Tak pernah padam: Wait was not wrong, isn't it? (Cerpen)

Diposting oleh Nita Julianti Sukandar Putri 0 komentar



“If I could change the world overnight
There'd be no such thing as goodbye
You'd be standing right where you were
And we'd get the chance, we deserve.”

-Ariana Grande, Almost is never enough.

**

Senyumanmu
Masih jelas terkenang
Hadir selalu
Seakan tak mau hilang dariku

Aku menghela nafas berat. Memberi jeda pada sebuah lagu yang ter-shuffle di list musik favoritku. Lagu itu, lagu yang acap kali kuputar disaat perasaanku gamblang seperti ini. Entahlah, aku hanya menyukai kegiatan semacam ini (walaupun tidak pernah menguntungkan). Segera, aku melirik ke kanan–tempat meja panjang panjangku berada. Di sana, tergeletak sebuah bunga. Mawar. Warna merahnya sudah pudar. Tangkainya sudah rapuh. Dan, kelopaknya sudah layu, di makan waktu. Jatuh beberapa tanpa bertahan lebih lama.

Tapi... tidak untuk hati dan perasaanku. Keduanya masih berbentuk bunga seutuh-utuhnya. Tidak ada yang pudar, rapuh, bahkan layu. Hati dan perasaan ini saling melengkapi, saling berinteraksi satu sama lain. Bukan, bukan bersikeras membuatnya hilang mereka berkompromi untuk terus mengizinkan bunga–perasaan–ini terus merekah. Padahal, tak seorang pun memupuk atau menyiraminya. Tak juga dia. Dia, seseorang yang telah menanam benih bunga itu hingga tumbuh dan merekah sampai sejauh ini.

Dia. Pemilik bunga yang terus mekar ini hilang. Entah karena ia malas memupuk lebih lama atau ia tengah memupuk di tempat lain, membiarkan ‘bunga’ berbeda tumbuh juga.

Rasanya, tak pantas terus membiarkanya mekar. Tidak tahu diri. Seharusnya ia mati saja, atau gugur tanpa tetek bengek musim apapun.

Namun tidak semudah itu. Walaupun bunga ‘perasaan’ ini mati dengan  usaha keras yang dibuat-buat, akarnya belum tentu hilang. Ia mungkin akan terus bertunas, menggantikan perasaan lain yang ternyata tidak hidup dengan satu nyawa. Ya, bagaimanapun ini jalan yang aku pilih. Mencintai dan mengizinkan perasaan ini terus mekar tanpa alasan yang berarti. Tidak untuk meminta dikasihani. Ia hanya ingin terus hidup, dalam bayangan dan sebatas namanya saja, sekalipun.

**

Takkan mudah
Ku bisa melupakan, segalanya
Yang telah terjadi di antara kau dan aku
Di antara kita berdua

Dua hari lalu, umurku dua puluh tahun. Tujuh belas tahun sebelumnya berlalu dengan begitu cepat dibanding tiga tahun kemarin yang amat lambat. Aku hidup dengan nafas yang sama namun terasa berbeda. Satu tarikan nafas di tiga tahun terakhir ini menyesakkan bongkahan-bongkahan menyakitkan. Kehilangan. Penantian.

Tiga tahun yang lalu, sebelum umurku berkepala dua, ia masih nyata. Mengukir seulas senyum hingga menciptakan lesung di sudut kanan bibirnya. Manis. Semanis kenangan seumur jagung bersamanya.

Dulu, ia menggenggam tanganku, menenggelamkan jari-jariku di buku-buku jemari kokohnya. Meyakinkanku, bahwa dia menyukai segala hal tentang hidupku. Tanpa ia utarakan satu alasan apapun.

Tanpa ku sadari, lesung di sudut kanan bibir dan pernyataanya memanah bagian paling dangkal hatiku, terlalu dalam, hingga aku tidak bisa lagi membiarkan pemanah lain menancapkan hal yang serupa.

Dan tanpa ku sadari juga, umurku sekarang dua puluh dua. Aku masih memujanya.

**

Kini tak ada terdengar
Kabar dari dirimu
Kini kau telah menghilang
Jauh dari diriku

“Dia itu, terlalu bermakna.” Kataku, yang kemudian mengundang ledakan tawa teman-temanku.

Tapi tidak Haikal. Dia bahkan tidak tersenyum sedikitpun. Mungkin karena ia menghargai posisiku, atau dia mengerti betawa rawan segala hal yang menyinggung perasaan?

Haikal. Satu-satunya teman dekatku dua tahun terakhir ini. Ia adalah telinga yang selalu mendengar segala apa keluh kesahku tanpa mengatakan ‘a’ atau ‘b’ sebagai sanggahan atau kritikan. Haikal setahun lebih tua dariku. Aku memantenkan dirinya sebagai sosok kakak laki-laki paling berharga sepanjang masa. Ia hanya tertawa.

Haikal tahu, aku Kiara Aresta tidak lain hanyalah seonggok manusia, yang selalu percaya bahwa cinta tidak pernah sia-sia. Cinta tidak bisa dipandang sebelah mata, ia akan tetap sama bagi hati yang benar-benar mengizinkanya ada.

“Dua puluh dua tahun bukan umur untuk mengeja perasaan, Ra. Apalagi ia sudah hidup terlalu lama. Ia sudah bernyawa. Ia sudah menjiwa. Kamu tidak perlu menuntut hal yang seharusnya tidak ada.” Kata Haikal, suatu ketika.

Aku mengerutkan dahi, tidak terima atas jawaban Haikal.
“Kenapa aku tidak perlu menuntut padahal ia sudah terlalu lama hidup di dalam hatiku? Apa yang salah?”

Haikal tersenyum, melanjutkan, “Justru karena ia sudah tumbuh, kemudian hidup terlalu lama, ia sudah senyawa, ia sudah memiliki jiwa yang kamu sendiri beri tempatnya. Kamu ataupun dia akan selalu hidup tanpa ada sosok yang nyata. Karena kamu sendiri yang memilih untuk menempatkanya.”

Aku bergeming. Menarik nafas. Haikal sudah terlalu sering bermonolog seperti itu. Tapi, kali ini ia terlalu bicara secara gamblang yang aku sendiri bingung bagaimana menyikapinya.

Dan, seiring berjalanya waktu. Percakapan itu sudah berlalu. Tanpa terasa, umurku sekarang dua puluh tiga. Haikal dua puluh empat. Dia, aku tidak tahu. Karena aku sendiri tidak pernah tahu, apa ia masih bernyawa atau sudah hilang ditelan masa.

Tapi, perasaan itu tetap sama. Aku selalu memujanya.


**



Alarm berbunyi memekakkan telinga. Hari minggu seperti ini biasanya aku mengasingkan weker itu dimana saja. Tetapi, rupanya Mama menghentikan rutinitasku minggu ini. Aku mengeluh, yang haya di jawab tunjukan tak masuk akal. Kotak surat di dekat pagar. Mungkin, Mama menyuruhku mengambil secarik kertas didalam sana.

Masih mengenakan piyama, aku berjalan dengan rambut yang sedikit awutawutan karena kubiarkan tergerai begitu saja.

Kotak surat itu masih terbuka, di dalamnya ada sebuah brosur telanjang tanpa amplop, aku meraihnya. Mengucek mata sekali lagi, tidak percaya pada kalimat awal pembukanya.



Reunian. Aku menelan ludah. Diam mematung. Sampai akhirnya, Mama menepuk bahuku pelan dan aku nyaris bergoncang. Tanpa aba-aba, Mama merebut brosur yang masih menghuni lenganku. Dua menit kemudian, beliau mengguncang bahuku, berbisik,

“Kamu harus ikut, Ra. Tunjukin sama teman-teman kamu, kalau kamu sudah sukses.”
Aku mengedikkan bahu. Entahlah.


**


Semua tinggal cerita
Antara kau dan aku
Namun satu yang perlu engkau tahu
Api cintaku padamu
Tak pernah padam

Suara Sandy sandoro masih mengalun di tape mobilku. Sengaja aku putar dengan volume paling maksimal. Malas mendengar bunyi klakson dari mobil di belakangku yang juga mengantri akibat dari peradaban Jakarta yang tidak pernah berubah. Macet. Aku tidak terlalu peduli dengan suara bising di luar sana. Sungguh, sejak hadirnya secarik brosur itu, hidupku seminggu ini selalu terganggu.

Aku dihantui bertubi-tubi bayangan masa lalu. Ia. Lesung pipi di senyumnya. Jemari kokohnya. Pernyataanya.

Dan sekali lagi, perasaan menganggu ini begitu fatal setelah aku memutuskan mengirim email sebagai jawaban bersedia. Dua hari berikutnya, ponselku lantas tidak pernah sepi dari ocehan teman-teman SMA-ku di chat room, yang dibuat khusus untuk mempermudah komunikasi sesama alumnus menjelang hari inti.

Entah harus pecaya atau tidak, besok hari itu tiba.


**

Lilin-lilin kecil menyala hingga sepanjang jalan menuju lapangan utama. Rupanya Galih memang benar-benar nekat menggelar acara ‘meet old friends’ ini diluar ruangan.

Aku baru menginjakkan kaki setelah berhasil menemukan tempat strategis untuk memarkir mobil. Aku memakai dress berwarna merah maroon selutut, berlengan buntung. Rambut panjangku, sengaja aku kuncir kuda dengan membiarkan sedikit rambut tipis lainya jaruh di sekitar pelipis. Kata Haikal, hal itu membuatku selalu terlihat manis. Tapi, salah sepertinya memakai setelan seperti ini, karena belum beberapa menit udara malam menyapaku dengan ganas.

Aku berjalan kecil-kecil di sekitar lapangan utama. Disana-sini sudah berseliweran alumni-alumni yang mulai asing di penglihatanku. Tapi, belum lima menit aku memandang heran, sebuah tangan terulur menyentuh bahu kananku.


Aku menoleh.


“Hei, Kiara, ya?” tanyanya dengan seringai lebar.

Aku mengangguk pelan, sambil menimang siapa orang yang berani menyapaku.

“Gue Guntur, temenya Arial anak IPA 3. Masih inget gak?” katanya tidak menyerah.

Aku mulai menggali ingatan. Tapi, hatiku berdesir hangat ketika ia menyebutkan sepotong nama lain. Nama itu.

“Lo sekarang cantik ya, Ra. Mm maksud gue lo makin cantik.” Pujinya. Aku menunduk malu.

“Lo belum ketemu temen sekelas?mau gabung bareng gue? Tuh ada Arial juga,”

Aku membelalakkan mata. Hendak membuka suara untuk menolak, tetapi ia telah lebih dulu meraih pergelangan tangan kiriku,  membawaku berjalan mendekat ke arah gerombolan yang tadi disinggungnya.


Tiga meter hampir dekat. Aku menunduk.


Satu meter terakhir. Tidak ada pilihan lain. Aku mengangkat wajah. Pelan.


Akhirnya, mataku tidak bisa menolak saat senyum itu menampilkan deretan gigi putih sekaligus lesung pipi yang masih menyebarkan adiksi berlebihan. Sehingga, tidak aku saja yang mungkin kecanduan.

Guntur, kemudian melonggarkan jemarinya. Menarikku agar berdiri lebih depan darinya. Semua mata melirikku, dan tawa mereka berhenti. Seakan ingin menikamku, karena aku benda asing yang tidak diinginkan untuk hadir disana.

Aku tersenyum simpul. Belum melirik dua bola mata bening yang tajam milik pemuda di sisi kanan.

Ternyata senyumku tidak menjadi asing bagi mereka. Detik berikutnya mereka saling melempar tawa ketika Guntur mengenalkanku sebagai Kiara. Kiara si penghuni bangku di bawah pohon akasia. Kiara si bendaraha osis. Kiara si kutu buku.


**

Senyawa itu bukan berarti satu hal berkaitan dengan hal lain. Bukan berarti satu zat terkontaminasi dengan zat lain. Senyawa itu hanyalah, dimana ketika kamu membiarkan satu hal yang seharusnya tidak terlalu diharapkan ada, tetapi kamu terus membiarkanya nyata, hidup di dalam satu jiwa yang sama.

Jika saja kemarin aku tidak berjanji pada Haikal, mungkin aku sudah berlari jauh, menumpahkan tangis dan menyumpah segalanya akan selalu ‘baik-baik saja’. Tapi, janji adalah sesuatu yang harus ditepati.

Satu jam berlalu, tapi tidak ada satu kata pun terlontar. Kami, memandangi mereka dibawah sana dengan nyaris tanpa menganggap semuanya ada.

Rupanya,  bahasa tubuhku terlalu tergambar nyata bagi dua bola mata tajam miliknya. Ia menyampirkan jas hitam yang mengunci tubunhya ke dua bahuku. Katanya, “Maaf, karena aku baru pulang kerja. Jadi, aromanya seperti itu,” lalu kemudian terkekeh pelan. Ia kembali memandangi nyawa-nyawa dibawah sana.


Bosan hanya diam. Aku memecah keheningan.

“Menurut kamu, apa ada yang lebih gila dari menunggu hal yang seharusnya bukan milik kita selama bertahun-tahun?”

Dia tersenyum, menggeleng.

“Lalu, apa ada yang lebih waras dari seseorang yang selalu memandangi bangkai bunga mawar, berharap pemilikya kembali?”

Dia menghela nafas. Menggeleng lagi.

“Lantas apa yang membuat seonggok manusia di samping kamu terus melakukan hal itu?”


Dia kini tidak menggeleng, menoleh, lantas tersentak mendapati kedua mataku mulai berkaca-kaca.

Aku membalas tatapanya dengan senyum yang bergetar. Mengoceh lagi, “Aku. Gadis bodoh yang bahkan tidak pernah telat mengeja nama kamu di setiap malamku. Aku. Gadis tolol yang selalu berusaha membuat kamu nyata disegala hal absurd yang hampir membuatku gila. Aku. Gadis ya–“

“Kamu gadis yang terlalu istimewa.” Potongnya.

Aku mengatupkan bibir. Masih memandangnya tidak mengerti.

“Setidaknya kamu tidak seorang diri. Perasaan saya pernah sama, tiga tahun lalu. Selama itu saya mencari kamu, memahat kamu disetiap jengkal harapan saya. Tapi usaha saya tidak pernah membuahkan apa-apa.” Katanya, tenang.

Ia menunduk sepersekian detik. Tersenyum lantas mengangkat lagi wajahnya, mengarahkan mataku untuk melirik pada apa yang diarahkan telunjuknya. Ia menulis sebuah nama di udara. Di langit malam. Kemudian, menunjuk bintang yang paling terang.

“Tapi, waktu itu saya tidak pernah sia-sia. Enam bulan kemudian, saya menemukan dia, ya, dia yang berbeda. Sampai sekarang saya menyelipkanya disini–“ ia kemudian mengangkat lengan kirinya ke udara. Di jari manisnya, sebuah benda berkilau melingkar begitu nyata. Yang kemudian, aku tahu jawabanya.


“Dan disini.” Tambahnya. Menunjuk dadanya, hatinya, dengan telapak tangan kanannya.

Ia tersenyum lagi. Meraih bahuku. Menghadap kepadanya.

“Nah, Kiara, kamu sekarang sudah tidak perlu saya. Hati kamu seluas semesta, biarkan orang lain menggantikan tempat saya. Kamu, terlalu istimewa untuk menjadi milik saya yang terlampau biasa.” Ujarnya.

Ia menepuk puncak kepalaku, lantas merengkuh tubuhku ke dalam peluknya. Dan, pada akhirnya tangis itu tumpah juga. Bahuku bergoncang hebat. Senyumku bergetar dibalik bahunya.

Arial. Ia membiarkanku menangis dipelukkanya. Mungkin untuk terakhir kali. Mengizinkan gadis pemujanya menumpahkan segala hal yang  menua selama enam tahun. Gadis yang terus mengukir namanya.


Aku masih terus terisak. Ia mengelus rambutku. Ini terlalu menyakitkan untuk jadi sebuah kenyataan. Kesuksesanku sekarang ini hanyalah pengejawantahan dari segala pikiranku tentangnya. Tentang seonggok bayangan yang sudah kembali nyata, namun memang bukan milikku, selamanya.

Terakhir, ia meraih jemariku. Merapatkan ke dalam dadanya. Katanya, “Kiara, selamat berjumpa lagi di lain masa. Nanti, anak-anak kita harus bersama. Saya selalu bangga sama kamu, terimakasih sudah pernah menyayangi saya sejauh ini.”

Dan ia pergi. Meninggalkanku di kesunyian malam yang memekik.

Arial.

Aku pulang.

Senyumanmu
Masih jelas terkenang
Hadir selalu
Seakan tak mau hilang dariku
Takkan mudah
Ku bisa melupakan, segalanya
Yang telah terjadi di antara kau dan aku
Di antara kita berdua

Kini tak ada terdengar
Kabar dari dirimu
Kini kau telah menghilang
Jauh dari diriku
Semua tinggal cerita
Antara kau dan aku
Namun satu yang perlu engkau tahu
Api cintaku padamu
Tak pernah padam

Sandy Sandoro – Tak pernah padam

The end-

Finally, cerita absurd yang lagi-lagi dan untuk kesekian kali tercipta di waktu yang tidak terduga. Awalnya dari iseng mendengarkan lagu Sandy sandoro, akhirnya pucuk-pucuk ide bermunculan dengan lincah. Terimakasih sudah mau membaca. Don't be a silent reader. Copy paste? Go away.

Regard,
@nitajulio_

Kita berbeda? (cerpen)

Diposting oleh Nita Julianti Sukandar Putri 0 komentar


**

Ini hanya kisah cinta biasa. Sederhana. Tentang dua orang manusia yang tidak terlalu istimewa. Mereka saling mencinta. Namun, pada akhirnya mereka berpisah juga. Ini bukan tentang luka. Mereka hanya tahu batas sewajarnya. Mereka tidak ingin terlalu jauh membiarkan perasaan itu tumbuh. Biarkan, perasaan itu hidup di tempat yang berbeda, karena nantinya ia akan tetap singgah di tempat peraduanya. Mereka kini hanya sedang mencari tujuan, mencari tempat bertepi untuk sang hati.

**
Ini merupakan bulan ke 5 mereka resmi menjadi sepasang kekasih. Selama waktu yang berjalan begitu cepat laksana angin yang berhembus begitu saja. Tidak ada yang mereka masalahkan selama ini, tak juga perdebatan kecil yang pada akhirnya kalah juga karena rasa di antara mereka terlalu besar untuk di lawan.
Keduanya terlihat sangat berbeda. Bukan–bukan berbeda karena mereka lelaki dan perempuan-itu sudah jelas buktinya. Mereka berbeda dalam segala hal. Termasuk hal yang paling krusial, mungkin sebagian besar orang yang menganggap dirinya penting akan menentang hebat jika tahu perbedaan apa yang membentang di antara mereka.
Mereka tak peduli. Itu bukan hal terlalu penting untuk di perdebatkan. Toh, malah akan menjadi dosa kan memperdebatkan Tuhan?

Nyatanya, meski mereka hidup dalam banyak hal yang berbeda, perasaan itu tetap sama. Perasaan itu malah semakin berkembang pesat layaknya bunga yang semakin dipupuk semakin merekah. Semakin lama mereka menjalin sebuah hubungan. Rasa itu semakin menjalar hingga akar hati mereka.
Tapi mereka menyukainya. Selama tidak ada yang terluka, mereka akan terus berikrar untuk berjalan berdua. Menatap senja di balik pohon akasia, menuliskan harapan, bahwa selama Tuhan tidak murka terhadap mereka, izinkan mereka tetap bersama.

Mario namanya. Ia ingat bagaimana pemuda itu menyatakan perasaan suka padanya –tepat seminggu ketika ia baru duduk di kelas 12. Pemuda itu menemukan gadis berjilbab disampingnya ketika ia hendak menyebrang. Tiba-tiba cekikikan gadis itu serta gigi-gigi kelincinya menarik perhatian Rio. Ia tertawa riang tanpa beban. Rio menyukainya. Hari-hari berikutnya Rio ingin selalu menyebrang disana. Padahal kali pertama ia bertemu gadis itu ketika ia selesai memfotokofi tugas-tugas sekolah. Rio juga baru tahu kalau jarak sekolahnya dengan sekolah gadis itu hanya sekitar 500 meter.

Di hari kelima, Rio berani bertatap muka dengan gadis itu. Namanya Qonitta Ashilla Zahra. Rio berinisiatif memanggilnya Shilla.

**

Mereka tertawa mengingat kejadian itu. Rio baru sadar ternyata gadisnya menyadari gerak-gerik Rio selama satu minggu terakhir sebelum Rio berani menegurnya. Rio mencomot pangkal hidung gadis itu. Pekerjaan rutin yang selalu Rio lakukan. Ah Tuhan, Rio amat menyayangi seonggok nyawa di sampingnya.

Shilla mengaduh pelan, mengelus pangkal hidungnya yang berdenyut sakit, meninggalkan bekas berwarna merah, “Kamu tuh, ya, cubit gak pernah kira-kira,” protes Shilla.
Rio terkekeh pelan, meraih jemari Shilla yang mengelus pangkal hidungnya.
“Sudah biarin, lucu, merah kayak badut.” Tanggap Rio dibalas pelototan Shilla.
Mereka kemudian terdiam.

“Kenapa kamu gak pakai kerudung aja sih, Shill?” tanya Rio. 

Shilla mendelik pelan, mengatur nafas. “Aku kan udah bilang sama kamu, aku enggak fanatik, aku sekolah emang pakai kerudung karna ya aturanya begitu, tapi dilingkungan rumah sudah biasa enggak pake,” jelasnya. Ya, Rio bahkan sudah hapal betul penjelasan macam tadi. Shilla telah mengulangnya untuk kesekian kali.

“Tapi kamu lebih cantik pake kerudung,” saran Rio, tulus dari hati.

Shilla tidak langsung menjawab. Ia menatap senja di ufuk barat. Lima menit kemudian ia mencoba menanggapinya.

“Hijab itu gak boleh setengah-setengah, Yo. Aku belum siap,”

“Lagian kalau aku berhijab terus kemana-mana sama kamu, apa gak keliatan terlalu kontras?” Shilla, entah dari mana menyinggung pertanyaan ini.

Rio tertawa pelan, memilih berdiri sambil menatap senja seperti apa yang dilakukan Shilla sebelumnya.

“Kamu masih mikirin tanggapan orang lain tentang kita, Shill? Aku enggak peduli, yang ngejalanin kan kita. Selama kita gak bikin mereka terluka, apa yang terlihat salah?”

Shilla mengedikkan bahu. Ia lupa, Rio pasti tidak nyaman dengan pertanyaanya.


**

Sudah seminggu mereka tidak bertemu. Shilla sibuk dengan tugas-tugas akhir semester ganjilnya. Sementara Rio sibuk dengan pelayananya di gereja. Shilla hampir lupa, dua minggu lagi menjelang hari besar agama Rio. Natal. Ia tidak terlalu ingat dengan hal krusial yang selalu Rio singgung. Ia hanya menyimpulkan bahwa Rio menyinggung hal tersebut karena (mungkin dengan konyol)  ingin meminta hadiah-apapun bentuknya-dari Shilla. Tidak. Shilla mana sempat membelikan hadiah bagi Rio, entah sekotak coklat atau sebuah mini pohon cemara. Ia bisa-bisa di teror ribuan pertanyaan dari ayah-nya. Shilla hanya akan memberikan ucapan. Ya, sekedar ucapan. Karena, sebuah pernyataan pun sebenarnya sangat sulit untuk Shilla ungkapkan.

Katanya, liburan natal nanti akan Rio habiskan di New Castle, tentu bersama keluarga besarnya. Shilla bergidik mendengar kata ‘keluarga besar’. Bagaimana ia bisa diterima diantara keluarga Rio. Ia tidak bermimpi sejauh itu.

Shilla bergidik lagi mengingat satu bayangan lain yang melintas. Ia tidak membayangkan kalau nanti ia benar-benar berada di antara keluarga Rio dengan....
Tiba-tiba ponselnya berdering, menampikan sebuah pesan masuk.

Hi syg, udah shalat?
Maaf baru sempet kabarin ya, habis ibadah :) ily.
Sender : Rio

Shilla menghapus begitu saja bayang-bayang yang tadi sempat menghantuinya. Dengan gerak lincah, jemarinya mengetik lancar.                 

Ah iya hampir lupa udah jam 9 malem!
Thanks udah ingetin ya, ilyt. Istirahat sana :)
To : Rio


Shilla menekan tombol kirim setelah membaca ulang pesanya. Tidak ada balasan lagi. Bukan itu yang diharapkan Shilla sebenarnya. Ia ingin Rio membalas lagi pesanya. Shilla tergugu. Dua puluh menit berlalu, tak ada perubahan pada layar handphonenya, tak juga menampilkan sebuah nama. Ya sudah, ia memilih tidak ambil pusing dengan mematikan ponselnya.


**

Minggu kedua setelah pertemuan hari perayaan ke 5 bulan itu, Rio dan Shilla tak kunjung bertemu. Komunikasi diantara mereka juga bisa dihitung dengan jari di setiap harinya. Rio yang tidak pernah telat mengirimkan pesan untuk mengingatkan Shilla shalat, dan Shilla membalas dengan pernyataan yang sama. Hanya seperti itu. Mereka tidak saling menanyakan kabar.

Shilla sebenarnya merasa tidak begitu peduli, itu malah sedikit memberi jeda baginya agar bisa merampungkan tugas-tugas akhir semester yang sungguh tidak menggoda.  Minggu depan UAS dan ia ingin benar-benar fokus. Rio juga sama. Shilla mengetahui kabar itu dua hari lalu. Pesan dari Rio berisi laporan bahwa pemuda itu akan melaksanakan UAS ditanggal yang sama.


Ia merebahkan tubuh dikasur, mata beningnya nyalang memandangi langit-langit kamar. Ia merasa sudah dua minggu terakhir merasakan perubahan yang sebenarnya tidak terlalu kentara. Kesibukanya selama ini baru ia sadari hanya seperti pengejawantahan dari kerinduanya pada sosok tegap itu. Entah kenapa, Shilla merasakan rindu itu menyeruak serentak ketika ia tengah meminimalisir perasaanya agar tak begitu bergejolak. Shilla rindu genggaman tangan itu. Cubitan nakal dipangkal hidungnya. Tatapan tajam yang meneduhkan..


Ia menggeleng. Tidak. Ia tidak boleh berfikiran yang macam-macam. Rindu ini rindu biasa. Ini rindu yang pada sewajarnya. Rio kekasihnya. Tapi... Shilla merasa tiba-tiba perasaan takut menyergapnya begitu saja. Wajahnya terasa panas, kenapa pula ia merasa ingin menangis?

Dan Shilla menemukan jawabanya.

Ponsel Shilla berdering, menampilkan panggilan masuk dari seseorang. Shilla dengan cepat menekan tombol hijau di ponselnya.

Ya?” katanya, parau. Entah kenapa.
Suara di ujung telepon sana belum menyahut. Shilla hanya mendengar grasak-grusuk suara manusia lain, yang sepertinya bukan hanya satu sampai dua orang.

Rio?

Eh iya bentar, Shill. Aku nyari tempat yang gak berisik dulu ya,” Oh. Pantas.

Shill?” Rio memanggil Shilla.

Ya, Yo?” tanya Shilla pelan. Mencoba biasa.

Kamu apa kabar?” tanya Rio.
Shilla menjauhkan ponsel ditelinganya. Pertanyaan itu terasa asing. Sudah berapa lama Rio tidak menanyakan kabar. Pun sebaliknya.

“Kabar baik, kamu, Yo?”

“Puji Tuhan baik...” jawab Rio.

Shilla tidak menjawab.

“Minggu depan uas kan?lancar ya, doain aku juga.” kata Rio.

“Ya. Sukses, jangan tidur larut..” jawab Shilla.

Mereka terdiam lagi cukup lama. Suara berisik itu terdengar lagi. Shilla tidak menyukainya.

“Shill?”

“Ya?”

“Papa aku udah tau,”
Rio tidak melanjutkan.

“Tau apa, Yo?” tanya Shilla, penasaran.

“Tau aku punya pacar, beliau..”

“Beliau minta kamu, dateng ke perayaan natal keluarga aku..” suara Rio semakin kecil pada ujung kalimatnya

“Kapan?” tanya Shilla santai. Sebenarnya hati-nya begitu nyaris hilang kendali.

“Tanggal 27, dua hari sebelum kita 6 bulanan..”

“Diusahain ya, Yo. Aku kan masih uas sampe tanggal 30..” jawab Shilla jujur.
Rio mengangguk disana.

“Beliau juga tahu kalau kamu.. gak seagama sama keluarga ak–”

Tut tut tut.

Terputus. Rio melirik ponselnya. Kenapa mati? Apa Shilla tersinggung dengan ucapanya? Rio menghela nafas berat. Ia begitu kalut. Di batas telepon saja sudah berat mengatakanya, bagaimana ia mengatakan langsung? Bukankah selama ini dirinya yang selalu menentang hebat jika membahas ‘perbedaan’ itu? Rahangnya mengeras. Harusnya secepat ini ia melepaskan?

**

Shilla melempar ponselnya asal. Lowbat. Ia memang dari kemarin tidak men-charger ponselnya. Malas. Sekarang pun ia membiarkan benda itu tersungkur diantara kertas-kertas tugas sekolahnya di atas kasur. Tadi terakhir Rio mengatakan apa ya? Ia menggelengkan kepalanya, ah sudahlah. Pikiranya kini tidak butuh jawaban apa-apa. Hanya butuh tidur untuk mengembalikan sebagian minat berpikirnya.


**


Waktu begitu cepat berlalu. Mereka masih tetap satu. Saling menggenggam perasaan yang bahkan mereka tidak paham apakah masih tersirat atau hanya tersurat. Setelah percakapan singkat di telepon itu, mereka tak pernah saling berkomunikasi. Shilla maupun Rio tidak ada yang memulai. Mereka sama-sama seperti merencanakan segala hal yang tidak pernah terduga. Terjadi seperti alur drama. Shilla membiarkanya, ia merasa masalah (ah masalah? Memangnya sejak kapan mereka bermasalah?) Shilla berpikir lagi, ya, maksudnya kepentingan Rio saat ini sangat terlalu rawan untuk ia ikut campuri.


Buku biologi di hadapanya tidak menarik untuk ia baca. Shilla, lebih senang melirik layar ponselnya. Barangkali, benda itu sudi menampilkan sebuah pesan masuk. Ternyata harapanya tidak terlalu mengawang tinggi juga, ponselnya berdering, menampilkan sebuah pesan masuk, membawa nama yang tiba-tiba membuat hati Shilla berdesir hebat.

Shilla merebahkan tubuh di kasur. Menutup wajah dengan bantal strawberry kesayanganya. Ia hampir lupa ada pesan yang harus segera di baca dan di balasnya. Lupa, saking senangnya.

Ia membuka pesan. Membacanya dengan teliti.

Thx syg ucapanya, aku baru sempet cek hp.
Besok jd kerumah gak?aku jemput jam 4 sore
Eh Shill, Imy :)
Sender: Rio


Shilla berjungkel-jungkel di tempat tidur. Tersenyum-senyum sendiri. Ia mengecek pipi dengan dua telapak tanganya. Panas.

Kemudian, jemarinya lincah menekan-nekan keypad ponsel.

Urwlcm buddy :-b
Mm, tp gpp aku dtg?
Imy too*kiss* :p
To: Rio

Tiga menit berselang, Rio pun membalasnya.

Jgn bawel, papa pgn ketemu.
Bsk aku jemput harus cantik ya, ily:)
Sender: Rio

Shilla berjungkal lagi. Tidak peduli ia terlihat seperti orang kesurupan. Ia sangat berbunga-bunga hari ini. Rio mengabarinya. Akhirnya, Shilla tahu bahwa ia merindukan mata tajam itu. Ah, tapi kemudian ia ingat kalimat lainya dari Rio. Apa hari besok benar-benar harus ada? Shilla menelan ludah. Berapa lama pun, cangkang itu mengelupas juga. Selama kita gak bikin mereka terluka, apa yang terlihat salah? Shilla mengutip kalimat Rio sebulan lalu, lantas tersenyum

**

Ia seperti debu diantara lautan manusia. Matanya kerap menemukan keganjalan dimana-mana. Lambang bersilang lurus itu kasat mata. Darahnya berdesir cepat. Mengalahkan tempo musik yang memenuhi ruangan. Beberapa kali ia harus melempar senyum tipis pada tiap pasang mata.

Rumah bertingkat tiga ini ukuranya terlalu luas untuk Shilla. Ia hanya menerka, bagaimana jika dirinya menjadi bagian dari mereka. Tinggal di rumah yang bahkan seperti istana. Shilla hanya mendengus, menyayangkan sekali dirinya telah hadir didalamnya.

Bukan bertemu Rio, Shilla malah bertemu dengan sosok paruh baya yang masih tegap serta berwibawa. Shilla membelalakan mata.

Laki-laki paruh baya itu melempar senyum, menawarkan minuman yang baru dihantar oleh seorang pelayan berseragam dengan ekor mata. Shilla hanya menggeleng pelan, kemudian tersenyum.

“Kamu dari keluarga, Stefanus sitohang?” tanyanya, pelan. Suaranya berat dan tegas.

Shilla menggeleng lagi, “Bukan..Pak.”

Laki-laki itu menimbang lagi, lantas menghembuskan nafas. “Oh kalau begitu pasti kamu teman Rio, ya?” tebaknya.

Shilla kini mengangguk. Meng-iyakan.

“Sudah ketemu Rio?”

“Pa..”

Shilla dan laki-laki itu menoleh ke sumber suara. Rio, yang muncul di belakang. Ia mengenakan setelan hitam. Hasil tebalnya bertaut. Heran.

“Kok kamu, Pa..”

Laki-laki itu mengedikkan bahu. “Dia teman kamu, Yo? Ajak dong, masa tamu di biarin..”

Rio mematung sebentar, lantas menghampiri Shilla.

“Pa, ini..”

“Saya Shilla, om.” Shilla mengulurkan tangan.

Laki-laki itu lantas mengerutkan kening, melirik Rio. Dan, Rio mengangguk.

“Oh.”

“Kamu yang sudah mengambil hati putra saya?” katanya.

Shilla menoleh pada Rio. Rio hanya menunduk.

“Rio, segera lakukan yang saya bilang kemarin.”

Laki-laki itu meneguk sisa minumanya, kemudian menepuk bahu Shilla pelan, berlalu.


**

Desember segera akan berlalu. Shilla dan Rio masih tetap satu. Hari ini tanggal 29, mereka menamai tanggal itu sebagai tanggal persatuan. Enam bulan.

Angin berhembus, menjatuhkan rambut-rambut tipis Shilla ke pelipis. Mereka belum ada yang memulai kata. Saling tak acuh.

Mereka takut, berbicara hanya akan mematahkan waktu.

Rio menggenggam tangan Shilla, menyelusupkan jemarinya untuk menjadi satu genggaman dijemari Rio. Hati Shilla berdesir seirama dengan pemudanya. Ditatapnya dua mata tajam yang kini terlihat meneduhkan.

“Shill..”

Shilla menoleh.

“Kamu sayang apa cinta sama aku?”

Shilla tersentak kaget. “Ya. Dua-duanya lah, Yo. Kan sama.”

“Beda, Shill. Kalau cinta udah pasti kamu sayang, tapi kalau kamu sayang, kamu belum tentu cinta.” Jawab Rio seraya tersenyum.

Oke. Shilla mengerti. Ia mendekaktkan diri. Berbisik ditelinga Rio.

“Kalau gitu, aku cinta sama kamu. Soalnya, aku sayang sama kamu.” Kata Shilla.

Rio tersenyum, pelepaskan genggamanya.

“Kalau gitu, aku mau nikahin kamu. Tapi ada syaratnya..”

Shilla berusaha membaca teduh di mata Rio. Tidak ada apa-apa.

“Apa?” tanya Shilla akhirnya.

“Aku mau nikahin kamu asal kamu pindah agama.”

Deg. Shilla merasa sesuatu telah menghantam dirinya. Ini. Satu-satunya hal yang selalu ia takuti. Pernyataan yang selalu ia buat tersembunyi. Shilla seakan tersihir oleh segala sesuatu yang seharusnya ia jauhi. Shilla bergeming. Matanya membulat kaget. Ditatapnya dengan nyaris tak bernyawa rumput-rumput liar yang tumbuh di sekitar mereka.

Ia ingin menangis sekarang juga!

Sebuah senyum tersungging dibibir Rio. Shilla bahkan tidak mengerti mengapa Rio masih bisa tersenyum dalam keadaan seperti ini. Ia mencintai Rio, tapi tidak untuk sekarang ini. Rio bertanya lagi. Meminta jawaban Shilla.

“Shill, aku ser–“

“Maaf, tapi aku lebih mencintai Tuhanku.”  Ujar Shilla mantap.

Rio tersenyum semakin lebar. Lantas menubruk tubuh Shilla yang hampir saja terjatuh.

“Ya! Itu memang jawaban yang aku minta Shilla!” Rio mengeratkan pelukanya.

“Kamu tahu?” Tanya Rio di balik bahu Shilla.

“Kalau seandainya kamu bilang iya, aku sungguh kecewa.”

Shilla mengerutkan dahi heran. Menarik tubuhnya.

 “Sama Tuhan aja kamu bisa berkhianat, apalagi sama aku.”

Akhirnya tangis itu tertumpah juga.

**

Hari ini Shilla resmi lepas dari seragam putih-abu.  Akhirnya waktu itu tiba, segala apa yang ia pertahankan dan perjuangkan landas dengan hasil memuaskan. Pun, dengan hati yang akhirnya berpisah di masing-masing belokan. Shilla tahu di mana tempatnya harus berada, walaupun nama itu masih terukir jelas di hatinya, ia sudah rela. Karena mereka, sampai kapanpun hanya bisa menjadi cerita penulis-penulis saja. Mereka tidak mungkin menjadi nyata.

Shilla tersenyum.

Semoga bahagia, Rio.

Aku akan terus mencintai kamu karena Tuhanku.


The end.

Cerita absurd yang lagi-lagi dibuat dalam keadaan tak terduga. Terimakasih sudah mau membaca.
Dan, terimakasih untuk seseorang. Beberapa kalimat di sana aku kutip darinya. Terimakasih dulu pernah menawarkanku hal yang serupa.

Regard,
@nitajulio_
 

Gema Aksara✎ Template by Ipietoon Blogger Template | Gift Idea