**
Ini
hanya kisah cinta biasa. Sederhana. Tentang dua orang manusia yang tidak
terlalu istimewa. Mereka saling mencinta. Namun, pada akhirnya mereka berpisah
juga. Ini bukan tentang luka. Mereka hanya tahu batas sewajarnya. Mereka tidak
ingin terlalu jauh membiarkan perasaan itu tumbuh. Biarkan, perasaan itu hidup
di tempat yang berbeda, karena nantinya ia akan tetap singgah di tempat
peraduanya. Mereka kini hanya sedang mencari tujuan, mencari tempat bertepi
untuk sang hati.
**
Ini
merupakan bulan ke 5 mereka resmi menjadi sepasang kekasih. Selama waktu yang
berjalan begitu cepat laksana angin yang berhembus begitu saja. Tidak ada yang
mereka masalahkan selama ini, tak juga perdebatan kecil yang pada akhirnya
kalah juga karena rasa di antara mereka terlalu besar untuk di lawan.
Keduanya
terlihat sangat berbeda. Bukan–bukan berbeda karena mereka lelaki dan
perempuan-itu sudah jelas buktinya. Mereka berbeda dalam segala hal. Termasuk
hal yang paling krusial, mungkin sebagian besar orang yang menganggap dirinya
penting akan menentang hebat jika tahu perbedaan apa yang membentang di antara
mereka.
Mereka
tak peduli. Itu bukan hal terlalu penting untuk di perdebatkan. Toh, malah akan
menjadi dosa kan memperdebatkan Tuhan?
Nyatanya,
meski mereka hidup dalam banyak hal yang berbeda, perasaan itu tetap sama.
Perasaan itu malah semakin berkembang pesat layaknya bunga yang semakin dipupuk
semakin merekah. Semakin lama mereka menjalin sebuah hubungan. Rasa itu semakin
menjalar hingga akar hati mereka.
Tapi
mereka menyukainya. Selama tidak ada yang terluka, mereka akan terus berikrar
untuk berjalan berdua. Menatap senja di balik pohon akasia, menuliskan harapan,
bahwa selama Tuhan tidak murka terhadap mereka, izinkan mereka tetap bersama.
Mario
namanya. Ia ingat bagaimana pemuda itu menyatakan perasaan suka padanya –tepat
seminggu ketika ia baru duduk di kelas 12. Pemuda itu menemukan gadis berjilbab
disampingnya ketika ia hendak menyebrang. Tiba-tiba cekikikan gadis itu serta
gigi-gigi kelincinya menarik perhatian Rio. Ia tertawa riang tanpa beban. Rio
menyukainya. Hari-hari berikutnya Rio ingin selalu menyebrang disana. Padahal
kali pertama ia bertemu gadis itu ketika ia selesai memfotokofi tugas-tugas
sekolah. Rio juga baru tahu kalau jarak sekolahnya dengan sekolah gadis itu
hanya sekitar 500 meter.
Di hari
kelima, Rio berani bertatap muka dengan gadis itu. Namanya Qonitta Ashilla
Zahra. Rio berinisiatif memanggilnya Shilla.
**
Mereka
tertawa mengingat kejadian itu. Rio baru sadar ternyata gadisnya menyadari gerak-gerik
Rio selama satu minggu terakhir sebelum Rio berani menegurnya. Rio mencomot
pangkal hidung gadis itu. Pekerjaan rutin yang selalu Rio lakukan. Ah Tuhan,
Rio amat menyayangi seonggok nyawa di sampingnya.
Shilla
mengaduh pelan, mengelus pangkal hidungnya yang berdenyut sakit, meninggalkan
bekas berwarna merah, “Kamu tuh, ya, cubit gak pernah kira-kira,” protes Shilla.
Rio
terkekeh pelan, meraih jemari Shilla yang mengelus pangkal hidungnya.
“Sudah
biarin, lucu, merah kayak badut.” Tanggap Rio dibalas pelototan Shilla.
Mereka
kemudian terdiam.
“Kenapa
kamu gak pakai kerudung aja sih, Shill?” tanya Rio.
Shilla
mendelik pelan, mengatur nafas. “Aku kan udah bilang sama kamu, aku enggak
fanatik, aku sekolah emang pakai kerudung karna ya aturanya begitu, tapi
dilingkungan rumah sudah biasa enggak pake,” jelasnya. Ya, Rio bahkan sudah
hapal betul penjelasan macam tadi. Shilla telah mengulangnya untuk kesekian
kali.
“Tapi
kamu lebih cantik pake kerudung,” saran Rio, tulus dari hati.
Shilla
tidak langsung menjawab. Ia menatap senja di ufuk barat. Lima menit kemudian ia
mencoba menanggapinya.
“Hijab
itu gak boleh setengah-setengah, Yo. Aku belum siap,”
“Lagian
kalau aku berhijab terus kemana-mana sama kamu, apa gak keliatan terlalu
kontras?” Shilla, entah dari mana menyinggung pertanyaan ini.
Rio
tertawa pelan, memilih berdiri sambil menatap senja seperti apa yang dilakukan
Shilla sebelumnya.
“Kamu
masih mikirin tanggapan orang lain tentang kita, Shill? Aku enggak peduli, yang
ngejalanin kan kita. Selama kita gak bikin mereka terluka, apa yang terlihat
salah?”
Shilla
mengedikkan bahu. Ia lupa, Rio pasti tidak nyaman dengan pertanyaanya.
**
Sudah
seminggu mereka tidak bertemu. Shilla sibuk dengan tugas-tugas akhir semester
ganjilnya. Sementara Rio sibuk dengan pelayananya di gereja. Shilla hampir
lupa, dua minggu lagi menjelang hari besar agama Rio. Natal. Ia tidak terlalu
ingat dengan hal krusial yang selalu Rio singgung. Ia hanya menyimpulkan bahwa
Rio menyinggung hal tersebut karena (mungkin dengan konyol) ingin meminta hadiah-apapun bentuknya-dari
Shilla. Tidak. Shilla mana sempat membelikan hadiah bagi Rio, entah sekotak
coklat atau sebuah mini pohon cemara. Ia bisa-bisa di teror ribuan pertanyaan
dari ayah-nya. Shilla hanya akan memberikan ucapan. Ya, sekedar ucapan. Karena,
sebuah pernyataan pun sebenarnya sangat sulit untuk Shilla ungkapkan.
Katanya,
liburan natal nanti akan Rio habiskan di New Castle, tentu bersama keluarga
besarnya. Shilla bergidik mendengar kata ‘keluarga besar’. Bagaimana ia bisa
diterima diantara keluarga Rio. Ia tidak bermimpi sejauh itu.
Shilla
bergidik lagi mengingat satu bayangan lain yang melintas. Ia tidak membayangkan
kalau nanti ia benar-benar berada di antara keluarga Rio dengan....
Tiba-tiba
ponselnya berdering, menampikan sebuah pesan masuk.
Hi
syg, udah shalat?
Maaf
baru sempet kabarin ya, habis ibadah :) ily.
Sender
: Rio❤
Shilla
menghapus begitu saja bayang-bayang yang tadi sempat menghantuinya. Dengan
gerak lincah, jemarinya mengetik lancar.
Ah iya hampir lupa udah jam 9
malem!
Thanks udah ingetin ya, ilyt.
Istirahat sana :)
To
: Rio❤
Shilla menekan
tombol kirim setelah membaca ulang pesanya. Tidak ada balasan lagi. Bukan itu
yang diharapkan Shilla sebenarnya. Ia ingin Rio membalas lagi pesanya. Shilla
tergugu. Dua puluh menit berlalu, tak ada perubahan pada layar handphonenya,
tak juga menampilkan sebuah nama. Ya sudah, ia memilih tidak ambil pusing
dengan mematikan ponselnya.
**
Minggu kedua setelah pertemuan
hari perayaan ke 5 bulan itu, Rio dan Shilla tak kunjung bertemu. Komunikasi
diantara mereka juga bisa dihitung dengan jari di setiap harinya. Rio yang
tidak pernah telat mengirimkan pesan untuk mengingatkan Shilla shalat, dan
Shilla membalas dengan pernyataan yang sama. Hanya seperti itu. Mereka tidak
saling menanyakan kabar.
Shilla sebenarnya merasa tidak
begitu peduli, itu malah sedikit memberi jeda baginya agar bisa merampungkan
tugas-tugas akhir semester yang sungguh tidak menggoda. Minggu depan UAS dan ia ingin benar-benar
fokus. Rio juga sama. Shilla mengetahui kabar itu dua hari lalu. Pesan dari Rio
berisi laporan bahwa pemuda itu akan melaksanakan UAS ditanggal yang sama.
Ia merebahkan tubuh dikasur, mata
beningnya nyalang memandangi langit-langit kamar. Ia merasa sudah dua minggu
terakhir merasakan perubahan yang sebenarnya tidak terlalu kentara. Kesibukanya
selama ini baru ia sadari hanya seperti pengejawantahan dari kerinduanya pada
sosok tegap itu. Entah kenapa, Shilla merasakan rindu itu menyeruak serentak
ketika ia tengah meminimalisir perasaanya agar tak begitu bergejolak. Shilla
rindu genggaman tangan itu. Cubitan nakal dipangkal hidungnya. Tatapan tajam
yang meneduhkan..
Ia menggeleng. Tidak. Ia tidak
boleh berfikiran yang macam-macam. Rindu ini rindu biasa. Ini rindu yang pada
sewajarnya. Rio kekasihnya. Tapi... Shilla merasa tiba-tiba perasaan takut
menyergapnya begitu saja. Wajahnya terasa panas, kenapa pula ia merasa ingin
menangis?
Dan Shilla menemukan jawabanya.
Ponsel Shilla berdering,
menampilkan panggilan masuk dari seseorang. Shilla dengan cepat menekan tombol
hijau di ponselnya.
“Ya?” katanya, parau. Entah kenapa.
Suara di ujung telepon sana belum
menyahut. Shilla hanya mendengar grasak-grusuk suara manusia lain, yang
sepertinya bukan hanya satu sampai dua orang.
“Rio?”
“Eh iya bentar, Shill. Aku nyari tempat yang gak berisik dulu ya,”
Oh. Pantas.
“Shill?” Rio memanggil Shilla.
“Ya, Yo?” tanya Shilla pelan. Mencoba biasa.
“Kamu apa kabar?” tanya Rio.
Shilla menjauhkan ponsel
ditelinganya. Pertanyaan itu terasa asing. Sudah berapa lama Rio tidak
menanyakan kabar. Pun sebaliknya.
“Kabar
baik, kamu, Yo?”
“Puji
Tuhan baik...”
jawab Rio.
Shilla tidak menjawab.
“Minggu
depan uas kan?lancar ya, doain aku juga.” kata Rio.
“Ya.
Sukses, jangan tidur larut..”
jawab Shilla.
Mereka terdiam lagi cukup lama.
Suara berisik itu terdengar lagi. Shilla tidak menyukainya.
“Shill?”
“Ya?”
“Papa
aku udah tau,”
Rio tidak melanjutkan.
“Tau
apa, Yo?” tanya
Shilla, penasaran.
“Tau
aku punya pacar, beliau..”
“Beliau
minta kamu, dateng ke perayaan natal keluarga aku..” suara Rio semakin kecil pada
ujung kalimatnya
“Kapan?” tanya Shilla santai. Sebenarnya
hati-nya begitu nyaris hilang kendali.
“Tanggal
27, dua hari sebelum kita 6 bulanan..”
“Diusahain
ya, Yo. Aku kan masih uas sampe tanggal 30..” jawab Shilla jujur.
Rio mengangguk disana.
“Beliau
juga tahu kalau kamu.. gak seagama sama keluarga ak–”
Tut tut tut.
Terputus. Rio melirik ponselnya.
Kenapa mati? Apa Shilla tersinggung dengan ucapanya? Rio menghela nafas berat.
Ia begitu kalut. Di batas telepon saja sudah berat mengatakanya, bagaimana ia
mengatakan langsung? Bukankah selama ini dirinya yang selalu menentang hebat jika
membahas ‘perbedaan’ itu? Rahangnya mengeras. Harusnya secepat ini ia melepaskan?
**
Shilla melempar ponselnya asal.
Lowbat. Ia memang dari kemarin tidak men-charger ponselnya. Malas. Sekarang pun
ia membiarkan benda itu tersungkur diantara kertas-kertas tugas sekolahnya di
atas kasur. Tadi terakhir Rio mengatakan apa ya? Ia menggelengkan kepalanya, ah
sudahlah. Pikiranya kini tidak butuh jawaban apa-apa. Hanya butuh tidur untuk
mengembalikan sebagian minat berpikirnya.
**
Waktu begitu cepat berlalu.
Mereka masih tetap satu. Saling menggenggam perasaan yang bahkan mereka tidak
paham apakah masih tersirat atau hanya tersurat. Setelah percakapan singkat di
telepon itu, mereka tak pernah saling berkomunikasi. Shilla maupun Rio tidak
ada yang memulai. Mereka sama-sama seperti merencanakan segala hal yang tidak
pernah terduga. Terjadi seperti alur drama. Shilla membiarkanya, ia merasa
masalah (ah masalah? Memangnya sejak kapan mereka bermasalah?) Shilla berpikir
lagi, ya, maksudnya kepentingan Rio saat ini sangat terlalu rawan untuk ia ikut
campuri.
Buku biologi di hadapanya tidak
menarik untuk ia baca. Shilla, lebih senang melirik layar ponselnya.
Barangkali, benda itu sudi menampilkan sebuah pesan masuk. Ternyata harapanya
tidak terlalu mengawang tinggi juga, ponselnya berdering, menampilkan sebuah
pesan masuk, membawa nama yang tiba-tiba membuat hati Shilla berdesir hebat.
Shilla merebahkan tubuh di kasur.
Menutup wajah dengan bantal strawberry kesayanganya. Ia hampir lupa ada pesan
yang harus segera di baca dan di balasnya. Lupa, saking senangnya.
Ia membuka pesan. Membacanya
dengan teliti.
Thx
syg ucapanya, aku baru sempet cek hp.
Besok
jd kerumah gak?aku jemput jam 4 sore
Eh
Shill, Imy :)
Sender:
Rio❤
Shilla berjungkel-jungkel di
tempat tidur. Tersenyum-senyum sendiri. Ia mengecek pipi dengan dua telapak
tanganya. Panas.
Kemudian, jemarinya lincah
menekan-nekan keypad ponsel.
Urwlcm
buddy :-b
Mm,
tp gpp aku dtg?
Imy
too*kiss* :p
To:
Rio❤
Tiga menit berselang, Rio pun
membalasnya.
Jgn
bawel, papa pgn ketemu.
Bsk
aku jemput harus cantik ya, ily:)
Sender:
Rio❤
Shilla berjungkal lagi. Tidak
peduli ia terlihat seperti orang kesurupan. Ia sangat berbunga-bunga hari ini.
Rio mengabarinya. Akhirnya, Shilla tahu bahwa ia merindukan mata tajam itu. Ah,
tapi kemudian ia ingat kalimat lainya dari Rio. Apa hari besok benar-benar
harus ada? Shilla menelan ludah. Berapa lama pun, cangkang itu mengelupas juga.
Selama kita gak bikin mereka terluka, apa
yang terlihat salah? Shilla mengutip kalimat Rio sebulan lalu, lantas
tersenyum
**
Ia seperti debu diantara lautan
manusia. Matanya kerap menemukan keganjalan dimana-mana. Lambang bersilang
lurus itu kasat mata. Darahnya berdesir cepat. Mengalahkan tempo musik yang
memenuhi ruangan. Beberapa kali ia harus melempar senyum tipis pada tiap pasang
mata.
Rumah bertingkat tiga ini ukuranya
terlalu luas untuk Shilla. Ia hanya menerka, bagaimana jika dirinya menjadi
bagian dari mereka. Tinggal di rumah yang bahkan seperti istana. Shilla hanya
mendengus, menyayangkan sekali dirinya telah hadir didalamnya.
Bukan bertemu Rio, Shilla malah
bertemu dengan sosok paruh baya yang masih tegap serta berwibawa. Shilla
membelalakan mata.
Laki-laki paruh baya itu melempar
senyum, menawarkan minuman yang baru dihantar oleh seorang pelayan berseragam
dengan ekor mata. Shilla hanya menggeleng pelan, kemudian tersenyum.
“Kamu dari keluarga, Stefanus
sitohang?” tanyanya, pelan. Suaranya berat dan tegas.
Shilla menggeleng lagi,
“Bukan..Pak.”
Laki-laki itu menimbang lagi,
lantas menghembuskan nafas. “Oh kalau begitu pasti kamu teman Rio, ya?” tebaknya.
Shilla kini mengangguk.
Meng-iyakan.
“Sudah ketemu Rio?”
“Pa..”
Shilla dan laki-laki itu menoleh
ke sumber suara. Rio, yang muncul di belakang. Ia mengenakan setelan hitam.
Hasil tebalnya bertaut. Heran.
“Kok kamu, Pa..”
Laki-laki itu mengedikkan bahu.
“Dia teman kamu, Yo? Ajak dong, masa tamu di biarin..”
Rio mematung sebentar, lantas
menghampiri Shilla.
“Pa, ini..”
“Saya Shilla, om.” Shilla
mengulurkan tangan.
Laki-laki itu lantas mengerutkan
kening, melirik Rio. Dan, Rio mengangguk.
“Oh.”
“Kamu yang sudah mengambil hati
putra saya?” katanya.
Shilla menoleh pada Rio. Rio
hanya menunduk.
“Rio, segera lakukan yang saya
bilang kemarin.”
Laki-laki itu meneguk sisa
minumanya, kemudian menepuk bahu Shilla pelan, berlalu.
**
Desember segera akan berlalu.
Shilla dan Rio masih tetap satu. Hari ini tanggal 29, mereka menamai tanggal
itu sebagai tanggal persatuan. Enam bulan.
Angin berhembus, menjatuhkan
rambut-rambut tipis Shilla ke pelipis. Mereka belum ada yang memulai kata.
Saling tak acuh.
Mereka takut, berbicara hanya
akan mematahkan waktu.
Rio menggenggam tangan Shilla,
menyelusupkan jemarinya untuk menjadi satu genggaman dijemari Rio. Hati Shilla
berdesir seirama dengan pemudanya. Ditatapnya dua mata tajam yang kini terlihat
meneduhkan.
“Shill..”
Shilla menoleh.
“Kamu sayang apa cinta sama aku?”
Shilla tersentak kaget. “Ya.
Dua-duanya lah, Yo. Kan sama.”
“Beda, Shill. Kalau cinta udah
pasti kamu sayang, tapi kalau kamu sayang, kamu belum tentu cinta.” Jawab Rio
seraya tersenyum.
Oke. Shilla mengerti. Ia
mendekaktkan diri. Berbisik ditelinga Rio.
“Kalau gitu, aku cinta sama kamu.
Soalnya, aku sayang sama kamu.” Kata Shilla.
Rio tersenyum, pelepaskan
genggamanya.
“Kalau gitu, aku mau nikahin
kamu. Tapi ada syaratnya..”
Shilla berusaha membaca teduh di
mata Rio. Tidak ada apa-apa.
“Apa?” tanya Shilla akhirnya.
“Aku mau nikahin kamu asal kamu
pindah agama.”
Deg. Shilla merasa sesuatu telah
menghantam dirinya. Ini. Satu-satunya hal yang selalu ia takuti. Pernyataan
yang selalu ia buat tersembunyi. Shilla seakan tersihir oleh segala sesuatu
yang seharusnya ia jauhi. Shilla bergeming. Matanya membulat kaget. Ditatapnya
dengan nyaris tak bernyawa rumput-rumput liar yang tumbuh di sekitar mereka.
Ia ingin menangis sekarang juga!
Sebuah senyum tersungging dibibir
Rio. Shilla bahkan tidak mengerti mengapa Rio masih bisa tersenyum dalam
keadaan seperti ini. Ia mencintai Rio, tapi tidak untuk sekarang ini. Rio
bertanya lagi. Meminta jawaban Shilla.
“Shill, aku ser–“
“Maaf, tapi aku lebih mencintai
Tuhanku.” Ujar Shilla mantap.
Rio tersenyum semakin lebar.
Lantas menubruk tubuh Shilla yang hampir saja terjatuh.
“Ya! Itu memang jawaban yang aku
minta Shilla!” Rio mengeratkan pelukanya.
“Kamu tahu?” Tanya Rio di balik
bahu Shilla.
“Kalau seandainya kamu bilang
iya, aku sungguh kecewa.”
Shilla mengerutkan dahi heran.
Menarik tubuhnya.
“Sama Tuhan aja kamu bisa berkhianat, apalagi
sama aku.”
Akhirnya tangis itu tertumpah
juga.
**
Hari ini Shilla resmi lepas dari
seragam putih-abu. Akhirnya waktu itu
tiba, segala apa yang ia pertahankan dan perjuangkan landas dengan hasil
memuaskan. Pun, dengan hati yang akhirnya berpisah di masing-masing belokan.
Shilla tahu di mana tempatnya harus berada, walaupun nama itu masih terukir
jelas di hatinya, ia sudah rela. Karena mereka, sampai kapanpun hanya bisa
menjadi cerita penulis-penulis saja. Mereka tidak mungkin menjadi nyata.
Shilla tersenyum.
Semoga bahagia, Rio.
Aku akan terus mencintai kamu
karena Tuhanku.
The end.
Cerita absurd yang lagi-lagi
dibuat dalam keadaan tak terduga. Terimakasih sudah mau membaca.
Dan, terimakasih untuk seseorang.
Beberapa kalimat di sana aku kutip darinya. Terimakasih dulu pernah
menawarkanku hal yang serupa.
Regard,
@nitajulio_
0 komentar:
Posting Komentar