Setiap
manusia punya cerita tersendiri tentang bagaimana mereka bertemu dengan cinta
pertamanya. Termasuk aku. Semua berawal dari kotak kardus berisi buku-buku lama
yang terselip di box mobil pindahan, aku menemukan diary di masa remaja. Sedikit usang dan berdebu, namun masih utuh,
aku membuka lembar demi lembar, lantas menemukan secarik kertas berwarna biru
cerah yang terlipat.
Sebuah
tulisan tangan khas laki-laki menyemut di kertas biru cerah tadi. Dahiku
berkerut, berusaha mengingat kembali bagaimana kertas ini bisa sampai padaku
ratusan hari yang lalu. Isinya cukup singkat;
Hai Kena, aku yang pinjam
pensil kamu kemarin pas minta tanda tangan kakak-kakak osis. Aku pengen balikin
langsung ke kamu besok pulang sekolah di gerbang ya. –Aksara,
7B
Dulu
teknologi belum secanggih hari ini, anak SMP yang mulai menaksir lawan jenisnya
akan saling tukar-menukar surat dan menitipkannya lewat teman mereka. Aku
menyelami momen kenangan tersebut, jika diingat-ingat betapa lucu dan
menyenangkannya masa lalu. Mereka menyukai satu sama lain tanpa memedulikan apa
itu sakit hati dan masalah percintaan lain yang hanya diketahui oleh orang
dewasa.
Sayang
sekali, aku benar-benar tidak ingat bagaimana cara surat itu sampai padaku,
siapa kurirnya, pensil yang kupinjamkan, dan siapa Aksara.
**
Aku
adalah seorang content writer
disebuah kantor berita nasional, dan juga seorang blogger aktif. Aku tidak
fokus menulis satu tema. Label di blog-ku banyak berisi review buku, film,
musik, tempat makan dan banyak lainnya. Terkadang aku juga menulis cerpen,
puisi dan kehidupan sehari-hari.
Jejak
secarik kertas biru kecil mendorongku untuk mengabadikannya di blog, dengan
judul entri: Aksara Kenangan. Aku menceritakan bagaimana surat itu kutemukan,
isinya, bahkan aku dengan jelas mencantumkan dimana sekolahku. Visitor aktifku
banyak memberi komentar di kolom blog. Banyak dari komentar tersebut yang
membuatku tersenyum, tapi ada satu komentar terbaru yang membuatku terkejut,
seorang pengguna dengan ID Aksara
Virendra Hadi, membubuhkan komentar singkat: wah kamu masih simpan suratnya?
Mungkin
jika biasanya kita mengenal seseorang dan orang tersebut secara tidak langsung
juga mengenal teman kita, dan temannya lagi, dan seterusnya lalu muncul pepatah
dunia itu sempit, aku bisa memakluminya. Tapi ini adalah dunia cyber, jaringan virtual luas yang bahkan
aku tidak tahu batasannya. Aku bisa saja terhubung dengan seseorang di belahan
dunia manapun, tapi sangat tidak mungkin jika secara kebetulan orang itu adalah
Aksara yang sama, bukan?
Tapi
entah apa yang mendorongku untuk melihat profilenya, lalu dengan tidak tahu
malu mengiriminya sebuah surel.
**
Surel
yang akhirnya mempertemukan kami di minggu kedua bulan september.
Dunia
itu sempit, benar. Aku bahkan tidak perlu repot-repot menyetir ke tempat jauh,
atau terbang ke suatu kota untuk bertemu Aksara—yang belum tentu orang yang
sama—hanya sekedar ingin memuaskan rasa penasaranku. Aksara yang berkomentar di
kolom blog-ku bahkan tinggal di Jakarta, hanya beberapa kilometer dari
kantorku. Itulah mengapa akhirnya kami memutuskan untuk bertemu secara langsung.
Seorang
laki-laki tinggi yang masih mengenakan kemeja kantor menghampiriku dengan
senyum lebar. Kami berjabat tangan, bertukar nama dan bertukar kabar.
Terkadang, ada kebetulan yang patut aku syukuri, seperti kebetulan yang satu
ini. Perempuan mana yang tidak sumringah ketika ‘kebetulan’ kenalan mereka
adalah laki-laki tampan dengan suara bariton yang jika mengucap satu kata pun dunia
seakan mengikuti ritme ucapannya?
Aku
melihatnya mengaduk kantong kerja, dan mengeluarkan sesuatu. Sebuah pensil. Aku
terkejut bukan main. Aksara Virendra Hadi membawa sebuah pensil yang aku
kenali. Mungkin ada jutaan pensil yang sama di dunia, tetapi aku mengenalinya
dengan sekali lihat. Ada gulungan kertas kecil yang diberi tulisan Kena K. membelit
pensil itu dengan perekat. Aku mengenalinya karena itu tulisan Mama, dan
kebiasaanku dulu yang apik untuk memberi nama setiap alat tulis agar tidak
tertukar dan hilang.
Aku
mengambil pensil yang diberikan Aksara. Laki-laki itu tersenyum, membuka suara,
“Dulu suratnya saya titip Beni, temen sekelas kamu. Saya pikir suratnya nggak
sampai, soalnya kamu gak nemuin saya di gerbang. Oh dan soal nemuin postingan blog
kamu, saya selalu percaya kebetulan sekalipun bisa membawa keberentungan.”
Katanya, sambil tertawa diujung kalimat.
Tepat
setelah Aksara menyelesaikan ucapannya, ponselku berbunyi, sebuah whatsapp dari Karin, temanku, akhirnya
menggenapkan jawaban.
Karin:
Ken, gue iseng baca blog
lo. Gue baru ingat kalau gak salah dulu Beni titip suratnya buat dikasih ke
elo, karena waktu itu lo gak ada di kelas, jadi gue selipin di halaman belakang
diary yang gue jadiin kado ke elo.
Aku
tidak menceritakan pesan Karin pada Aksara, biar saja menjadi teka-tekinya
sendiri mengapa aku tidak menemuinya di gerbang. Aku memutuskan memulai
percakapan baru dengan Aksara, dengan bertanya, “Gimana ceritanya kamu sampai
ke Jakarta?”
“Orangtua
saya pindah kerja saat saya naik kelas dua SMP. The rest is history.” Jawabnya. Ia lalu menambahkan, “Kalau kamu?”
Aku
menyambutnya dengan senyum, senang untuk mengetahui ia bertanya balik. Karena dari
pertanyaan itu, aku melihat masa depan di dalam pertemuan kami.
**
Satu kata dapat menyembunyikan
jutaan cerita.
Termasuk kata-kata
dari tulisan tangan khasmu di secarik kertas biru yang kutemukan dalam lembar
diariku.
Ada takdir yang
terangkai untuk ditemukan disuatu hari.
Dan aku percaya.
Jika dulu kita
bertemu, aku mungkin tidak akan tahu cinta pertama bisa selucu pertemuan kita
hari ini.
Lalu, kamu dan aku
saling bertukar kata.
Di satu kalimat
pertama yang kau ucapkan padaku, aku mengetahui sesuatu,
Kamu bukan hanya
sekedar aksara kenangan, melainkan jawaban untuk Masa depan.
THE END
Regard,
Nita J.
**Sekeping kata:
Monthly series sebelumnya bisa dibaca di: