel hati, bersama euphoria hujan yang datang bersama pasukanya tiba-tiba, menggema bersama peluh samar seorang mario.
“gue kangen elo, elo kemana aja sih” aku tak menjawab hanya berusaha melonggarkan dekapan rio dan berhasil.
“aku ada kok, kamu tuh sok sibuk huu” godaku yang sebenarnya hanya mencairkan suasana.
“sumpah deh yah, gue gak pernah sekangen ini sama lo” aku mengulum senyum seraya mencubit pinggang rio pelan, pemuda itu meringis kesakitan.
“aw shilla genit”
“apa sih yo, aku kan emang ngangenin. Baru tau yaa?”
‘cup’
Hening. Suara rintikan hujan pun kian tak terdengar, waktu seakan melambat sampai akhirnya tepat berhenti, hanya sekilas suara dentuman keras di pangkal paling dalam hatimu yang menjerit. Rio apa yang kau lakukan?
*
Minggu. 16-10-2011
Hujan, kau memberiku alasan untuk bertahan.
Bintang, kau memberiku harapan bersama cahayamu.
Rio, kau memberiku jawaban dalam detik yang akan hilang.
-ashilla
“kamu mario?” bola bundar itu berhenti memantul, di genggamnya di kedua lengan rio.
“iya, kenapa?”
“bisa ikut aku sebentar?” rio mengernyitkan dahi, kemudian mengangguk dua kali.
-
“ada yang bisa gue bantu?” ujar rio tanpa basa-basi lagi, deva yang mengajak rio menyerahkan beberapa lembaran kertas yang sudah usang, berdebu, bekas lipatan ke arah rio, rio mengerutkan kening daan segera meraih kertas-kertas yang deva ulurkan.
Benda-benda tak asing di objek penglihatan rio, ah ya ingat ini kan kertas-kertas darii..
“baca dari awal ya” perintah deva.
Surat pertama.
‘jika aku melihat mentari, sinarnya seperti ketika aku melihat senyumu, maka saat aku menatapimu di sanalah aku menemukan ribuan cahaya yang bisa membuat damai’- A
surat kedua.
‘kala menatapmu aku merasakan sebuah getaran yang membuncah di hatiku, dan karena itu perasaan ini jadi kian aneh jika terus menerus memikirkanmu’-S
Surat ketiga.
‘You have become my dream on every day, at any time, anywhere, and has been shining on my days’ -H
Surat keempat.
‘tolong lihat aku wahai impian, aku ada di dekatmu, selalu menghujamu dengan senyum, meruntuhkan dengan canda, menumpukan dengan tawa’ –I
Surat kelima.
‘tuhan memberiku beribu cara untuk mencintaimu, tanpa aku harus memilkimu dengan niat tegas anganku, tanpa mengharuskan kau sadari perasaanku’-L
“surat keenam, eh” rio meraih saku seragam sekolahnya. Lalu membuka sebuah amplop dan membacanya.
‘bintang, tak cukupkah cahayamu untuk memberikan ia terang? Sudah? Lantas kenapa belum juga ia peka? Aku lelah bintang’ -L
“maksud lo apa sih?” ego rio pun mulai terlihat, menurutnya membuang waktu sekali membaca kertas-kertas sampah seperti itu, bahkan jauh sebelumnya ia telah membuang jauh-jauh kertas-kertas itu, mengapa sosok berkacatamata tebal itu menemukanya? Bahkan semua.
“ini, surat yang terakhir” rio meraihnya cepat.
“sebait kalimat ini ku torehkan bersama sisa-sisa harapan yang ada. Jika ini memang untuk yang terakhir, maka biarkan pergi dengan kenangan yang sia-sia”-A
“bisa kamu susun inisial nama pengirimnya dari awal?” perintah deva –lagi .
Rio menurut saja, kemudian mengeja satu-satu hurup di kalimat paling ujung surat-surat itu.
“A-S—H-I” rio mengernyitkan dahi saat tertumpu pada huruf keempat dan melirik huruf di surat selanjutnya.
“L-L-A”
“Ashilla!” serunya.
Rio mencengkram erat kertas-kertas dalam genggamanya, hatinya mencelos, tubuhnya kikuk tak berdaya, matanya memerah dan melirik deva dengan kedua telaga beningnya.
“bisa habis ini kamu peka dengan keberadaan shilla? Dia orang yang tulus menyayangi kamu, bukan orang lain”
“kejar dia” deva menarik nafas dalam dan membuangnya lewat saluran hidung dengan perlahan.
“kalo kamu bener-bener gak mau kehilangan shilla, sejam lagi pesawatnya bakal terbang, dia mau ngelanjutin sekolah di belanda, seenggaknya kamu bisa bales perasaan dia lewat ucapan”
Tanpa basa-basi rio berlari menuju parkiran dan menancap gas jaguar hitamnya pada kecepatan tertinggi.
@Bandara-
“shilla!”
Aku melirik cepat. Rio. Batinku .
“lo mau kemana? Lo mau pergi ninggalin gue?” serunya pada sisa-sia nafas yang tersendat. Aku mengulum senyum tipis.
“aku mau sekolah rio”
“kenapa harus di belanda? Lo mau jauhin gue kan?
“ngga kok, cie takut kehilangan aku ya?” godaku, rio berdecak kesal.
“ck , kalo iya kenapa?”
“aku mau kamu belajar dulu arti sebuah mencintai yo”
“gue sayang elo shill”
“gak segampang itu yo” ujarku datar.
“aku gak bisa nerima rasa sayang kamu secara tiba-tiba, tapi..” aku meraih kedua bahu kokoh pemuda ‘impianku’ itu.
“semua ini belum berakhir. Aku masih nunggu hati kamu buat terbuka, dan bisa rasain perasaan yang sama kaya aku”
Rio menepis tanganku dan meraih tubuhku ke dalam dekapanya, aku memejamkan mata, ingin sekali bersama rio seperti ini selamanya, namun ini bukan waktunya, ada banyak hal yang harus ku pelajari atas cinta, mencintai,dan di cintai.
“Have you got a letter about my feelings, right?”
“I've read all of Ms” timpal rio kesal
“haha, lepasin pelukan kamu, sesak tau”
“shill?” aku melirik kedua mutiara hitamnya, tak ingin terlepas sedetik saja untuk yang terakhir kalinya.
“gue bakal nunggu lo disini” dan ia menunjuk hatinya.
*
En nu heb ik gevonden de ware betekenis van liefde, zoals ik hield van de jonge man van mijn dromen.
-Dan kini aku telah menemukan arti mencintai yang sebenarnya, ketika aku mencintai pemuda impianku.
Belanda 24, oktober 2011.
-end
0 komentar:
Posting Komentar