*
Aku mungkin hanya seonggok manusia yang buta rasa, apalagi cinta. Mereka bilang, aku sedingin es dibelahan bumi utara, sekeras batu karang yang sulit tuk' diterjang. Tapi, melihatnya kali pertama aku seperti terkena sengatan. Diantara segala kekurangannya, ia membawa sekeping rasa yang tidak pernah aku duga sebelumnya. Aku sepertinya.... jatuh cinta.
Rio.
Entah kenapa, kontak fisik pertamaku dengan sosok bernama
wanita harus terjadi seperti tadi. Diam-diam, getaran asing mulai menjalar
dengan ganas melalui setiap inci hati yang tak pernah aku mengerti rasanya
seperti apa. Seperti desiran hangat yang kemudian acapkali membuat nadiku
seolah-olah ingin berhenti.
Aku menatap lekat-lekat sketsa yang menyerupai diriku.
Apa gadis tadi yang menggambarnya? Sesempurna ini hingga aku percaya duplikat
diriku yang terekam melalui bidik lensa kamera tidak akan jauh lebih bagus dari
pada sketsa ini?
Lalu, aku merebahkan tubuh, menatap langit-langit kamar
dengan gamblang. Apa mungkin Gabriel benar? Aku sedingin es di belahan bumi
utara? Hingga gadis itu saja seolah enggan berada dalam jarak interval bersama
nyawa yang tidak peka terhadap cinta?
Mungkin iya, mungkin juga tidak. Aku benar-benar telah
buta oleh rasa.
*
Aku menggiring tubuh di senja yang berbeda menuju bukit
seperti biasanya. Berharap gadis itu juga ada disana. Bersembunyi dibalik
ilalang yang sama. Menggerakkan jemarinya, menggambarku menjadi sketsa yang
seolah-olah nyata.
Telaga yang membentang dihadapanku tidak lagi semenarik
ilalang-ilalang jangkung yang seringkali menyembunyikan seonggok nyawa disana.
Aku lurus memandangi tumbuhan liar itu, berusaha membaca gerakkan alam yang
juga tak memberiku jawaban. Gadis itu tidak datang.
Aku menghempaskan tubuh, berganti memandangi cakrawala
yang melukis indah gurat senja. Jadi, haruskah Mario Haling menyerah lagi?
“A.. a mu pa..in i ana?”
Aku menoleh cepat. Sosok gadis senja itu berdiri disana.
Membawa segenggam kertas serupa dan.... membawa sedikit harapan.
Aku sejurus berdiri. Mengambil langkah cepat hingga gadis
tadi tiba-tiba mencoba berlari. Aku berusaha mengejarnya, menyusuri pasukan
ilalang yang bersekongkol dengan alam untuk menghilangkan jejaknya.
“Hey tunggu!”
Aku masih menyeru sambil berkata.
“Hey tunggu! Aku tidak ingin lagi kehilanganmu!”
Seperti mantra, seruanku membuat langkah kaki jenjang itu
berhenti. Bahunya naik turun, seolah ia baru saja berlari dikejar monster.
Aku mendapat andil bagus lantas berusaha mendekat. Ia
masih membelakangiku.
“Hey..”
Ia menoleh dibalik bahu, sekaligus menghantarkan getaran
asing itu–lagi– berdesir melalui setiap sel tubuhku. Pipi pualamnya ternoda
goret senja. Ia seperti sebingkai bintang yang sengaja Tuhan jatuhkan.
Aku segera menghembuskan nafas, lantas melirik pada
selembar kertas yang masih menghuni genggamanku.
“Ini milikmu.”
Aku menggaruk pelipis. Bingung harus menyusun kata-kata
semacam apa.
“Jangan lagi menggambar sketsa wajahku tanpa seizinku.”
Bodoh. Mengapa aku tiba-tiba mencetuskan kalimat macam
begitu?
“maksudku..”
Ia tiba-tiba memutar tubuhnya, membuatku menggantungkan
ucapan. Dengan kasar, ia meraih selembar kertas yang berada digenggamanku. Ia
memandang lirih ke arahku, seperti berusaha mencairkan kode es yang terpatri di
dua telaga beningku.
“A.. au i a af.”
Tubuhku menegang, telingaku memanas, aku berusaha membaca
setiap kata yang meluncur di bibir mungilnya. Dia.. tuna wicara?
Aku menggeleng pelan. Memandang ke sembarang arah. Sial.
Rasanya sakit sekali. Tiba-tiba bagian organ tubuhku yang bernama hati bergolak
tak henti-henti. Aku tidak tahu setan apa yang kemudian menguasaki diriku,
hingga aku memilih berlari, pergi meninggalkan gadis penghuni mimpiku selama
berhari-hari.
*
Aku berusaha menghilangkan segala macam mimpi buruk
seminggu ini. Tapi, pipi pualam yang menyimpan senja di matanya tak jua hilang
dipikiranku. Gabriel dan Alvin mencoba menghiburku yang kata mereka; Lo udah kayak orang gak bernyawa seminggu
ini, mikirin perempuan cinta pertama lo itu? Aku menggeleng, berusaha
mengontrol diri agar tidak terus menjadi orang munafik.
Seperti kata Alvin, sosok Uchiha
Sasuke dalam diri Mario kini seakan memudar oleh waktu. Aku
berusaha membaca kode itu. Jika memang iya, berarti kini sosok Mario bukan lagi
bayang-bayang anime itu, pemuda
pendiam, sekeras batu karang?
Aku seolah seperti Mario yang rapuh. Berusaha masih sama
namun dengan cara berbeda. Aku seolah bermain dengan dimensi waktu. Memikirkan
gadis itu seperti rasanya aku membaca masa depanku.
Tidak mungkin.
Aku tidak sedang benar-benar jatuh cinta, kan?
Getar ini benar-benar seperti caffeine. Aku membutuhkannya untuk mengendalikan perasaanku, setiap
waktu.
Dan malam ini, diantara bintang-bintang, aku yakin, gadis
itu caffeine yang aku butuhkan.
*
“A a u e uit ya?”
Sivia yang masih berkutat dengan cat lukis dan kanvasnya
menoleh pelan. Memperhatikan Shilla yang berdiri resah, seakan ia baru saja
akan ketinggalan jadwal penerbangan.
Shilla membaca kebingungan dikerutan dahi sahabatnya
lantas mengambil sebuah note kecil disaku roknya, menulis sesuatu.
Aku mau ke
bukit sebentar ya, Vi! Ada yang harus aku selesaikan. Please jangan bilang Ayah
sama Bibi Okky. Aku gak mau mereka khawatir :’)
Sivia membuang nafas. Shilla itu.... benar-benar keras
kepala. Jika ia bisa sedikit lebih tegas padanya, Sivia akan lakukan. Tapi
tidak, ia tidak ingin Shilla terluka, untuk kesekian kalinya.
Shilla kembali menulis kalimat berbeda. Hingga Sivia
mengerutkan kening heran.
“Mario lagi?” dakwanya.
Shilla mengangguk. Memasukan kembali note kecilnya pada
saku rok.
Sivia seperti teringat sesuatu sejurus berdiri. Menarik
pergelangan tangan Shilla menuju kamarnya.
“Kamu harus lihat sesuatu.” Kata Sivia.
Shilla hanya mengerutkan kening, mengikuti Sivia dari
belakang secara teratur. Mereka tiba dikamar bercat baby blue Sivia. Lalu, Sivia menelusuri lemari mungil berbagai
benda kenangan masa kecilnya berada.
Sivia meraih sebuah bingkai foto yang sedikit berdebu. Ia
duduk di ujung ranjang lalu diikuti Shilla. Mereka sama-sama mengamati bingkai
foto berisi potret sekumpulan anak-anak kecil yang mengenakkan pakaian wisuda.
Foto masa kecil Shilla dan Sivia. Mereka tertawa bersama-sama, seolah
bernostalgia.
Lalu, mereka berhenti pada potret seorang anak laki-laki
sedikit lebih tinggi dari teman laki-laki yang lainnya. Dia duduk di ujung,
disamping Shilla dengan senyum yang menampilkan gigi ompongnya.
“I.. ia a f a?” tanya Shilla akhirnya.
Sivia tersenyum pelan. Mengajak Shilla untuk serius
memperhatikannya.
“Dia Mario haling.”
“Aku pernah bilang, pas tahu cowok yang kamu suka, namanya
seperti familiar? Bagaimana bisa aku lupa sama teman kecil kita, Shilla?”
“Kamu gak lupa, kan?
Dia bahkan menobatkan diri sebagai calon suamimu di masa depan. Karena Rio
kecil dulu, jatuh cinta pada suaramu.”
Kata Sivia akhirnya.
*
Kenyataan berhasil membungkam segala perasaan. Ia
seperti... hal yang seharusnya tidak usah muncul ke permukaan. Karena, jika
semakin lama kenyataan semakin berbuah. Segalanya hanya akan menjadi semakin
runyam. Seperti perasaan Shilla.
Ia tidak tahu bongkahan seperti apa yang tiba-tiba
menyerbu dinding-dinding hatinya. Kejujuran dari Sivia seolah membuatnya
seperti seonggok barang lama yang tidak lagi diingkan.
Shilla memilih lagi menyendiri. Bersembunyi dibalik
ilalang. Ia ingin hidup seperti masa lalu. Bukan masa sekarang. Dimana ia harus
mengenal cinta, cinta pertama yang bahkan menorehkan sejumput luka.
Shilla tidak ingin ada orang-orang lama yang tiba-tiba
hadir kembali dihidupnya. Ia tidak sanggup dengan kenyataan bahwa ia pasti
ditinggalkan. Seperti yang di lakukan seseorang di hari yang lalu.
*
Aku melihatnya dibalik ilalang. Menjumputkan sedikit
rambutnya kebelakang telinga. Ia lagi-lagi ternoda langit senja, tergambar
dimataku menyerupai sketsa nyata. Sebenarnya, aku tidak ingin menghampiri,
tetapi organ lain yang bernama hati terus menyiksaku dengan rasa rindu ini.
Shilla bergerak. Berjalan menuju tempatku berdiri
sekarang. Aku yakin ia sama sekali tidak menyadari keberadaanku. Karena aku
ikut bersembunyi, di balik pohon akasia.
Lalu, kami sekarang sama-sama berdiri terbentang pohon
akasia. Ia berdiri membelakangiku, menatap telaga dan senja bergantian. Aku
mengikutinya.
“Suka senja juga?”
Ia menoleh cepat. Mata kami bertemu. Ia hanya menatapku
ragu.
Shilla melengos, menatapi rumput-rumput kecil yang kami
pijak. Aku tidak tahu bahasa tubuh Shilla. Aku sulit mengartikan setiap
gerak-geriknya.
“Kamu jangan pergi lagi. Aku tidak ingin berpura-pura
tidak melihatmu untuk kesekian kali.”
Aku tidak melihat Shilla bereaksi untuk membalas
kalimatku. Ia hanya merogoh saku rok bermotif bunga-bunganya lantas
mengeluarkan note kecil, menggerakan jemarinya dengan lincah.
Kenapa kamu
kembali bahkan setelah kamu memilih pergi?
Kalimat itu seperti mengajakku melalangbuana pada masa
lalu. Lampau yang amat tidak pernah aku duga. Ia benar, aku pergi.
Meninggalkannya sendiri.
Aku bisu. Katanya lagi.
“Aku tidak peduli.” balasku cepat.
Aku bahkan
tidak cukup pantas bernafas diudara yang sama dengan kamu.
Kali ini aku tidak menanggapi, karena Ashilla sudah
kubawa dalam dekapku. Dibawah langit senja.
Biar dia mendengar, jantung ini bertalu cepat hingga menyalahi ritme aturan.
“Kamu
bisa dengar jantungku yang berdetak cepat ini? aku tahu mungkin ini terlalu
cepat. Tapi… bisakah kita memulainya dengan sesuatu yang baru? Aku… dan kamu.”
Ucapku kemudian, setelah lama, kami dilanda keheningan.
Setelah
pelukanku terlepas, Shilla kembali menulis, Apa
kamu berjanji tidak akan pergi lagi?
Aku
mengangguk, sambil menggenggam tangannya. “Ya, aku tidak mau mengulang
kesalahan yang sama, untuk yang kedua kali, jika saat kamu terpuruk aku tidak
ada. maka, aku akan mengganti seluruh hidupku denganmu mulai dari sekarang.”
Mata
Shilla berkaca-kaca, dia menunduk sembari menulis, Meskipun aku memiliki banyak kekurangan dan… bisu?
Aku
manatap mata bening Shilla. “Ya, jika aku meninggalkanmu tanpa alasan lagi,
kamu bisa bunuh aku.”
Setitik
air mata jatuh dari pelupuk gadis itu, aku membali membawanya dalam dekapanku.
Dan, langit senja kembali jadi saksi, bersatunya hati kami berdua.
The end
This 2nd our short story. HEHEHE iseng aja sebenarnya ya, The? Kami berdua benar-benar memiliki kesamaan, sama-sama jatuh cinta pada orang yang hanya kita kamugi sebatas punggungnya saja *gak nyambung* No, I'm kidding. Enjoy read this chapter. You can read the first chapter here: http://coretantintanirmala.blogspot.com
Wait cerpen kolaborasi lainnya^^