Kita berbeda? (cerpen)

Diposting oleh Nita Julianti Sukandar Putri


**

Ini hanya kisah cinta biasa. Sederhana. Tentang dua orang manusia yang tidak terlalu istimewa. Mereka saling mencinta. Namun, pada akhirnya mereka berpisah juga. Ini bukan tentang luka. Mereka hanya tahu batas sewajarnya. Mereka tidak ingin terlalu jauh membiarkan perasaan itu tumbuh. Biarkan, perasaan itu hidup di tempat yang berbeda, karena nantinya ia akan tetap singgah di tempat peraduanya. Mereka kini hanya sedang mencari tujuan, mencari tempat bertepi untuk sang hati.

**
Ini merupakan bulan ke 5 mereka resmi menjadi sepasang kekasih. Selama waktu yang berjalan begitu cepat laksana angin yang berhembus begitu saja. Tidak ada yang mereka masalahkan selama ini, tak juga perdebatan kecil yang pada akhirnya kalah juga karena rasa di antara mereka terlalu besar untuk di lawan.
Keduanya terlihat sangat berbeda. Bukan–bukan berbeda karena mereka lelaki dan perempuan-itu sudah jelas buktinya. Mereka berbeda dalam segala hal. Termasuk hal yang paling krusial, mungkin sebagian besar orang yang menganggap dirinya penting akan menentang hebat jika tahu perbedaan apa yang membentang di antara mereka.
Mereka tak peduli. Itu bukan hal terlalu penting untuk di perdebatkan. Toh, malah akan menjadi dosa kan memperdebatkan Tuhan?

Nyatanya, meski mereka hidup dalam banyak hal yang berbeda, perasaan itu tetap sama. Perasaan itu malah semakin berkembang pesat layaknya bunga yang semakin dipupuk semakin merekah. Semakin lama mereka menjalin sebuah hubungan. Rasa itu semakin menjalar hingga akar hati mereka.
Tapi mereka menyukainya. Selama tidak ada yang terluka, mereka akan terus berikrar untuk berjalan berdua. Menatap senja di balik pohon akasia, menuliskan harapan, bahwa selama Tuhan tidak murka terhadap mereka, izinkan mereka tetap bersama.

Mario namanya. Ia ingat bagaimana pemuda itu menyatakan perasaan suka padanya –tepat seminggu ketika ia baru duduk di kelas 12. Pemuda itu menemukan gadis berjilbab disampingnya ketika ia hendak menyebrang. Tiba-tiba cekikikan gadis itu serta gigi-gigi kelincinya menarik perhatian Rio. Ia tertawa riang tanpa beban. Rio menyukainya. Hari-hari berikutnya Rio ingin selalu menyebrang disana. Padahal kali pertama ia bertemu gadis itu ketika ia selesai memfotokofi tugas-tugas sekolah. Rio juga baru tahu kalau jarak sekolahnya dengan sekolah gadis itu hanya sekitar 500 meter.

Di hari kelima, Rio berani bertatap muka dengan gadis itu. Namanya Qonitta Ashilla Zahra. Rio berinisiatif memanggilnya Shilla.

**

Mereka tertawa mengingat kejadian itu. Rio baru sadar ternyata gadisnya menyadari gerak-gerik Rio selama satu minggu terakhir sebelum Rio berani menegurnya. Rio mencomot pangkal hidung gadis itu. Pekerjaan rutin yang selalu Rio lakukan. Ah Tuhan, Rio amat menyayangi seonggok nyawa di sampingnya.

Shilla mengaduh pelan, mengelus pangkal hidungnya yang berdenyut sakit, meninggalkan bekas berwarna merah, “Kamu tuh, ya, cubit gak pernah kira-kira,” protes Shilla.
Rio terkekeh pelan, meraih jemari Shilla yang mengelus pangkal hidungnya.
“Sudah biarin, lucu, merah kayak badut.” Tanggap Rio dibalas pelototan Shilla.
Mereka kemudian terdiam.

“Kenapa kamu gak pakai kerudung aja sih, Shill?” tanya Rio. 

Shilla mendelik pelan, mengatur nafas. “Aku kan udah bilang sama kamu, aku enggak fanatik, aku sekolah emang pakai kerudung karna ya aturanya begitu, tapi dilingkungan rumah sudah biasa enggak pake,” jelasnya. Ya, Rio bahkan sudah hapal betul penjelasan macam tadi. Shilla telah mengulangnya untuk kesekian kali.

“Tapi kamu lebih cantik pake kerudung,” saran Rio, tulus dari hati.

Shilla tidak langsung menjawab. Ia menatap senja di ufuk barat. Lima menit kemudian ia mencoba menanggapinya.

“Hijab itu gak boleh setengah-setengah, Yo. Aku belum siap,”

“Lagian kalau aku berhijab terus kemana-mana sama kamu, apa gak keliatan terlalu kontras?” Shilla, entah dari mana menyinggung pertanyaan ini.

Rio tertawa pelan, memilih berdiri sambil menatap senja seperti apa yang dilakukan Shilla sebelumnya.

“Kamu masih mikirin tanggapan orang lain tentang kita, Shill? Aku enggak peduli, yang ngejalanin kan kita. Selama kita gak bikin mereka terluka, apa yang terlihat salah?”

Shilla mengedikkan bahu. Ia lupa, Rio pasti tidak nyaman dengan pertanyaanya.


**

Sudah seminggu mereka tidak bertemu. Shilla sibuk dengan tugas-tugas akhir semester ganjilnya. Sementara Rio sibuk dengan pelayananya di gereja. Shilla hampir lupa, dua minggu lagi menjelang hari besar agama Rio. Natal. Ia tidak terlalu ingat dengan hal krusial yang selalu Rio singgung. Ia hanya menyimpulkan bahwa Rio menyinggung hal tersebut karena (mungkin dengan konyol)  ingin meminta hadiah-apapun bentuknya-dari Shilla. Tidak. Shilla mana sempat membelikan hadiah bagi Rio, entah sekotak coklat atau sebuah mini pohon cemara. Ia bisa-bisa di teror ribuan pertanyaan dari ayah-nya. Shilla hanya akan memberikan ucapan. Ya, sekedar ucapan. Karena, sebuah pernyataan pun sebenarnya sangat sulit untuk Shilla ungkapkan.

Katanya, liburan natal nanti akan Rio habiskan di New Castle, tentu bersama keluarga besarnya. Shilla bergidik mendengar kata ‘keluarga besar’. Bagaimana ia bisa diterima diantara keluarga Rio. Ia tidak bermimpi sejauh itu.

Shilla bergidik lagi mengingat satu bayangan lain yang melintas. Ia tidak membayangkan kalau nanti ia benar-benar berada di antara keluarga Rio dengan....
Tiba-tiba ponselnya berdering, menampikan sebuah pesan masuk.

Hi syg, udah shalat?
Maaf baru sempet kabarin ya, habis ibadah :) ily.
Sender : Rio

Shilla menghapus begitu saja bayang-bayang yang tadi sempat menghantuinya. Dengan gerak lincah, jemarinya mengetik lancar.                 

Ah iya hampir lupa udah jam 9 malem!
Thanks udah ingetin ya, ilyt. Istirahat sana :)
To : Rio


Shilla menekan tombol kirim setelah membaca ulang pesanya. Tidak ada balasan lagi. Bukan itu yang diharapkan Shilla sebenarnya. Ia ingin Rio membalas lagi pesanya. Shilla tergugu. Dua puluh menit berlalu, tak ada perubahan pada layar handphonenya, tak juga menampilkan sebuah nama. Ya sudah, ia memilih tidak ambil pusing dengan mematikan ponselnya.


**

Minggu kedua setelah pertemuan hari perayaan ke 5 bulan itu, Rio dan Shilla tak kunjung bertemu. Komunikasi diantara mereka juga bisa dihitung dengan jari di setiap harinya. Rio yang tidak pernah telat mengirimkan pesan untuk mengingatkan Shilla shalat, dan Shilla membalas dengan pernyataan yang sama. Hanya seperti itu. Mereka tidak saling menanyakan kabar.

Shilla sebenarnya merasa tidak begitu peduli, itu malah sedikit memberi jeda baginya agar bisa merampungkan tugas-tugas akhir semester yang sungguh tidak menggoda.  Minggu depan UAS dan ia ingin benar-benar fokus. Rio juga sama. Shilla mengetahui kabar itu dua hari lalu. Pesan dari Rio berisi laporan bahwa pemuda itu akan melaksanakan UAS ditanggal yang sama.


Ia merebahkan tubuh dikasur, mata beningnya nyalang memandangi langit-langit kamar. Ia merasa sudah dua minggu terakhir merasakan perubahan yang sebenarnya tidak terlalu kentara. Kesibukanya selama ini baru ia sadari hanya seperti pengejawantahan dari kerinduanya pada sosok tegap itu. Entah kenapa, Shilla merasakan rindu itu menyeruak serentak ketika ia tengah meminimalisir perasaanya agar tak begitu bergejolak. Shilla rindu genggaman tangan itu. Cubitan nakal dipangkal hidungnya. Tatapan tajam yang meneduhkan..


Ia menggeleng. Tidak. Ia tidak boleh berfikiran yang macam-macam. Rindu ini rindu biasa. Ini rindu yang pada sewajarnya. Rio kekasihnya. Tapi... Shilla merasa tiba-tiba perasaan takut menyergapnya begitu saja. Wajahnya terasa panas, kenapa pula ia merasa ingin menangis?

Dan Shilla menemukan jawabanya.

Ponsel Shilla berdering, menampilkan panggilan masuk dari seseorang. Shilla dengan cepat menekan tombol hijau di ponselnya.

Ya?” katanya, parau. Entah kenapa.
Suara di ujung telepon sana belum menyahut. Shilla hanya mendengar grasak-grusuk suara manusia lain, yang sepertinya bukan hanya satu sampai dua orang.

Rio?

Eh iya bentar, Shill. Aku nyari tempat yang gak berisik dulu ya,” Oh. Pantas.

Shill?” Rio memanggil Shilla.

Ya, Yo?” tanya Shilla pelan. Mencoba biasa.

Kamu apa kabar?” tanya Rio.
Shilla menjauhkan ponsel ditelinganya. Pertanyaan itu terasa asing. Sudah berapa lama Rio tidak menanyakan kabar. Pun sebaliknya.

“Kabar baik, kamu, Yo?”

“Puji Tuhan baik...” jawab Rio.

Shilla tidak menjawab.

“Minggu depan uas kan?lancar ya, doain aku juga.” kata Rio.

“Ya. Sukses, jangan tidur larut..” jawab Shilla.

Mereka terdiam lagi cukup lama. Suara berisik itu terdengar lagi. Shilla tidak menyukainya.

“Shill?”

“Ya?”

“Papa aku udah tau,”
Rio tidak melanjutkan.

“Tau apa, Yo?” tanya Shilla, penasaran.

“Tau aku punya pacar, beliau..”

“Beliau minta kamu, dateng ke perayaan natal keluarga aku..” suara Rio semakin kecil pada ujung kalimatnya

“Kapan?” tanya Shilla santai. Sebenarnya hati-nya begitu nyaris hilang kendali.

“Tanggal 27, dua hari sebelum kita 6 bulanan..”

“Diusahain ya, Yo. Aku kan masih uas sampe tanggal 30..” jawab Shilla jujur.
Rio mengangguk disana.

“Beliau juga tahu kalau kamu.. gak seagama sama keluarga ak–”

Tut tut tut.

Terputus. Rio melirik ponselnya. Kenapa mati? Apa Shilla tersinggung dengan ucapanya? Rio menghela nafas berat. Ia begitu kalut. Di batas telepon saja sudah berat mengatakanya, bagaimana ia mengatakan langsung? Bukankah selama ini dirinya yang selalu menentang hebat jika membahas ‘perbedaan’ itu? Rahangnya mengeras. Harusnya secepat ini ia melepaskan?

**

Shilla melempar ponselnya asal. Lowbat. Ia memang dari kemarin tidak men-charger ponselnya. Malas. Sekarang pun ia membiarkan benda itu tersungkur diantara kertas-kertas tugas sekolahnya di atas kasur. Tadi terakhir Rio mengatakan apa ya? Ia menggelengkan kepalanya, ah sudahlah. Pikiranya kini tidak butuh jawaban apa-apa. Hanya butuh tidur untuk mengembalikan sebagian minat berpikirnya.


**


Waktu begitu cepat berlalu. Mereka masih tetap satu. Saling menggenggam perasaan yang bahkan mereka tidak paham apakah masih tersirat atau hanya tersurat. Setelah percakapan singkat di telepon itu, mereka tak pernah saling berkomunikasi. Shilla maupun Rio tidak ada yang memulai. Mereka sama-sama seperti merencanakan segala hal yang tidak pernah terduga. Terjadi seperti alur drama. Shilla membiarkanya, ia merasa masalah (ah masalah? Memangnya sejak kapan mereka bermasalah?) Shilla berpikir lagi, ya, maksudnya kepentingan Rio saat ini sangat terlalu rawan untuk ia ikut campuri.


Buku biologi di hadapanya tidak menarik untuk ia baca. Shilla, lebih senang melirik layar ponselnya. Barangkali, benda itu sudi menampilkan sebuah pesan masuk. Ternyata harapanya tidak terlalu mengawang tinggi juga, ponselnya berdering, menampilkan sebuah pesan masuk, membawa nama yang tiba-tiba membuat hati Shilla berdesir hebat.

Shilla merebahkan tubuh di kasur. Menutup wajah dengan bantal strawberry kesayanganya. Ia hampir lupa ada pesan yang harus segera di baca dan di balasnya. Lupa, saking senangnya.

Ia membuka pesan. Membacanya dengan teliti.

Thx syg ucapanya, aku baru sempet cek hp.
Besok jd kerumah gak?aku jemput jam 4 sore
Eh Shill, Imy :)
Sender: Rio


Shilla berjungkel-jungkel di tempat tidur. Tersenyum-senyum sendiri. Ia mengecek pipi dengan dua telapak tanganya. Panas.

Kemudian, jemarinya lincah menekan-nekan keypad ponsel.

Urwlcm buddy :-b
Mm, tp gpp aku dtg?
Imy too*kiss* :p
To: Rio

Tiga menit berselang, Rio pun membalasnya.

Jgn bawel, papa pgn ketemu.
Bsk aku jemput harus cantik ya, ily:)
Sender: Rio

Shilla berjungkal lagi. Tidak peduli ia terlihat seperti orang kesurupan. Ia sangat berbunga-bunga hari ini. Rio mengabarinya. Akhirnya, Shilla tahu bahwa ia merindukan mata tajam itu. Ah, tapi kemudian ia ingat kalimat lainya dari Rio. Apa hari besok benar-benar harus ada? Shilla menelan ludah. Berapa lama pun, cangkang itu mengelupas juga. Selama kita gak bikin mereka terluka, apa yang terlihat salah? Shilla mengutip kalimat Rio sebulan lalu, lantas tersenyum

**

Ia seperti debu diantara lautan manusia. Matanya kerap menemukan keganjalan dimana-mana. Lambang bersilang lurus itu kasat mata. Darahnya berdesir cepat. Mengalahkan tempo musik yang memenuhi ruangan. Beberapa kali ia harus melempar senyum tipis pada tiap pasang mata.

Rumah bertingkat tiga ini ukuranya terlalu luas untuk Shilla. Ia hanya menerka, bagaimana jika dirinya menjadi bagian dari mereka. Tinggal di rumah yang bahkan seperti istana. Shilla hanya mendengus, menyayangkan sekali dirinya telah hadir didalamnya.

Bukan bertemu Rio, Shilla malah bertemu dengan sosok paruh baya yang masih tegap serta berwibawa. Shilla membelalakan mata.

Laki-laki paruh baya itu melempar senyum, menawarkan minuman yang baru dihantar oleh seorang pelayan berseragam dengan ekor mata. Shilla hanya menggeleng pelan, kemudian tersenyum.

“Kamu dari keluarga, Stefanus sitohang?” tanyanya, pelan. Suaranya berat dan tegas.

Shilla menggeleng lagi, “Bukan..Pak.”

Laki-laki itu menimbang lagi, lantas menghembuskan nafas. “Oh kalau begitu pasti kamu teman Rio, ya?” tebaknya.

Shilla kini mengangguk. Meng-iyakan.

“Sudah ketemu Rio?”

“Pa..”

Shilla dan laki-laki itu menoleh ke sumber suara. Rio, yang muncul di belakang. Ia mengenakan setelan hitam. Hasil tebalnya bertaut. Heran.

“Kok kamu, Pa..”

Laki-laki itu mengedikkan bahu. “Dia teman kamu, Yo? Ajak dong, masa tamu di biarin..”

Rio mematung sebentar, lantas menghampiri Shilla.

“Pa, ini..”

“Saya Shilla, om.” Shilla mengulurkan tangan.

Laki-laki itu lantas mengerutkan kening, melirik Rio. Dan, Rio mengangguk.

“Oh.”

“Kamu yang sudah mengambil hati putra saya?” katanya.

Shilla menoleh pada Rio. Rio hanya menunduk.

“Rio, segera lakukan yang saya bilang kemarin.”

Laki-laki itu meneguk sisa minumanya, kemudian menepuk bahu Shilla pelan, berlalu.


**

Desember segera akan berlalu. Shilla dan Rio masih tetap satu. Hari ini tanggal 29, mereka menamai tanggal itu sebagai tanggal persatuan. Enam bulan.

Angin berhembus, menjatuhkan rambut-rambut tipis Shilla ke pelipis. Mereka belum ada yang memulai kata. Saling tak acuh.

Mereka takut, berbicara hanya akan mematahkan waktu.

Rio menggenggam tangan Shilla, menyelusupkan jemarinya untuk menjadi satu genggaman dijemari Rio. Hati Shilla berdesir seirama dengan pemudanya. Ditatapnya dua mata tajam yang kini terlihat meneduhkan.

“Shill..”

Shilla menoleh.

“Kamu sayang apa cinta sama aku?”

Shilla tersentak kaget. “Ya. Dua-duanya lah, Yo. Kan sama.”

“Beda, Shill. Kalau cinta udah pasti kamu sayang, tapi kalau kamu sayang, kamu belum tentu cinta.” Jawab Rio seraya tersenyum.

Oke. Shilla mengerti. Ia mendekaktkan diri. Berbisik ditelinga Rio.

“Kalau gitu, aku cinta sama kamu. Soalnya, aku sayang sama kamu.” Kata Shilla.

Rio tersenyum, pelepaskan genggamanya.

“Kalau gitu, aku mau nikahin kamu. Tapi ada syaratnya..”

Shilla berusaha membaca teduh di mata Rio. Tidak ada apa-apa.

“Apa?” tanya Shilla akhirnya.

“Aku mau nikahin kamu asal kamu pindah agama.”

Deg. Shilla merasa sesuatu telah menghantam dirinya. Ini. Satu-satunya hal yang selalu ia takuti. Pernyataan yang selalu ia buat tersembunyi. Shilla seakan tersihir oleh segala sesuatu yang seharusnya ia jauhi. Shilla bergeming. Matanya membulat kaget. Ditatapnya dengan nyaris tak bernyawa rumput-rumput liar yang tumbuh di sekitar mereka.

Ia ingin menangis sekarang juga!

Sebuah senyum tersungging dibibir Rio. Shilla bahkan tidak mengerti mengapa Rio masih bisa tersenyum dalam keadaan seperti ini. Ia mencintai Rio, tapi tidak untuk sekarang ini. Rio bertanya lagi. Meminta jawaban Shilla.

“Shill, aku ser–“

“Maaf, tapi aku lebih mencintai Tuhanku.”  Ujar Shilla mantap.

Rio tersenyum semakin lebar. Lantas menubruk tubuh Shilla yang hampir saja terjatuh.

“Ya! Itu memang jawaban yang aku minta Shilla!” Rio mengeratkan pelukanya.

“Kamu tahu?” Tanya Rio di balik bahu Shilla.

“Kalau seandainya kamu bilang iya, aku sungguh kecewa.”

Shilla mengerutkan dahi heran. Menarik tubuhnya.

 “Sama Tuhan aja kamu bisa berkhianat, apalagi sama aku.”

Akhirnya tangis itu tertumpah juga.

**

Hari ini Shilla resmi lepas dari seragam putih-abu.  Akhirnya waktu itu tiba, segala apa yang ia pertahankan dan perjuangkan landas dengan hasil memuaskan. Pun, dengan hati yang akhirnya berpisah di masing-masing belokan. Shilla tahu di mana tempatnya harus berada, walaupun nama itu masih terukir jelas di hatinya, ia sudah rela. Karena mereka, sampai kapanpun hanya bisa menjadi cerita penulis-penulis saja. Mereka tidak mungkin menjadi nyata.

Shilla tersenyum.

Semoga bahagia, Rio.

Aku akan terus mencintai kamu karena Tuhanku.


The end.

Cerita absurd yang lagi-lagi dibuat dalam keadaan tak terduga. Terimakasih sudah mau membaca.
Dan, terimakasih untuk seseorang. Beberapa kalimat di sana aku kutip darinya. Terimakasih dulu pernah menawarkanku hal yang serupa.

Regard,
@nitajulio_

0 komentar:

Posting Komentar

 

Gema Aksara✎ Template by Ipietoon Blogger Template | Gift Idea