#MonthlySeries March - Konstelasi Hati

Diposting oleh Nita Julianti Sukandar Putri

**
Kay
Dia terlihat bergeming dengan kacamata yang membingkai diwajahnya, tetapi hal itu tidak menutupi keseriusannya memandangi layar laptop, ditemani segelas kopi yang uapnya mulai berkurang karena terlalu lama diabaikan.
Dia diam saja pun aku seperti melihat sebuah mahakarya. Dan bahkan gerakan alaminya menggulung lengan kemeja hingga siku bisa terlihat indah dimataku. Kebahagiaan sederhana bisa terjadi pada hal-hal kecil seperti saat aku melihatnya menghembuskan nafas melalui hidung dan melebur bersama udara yang aku hirup. Jejak-jejak kakinya di bumi bahkan ingin aku abadikan dalam sebuah musium bernama ingatan. Ia begitu sempurna bahkan hanya saat mengedipkan mata.
Bagaimana mungkin bisa ada pepatah tidak ada manusia yang sempurna jika aku terus bersikeras bahwa laki-laki yang duduk disampingku adalah pengecualian? Dan bagaimana bisa aku yang hanya seinci jaraknya dengan dia tapi terasa sangat jauh untuk aku gapai?
Seperti definisi langit dan bumi. Aku bebas memandanginya sesuka hati, mengikutinya kemana-kemana karena ia ada disetiap langkahku berjalan. Tetapi aku bahkan sama sekali tidak bisa menggengam ia secara nyata dengan tanganku sendiri.
Aku terdiam tidak berapa lama memikirkan seluruh pertanyaan dalam benakku yang meminta jawaban, ketika kemudian laki-laki disampingku berdiri lalu menepuk bahuku pelan. “Yuk jalan.”
 Aku terkesiap, mengenyahkan segala imajinasi yang muncul tidak tahu malu, lantas mengekorinya dengan tegas.
Satu langkah pertama kami bahkan sudah membuatku risih. Inilah ketakukan yang selalu bergema dalam pikiranku. Ketika banyak mata manusia yang memandang kemustahilan diantara kami. Aku bisa membaca selusin pertanyaan dalam setiap tatapan mereka. Bagaimana bisa upik abu sepertiku bersanding dengan laki-laki sesempurna dia? Bagaimana bisa tanah liat sepertiku ada dalam jangkauan yang sama dengan berlian sepertinya?
Pikiranku bercabang kemana-mana sampai aku merasa keningku berdenyut, menabrak dada bidang laki-laki di depanku yang tiba-tiba berbalik dan berhenti.
“Kamu kok jalannya lama banget?” Ia menatapku dengan penuh tanya. Ah, suara madu dan mata teduh itu, yang sekian detik mampu menjadi racun dan membuat lututku lemas.
“Maaf ya tadi kayanya aku lagi mikirin kaya ada yang ketinggalan.” Aku menjawab asal.
Ia tersenyum tipis. “Kamu selalu gitu ya? Saya bilang apa, kamu bisa ceritain segalanya. Tapi gimana kamu mau cerita kalau hal-hal kecil kaya gitu aja kamu gak bagi dengan saya?”
Aku terenyuh. Dia begitu lagi. Setiap kosa kata yang terlontar dari bibirnya membuatku semakin tidak tahu diri ingin memilikinya seutuhnya. Aku suka saat ia mengucapkan kalimat-kalimat itu. Aku suka ketika dia lebih cepat bertindak dari apa yang yang aku harapkan. Tapi bagiku, lagi-lagi hal itu hanya menjadi bumerang bagiku untuk lebih jauh lagi mencintainya. Dan aku tidak suka ide tentang mencintainya sedalam ini dengan semua keterbatasan yang aku miliki.
***
Enam tahun lalu, kali pertama aku bertemu dengannya adalah saat kami bergabung dengan esktakulikuler yang sama di Sekolah Menengah Atas. Bisa dibilang, hari pertama ia bergabung dengan kelompok kami, ia menjadi manusia paling dikenal karena terlampau rupawan. Sedangkan aku hanya menjadi satu dari sekian anggota yang bahkan dikenal anggota lainnya beberapa minggu kemudian.
Interaksi pertama kami yang selalu aku ingat adalah ketika ia memanggil sepotong namaku. “Kay?” Dan aku memandanginya sekian detik dengan keterkejutanku. Bagaimana ia bisa ingat namaku dan bahkan ia pula yang mengawali satu percakapan kami untuk ribuan percakapan kami kemudian. Aku mengangguk pelan, mencoba menata hati yang terlanjur meloncat kegirangan.
“Saya Kia. Kita satu kelompok buat bikin esay di mading minggu depan ya.” Ia lalu menjabat tanganku. Itu adalah kali pertama juga aku mendengar ia memanggil dirinya dengan kata ‘saya’ jika berbicara denganku yang bahkan terus berlanjut sampai saat ini. Meski ukuran aku-kamu atau gue-elo adalah panggilan yang seharusnya bisa kami aplikasikan mengingat umur pertemanan kami yang tidak bisa dibilang sebentar. Aku selalu menyukainya, saat dia memposisikan diri menjadi laki-laki yang tetap sopan meski kami berteman.
Dan jabatan itu pula yang menjadi kunci bagaimana kini aku bisa terus bersama dia beratus hari kemudian. Pertemanan kami terjalin dengan mudahnya. Jika orang-orang mengira aku berteman dengannya karena memiliki jutaan kesamaan, jelas salah. Kami berbeda seiring kami mengenal satu sama lain.
Kia adalah manusia yang sangat aktif bersosial, baik, sopan dan sangat peduli. Satu-satunya cara dia marah hanya dengan diam dan mengembuskan nafas keras-keras tanpa harus mengeluarkan kata-kata kasar atau bermain dengan emosi. Tetapi kadang menjadi terlalu peduli adalah satu-satunya kekurangan yang ia buat. Orang-orang diluar sana akan merasa diperhatikan dan menaruh atensi banyak. Tanpa dia tahu hal itu bisa jadi adalah racun baginya untuk terluka.
Sedangkan aku lebih menjadi pribadi yang tertutup. Aku dekat dengannya, tetapi banyak rahasia yang tidak aku ungkap padanya. Termasuk rahasia bahwa sejak tiga tahun mengenalnya, aku mulai sadar aku menyukainya dengan porsi lebih. Sejak ia pertama kali mengenalkan pacarnya padaku, aku sadar bahwa aku tidak suka, bahkan sampai pertama kali ia putus dari pacarnya, aku tahu aku tidak suka melihatnya terluka. Ada banyak emosi dan rahasia lain yang mampu terbaca olehnya. Tapi aku tidak yakin, dengan rahasia bahwa aku menyukainya. Karena kami masih stagnan bersama tanpa pernah ada yang berubah.
***
Tahun-tahun berikutnya tetap sama. Kami masih sering menghabiskan waktu berdua. Meski ia sibuk dengan pekerjaannya dan aku sibuk dengan pekerjaanku, ia akan sempat merancang agenda untuk kami habiskan di akhir pekan. Seperti menonton film lama, memasak indomie ayam bawang atau bahkan sesederhana main ular tangga. Ia tetap Kia yang sama, hingga suatu sore percakapan kami tiba di puncak yang tidak pernah kami duga. Dan aku adalah pelaku utama dari semua itu.
Adalah saat kami membahas percakapan tentang acara kantornya dan ia mengajakku pergi bersama akhir pekan minggu depan. Aku menolak dengan sekali ajakan dan ia bertanya mengapa.
“Kayanya kita udah terlalu sering bareng-bareng. Sadar gak sih kamu ide apa yang bisa muncul di benak mereka kalau aku sama kamu terus?”
Kia memandangku dengan ketidak mengertiannya, lalu bertanya balik dengan nada frustasi. “Maksud kamu apa?”
“Kamu bertahun-tahun kenal aku, tapi kamu nggak sadar betapa aku terbebani setiap bareng kamu? Tatapan mereka tentang upik abu yang bersanding dengan pangeran itu selalu terngiang-ngiang–” aku mengambil nafas, “Stop jadikan aku objek yang bersanding dengan kamu supaya kamu terlihat sempurna.”
Aku tidak sadar bahwa itu adalah kalimat terbodoh apa pernah keluar dari bibirku, sampai membuat dia tidak mengeluarkan sepatah kata apapun dan pergi begitu saja. Aku tahu, diam adalah satu-satu definisi kuat bahwa ia sedang marah. Dan menit berikutnya aku menyesal, menangis dan marah pada diriku sendiri karena dengan bodohnya mengkamuflase perasaanku padanya.
***
Dan ini adalah jeda terpanjang dalam sejarah hidup kami berdua. Tidak ada komunikasi diantara aku dan Kia. Aku tidak tahu sebegini sulitnya hidup satu hari tanpa pernah tahu kabar Kia, seperti meneteskan cuka pada luka yang menganga. Pekerjaanku berantakan. Akhir pekanku terasa sunyi bahkan saat aku sedang bersama teman-temanku. The greatest lonelyness is when you feel empty in the crowd. Dan aku tahu ketidakhadiran Kia adalah penyebab utamanya.
Jeda terpanjang kedua dalam hidup kami adalah saat aku bertengkar dengannya karena Kia bersikeras untuk pergi ke acara debat mewakili sekolah kami padahal ia sedang sakit. Sekolah kami menang tetapi Kia akhirnya harus dirawat di Rumah Sakit. Aku tidak berbicara padanya, tidak membesuknya sampai ia kembali masuk sekolah. Aku mengingat masa lalu dan sekarang yang serupa dengan langkah gontai menuju rumah.
Mungkin... selamanya aku dan Kia hanya akan seperti bumi dan langit. Mungkin selamanya Kia hanya bisa menjadi kesempurnaan yang bisa aku nikmati dalam kesunyian. Mungkin, selamanya juga perasaanku padanya hanya akan menjadi benda rahasia yang tidak punya nama.
***
Kia
Saya tidak tahu kenapa langkah saya terasa berat setelah meninggalkannya tanpa satu kata terucap. Dan saya menyesali sikap kekanak-kanakan ini. Selalu seperti itu. Saya merasa seperti anak lelaki yang ingin diperhatikan jika sedang bersamanya. Marah jika ia tidak mendengar apa yang saya minta. Dan saya tahu, Kay adalah perempuan yang tidak menggubris hal-hal seperti itu. Tapi saya terus mengulangnya lagi, dan lagi.
Bertahun-tahun bersamanya membuat saya bergantung padanya. Ia selalu berkata bahwa saya terlalu sempurna untuk hidup sebagai manusia. Terserah jika orang berpikir saya sombong, tapi saya suka jika pendapat itu adalah dari Kay. Karena saya sadar, saya selalu berusaha menjadi sempurna karena seseorang. Dan orang itu adalah dia.
Kali pertama saya kenal Kay, saya tahu dia bukan gadis biasa. Dia lebih senang membagi masalah dengan dirinya sendiri. Dan saya tiba-tiba ingin hadir dalam hidupnya, mengubah itu semua. Saya ingin dia berbagi dengan saya, seperti hal-hal kecil tentang ingin makan siang apa hari ini, atau besok akan menonton film apa, sampai masalah besar yang ia hadapi. Saya ingin menjadi orang pertama yang Kay datangi untuk bercerita. Seperti halnya saya yang selalu berbagi padanya. Termasuk dengan pelan-pelan menyusup ke dalam hatinya.
 Saya ingin dia tahu bahwa hidup bersamanya adalah cita-cita saya. Tapi sekali lagi, saya bodoh karena tidak pernah secara gamblang mengungkapkannya.
Saya selalu percaya wanita akan terbuka dengan sikap seorang lelaki tanpa harus ditegaskan dalam sebuah kata. Tapi saya juga tahu, Kay tidak menerima sebuah tanda-tanda. Ia lebih suka sesuatu yang tegas.
Saya bodoh karena terus membelenggunya tanpa sebuah ikatan. Saya egois karena tidak mengizinkannya mengenal laki-laki selain saya. Tapi saya juga punya sesuatu yang sangat saya takutkan selama ini. Seberani apapun saya berbagi padanya selama ini, saya takut jika harus berbagi lebih.
Saya sudah berbagi masalah, waktu dan cerita-cerita saya. Saya takut berbagi perasaan saya padanya hanya akan meninggalkan luka daripada kebahagiaan. Dan terlebih lagi, pertemanan kami berdua adalah jembatan terbaik bagi saya untuk terus bersamanya. Lebih dari itu, saya takut jembatan ini runtuh dan saya tidak bisa menyebrang lagi untuk hadir di hidupnya. Dan ketakutan saya terbukti ketika dia mengungkapkan kalimat itu.
Kamu bertahun-tahun kenal aku, tapi kamu nggak sadar betapa aku terbebani setiap bareng kamu?
Saya suka setiap kata yang keluar darinya tapi tidak dengan kalimat itu. Kalimat itu menohok saya. Laki-laki bodoh yang tidak pernah mau menafsirkan kekhawatiran yang bisa saja setiap saat muncul dipikiran Kay karena saya egois atas perasaan saya sendiri.
Bukan karena saya marah pada Kay yang akhirnya membuat saya memilih pergi. Saya hanya malu karena selama ini membuatnya terbebani dengan kehadiran saya alih-alih ia merasa senang. Dan lagi-lagi saya egois karena memikirkan Kay dengan sepihak. Satu hal yang saya sadari pada langkah pertama keputusan saya saat meninggalkannya, itu adalah pilihan yang paling saya sesali selama saya hidup dan mengenalnya.
***
Sudah belasan hari saya hidup tanpa tahu kabar Kay. Bahkan di acara kantor yang ramai ini, saya memilih menyepi. Melihat teman-teman saya yang bahagia dengan hal sekecil lelucon yang dilontarkan, membuat saya sadar bahwa selama ini kebahagiaan paling besar yang pernah saya dapatkan adalah kehadiran Kay di hidup saya. Gadis pendiam yang kadang galak tetapi saya tahu dia menyimpan banyak rasa khawatir. Gadis yang lebih senang menceritakan episode kartun doraemon disetiap minggu dibanding menceritakan masalah pekerjaannya. Saya suka hal-hal sederhana yang ada pada diri Kay, termasuk sikap otomatisnya mengambil daun bawang di kuah makanan yang saya pesan karena dia tahu saya tidak suka daun bawang.
Dan malam ini saya sadar, betapa berharganya jabatan pertama kami daripada pacar pertama yang saya kenalkan padanya. Betapa terlukanya saya ketika melihat dia sakit tifus daripada saat saya putus dengan pacar saya. Saya hanya tidak siap menafsirkan dan mengakui bahwa saya mencintainya dengan segala keterbatasan yang saya punya, bukan dengan kesempurnaan yang selalu dia lihat dalam diri saya.
Karena seharusnya dia tahu, dia yang menjadikan segala yang ada dalam diri saya sempurna. Dia menggenapkan satu hal yang bernama kebahagiaan.
Kemudian, di menit Daniel Bedingfield menyanyikan sepenggal dari lagunya yang berjudul If You’re not The One, saya menyadari satu hal.
'Cause I miss you body and soul so strong that it takes my breath away,
And I breathe you into my heart and pray for the strength to stand today,
'Cause I love you, whether it's wrong or right,
And though I can't be with you tonight,
You know my heart is by your side

Tanpa berpikir panjang, saya mengambil kunci mobil dan pergi pada tujuan kemana hati ini mencari. Pada keputusan saya malam itu, saya teringat kalimat yang pernah Kay bagikan pada saya, because love will find itself.
***
Kay terdiam ketika membuka pintu rumahnya dan melihat laki-laki yang menahun menjadi memori paling diingatnya berdiri di depannya dengan tatapan yang selalu membuat perut Kay dilolosi kupu-kupu. Kia dan wangi tubuhnya yang tidak asing menyergap Kay saat laki-laki itu satu langkah mendekat padanya.
Laki-laki itu menyisir rambutnya dengan kedua tangan, lalu mendaratkan kedua tangannya pada kedua bahu Kay, memandang gadis itu dengan sangat dalam, “Kamu tahu kan bagi saya kamu seberharga itu?”
Kay balas menatapnya walau ia tahu tidak lama kemudian ia bisa saja mati di tempat karena tatapan itu menebobos ke jantung dan hatinya membuat organ tubuhnya itu bekerja liar daripada ritme sewajarnya.
“Kay.. Kita terlalu membuatnya rumit bukan? Saya cinta kamu. Sesederhana itu dan kita berdua sama-sama tahu.”
Jika boleh, Kay ingin berlari ke dalam suatu kolam es untuk menetralkan wajahnya yang memanas. Tetapi ia bahkan tidak bisa melangkah karena laki-laki itu mengunci diri dan hatinya.
 “Saya boleh cium kamu?” Kay tahu itu adalah pertanyaan paling bodoh yang pernah ia lontarkan. Tapi ia tetap melakukanya setelah Kia mengangguk pelan meski sedikit terkejut. Kay mencium Kia dengan pelan dan lembut. Hanya ciuman singkat yang efeknya maha dahsyat dan mampu memompa jantung mereka sehingga berdetak seirama.
Kay meraih tangan Kia dengan lembut, dan membimbingnya menuju hatinya untuk memproklamasi bahwa degup itu adalah milik Kia. Seutuhnya.
“Kamu juga seberharga itu.”
***
END
Ensiklopenita:
Dalam KBBI, Konstelasi; kumpulan orang, sifat, atau benda yang berhubungan; 2) keadaan, tatanan: -- 3) bangun; bentuk; susunan; kaitan; 4) gambaran; keadaan yang dibayangkan.
Saya menganalogikannya sebagai ‘keadaan hati, tatanan hati dsb’ untuk cerita ini karena cerita ini merupakan dua sudut pandang yang berbeda dari tokoh Kia dan Kay. Jadi saya pikir menggambarkan bentuk pandangan hati yang berbeda tetapi saling berhubungan. SO, BAYANGIN aja ya soalnya saya gak jago teori-teorian.
So it was my 1st entry di blog ini di tahun 2018 yang dibuatnya hanya dalam kurun waktu 3 jam disela-sela garapan bab 4 skripsi, sekaligus hutang #MonthlySeries yang absen beberapa bulan. Thank to someone berinisial HMH yang tiba-tiba merecoki pikiran saya dan membuat saya ingin menumpahkan karakternya pada sebidang tulisan. I owe to you. I LOVE YOU.
Oh yang suka fan-fiction juga saya menulis cerbung dengan karakter bernama Kia, so, please seacrh hakunanitata on wattpad, or you can read the story by click the link below:

Regard,
Nita J.

0 komentar:

Posting Komentar

 

Gema Aksara✎ Template by Ipietoon Blogger Template | Gift Idea