Di Bawah Langit Senja (Chapter 2)

Diposting oleh Nita Julianti Sukandar Putri 0 komentar


*
Aku mungkin hanya seonggok manusia yang buta rasa, apalagi cinta. Mereka bilang, aku sedingin es dibelahan bumi utara, sekeras batu karang yang sulit tuk' diterjang. Tapi, melihatnya kali pertama aku seperti terkena sengatan. Diantara segala kekurangannya, ia membawa sekeping rasa yang tidak pernah aku duga sebelumnya.  Aku sepertinya.... jatuh cinta.
 
Rio.

Entah kenapa, kontak fisik pertamaku dengan sosok bernama wanita harus terjadi seperti tadi. Diam-diam, getaran asing mulai menjalar dengan ganas melalui setiap inci hati yang tak pernah aku mengerti rasanya seperti apa. Seperti desiran hangat yang kemudian acapkali membuat nadiku seolah-olah ingin berhenti.
Aku menatap lekat-lekat sketsa yang menyerupai diriku. Apa gadis tadi yang menggambarnya? Sesempurna ini hingga aku percaya duplikat diriku yang terekam melalui bidik lensa kamera tidak akan jauh lebih bagus dari pada sketsa ini?
Lalu, aku merebahkan tubuh, menatap langit-langit kamar dengan gamblang. Apa mungkin Gabriel benar? Aku sedingin es di belahan bumi utara? Hingga gadis itu saja seolah enggan berada dalam jarak interval bersama nyawa yang tidak peka terhadap cinta?
Mungkin iya, mungkin juga tidak. Aku benar-benar telah buta oleh rasa.
*
Aku menggiring tubuh di senja yang berbeda menuju bukit seperti biasanya. Berharap gadis itu juga ada disana. Bersembunyi dibalik ilalang yang sama. Menggerakkan jemarinya, menggambarku menjadi sketsa yang seolah-olah nyata.
Telaga yang membentang dihadapanku tidak lagi semenarik ilalang-ilalang jangkung yang seringkali menyembunyikan seonggok nyawa disana. Aku lurus memandangi tumbuhan liar itu, berusaha membaca gerakkan alam yang juga tak memberiku jawaban. Gadis itu tidak datang.
Aku menghempaskan tubuh, berganti memandangi cakrawala yang melukis indah gurat senja. Jadi, haruskah Mario Haling menyerah lagi?
“A.. a mu pa..in i ana?”
Aku menoleh cepat. Sosok gadis senja itu berdiri disana. Membawa segenggam kertas serupa dan.... membawa sedikit harapan.
Aku sejurus berdiri. Mengambil langkah cepat hingga gadis tadi tiba-tiba mencoba berlari. Aku berusaha mengejarnya, menyusuri pasukan ilalang yang bersekongkol dengan alam untuk menghilangkan jejaknya.
“Hey tunggu!”
Aku masih menyeru sambil berkata.
“Hey tunggu! Aku tidak ingin lagi kehilanganmu!”
Seperti mantra, seruanku membuat langkah kaki jenjang itu berhenti. Bahunya naik turun, seolah ia baru saja berlari dikejar monster.
Aku mendapat andil bagus lantas berusaha mendekat. Ia masih membelakangiku.
“Hey..”
Ia menoleh dibalik bahu, sekaligus menghantarkan getaran asing itu–lagi– berdesir melalui setiap sel tubuhku. Pipi pualamnya ternoda goret senja. Ia seperti sebingkai bintang yang sengaja Tuhan jatuhkan.
Aku segera menghembuskan nafas, lantas melirik pada selembar kertas yang masih menghuni genggamanku.
“Ini milikmu.”
Aku menggaruk pelipis. Bingung harus menyusun kata-kata semacam apa.
“Jangan lagi menggambar sketsa wajahku tanpa seizinku.”
Bodoh. Mengapa aku tiba-tiba mencetuskan kalimat macam begitu?
“maksudku..”
Ia tiba-tiba memutar tubuhnya, membuatku menggantungkan ucapan. Dengan kasar, ia meraih selembar kertas yang berada digenggamanku. Ia memandang lirih ke arahku, seperti berusaha mencairkan kode es yang terpatri di dua telaga beningku.
“A.. au i a af.”
Tubuhku menegang, telingaku memanas, aku berusaha membaca setiap kata yang meluncur di bibir mungilnya. Dia.. tuna wicara?
Aku menggeleng pelan. Memandang ke sembarang arah. Sial. Rasanya sakit sekali. Tiba-tiba bagian organ tubuhku yang bernama hati bergolak tak henti-henti. Aku tidak tahu setan apa yang kemudian menguasaki diriku, hingga aku memilih berlari, pergi meninggalkan gadis penghuni mimpiku selama berhari-hari.
*
Aku berusaha menghilangkan segala macam mimpi buruk seminggu ini. Tapi, pipi pualam yang menyimpan senja di matanya tak jua hilang dipikiranku. Gabriel dan Alvin mencoba menghiburku yang kata mereka; Lo udah kayak orang gak bernyawa seminggu ini, mikirin perempuan cinta pertama lo itu? Aku menggeleng, berusaha mengontrol diri agar tidak terus menjadi orang munafik.
Seperti kata Alvin, sosok Uchiha Sasuke dalam diri Mario kini seakan memudar oleh waktu. Aku berusaha membaca kode itu. Jika memang iya, berarti kini sosok Mario bukan lagi bayang-bayang anime itu, pemuda pendiam, sekeras batu karang?
Aku seolah seperti Mario yang rapuh. Berusaha masih sama namun dengan cara berbeda. Aku seolah bermain dengan dimensi waktu. Memikirkan gadis itu seperti rasanya aku membaca masa depanku.
Tidak mungkin.
Aku tidak sedang benar-benar jatuh cinta, kan?
Getar ini benar-benar seperti caffeine. Aku membutuhkannya untuk mengendalikan perasaanku, setiap waktu.
Dan malam ini, diantara bintang-bintang, aku yakin, gadis itu caffeine yang aku butuhkan.
*
“A a u e uit ya?”
Sivia yang masih berkutat dengan cat lukis dan kanvasnya menoleh pelan. Memperhatikan Shilla yang berdiri resah, seakan ia baru saja akan ketinggalan jadwal penerbangan.
Shilla membaca kebingungan dikerutan dahi sahabatnya lantas mengambil sebuah note kecil disaku roknya, menulis sesuatu.
Aku mau ke bukit sebentar ya, Vi! Ada yang harus aku selesaikan. Please jangan bilang Ayah sama Bibi Okky. Aku gak mau mereka khawatir :’)
Sivia membuang nafas. Shilla itu.... benar-benar keras kepala. Jika ia bisa sedikit lebih tegas padanya, Sivia akan lakukan. Tapi tidak, ia tidak ingin Shilla terluka, untuk kesekian kalinya.
Shilla kembali menulis kalimat berbeda. Hingga Sivia mengerutkan kening heran.
“Mario lagi?” dakwanya.
Shilla mengangguk. Memasukan kembali note kecilnya pada saku rok.
Sivia seperti teringat sesuatu sejurus berdiri. Menarik pergelangan tangan Shilla menuju kamarnya.
“Kamu harus lihat sesuatu.” Kata Sivia.
Shilla hanya mengerutkan kening, mengikuti Sivia dari belakang secara teratur. Mereka tiba dikamar bercat baby blue Sivia. Lalu, Sivia menelusuri lemari mungil berbagai benda kenangan masa kecilnya berada.
Sivia meraih sebuah bingkai foto yang sedikit berdebu. Ia duduk di ujung ranjang lalu diikuti Shilla. Mereka sama-sama mengamati bingkai foto berisi potret sekumpulan anak-anak kecil yang mengenakkan pakaian wisuda. Foto masa kecil Shilla dan Sivia. Mereka tertawa bersama-sama, seolah bernostalgia.
Lalu, mereka berhenti pada potret seorang anak laki-laki sedikit lebih tinggi dari teman laki-laki yang lainnya. Dia duduk di ujung, disamping Shilla dengan senyum yang menampilkan gigi ompongnya.
“I.. ia a f a?” tanya Shilla akhirnya.
Sivia tersenyum pelan. Mengajak Shilla untuk serius memperhatikannya.
“Dia Mario haling.”
“Aku pernah bilang, pas tahu cowok yang kamu suka, namanya seperti familiar? Bagaimana bisa aku lupa sama teman kecil kita, Shilla?”
“Kamu gak lupa, kan? Dia bahkan menobatkan diri sebagai calon suamimu di masa depan. Karena Rio kecil dulu, jatuh cinta pada suaramu.”
Kata Sivia akhirnya.
*
Kenyataan berhasil membungkam segala perasaan. Ia seperti... hal yang seharusnya tidak usah muncul ke permukaan. Karena, jika semakin lama kenyataan semakin berbuah. Segalanya hanya akan menjadi semakin runyam. Seperti perasaan Shilla.
Ia tidak tahu bongkahan seperti apa yang tiba-tiba menyerbu dinding-dinding hatinya. Kejujuran dari Sivia seolah membuatnya seperti seonggok barang lama yang tidak lagi diingkan.
Shilla memilih lagi menyendiri. Bersembunyi dibalik ilalang. Ia ingin hidup seperti masa lalu. Bukan masa sekarang. Dimana ia harus mengenal cinta, cinta pertama yang bahkan menorehkan sejumput luka.
Shilla tidak ingin ada orang-orang lama yang tiba-tiba hadir kembali dihidupnya. Ia tidak sanggup dengan kenyataan bahwa ia pasti ditinggalkan. Seperti yang di lakukan seseorang di hari yang lalu.
*
Aku melihatnya dibalik ilalang. Menjumputkan sedikit rambutnya kebelakang telinga. Ia lagi-lagi ternoda langit senja, tergambar dimataku menyerupai sketsa nyata. Sebenarnya, aku tidak ingin menghampiri, tetapi organ lain yang bernama hati terus menyiksaku dengan rasa rindu ini.
Shilla bergerak. Berjalan menuju tempatku berdiri sekarang. Aku yakin ia sama sekali tidak menyadari keberadaanku. Karena aku ikut bersembunyi, di balik pohon akasia.
Lalu, kami sekarang sama-sama berdiri terbentang pohon akasia. Ia berdiri membelakangiku, menatap telaga dan senja bergantian. Aku mengikutinya.
“Suka senja juga?”
Ia menoleh cepat. Mata kami bertemu. Ia hanya menatapku ragu.
Shilla melengos, menatapi rumput-rumput kecil yang kami pijak. Aku tidak tahu bahasa tubuh Shilla. Aku sulit mengartikan setiap gerak-geriknya.
“Kamu jangan pergi lagi. Aku tidak ingin berpura-pura tidak melihatmu untuk kesekian kali.”
Aku tidak melihat Shilla bereaksi untuk membalas kalimatku. Ia hanya merogoh saku rok bermotif bunga-bunganya lantas mengeluarkan note kecil, menggerakan jemarinya dengan lincah.
Kenapa kamu kembali bahkan setelah kamu memilih pergi?
Kalimat itu seperti mengajakku melalangbuana pada masa lalu. Lampau yang amat tidak pernah aku duga. Ia benar, aku pergi. Meninggalkannya sendiri.
 Aku bisu. Katanya lagi.
“Aku tidak peduli.” balasku cepat.
Aku bahkan tidak cukup pantas bernafas diudara yang sama dengan kamu.
Kali ini aku tidak menanggapi, karena Ashilla sudah kubawa dalam dekapku. Dibawah langit senja. Biar dia mendengar, jantung ini bertalu cepat hingga menyalahi ritme aturan.
“Kamu bisa dengar jantungku yang berdetak cepat ini? aku tahu mungkin ini terlalu cepat. Tapi… bisakah kita memulainya dengan sesuatu yang baru? Aku… dan kamu.” Ucapku kemudian, setelah lama, kami dilanda keheningan.
Setelah pelukanku terlepas, Shilla kembali menulis, Apa kamu berjanji tidak akan pergi lagi?
Aku mengangguk, sambil menggenggam tangannya. “Ya, aku tidak mau mengulang kesalahan yang sama, untuk yang kedua kali, jika saat kamu terpuruk aku tidak ada. maka, aku akan mengganti seluruh hidupku denganmu mulai dari sekarang.”
Mata Shilla berkaca-kaca, dia menunduk sembari menulis, Meskipun aku memiliki banyak kekurangan dan… bisu?
Aku manatap mata bening Shilla. “Ya, jika aku meninggalkanmu tanpa alasan lagi, kamu bisa bunuh aku.”
Setitik air mata jatuh dari pelupuk gadis itu, aku membali membawanya dalam dekapanku. Dan, langit senja kembali jadi saksi, bersatunya hati kami berdua.



The end 

This 2nd our short story. HEHEHE iseng aja sebenarnya ya, The? Kami berdua benar-benar memiliki kesamaan, sama-sama jatuh cinta pada orang yang hanya kita kamugi sebatas punggungnya saja *gak nyambung* No, I'm kidding. Enjoy read this chapter. You can read the first chapter here: http://coretantintanirmala.blogspot.com 
Wait cerpen kolaborasi lainnya^^

Another 15

Diposting oleh Nita Julianti Sukandar Putri 0 komentar


Hi June 15th!

I'm officially 18 now. How old it is, uh?
No one care. Getting young or getting old I am. I don't care, Allah is always beside me. He loves me, at the second, minute, hour, whenever and wherever.
I don't need a birthday present, I don't need a birthday gift. This day is the whole incredible gift that He gives to me.
Many people said that I was born on this day, they also said a "Happy birthday" or "Selamat ulang tahun" continuously. I think isn't about Ulang Tahun (Re-years). Its just about Ulang Tanggal (Re-date). What years we could get back? Nothing.

Ya. Rasanya sangat jauh berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya. Saya tidak lagi menemukan kejutan-kejutan manis dari mereka, eh?
Segalanya seolah berlalu begitu saja, secara biasa. Mereka tidak memberi dan saya tidak menerima apa-apa. Bukan hadiah, tapi doa. Saya bahkan merasa tidak cukup pantas menjadi selipan di doa-doa mereka.
Saya siapa memangnya? 
Hanya seonggok manusia yang terus ingin hidup diantara nyawa mereka. Bahkan, mereka acapkali tidak peduli dengan kehadiran saya.

Ulang tahun itu hanya... Membawa luka. Saya benar-benar tidak suka. Setiap 'hari' ulang tahun, pasti saya mengharapkan sepercik kata-darinya, dan ia sama sekali tidak acuh. Ini tahun ke-empat saya menunggunya. Menunggu doa dari seseorang yang sepertinya hanya mengira saya arca. Bukan hanya dia, mereka-jua diluar sana, seperti kaum borju yang aku harus minta-minta. Aku seolah haus perhatian. Berkata ini itu agar mereka mengucapkan. Apa yang menyenangkan dari 'ulang tahun' ? Bahkan menurut saya, ulang tahun hanya dimana hari begitu menyedihkan. Ulang tahun seolah-olah penjelasan nyata bahwa kita bukanlah emas yang begitu berharga. Ulang tahun akan mengajarkan kita bahwa segalanya sama seperti biasa. Tidak ada yang istimewa, begitu juga manusia. Ulang tahun memberitahu kita siapa yang peduli siapa yang tidak. Ulang tahun memberitahu arti kata 'teman' yang sebenarnya. Saya sangat tidak menyukai ulang tahun. Karena, ulang tahun seakan seperti sebuah hari kesengajaan untuk mengorek luka lama. Lagipula, tahun itu tidak ada yang bisa diulang, kan'? Lampau itu tidak bisa kita genggam.

Baiklah... Saya bukan lagi Nita yang dulu. Bukan lagi Nita yang menuntut ini-itu. Saya bukan lagi Nita 'dulu' tapi saya adalah Nita 'biasa' yang tidak akan mengemis apa-apa. Biarlah, segalanya berjalan seperti putaran waktu. Diperdulikan atau tidak, janganlah segalanya menjadi beban di fikiran saya.

Sekali lagi, saya lebih menyukai 'ulang tanggal' daripada 'ulang tahun' karena masa lalu bagi saya hanya permainan dimensi waktu. Biarlah berlalu, jangan lagi diburu.

Terimakasih atas hari berbeda ditanggal yang sama ini, Ya Allah. Terimakasih telah memberiku kesempatan untuk kesekian kali. Terimakasih untuk segala kejadian di hidup saya, luka, tawa, bahagia. You're da the best one in my life. U're the best incredible gift for me. Thankful for being ma Best 'everything'. You hear me, You loves me, You give me a strenght. I can't describe how much I love you.

Diantara, langit fajar yang melukis pagi indah di cakrawala.
Terimakasih telah menjadikan segalanya sempurna.


 


Gadis yang semakin berkurang umurnya, @nitajulio_ :) 

 

Gema Aksara✎ Template by Ipietoon Blogger Template | Gift Idea