Title: The letter of feel (sequel)
Author: Nita Julio
*
Amsterdam, Belanda.
“Hallo Ma?” Seorang gadis mendekatkan ponselnya ke telinga,
menjadikan bahunya sebagai penyangga. Sementara kedua tangannya sibuk
mengeluarkan beberapa pakaian dari dalam koper.
Gadis itu mendengarkan dengan
seksama lawan bicaranya di ujung telepon meski matanya sibuk
meneliti isi koper. Ia
membetulkan letak kacamata minus yang dikenakan, sebelum menjawab, “Aku pending kepulanganku ke Indonesia, Ma. Temanku
Althea, lagi dapet musibah. Aku harus menghiburnya. Gak mungkin aku pulang
begitu saja.”
Sejenak gadis itu
menghentikan aktivitasnya demi mendengarkan sang
Mama.
“Mom
listen to me, kekasih
Althea, forget
it maksudku orang
yang dia sayang baru saja meninggal. Aku lihat sendiri Althea cukup terpuruk,
aku gak bisa ninggalin dia.**
”
Setelah selesai menjelaskan,
ia mulai melanjutkan kegiatan mengeluarkan baju-baju dalam koper seperti yang
dilakukan sebelumnya, "Ya.
Ok. Just give me a week. I
promise."
“Hah kenapa Ma? Siapa yang mau ke sini? Hallo? Ma?” Suara tut-tut dari ponselnya membuat gadis itu
berdecak kesal. Keterbatasan koneksi luar negeri acapkali membuat percakapan
bersama keluarganya berujung pada permbicaraan buntu, dan itu terjadi lagi kini. Bahkan ia tidak cukup mengerti
kalimat terakhir yang diucapkan Mamanya. Siapa pula yang akan ke Belanda? Gadis itu melempar
asal ponselnya pada kasur. Ia tidak begitu peduli.
**
Shilla
menatap bayangan dirinya di cermin, ia merapikan kerah kemeja yang dibalut sebuah pakaian
rajut. Kepulangannya
ke Indonesia sebenarnya untuk mengabarkan seluruh sanak keluarga bahwa satu
bulan lagi ia akan wisuda sarjana. 6 tahun di Belanda bukan waktu sebentar. Ia
memang pindah ketika duduk di bangku SMA, dan memilih melanjutnya studi tingkat perguruan
tingginya di Universiteit
van Amsterdam
atau Universitas Amsterdam,
di jurusan sejarah.
Hari ini ia berniat
mengunjungi Althea, sahabatnya itu barusaja kembali dari Indonesia, negara
Shilla sendiri untuk menghadiri pemakaman salah satu pasien Ayahnya,
Dokter John, sekaligus
orang yang Althea cinta. Shilla tidak tahu lebih jelasnya tentang bagaimana
kisah Althea dan pemuda Indonesia itu. Yang Shilla tahu, Althea pasti sangat
terluka kehilangan orang yang dicintainya.
Shilla merasa sudah rapi, ia
mengambil tas selempang dan kunci kamar yang berada di atas kasurnya.
Shilla membuka kenop pintu,
dengan cepat menuruni anak-anak tangga. Tempat yang ditinggalinya adalah sebuah ruko,
ia tinggal dilantai dua yang memiliki dua kamar cukup luas, masing-masing
memiliki kamar mandi dan
juga sekotak dapur dengan sebuah meja menyerupai meja bar tinggi. Pemilik ruko
merupakan orang Indonesia, dan jangan tanya bagaimana Shilla mengenalnya, semua terjadi begitu saja.
Keramahan khas orang Indonesia yang membuatnya kini lantas mengenal keluarga
itu, sehingga mengizinkan Shilla tinggal disana sejak ia masuk kuliah.
Sementara ketika menyelesaikan dua tahun pendidikan SMA, shilla tinggal di apartemen
disekitar De Dam.
Shilla mulai melihat
pengunjung berdatangan, ruko itu sendiri merupakan sebuah toko yang disulap
menjadi sebuah restoran mini yang menyajikan makanan Asia, terutama Indonesia. Kebanyakan pengunjungnya juga merupakan wajah-wajah Asia.
Shilla terkadang membantu
sedikit-sedikit disana jika ada waktu luang. Seorang waiter yang sudah Shilla kenal menghampiri dengan nampan kosong,
sepertinya baru saja menghidangkan pesanan. Ia berkata dalam bahasa Belanda.
“Goede
morgen,
Ashilla. Ada yang mengirimmu surat. Aku tidak tahu siapa tepatnya. Aku hanya
dapat perintah dari Madam Karina.” Katanya, menyebutkan nama bosnya. Shilla cepat-cepat menerima suratnya sembari mengangguk
pelan.
“Dank u.” Jawab Shilla kemudian.
Gadis itu kembali
melanjutkan langkahnya. Ia keluar dari pintu kaca toko. Udara Amsterdam mulai menyapa setiap pori-pori kulitnya.
Dengan berjalan kecil-kecil, Shilla membuka amplop merah tua itu, mengeluarkan
secarik kertas dengan tulisan tangan yang cukup rapi.
Goede
morgen, beauty. Look around you, the cloud was brightness.
Like your smile. Anyway, will you smile when we're meet soon? -O
Shilla membiarkan
kedua matanya dengan telanjang menelaah awan biru cerah kota Amsterdam. Ia lantas ikut tersenyum membaca kalimat-kalimat pendek disana.
Sesuatu membuat matanya menyipit, terlintas
sebuah keanehan dibenaknya. Sebelumnya, selama 6 tahun di Belanda, Shilla tidak pernah mendapat surat
semacam ini. Tiba-tiba ia merasa dejavu, sebuah huruf di ujung kalimat yang
menegaskan inisial pengirim membuat perutnya terasa di lolosi kupu-kupu. Astaga.... Shilla memutar ingatan. Sepertinya ia tahu siapa pengirim surat ini. Setidaknya,
perkiraannya untuk saat ini.
**
Shilla memutuskan untuk mengunjungi Bloemenmarkt, sebuah
pasar bunga terapung di sepanjang tepi kanal antara Mint Square dan Koningsplein
square, Amsterdam.
Althea menunggu disana sesuai janji mereka. Surat yang diterimanya sudah ia
masukan rapi pada tas selempang yang tersampir dibahunya.
Di Bloemenmarkt, Althea sudah berdiri memandangi bunga-bunga yang
bermekaran. Wajah gadis itu sudah cukup lebih baik dari kali terakhir Shilla
menemuinya, tepat seminggu
lalu ketika ia berpamitan untuk pergi ke Indonesia.
Shilla menyentuh bahu Althea
dari belakang, si empunya menoleh sembari melempar senyum.
“Sudah lebih baik?” Tanya Shilla dalam bahasa Belanda. Althea mengangguk pelan.
“Sudahlah.. Jangan berlarut-larut dalam kesedihan. Kamu
tahu, yang datang itu pasti nantinya akan pergi. Itu satu hal yang pasti, Thea.”
Althea menyentuh tangan Shilla yang mendarat dibahunya, ia tersenyum. “Aku sudah tidak sedih, Shilla. Aku sudah menerima semuanya.
Kamu jangan khawatir.” Kata Thea meyakinkan Shilla, juga dirinya
sendiri.
Shilla mengangguk pelan.
Althea memandang sahabatnya penuh
selidik, “Shilla,
kamu batal pulang ke Indonesia?
Jangan bilang karena aku?”
Shilla menggeleng pelan, “Aku memang tidak jadi pulang ke Indonesia. Tapi tenang saja, itu
keinginanku sendiri. Aku rasa.. Ya, karena aku tidak bisa meninggalkan
sahabatku dalam keadaan seperti ini. Lagipula..”
Ucapan Shilla terhenti ketika seorang wanita paruh baya berhenti
dan menyapa Shilla serta Althea, wanita itu menyerahkan sebuah amplop berwarna biru
tua pada Shilla,
katanya, “Ada
surat untukmu dari pemuda itu.”
Shilla maupun Althea mengikuti arah telunjuk wanita itu, namun mereka
tidak menemukan apa-apa disana.
“Ah aku yakin tadi dia disana. Mungkin sudah pergi,
yang penting aku sudah memberikan suratnya kepada kamu.” Kata wanita itu. Shilla tersenyum lantas mengucapkan
terimakasih. Mereka memandanghi kepergian wanita paruh baya itu. Setelah dirasa
cukup jauh, Shilla
berbisik pada Althea.
“Sepertinya seseorang mengikutiku, Thea. Aku mendapat dua dalam beberapa
jam ini.”
Althea mengerutkan kening, lalu berpikir sebentar, “Apa itu baik-baik saja. Maksudku, kamu yakin penguntit
itu tidak akan macam-macam? Aku takut terjadi apa-apa.”
Shilla mengelus lengan Althea, “Jangan khawatir. Aku sudah tahu siapa orangnya.”
Mata Althea melebar, “Maksudmu? Siapa? Bagaimana bisa?”
Shilla mengedikkan bahu
sekali, “Instingku berkata seperti itu.”
Karena aku pernah melakukan hal serupa. Tambah Shilla dalam hati.
Ia kemudian mengambil
secarik kertas dari amplop hijau tua itu, tulisan tangan yang sama
seperti surat pertama.
Bunga-bunga di Amsterdam
terlampau indah ya? Apa itu yang membuatmu bertahan untuk tidak memupuk bunga
di hatiku selama bertahun-tahun lamanya? -I
Shilla bergeming.
**
Shilla tidak tahu permainan
macam apa yang sedang dirancang oleh pengirim surat-surat iti. Dua inisial dalam dua surat berbeda yang ia terima
hari ini membuat pikirannya semrawut tak ubahnya benang kusut.
Satu, ia tidak mengerti
kenapa dari enam tahun terakhir ini, baru kali ini ada orang usil yang
mengirimnya surat-surat seperti ini. Awalnya, Shilla menduga pengirim surat-surat itu adalah
seseorang di masa lama yang pernah berada di posisi serupa seperti Shilla.
Seseorang yang terlalu sarat menyadari perasaan Shilla kepadanya. Namun, ketika Shilla berusaha meyakinkan bahwa pengirim surat itu
adalah orang yang tercetus di perkiraannya, Shilla harus menelan kenyataan bahwa perkiraanya adalah dugaan yang terhempas
jatuh mencakar ranah harapan yang jelas mentah.
Ia menelepon Mamanya ketika sudah kembali ke ruko, dengan segenap
perasaan berani, Shilla mencoba menanyakan kabar 'orang' dimasa lama
yang sudah ia lenyapkan pelan-pelan dari ingatannya. Dan jawaban yang Shilla terima adalah, orang itu ada disana. Orang itu
ada di Indonesia. Shilla mengutuk dirinya sendiri karena merasa
masih dibelenggu masa
lalu. Ia menatap surat-surat yang tergeletak di atas kaca riasnya.
“Jadi siapa yang ada di Belanda dan mengirim surat-surat
misterius itu jika bukan dia?” Shilla bertanya pada dirinya sendiri.
Lamunannya buyar, ketika
suara pintu kamarnya diketuk dari luar.
Shilla membuka kenop pintu,
itu adalah Karina, pemilik ruko ini. Wanita itu biasa menyerahkan kunci ruko
jika restorannya sudah akan tutup.
“Saya kira Shilla sudah tidur.” Kata wanita itu sopan dalam bahasa Indonesia.
Shilla menggeleng pelan,
tidak lupa menambahkan senyum, “Belum, Madam. Sudah mau tutup restorannya?” Tanya shilla.
Karina mengangguk pelan seraya
menyerahkan kunci ruko, “Ini shilla. Oh iya, ada yang titip ini sama kamu tadi, sebentar ya..”
Wanita itu merogoh tasnya,
mengeluarkan sebuah amplop berwarna kuning menyala yang berhasil membuat Shilla
membelalakan mata.
“Tadi pagi juga ada yang titip surat sama kamu.
Sekarang ada lagi. Zaman sudah canggih kok masih pake surat-suratan ya
Shill?" Karina terkekeh di ujung kalimatnya.
Shilla ikut tersenyum.
Senyum tipis. Ia kemudian mengambil alih surat dari tangan Karina sebelum
wanita itu pergi berpamitan.
Shilla memandangi jengkel amplop di tangannya, ia menarik kasar secarik kertas
didalamnya, sebuah tulisan tangan yang berbeda dari dua sebelumnya, hanya
Shilla rasa, tulisan itu terlalu dibuat-buat untuk terlihat berbeda secara
kasat mata. Isi surat itu..
Meski aku yakin malam identik dengan gelap, tapi aku tidak ingin itu
berlaku untuk kamu. Maka, aku jadikan surat ini sebagai kurir untuk membawa
pesan, jangan takut gelap, jangan takut mengunjungi hatiku meski disana tidak ada lampu,
karena cahaya cintaku untuk kamu tidak mengenal kata redup. -R
Shilla membaca isi surat
yang kini cukup panjang. Ia menghela nafas berat.
“Sekarang apa?” Gumamnya.
Ia cepat-cepat mengeluarkan
ponsel dari saku celana, memijit speed dial untuk nomor Mamanya, seseorang menjawab panggilannya.
“Hallo ma?” Sapa Shilla.
“Ada apa Shill? Ada yang masih mau ditanyain?”
Shilla menatap surat itu
sebentar, lalu menjawab, “Mama yakin kan dia ada di Indonesia?”
Shilla mendengar Mamanya tertawa mencibir di ujung telepon sana, “Kamu telepon mama cuman untuk tanya dia lagi Shill? Sebegitu rindunya kamu sampai berharap dia
sekarang di Belanda?”
Shilla berdecak, “Ma, aku serius!”
Mamanya berhenti tertawa,
"Oke maaf-maaf, sayang. Mama cuman heran kamu tiba-tiba tanya kabar dia.
Mama yakin kok dia di Indonesia, kemarin Mama baru ketemu tante Manda. Apa kamu mau Mama
telepon ke rumahnya?”
Shilla menggeleng keras meski yakin Mamanya tidak akan melihat, “Nggak jangan! Cuman ngeyakinin aja. Soalnya—”
“Soalnya kenapa Shill?” Tanya Mamanya, memotong.
“Nggak apa-apa kok, Ma. Ya
sudah, Shilla mau tidur dulu. Disini udah malem banget. Bye, Ma.”
Shilla menutup sambungan
teleponnya. Ia menatap lagi surat yang baru diterimanya dan dua surat lainnya
di atas meja secara bergantian.
“Lelucon macam apa ini?” Batin Shilla sarkatis.
**
Shilla bergegas menuruni
anak tangga. Hari ini ia dan Althea akan mengunjungi Rumah Anne frank, entah kenapa ia
tiba-tiba ingin pergi kesana meskipun sejak tinggal di Belanda, Shilla sering mengunjunginya untuk keperluan tugas kuliah. Mungkin karena sebentar lagi ia akan kembali ke tanah air, ia akan
menyisikan waktu-waktu luangnya untuk menikmati Belanda selama yang ia bisa.
Tiba di undakan anak tangga
terakhir, Shilla
membiarkan matanya meneliti setiap pengunjung di restoran Madam Karina. Siang ini pengunjung lebih banyak dari
hari-hari biasanya, ia jadi merasa tidak enak karena tidak membantu.
Matanya berhenti pada
pengunjung yang duduk menghadap ke kaca, memunggunginya. Laki-laki itu sibuk menulis sesuatu
di atas kertas, sebuah amlop berwarna ungu juga berada di meja
yang sama. Shilla
merasakan jantungnya tiba-tiba berdebar menyalahi aturan. Ia tergerak untuk
menghampiri laki-laki itu.
Sebelum Shilla melangkah, laki-laki itu sibuk menyelipkan
secarik kertas tadi kedalam amlop ungu yang sebelumnya kosong. Shilla tidak
jadi menghampiri, ia berniat mengamati gerak-gerik laki-laki itu. Benar saja, laki-laki itu bergegas berdiri, ia
memakai sebuah topi dan sebuah eyeglasses
hitam. Laki-laki itu berjalan menyamping, sehingga Shilla tidak bisa melihat jelas wajahnya.
Shilla kemudian melihat laki-laki itu menyerahkan amlop ditangannya pada
seorang waiter lantas mendorong pintu
kaca dan keluar dari restoran.
Shilla setengah berlari
mengejar laki-laki itu yang mulai menjauh pergi, langkahnya terhenti ketika,
Ansel, waiter itu menarik lengan Shilla, “Shilla mau pergi kemana? Ini ada titipan untukmu.”
Shilla menoleh,
memperhatikan amlop ungu itu, ia menghela nafas berat lalu mengambilnya.
“Akhir-akhir ini kau sering mendapat surat ya? Siapa penggemarmu
yang sangat kuno itu?” Ansel menggoda Shilla, lantas pergi darisana sebelum Shilla merespon.
Shilla tidak mengindahkan
godaan Ansel, ia cepat-cepat berlari keluar restoran, ia
mengitari seluruh jalanan dan penduduk lokal Amsterdam yang berlalu-lalang. Dengan berat hati, Shilla harus kehilangan pengirim surat yang nyaris ia temui.
Dibukanya amlop berwarna
ungu tua itu, secarik kertas didalamnya berisi tulisan tangan yang sama seperti
surat ketiga.
Aku tahu kamu
melihatku. Tapi jangan cari aku. Jangan temui aku karena aku
yang akan menemuimu. Untuk menyerahkan
sendiri janjiku. -A
Shilla membuang nafas.
**
Sudah tiga hari Shilla
akhirnya bisa tidur
tenang karena surat-surat dari pengirim tanpa nama itu tidak datang lagi. Ada
sebuah rasa lega dihati Shilla karena permainan surat-menyurat tidak masuk akal
ini bisa berhenti. Namun, ada sebuah rasa penasaran yang bercokol
dihatinya kali terakhir surat yang ia dapat tiga hari lalu. Shilla melihat
sendiri pengirim surat itu menulis suratnya di restoran Madam Karina. Sayang, Shilla kehilangan jejaknya
hingga saat ini.
Dan kepulangan Shilla ke Indonesia terhitung satu hari lagi. Lusa, Shilla akan meninggalkan Amsterdam untuk sementara, dan kembali ketika ia akan
menghadiri wisuda, tentu ia kembali ke Amsterdam dengan sanak saudara dan keluarganya.
Shilla tidak berniat untuk
mengindahkan surat-surat itu, namun tangannya tergerak untuk menyusupkan
amlop-ampop itu pada ranselnya yang juga akan ia bawa ke Indonesia. Shilla
menatap surat terakhir sebelum ia memasukannya juga kedalam ransel. Surat
terakhir penuh misteri..
Jangan temui aku karena
aku akan menemuimu. Untuk menyerahkan sendiri
janjiku...
Shilla memijit pelipisnya,
ya sudah jika memang pengirim surat-surat itu akan terus bersembunyi. Shilla
tidak akan lagi peduli.
**
Bandara Schipol, Amsterdam.
Althea mengiring koper
Shilla ke Bandara, sementara Shilla sibuk menjinjing totebag dan tangan kirinya sibuk membalas email-email keluarganya sebelum ia ganti
profile
ponselnya dengan airplane mode.
Sebelum check in, Shilla memeriksa kembali paspor dan barang-barangnya.
Althea ikut membantu.
Pesawatnya akan boarding satu jam lagi.
Shilla memeluk Althea. Kurang
lebih satu bulan ia akan di Indonesia sebelum kembali ke Amsterdam, ia pasti akan sangat rindu pada sahabatnya
ini.
Shilla melepas pelukannya, Althea sudah berkaca-kaca.
“Jangan cengeng, aku di Indonesia hanya sebulan. Kamu kapan-kapan kesana lagi
ya?”
Althea mengangguk, “Pasti. Selain mengunjungi kamu juga aku sudah berjanji
akan ke Indonesia untuk bertemu Kak Dara. Kamu jaga diri ya, Shilla.”
Shilla tersenyum, ia memeluk
Althea lagi. “I'll miss you so much, Thea.”
“I
will. Sudah cepat sana
nanti ketinggalan pesawat.” Kata Althea bercanda.
Shilla mengangguk pelan. Ia
lantas berbalik memunggungi Althea, menyeret kopernya ke konter check in.
“Tunggu!”
Shilla berhenti. Ia yakin
suara bariton itu bukan suara Althea. Kakinya mendadak kaku. Ia tidak menoleh.
Hanya bergeming beberapa ratus meter memunggungi Althea. Sementara
dibelakangnya, Althea ikut bergeming sambil memandangi laki-laki asing yang
berdiri disampingnya, juga membawa koper dan sebuah... amlop?
Althea melotot, jangan-jangan..
laki-laki itu adalah oknum pengirim surat tak bernama
yang selama ini menghantui sahabatnya. Tapi..?
Laki-laki itu kembali
berseru dalam bahasa Indonesia. “Tunggu. Kamu melupakan surat terakhirmu,
Ashilla!”
Astaga. Thea benar-benar
tepat sasaran. Laki-laki itu memang pengirim surat itu.
Laki-laki itu menoleh pada
Althea sambil tersenyum, “Aku pinjam temanmu.” Ujarnya.
Shilla masih bergeming dua
ratus meter didepan. Shilla mengenal suara itu. Bagaimana mungkin Shilla lupa? Menahun ia bersamanya dari mulai berteman
hingga tertanam sebuah rasa? Bagaimana mungkin Shilla melupakan orang yang beradiksi terlalu pekat
bagi hatinya?
Shilla tidak menyadari,
laki-laki itu sudah berdiri tegap dibelakangnya. Sesuatu melewati bahu Shilla,
gadis itu melirik lewat ekor mata, sebuah amplop berwarna merah muda.
Shilla belum berani menoleh,
tangan kirinya yang bebas bergerak meraih amlop yang masih bertengger dibahu
kanannya.
Shilla merasakan jantungnya
berdetak dalam tempo cepat, hatinya sudah ketar-ketir, dibukanya amlop itu,
dikeluarkannya secarik kertas disana, tulisan tangan yang sama.
I love you. Susunlah
inisial pengirim surat itu dimulai dari surat terakhir ini. -M
Shilla mengerjapkan mata
beberapa kali. Ia tidak salah lagi. Instingnya tidak pernah
salah. Dengan gerak cepat, Shilla membuka totebag yang sudah terampir dibahunya, ia mengacak isi totebagnya, lantas mengeluarkan empat
surat dengan amlop berbeda
warna.
Surat terakhir sudah
dibukanya, dengan inisial M. Shilla membuka amlop berwarna ungu.
Surat keempat: Aku
tahu kamu melihatku. Tapi jangan cari aku. Jangan temui aku karena aku
yang akan menemuimu. Untuk menyerahkan
sendiri janjiku. -A
Shilla lanjut membuka amlop
ketiga, berwarna kuning menyala.
Surat ketiga: Meski aku yakin malam identik dengan gelap,
tapi aku tidak ingin itu berlaku untuk kamu. Maka, aku jadikan surat ini
sebagai kurir untuk membawa pesan, jangan takut gelap, jangan takut mengunjungi
hatiku meski disana
tidak ada lampu, karena cahaya cintaku untuk kamu tidak mengenal kata
redup. -R
Dengan gerak cepat, ia
membuka amlop selanjutnya, berwarna biru tua:
Surat kedua: “Bunga-bunga di Amsterdam terlampau indah ya?
Apa itu yang membuatmu bertahan untuk tidak memupuk bunga di hatiku selama
bertahun-tahun lamanya?”
-I
Shilla bergeming sebentar,
ia membuka surat pertama, amlop berwarna merah tua.
Surat pertama: “Goede
morgen, beauty. Look around you, the cloud was brigthess.
Like your smile. Anyway, will you smile when we're meet soon?” -O
Shilla mengatupkan
matanya, ia menggeleng
tidak percaya. Will you smile when we're
meet soon.. Shilla mengutip kalimat terakhir dari
surat pertama. I will. Batin
Shilla. Ya, Shilla
tersenyum, menjawab pertanyaan surat itu, kontras dengan air matanya yang mulai
menetes jatuh melewati pipi pualamnya.
Sebuah
tangan terulur menyentuh
bahu kanannya, lalu pemiliknya berbisik pelan, “Spell
the sender's name start from the last letter.”
Shilla menengadah untuk
menghentikan aliran air matanya, ia mengusap air mata
dengan kedua tangannya, lalu tertawa kecil disela-sela tangisnya.
Shilla mulai membuka suara, “M-A-R-I-O.”
Shilla menunduk, merasakan
airmatanya kembali mengalir deras. Sebuah tangan kokoh membelai wajah Shilla. Dengan terlatih, laki-laki pemilik tangan itu
menghampus air mata Shilla dengan jemarinya. Laki-laki itu sudah berdiri
tegap didepan Shilla, lalu menarik gadis itu kedalam rengkuhannya.
“Have you got some letters about my feeling?”
Bisik
laki-laki itu, mengutif persis kalimat terakhir yang Shilla ucapkan enam tahun
silam.
Shilla mengangguk pelan
dalam tangis harunya. Ia merasakan tubuhnya menghangat dalam rengkuhan Mario,
nama yang tetap jaya menempati tahta tertinggi dihatinya.
Tidak ada alasan bagi Shilla
untuk tidak membalas pelukan Mario, merasakan detak jantung laki-laki itu yang
seirama dengannya.
Shilla menjauh
dari pelukan Mario, ia merasa harus bertanya sesuatu. Shilla memandang wajah
tegas Mario dibalik kacamata minusnya, lalu membuka suara di sela-sela isakannya, “Kamu sekongkol sama Mama, ya?”
Mario balik
memandang gadis dihadapannya, ia tersenyum, “Menurutmu?”
“Dasar
plagiat!” cela Shilla sembari meninju kecil dada Mario. Laki-laki itu tertawa,
lalu mengacak rambut Shilla penuh sayang, dan menitipkan sebuah kecupan di
puncak kepala gadis itu.
“Setidaknya
surat-surat itu memberi inisial namaku secara terbalik, tidak dari awal seperti
puzzle-puzzle suratmu.”
Shilla
hanya melotot.
Sementara
dibelakang, Althea ikut
menangis terharu. Ia berharap, Shilla akan merajut kisah terbaiknya setelah ini.
Mereka
akhirnya tertawa bersama.
.......
Aku
telah belajar artinya mencintai, Shill.
........
surat-surat perasaan Shilla
dimasa lalu itu, kini bukan hanya mendapat balasan......
........
....
Tapi
juga jawaban.
**
The end
WHOAAAAAA
DEMI APA?! DEMIKIAN HAHAHA
Satu
lagi.... okay, satu lagi karya saya yang tercipta dalam keadaan tidak terduga.
Saya tidak tahu mengapa tiba-tiba terpikir untuk menciptakan sequel cerpen ini. Tbh, cerpen edisi pertama The letter of feel itu dibuat tahun
2011... waktu saya kelas satu SMA. Dan sekarang saya sudah mahasiswi :( Imagine how old that story, uh? Masih ingat, The letter of feel itu
dulu diposting di note facebook Al4y
saya ketika masih jaman-jaman ICLLOVERZZNGEDT. Dan tokoh utamanya ya siapa
kalau bukan couple favorite saya dulu
hmm.. tapi, untuk tetap menciptakan feel
bagi sequel ini, saya masih tetap
menggunakan nama dari tokoh edisi sebelumnya, karena ini memang cerita milik
mereka, cerita Mario dan Shilla. Dan fyi,
disini saya meminjam tokoh Althea, (Re: tokoh dalam cerita collab dengan Uthe; Lost
in Amsterdam) untuk melengkapi alur sequel
ini. Kenapa ya? Karena memang Lost in Amsterdam bersetting di
Belanda, dan akhir cerita The letter of feel edisi pertama
memang Shilla pindah sekolah ke Belanda. (Buat yang pernah baca pasti inget)
dan yep, akhirnya tidak berpikir dua kali untuk memasukan tokoh Althea disana
–sekalian promote cerpen collab
juga-, HEHE. Okay kayaknya cuap-cuapnya sudah terlalu panjang yaa hampir
menghabiskan satu lembar Ms. Word maafkan :(
Ps
2: I’m sorry for bad quality of mine.
Tulisan itu postingan tahun 2011 tanpa revisi satu katapun, maaf kalau ada EYD
yang sungguh buruk karena masih tahap belajar.
Enjoy
it readdarlings! Salam hakunanitata!❥
Fyi: Welcome to my new url blog yippi! Cuman direvisi sedikit belakangnya biar lebih greget. *suspicious*
Regard,
@nitajulio_