**
Kay
Dia
terlihat bergeming dengan kacamata yang membingkai diwajahnya, tetapi hal itu tidak
menutupi keseriusannya memandangi layar laptop, ditemani segelas kopi yang
uapnya mulai berkurang karena terlalu lama diabaikan.
Dia diam
saja pun aku seperti melihat sebuah mahakarya. Dan bahkan gerakan alaminya
menggulung lengan kemeja hingga siku bisa terlihat indah dimataku. Kebahagiaan
sederhana bisa terjadi pada hal-hal kecil seperti saat aku melihatnya
menghembuskan nafas melalui hidung dan melebur bersama udara yang aku hirup.
Jejak-jejak kakinya di bumi bahkan ingin aku abadikan dalam sebuah musium
bernama ingatan. Ia begitu sempurna bahkan hanya saat mengedipkan mata.
Bagaimana
mungkin bisa ada pepatah tidak ada manusia yang sempurna jika aku terus
bersikeras bahwa laki-laki yang duduk disampingku adalah pengecualian? Dan
bagaimana bisa aku yang hanya seinci jaraknya dengan dia tapi terasa sangat
jauh untuk aku gapai?
Seperti
definisi langit dan bumi. Aku bebas memandanginya sesuka hati, mengikutinya
kemana-kemana karena ia ada disetiap langkahku berjalan. Tetapi aku bahkan sama
sekali tidak bisa menggengam ia secara nyata dengan tanganku sendiri.
Aku
terdiam tidak berapa lama memikirkan seluruh pertanyaan dalam benakku yang
meminta jawaban, ketika kemudian laki-laki disampingku berdiri lalu menepuk
bahuku pelan. “Yuk jalan.”
Aku terkesiap, mengenyahkan segala imajinasi
yang muncul tidak tahu malu, lantas mengekorinya dengan tegas.
Satu
langkah pertama kami bahkan sudah membuatku risih. Inilah ketakukan yang selalu
bergema dalam pikiranku. Ketika banyak mata manusia yang memandang kemustahilan
diantara kami. Aku bisa membaca selusin pertanyaan dalam setiap tatapan mereka.
Bagaimana bisa upik abu sepertiku bersanding dengan laki-laki sesempurna dia?
Bagaimana bisa tanah liat sepertiku ada dalam jangkauan yang sama dengan
berlian sepertinya?
Pikiranku
bercabang kemana-mana sampai aku merasa keningku berdenyut, menabrak dada
bidang laki-laki di depanku yang tiba-tiba berbalik dan berhenti.
“Kamu
kok jalannya lama banget?” Ia menatapku dengan penuh tanya. Ah, suara madu dan mata
teduh itu, yang sekian detik mampu menjadi racun dan membuat lututku lemas.
“Maaf ya
tadi kayanya aku lagi mikirin kaya ada yang ketinggalan.” Aku menjawab asal.
Ia
tersenyum tipis. “Kamu selalu gitu ya? Saya bilang apa, kamu bisa ceritain
segalanya. Tapi gimana kamu mau cerita kalau hal-hal kecil kaya gitu aja kamu
gak bagi dengan saya?”
Aku
terenyuh. Dia begitu lagi. Setiap kosa kata yang terlontar dari bibirnya
membuatku semakin tidak tahu diri ingin memilikinya seutuhnya. Aku suka saat ia
mengucapkan kalimat-kalimat itu. Aku suka ketika dia lebih cepat bertindak dari
apa yang yang aku harapkan. Tapi bagiku, lagi-lagi hal itu hanya menjadi
bumerang bagiku untuk lebih jauh lagi mencintainya. Dan aku tidak suka ide
tentang mencintainya sedalam ini dengan semua keterbatasan yang aku miliki.
***
Enam
tahun lalu, kali pertama aku bertemu dengannya adalah saat kami bergabung
dengan esktakulikuler yang sama di Sekolah Menengah Atas. Bisa dibilang, hari
pertama ia bergabung dengan kelompok kami, ia menjadi manusia paling dikenal
karena terlampau rupawan. Sedangkan aku hanya menjadi satu dari sekian anggota
yang bahkan dikenal anggota lainnya beberapa minggu kemudian.
Interaksi
pertama kami yang selalu aku ingat adalah ketika ia memanggil sepotong namaku.
“Kay?” Dan aku memandanginya sekian detik dengan keterkejutanku. Bagaimana ia
bisa ingat namaku dan bahkan ia pula yang mengawali satu percakapan kami untuk
ribuan percakapan kami kemudian. Aku mengangguk pelan, mencoba menata hati yang
terlanjur meloncat kegirangan.
“Saya
Kia. Kita satu kelompok buat bikin esay di mading minggu depan ya.” Ia lalu
menjabat tanganku. Itu adalah kali pertama juga aku mendengar ia memanggil
dirinya dengan kata ‘saya’ jika berbicara denganku yang bahkan terus berlanjut
sampai saat ini. Meski ukuran aku-kamu atau gue-elo adalah panggilan yang
seharusnya bisa kami aplikasikan mengingat umur pertemanan kami yang tidak bisa
dibilang sebentar. Aku selalu menyukainya, saat dia memposisikan diri menjadi
laki-laki yang tetap sopan meski kami berteman.
Dan
jabatan itu pula yang menjadi kunci bagaimana kini aku bisa terus bersama dia beratus
hari kemudian. Pertemanan kami terjalin dengan mudahnya. Jika orang-orang
mengira aku berteman dengannya karena memiliki jutaan kesamaan, jelas salah.
Kami berbeda seiring kami mengenal satu sama lain.
Kia
adalah manusia yang sangat aktif bersosial, baik, sopan dan sangat peduli.
Satu-satunya cara dia marah hanya dengan diam dan mengembuskan nafas
keras-keras tanpa harus mengeluarkan kata-kata kasar atau bermain dengan emosi.
Tetapi kadang menjadi terlalu peduli adalah satu-satunya kekurangan yang ia
buat. Orang-orang diluar sana akan merasa diperhatikan dan menaruh atensi
banyak. Tanpa dia tahu hal itu bisa jadi adalah racun baginya untuk terluka.
Sedangkan
aku lebih menjadi pribadi yang tertutup. Aku dekat dengannya, tetapi banyak
rahasia yang tidak aku ungkap padanya. Termasuk rahasia bahwa sejak tiga tahun
mengenalnya, aku mulai sadar aku menyukainya dengan porsi lebih. Sejak ia
pertama kali mengenalkan pacarnya padaku, aku sadar bahwa aku tidak suka,
bahkan sampai pertama kali ia putus dari pacarnya, aku tahu aku tidak suka
melihatnya terluka. Ada banyak emosi dan rahasia lain yang mampu terbaca
olehnya. Tapi aku tidak yakin, dengan rahasia bahwa aku menyukainya. Karena
kami masih stagnan bersama tanpa pernah ada yang berubah.
***
Tahun-tahun
berikutnya tetap sama. Kami masih sering menghabiskan waktu berdua. Meski ia
sibuk dengan pekerjaannya dan aku sibuk dengan pekerjaanku, ia akan sempat merancang
agenda untuk kami habiskan di akhir pekan. Seperti menonton film lama, memasak
indomie ayam bawang atau bahkan sesederhana main ular tangga. Ia tetap Kia yang
sama, hingga suatu sore percakapan kami tiba di puncak yang tidak pernah kami
duga. Dan aku adalah pelaku utama dari semua itu.
Adalah
saat kami membahas percakapan tentang acara kantornya dan ia mengajakku pergi
bersama akhir pekan minggu depan. Aku menolak dengan sekali ajakan dan ia
bertanya mengapa.
“Kayanya
kita udah terlalu sering bareng-bareng. Sadar gak sih kamu ide apa yang bisa
muncul di benak mereka kalau aku sama kamu terus?”
Kia
memandangku dengan ketidak mengertiannya, lalu bertanya balik dengan nada
frustasi. “Maksud kamu apa?”
“Kamu
bertahun-tahun kenal aku, tapi kamu nggak sadar betapa aku terbebani setiap
bareng kamu? Tatapan mereka tentang upik abu yang bersanding dengan pangeran
itu selalu terngiang-ngiang–” aku mengambil nafas, “Stop jadikan aku objek yang bersanding dengan kamu supaya kamu
terlihat sempurna.”
Aku
tidak sadar bahwa itu adalah kalimat terbodoh apa pernah keluar dari bibirku,
sampai membuat dia tidak mengeluarkan sepatah kata apapun dan pergi begitu
saja. Aku tahu, diam adalah satu-satu definisi kuat bahwa ia sedang marah. Dan
menit berikutnya aku menyesal, menangis dan marah pada diriku sendiri karena
dengan bodohnya mengkamuflase perasaanku padanya.
***
Dan ini
adalah jeda terpanjang dalam sejarah hidup kami berdua. Tidak ada komunikasi
diantara aku dan Kia. Aku tidak tahu sebegini sulitnya hidup satu hari tanpa
pernah tahu kabar Kia, seperti meneteskan cuka pada luka yang menganga.
Pekerjaanku berantakan. Akhir pekanku terasa sunyi bahkan saat aku sedang bersama
teman-temanku. The greatest lonelyness is
when you feel empty in the crowd. Dan aku tahu ketidakhadiran Kia adalah
penyebab utamanya.
Jeda
terpanjang kedua dalam hidup kami adalah saat aku bertengkar dengannya karena
Kia bersikeras untuk pergi ke acara debat mewakili sekolah kami padahal ia
sedang sakit. Sekolah kami menang tetapi Kia akhirnya harus dirawat di Rumah
Sakit. Aku tidak berbicara padanya, tidak membesuknya sampai ia kembali masuk
sekolah. Aku mengingat masa lalu dan sekarang yang serupa dengan langkah gontai
menuju rumah.
Mungkin...
selamanya aku dan Kia hanya akan seperti bumi dan langit. Mungkin selamanya Kia
hanya bisa menjadi kesempurnaan yang bisa aku nikmati dalam kesunyian. Mungkin,
selamanya juga perasaanku padanya hanya akan menjadi benda rahasia yang tidak
punya nama.
***
Kia
Saya
tidak tahu kenapa langkah saya terasa berat setelah meninggalkannya tanpa satu
kata terucap. Dan saya menyesali sikap kekanak-kanakan ini. Selalu seperti itu.
Saya merasa seperti anak lelaki yang ingin diperhatikan jika sedang bersamanya.
Marah jika ia tidak mendengar apa yang saya minta. Dan saya tahu, Kay adalah
perempuan yang tidak menggubris hal-hal seperti itu. Tapi saya terus
mengulangnya lagi, dan lagi.
Bertahun-tahun
bersamanya membuat saya bergantung padanya. Ia selalu berkata bahwa saya
terlalu sempurna untuk hidup sebagai manusia. Terserah jika orang berpikir saya
sombong, tapi saya suka jika pendapat itu adalah dari Kay. Karena saya sadar,
saya selalu berusaha menjadi sempurna karena seseorang. Dan orang itu adalah
dia.
Kali
pertama saya kenal Kay, saya tahu dia bukan gadis biasa. Dia lebih senang
membagi masalah dengan dirinya sendiri. Dan saya tiba-tiba ingin hadir dalam
hidupnya, mengubah itu semua. Saya ingin dia berbagi dengan saya, seperti
hal-hal kecil tentang ingin makan siang apa hari ini, atau besok akan menonton
film apa, sampai masalah besar yang ia hadapi. Saya ingin menjadi orang pertama
yang Kay datangi untuk bercerita. Seperti halnya saya yang selalu berbagi
padanya. Termasuk dengan pelan-pelan menyusup ke dalam hatinya.
Saya ingin dia tahu bahwa hidup bersamanya
adalah cita-cita saya. Tapi sekali lagi, saya bodoh karena tidak pernah secara
gamblang mengungkapkannya.
Saya
selalu percaya wanita akan terbuka dengan sikap seorang lelaki tanpa harus
ditegaskan dalam sebuah kata. Tapi saya juga tahu, Kay tidak menerima sebuah
tanda-tanda. Ia lebih suka sesuatu yang tegas.
Saya
bodoh karena terus membelenggunya tanpa sebuah ikatan. Saya egois karena tidak
mengizinkannya mengenal laki-laki selain saya. Tapi saya juga punya sesuatu
yang sangat saya takutkan selama ini. Seberani apapun saya berbagi padanya
selama ini, saya takut jika harus berbagi lebih.
Saya
sudah berbagi masalah, waktu dan cerita-cerita saya. Saya takut berbagi perasaan
saya padanya hanya akan meninggalkan luka daripada kebahagiaan. Dan terlebih
lagi, pertemanan kami berdua adalah jembatan terbaik bagi saya untuk terus
bersamanya. Lebih dari itu, saya takut jembatan ini runtuh dan saya tidak bisa
menyebrang lagi untuk hadir di hidupnya. Dan ketakutan saya terbukti ketika dia
mengungkapkan kalimat itu.
Kamu bertahun-tahun kenal aku, tapi kamu nggak
sadar betapa aku terbebani setiap bareng kamu?
Saya
suka setiap kata yang keluar darinya tapi tidak dengan kalimat itu. Kalimat itu
menohok saya. Laki-laki bodoh yang tidak pernah mau menafsirkan kekhawatiran
yang bisa saja setiap saat muncul dipikiran Kay karena saya egois atas perasaan
saya sendiri.
Bukan
karena saya marah pada Kay yang akhirnya membuat saya memilih pergi. Saya hanya
malu karena selama ini membuatnya terbebani dengan kehadiran saya alih-alih ia
merasa senang. Dan lagi-lagi saya egois karena memikirkan Kay dengan sepihak.
Satu hal yang saya sadari pada langkah pertama keputusan saya saat
meninggalkannya, itu adalah pilihan yang paling saya sesali selama saya hidup
dan mengenalnya.
***
Sudah
belasan hari saya hidup tanpa tahu kabar Kay. Bahkan di acara kantor yang ramai
ini, saya memilih menyepi. Melihat teman-teman saya yang bahagia dengan hal
sekecil lelucon yang dilontarkan, membuat saya sadar bahwa selama ini
kebahagiaan paling besar yang pernah saya dapatkan adalah kehadiran Kay di
hidup saya. Gadis pendiam yang kadang galak tetapi saya tahu dia menyimpan
banyak rasa khawatir. Gadis yang lebih senang menceritakan episode kartun doraemon
disetiap minggu dibanding menceritakan masalah pekerjaannya. Saya suka hal-hal
sederhana yang ada pada diri Kay, termasuk sikap otomatisnya mengambil daun
bawang di kuah makanan yang saya pesan karena dia tahu saya tidak suka daun
bawang.
Dan
malam ini saya sadar, betapa berharganya jabatan pertama kami daripada pacar
pertama yang saya kenalkan padanya. Betapa terlukanya saya ketika melihat dia
sakit tifus daripada saat saya putus dengan pacar saya. Saya hanya tidak siap
menafsirkan dan mengakui bahwa saya mencintainya dengan segala keterbatasan
yang saya punya, bukan dengan kesempurnaan yang selalu dia lihat dalam diri
saya.
Karena
seharusnya dia tahu, dia yang menjadikan segala yang ada dalam diri saya
sempurna. Dia menggenapkan satu hal yang bernama kebahagiaan.
Kemudian,
di menit Daniel Bedingfield menyanyikan sepenggal dari lagunya yang berjudul If You’re not The One, saya menyadari
satu hal.
'Cause I miss you body and
soul so strong that it takes my breath away,
And I breathe you into my
heart and pray for the strength to stand today,
'Cause I love you, whether
it's wrong or right,
And though I can't be with
you tonight,
You know my heart is by your
side
Tanpa
berpikir panjang, saya mengambil kunci mobil dan pergi pada tujuan kemana hati
ini mencari. Pada keputusan saya malam itu, saya teringat kalimat yang pernah
Kay bagikan pada saya, because love will
find itself.
***
Kay
terdiam ketika membuka pintu rumahnya dan melihat laki-laki yang menahun
menjadi memori paling diingatnya berdiri di depannya dengan tatapan yang selalu
membuat perut Kay dilolosi kupu-kupu. Kia dan wangi tubuhnya yang tidak asing
menyergap Kay saat laki-laki itu satu langkah mendekat padanya.
Laki-laki
itu menyisir rambutnya dengan kedua tangan, lalu mendaratkan kedua tangannya
pada kedua bahu Kay, memandang gadis itu dengan sangat dalam, “Kamu tahu kan
bagi saya kamu seberharga itu?”
Kay
balas menatapnya walau ia tahu tidak lama kemudian ia bisa saja mati di tempat
karena tatapan itu menebobos ke jantung dan hatinya membuat organ tubuhnya itu
bekerja liar daripada ritme sewajarnya.
“Kay..
Kita terlalu membuatnya rumit bukan? Saya cinta kamu. Sesederhana itu dan kita
berdua sama-sama tahu.”
Jika
boleh, Kay ingin berlari ke dalam suatu kolam es untuk menetralkan wajahnya
yang memanas. Tetapi ia bahkan tidak bisa melangkah karena laki-laki itu
mengunci diri dan hatinya.
“Saya boleh cium kamu?” Kay tahu itu adalah
pertanyaan paling bodoh yang pernah ia lontarkan. Tapi ia tetap melakukanya
setelah Kia mengangguk pelan meski sedikit terkejut. Kay mencium Kia dengan
pelan dan lembut. Hanya ciuman singkat yang efeknya maha dahsyat dan mampu
memompa jantung mereka sehingga berdetak seirama.
Kay
meraih tangan Kia dengan lembut, dan membimbingnya menuju hatinya untuk
memproklamasi bahwa degup itu adalah milik Kia. Seutuhnya.
“Kamu
juga seberharga itu.”
***
END
Ensiklopenita:
Dalam
KBBI, Konstelasi; kumpulan orang, sifat, atau benda yang
berhubungan; 2) keadaan,
tatanan: -- 3) bangun; bentuk; susunan; kaitan; 4) gambaran; keadaan yang dibayangkan.
Saya
menganalogikannya sebagai ‘keadaan hati, tatanan hati dsb’ untuk cerita ini
karena cerita ini merupakan dua sudut pandang yang berbeda dari tokoh Kia dan
Kay. Jadi saya pikir menggambarkan bentuk pandangan hati yang berbeda tetapi
saling berhubungan. SO, BAYANGIN aja ya soalnya saya gak jago teori-teorian.
So it was my 1st entry di blog ini di tahun 2018 yang
dibuatnya hanya dalam kurun waktu 3 jam disela-sela garapan bab 4 skripsi,
sekaligus hutang #MonthlySeries yang absen beberapa bulan. Thank to someone berinisial HMH yang tiba-tiba merecoki pikiran
saya dan membuat saya ingin menumpahkan karakternya pada sebidang tulisan. I owe to you. I LOVE YOU.
Oh
yang suka fan-fiction juga saya
menulis cerbung dengan karakter bernama Kia, so, please seacrh hakunanitata
on wattpad, or you can read the story by click the link below:
Regard,
Nita
J.