#MonthlySeries September - Aksara Kenangan

Diposting oleh Nita Julianti Sukandar Putri
Setiap manusia punya cerita tersendiri tentang bagaimana mereka bertemu dengan cinta pertamanya. Termasuk aku. Semua berawal dari kotak kardus berisi buku-buku lama yang terselip di box mobil pindahan, aku menemukan diary di masa remaja. Sedikit usang dan berdebu, namun masih utuh, aku membuka lembar demi lembar, lantas menemukan secarik kertas berwarna biru cerah yang terlipat.
Sebuah tulisan tangan khas laki-laki menyemut di kertas biru cerah tadi. Dahiku berkerut, berusaha mengingat kembali bagaimana kertas ini bisa sampai padaku ratusan hari yang lalu. Isinya cukup singkat;
Hai Kena, aku yang pinjam pensil kamu kemarin pas minta tanda tangan kakak-kakak osis. Aku pengen balikin langsung ke kamu besok pulang sekolah di gerbang ya.  –Aksara, 7B
Dulu teknologi belum secanggih hari ini, anak SMP yang mulai menaksir lawan jenisnya akan saling tukar-menukar surat dan menitipkannya lewat teman mereka. Aku menyelami momen kenangan tersebut, jika diingat-ingat betapa lucu dan menyenangkannya masa lalu. Mereka menyukai satu sama lain tanpa memedulikan apa itu sakit hati dan masalah percintaan lain yang hanya diketahui oleh orang dewasa.
Sayang sekali, aku benar-benar tidak ingat bagaimana cara surat itu sampai padaku, siapa kurirnya, pensil yang kupinjamkan, dan siapa Aksara.
**
Aku adalah seorang content writer disebuah kantor berita nasional, dan juga seorang blogger aktif. Aku tidak fokus menulis satu tema. Label di blog-ku banyak berisi review buku, film, musik, tempat makan dan banyak lainnya. Terkadang aku juga menulis cerpen, puisi dan kehidupan sehari-hari.
Jejak secarik kertas biru kecil mendorongku untuk mengabadikannya di blog, dengan judul entri: Aksara Kenangan. Aku menceritakan bagaimana surat itu kutemukan, isinya, bahkan aku dengan jelas mencantumkan dimana sekolahku. Visitor aktifku banyak memberi komentar di kolom blog. Banyak dari komentar tersebut yang membuatku tersenyum, tapi ada satu komentar terbaru yang membuatku terkejut, seorang pengguna dengan ID Aksara Virendra Hadi, membubuhkan komentar singkat: wah kamu masih simpan suratnya?
Mungkin jika biasanya kita mengenal seseorang dan orang tersebut secara tidak langsung juga mengenal teman kita, dan temannya lagi, dan seterusnya lalu muncul pepatah dunia itu sempit, aku bisa memakluminya. Tapi ini adalah dunia cyber, jaringan virtual luas yang bahkan aku tidak tahu batasannya. Aku bisa saja terhubung dengan seseorang di belahan dunia manapun, tapi sangat tidak mungkin jika secara kebetulan orang itu adalah Aksara yang sama, bukan?
Tapi entah apa yang mendorongku untuk melihat profilenya, lalu dengan tidak tahu malu mengiriminya sebuah surel.
**
Surel yang akhirnya mempertemukan kami di minggu kedua bulan september.
Dunia itu sempit, benar. Aku bahkan tidak perlu repot-repot menyetir ke tempat jauh, atau terbang ke suatu kota untuk bertemu Aksara—yang belum tentu orang yang sama—hanya sekedar ingin memuaskan rasa penasaranku. Aksara yang berkomentar di kolom blog-ku bahkan tinggal di Jakarta, hanya beberapa kilometer dari kantorku. Itulah mengapa akhirnya kami memutuskan untuk bertemu secara langsung.
Seorang laki-laki tinggi yang masih mengenakan kemeja kantor menghampiriku dengan senyum lebar. Kami berjabat tangan, bertukar nama dan bertukar kabar. Terkadang, ada kebetulan yang patut aku syukuri, seperti kebetulan yang satu ini. Perempuan mana yang tidak sumringah ketika ‘kebetulan’ kenalan mereka adalah laki-laki tampan dengan suara bariton yang jika mengucap satu kata pun dunia seakan mengikuti ritme ucapannya?
Aku melihatnya mengaduk kantong kerja, dan mengeluarkan sesuatu. Sebuah pensil. Aku terkejut bukan main. Aksara Virendra Hadi membawa sebuah pensil yang aku kenali. Mungkin ada jutaan pensil yang sama di dunia, tetapi aku mengenalinya dengan sekali lihat. Ada gulungan kertas kecil yang diberi tulisan Kena K. membelit pensil itu dengan perekat. Aku mengenalinya karena itu tulisan Mama, dan kebiasaanku dulu yang apik untuk memberi nama setiap alat tulis agar tidak tertukar dan hilang.
Aku mengambil pensil yang diberikan Aksara. Laki-laki itu tersenyum, membuka suara, “Dulu suratnya saya titip Beni, temen sekelas kamu. Saya pikir suratnya nggak sampai, soalnya kamu gak nemuin saya di gerbang. Oh dan soal nemuin postingan blog kamu, saya selalu percaya kebetulan sekalipun bisa membawa keberentungan.” Katanya, sambil tertawa diujung kalimat.
Tepat setelah Aksara menyelesaikan ucapannya, ponselku berbunyi, sebuah whatsapp dari Karin, temanku, akhirnya menggenapkan jawaban.
Karin:
Ken, gue iseng baca blog lo. Gue baru ingat kalau gak salah dulu Beni titip suratnya buat dikasih ke elo, karena waktu itu lo gak ada di kelas, jadi gue selipin di halaman belakang diary yang gue jadiin kado ke elo.
Aku tidak menceritakan pesan Karin pada Aksara, biar saja menjadi teka-tekinya sendiri mengapa aku tidak menemuinya di gerbang. Aku memutuskan memulai percakapan baru dengan Aksara, dengan bertanya, “Gimana ceritanya kamu sampai ke Jakarta?”
“Orangtua saya pindah kerja saat saya naik kelas dua SMP. The rest is history.” Jawabnya. Ia lalu menambahkan, “Kalau kamu?”
Aku menyambutnya dengan senyum, senang untuk mengetahui ia bertanya balik. Karena dari pertanyaan itu, aku melihat masa depan di dalam pertemuan kami.
**
Satu kata dapat menyembunyikan jutaan cerita.
Termasuk kata-kata dari tulisan tangan khasmu di secarik kertas biru yang kutemukan dalam lembar diariku.
Ada takdir yang terangkai untuk ditemukan disuatu hari.
Dan aku percaya.
Jika dulu kita bertemu, aku mungkin tidak akan tahu cinta pertama bisa selucu pertemuan kita hari ini.
Lalu, kamu dan aku saling bertukar kata.
Di satu kalimat pertama yang kau ucapkan padaku, aku mengetahui sesuatu,
Kamu bukan hanya sekedar aksara kenangan, melainkan jawaban untuk Masa depan.
THE END

Regard,
Nita J.

**Sekeping kata:
Monthly series sebelumnya bisa dibaca di:

0 komentar:

Posting Komentar

 

Gema Aksara✎ Template by Ipietoon Blogger Template | Gift Idea