Memoar Akhir Tahun: Tampan Tak Tergenggam.

Diposting oleh Nita Julianti Sukandar Putri 0 komentar


Tampan tak tergenggam
**
Kadang, satu hal yang kita harapkan tidak selalu sejalan dengan apa yang kita inginkan. Seperti halnya waktu, yang tidak akan pernah kembali ke masa lalu meski kamu meminta dengan bersendu-sendu. Seperti halnya cinta, yang kamu tidak tahu akan berlabuh pada siapa.
Aku tidak mengerti, mengapa Tuhan menciptakan rasa cinta tetapi terkadang banyak manusia yang selalu merana karenanya. Aku tidak mengerti, mengapa Tuhan acapkali membiarkan seseorang mencintai tanpa balik dicintai. Dan aku tidak mengerti, mengapa Tuhan merajut benang yang rumit dibalik kisahku yang sekelumit. Tentang jatuh cinta.
Aku tersedu sedan, menangis, membaca kisah-kisah yang aku ciptakan. Namun, aku tak pandai menangisi kisahku yang betulan. Semuanya terlampau menyedihkan. Sehingga, aku rasa, aku tidak perlu menangisi kenyataan.
Semua orang pasti pernah merasakan apa itu jatuh cinta. Jatuh cinta, bukan seperti kamu berenang di laut dangkal, yang niscaya, kamu tidak akan pernah menemukan apa-apa selain daratan. Jatuh cinta itu harusnya, kamu menyebrangi lautan, menepi di pulau-pulau sepi, lalu berlayar mengikuti seruan angin laut yang datang dari bumi. Niscaya, kamu akan merasakan pengalaman mencintai, pengalaman merasa sepi, dan pengalaman merindu yang terus berseru-seru dalam hatimu. Lalu kamu boleh berbicara, kamu telah jatuh cinta. Karena jatuh cinta, bukan hanya tentang kamu memuja, tetapi juga tentang bagaimana kamu merasa ingin selalu menjaganya, menjaga hati yang berlabuh padanya, meski di sudut berbeda, ia tidak merasakan apa-apa.
Lalu aku sampai pada bagian kisahku, di mana aku selalu menunggu seseorang yang mungkin tidak pernah tahu aku. Aku sampai pada seseorang yang selalu memenuhi sudut-sudut hatiku, selalu bercokol didalam pikiranku, dan memenuhi setiap kekosongan rinduku. Aku jatuh cinta padanya, tapi entah dia.
Semua orang tahu, aku selalu menuliskan secuil kisah-kisah imajiner, yang menyelinap mencuri sedikit-sedikit waktuku ketika memikirkanmu. Namun, sedikit orang yang tahu bahwa gambaran dari tokoh-tokoh dalam kisahku adalah dirimu. Aku, yang bahkan tidak pernah mampu menggenggam sepotong namamu, selalu berusaha mengabadikan perasaanku lewat tulisan. Karena aku tidak mau, perasaanku padamu berlalu hanya sebatas waktu.
Selain itu, aku tidak tahan untuk tidak mencatat dirimu dalam sejarah hidupku. Maka, kalau kamu membaca tulisanku, jangan tercengang, karena hampir separuh lebih dari ribuan kata itu adalah tentangmu. Karena asalkan kamu tahu, kamu, satu-satunya laki-laki yang menahun aku cintai, meski kita tidak pernah saling memiliki. Meski kita, bertukar kata pun tidak bisa dihitung dengan jari.
Kamu tahu, seiring waktu bergulir, kita tumbuh diwaktu yang sama, meski di tempat berbeda. Aku melupakan satu hal, tentang kemungkinan kamu jatuh cinta. Selama ini, aku selalu memuja kamu yang teguh dengan mimpi. Tapi nyatanya kini, kamu tidak bisa mengelak ketika rasa itu menyapa dinding hati. Aku tidak menyalahkanmu, karena cinta itu hakiki dan manusiawi. Aku sudah menduga jauh-jauh hari, dan akhirnya kenyataan itu terjadi. Kamu jatuh cinta pada seorang gadis, dan aku masih jatuh cinta pada orang yang mencintai gadis lain. Kamu harus ingat, aku telah memilih jalan hidupku sendiri, meski suatu hari kamu tahu tentang rasa ini dan kemudian memilih pergi.
Tampan... aku terkadang membenci hidupku sendiri. Karena aku jatuh cinta pada orang seperti kamu. Seseorang yang terlalu jauh untuk aku gapai, seseorang yang terlalu tampan untuk aku genggam.
Jatuh cinta kepada kamu itu seperti sebuah keharusan, namun juga kesalahan. Karena jatuh cinta padamu, aku harus rela membiarkan hatiku menjadi milikmu seutuhnya, tanpa disadari, kamu terus memonopoli hati ini dan aku tidak bisa jatuh cinta ke lain hati.
Tampan.. kamu benar adalah gambaran dari tokoh fiksi yang selalu aku ciptakan. Kamu adalah perwujudan nyata untuk setiap cerita yang terekam melalui jemati tanganku setiap malam. Karena aku jatuh cinta padamu, tidak sulit untuk memuntahkan ribuan kata pada setiap lembar cerita.
Kamu adalah metafora dari pangeran impianku. Kamu tahu, sepanjang hidupku, aku selalu mencintai fairytale. Karena dengan itu, aku selalu bisa mereka-reka–setidaknya–menyusun, kisahku dengan pangeranku sendiri suatu hari nanti. Tapi aku kini tumbuh, menjadi wanita, meski aku masih mencintai fairytale, tapi aku berubah haluan. Aku tersadar, bahwa Cinderella, Belle, Ariel, Snow White dan lainnya hidup bahagia karena mereka dicari pangerannya sendiri, bukan mencari, seperti aku. Lalu setelah itu, aku tahu, aku hidup di abad 21. Dan semua yang aku susun hampir separuh hidupku hanya akan berakhir dengan jalan buntu.

 Tampan... sebentar lagi tahun berganti, aku selalu bertanya pada diriku sendiri; apa yang aku cari selama ini?
Dan aku menjawab sendiri; sesuatu yang tidak pernah ada. Ya, tidak pernah ada. Karena bagiku, setiap kehadiranmu hanyalah mimpi dalam anganku, karena aku yakin, kamu tidak mau melewati realita dihidup yang nyata denganku.
Aku bukan siapa-siapa...
Hanya seonggok nyawa yang terus-menerus menggumamkan namamu dalam doa. Hanya selapis nyawa yang acapkali menyelipkan sebongkah rindu lewat cerita tuk’ bisa sampai padamu.
Dan aku bukan siapa-siapa...
Bahkan tidak cukup pantas bernafas di udara yang sama dengan kamu. Kamu terlalu sempurna untuk jadi realita, kamu terlampau nyata untuk aku yang hanya hidup dibalik cerita. Kamu bagaikan.. tokoh pujaan disetiap roman picisan. Dan karena itu, aku tidak sanggup menggenggammu di duniaku yang terlalu kelabu.
Tapi satu hal, tampan. Satu hal yang perlu kamu tahu.. rasa ini perlu untuk diperbaharui, namun aku tidak sanggup mengkukuhkannya lagi. Terhitung.. sudah hampir genap empat tahun hanya kamu yang mengisi tahta tertinggi hatiku, meski terkadang ada beberapa yang diam-diam menyelinap tuk’ mencuri tempatmu, tapi itu hanya angin lalu... kamu.. masih menjadi nomor satu.
Kembali pada satu hal yang harus kamu tahu. Seperti yang aku katakan tadi, aku tidak sanggup untuk mengkukuhkan rasa ini lebih jauh lagi. Mengetahui kamu jatuh cinta, mengetahui hatimu sudah ducuri oleh seorang wanita, rasanya.. aku terlalu gila untuk meneruskan segalanya. Aku tidak bisa terus-menerus mengejar seseorang yang bahkan terus berlari.
Tampan.. sekali lagi, aku ingin bercerita tentangmu lewat catatan akhir tahun ini. Maaf untuk waktu yang pernah aku habiskan untuk menunggu kamu. Menunggu kamu menggapai mimpimu, sembari aku memantaskan diri. Tapi sepertinya kamu sudah jatuh cinta lebih dulu daripada aku.. melupakan prinsip dan mimpi yang kamu pegang teguh di kemarin hari.
Aku tidak akan memaksamu untuk berhenti. Sekali lagi, semua ini manusiawi. Teruskanlah, selama itu membuat hidupmu lebih berarti.

Satu kenyataan dalam kurun waktu empat tahun ini.. bagiku, kamu.. benar-benar tampan tak tergenggam.
........

Teruskanlah, selama itu membuat hidupmu lebih berarti.
.......
.....
Malam ini
Aku menulis sajak tiada berarti
Untuk laki-laki, yang sebenarnya tidak pernah kumiliki
Maka malam ini
Aku akan bertanya dari hati melalui angin
Berharap gelombangnya tidak salah menepi
Untuk kamu laki-laki,
Tiga suku kata yang menjadi nadi
Dari empat tahun belakangan ini
Sudikah engkau barang menyebutkan sepotong namaku suatu hari?

.....
Diantara keping-keping terakhir rasa rindu,
Cukup jadilah masa lalu.

 aku.........
...............
 Tidak lagi butuh kamu.

Gadis yang acapkali menyelipkan namamu dalam doa,
Nita Julianti

Dedicated for my best pen-partner, agen solo, mbak Uthe, yang merasakan hal serupa. Selamat menyongsong ‘tahun baru’. Semoga tidak hanya angka yang berganti, tapi juga cerita.. yang harus lebih baik lagi. Selamat membuka lembar baru, aku tidak mau terus dibelenggu masa lalu.
Surat ini berlanjut di blog kawan saya:

Enjoy it readdarlings! Salam hakunanitata!

The letter of feel—Sequel (Cerpen)

Diposting oleh Nita Julianti Sukandar Putri 0 komentar



Title: The letter of feel (sequel)
Author: Nita Julio
*  
Amsterdam, Belanda.

 Hallo Ma? Seorang gadis mendekatkan ponselnya ke telinga, menjadikan bahunya sebagai penyangga. Sementara kedua tangannya sibuk mengeluarkan beberapa pakaian dari dalam koper.
Gadis itu mendengarkan dengan seksama lawan bicaranya di ujung telepon meski matanya sibuk meneliti isi koper. Ia membetulkan letak kacamata minus yang dikenakan, sebelum menjawab, Aku pending kepulanganku ke Indonesia, Ma. Temanku Althea, lagi dapet musibah. Aku harus menghiburnya. Gak mungkin aku pulang begitu saja.
Sejenak gadis itu menghentikan aktivitasnya demi mendengarkan sang Mama.
Mom listen to me, kekasih Althea, forget it maksudku orang yang dia sayang baru saja meninggal. Aku lihat sendiri Althea cukup terpuruk, aku gak bisa ninggalin dia.**
Setelah selesai menjelaskan, ia mulai melanjutkan kegiatan mengeluarkan baju-baju dalam koper seperti yang dilakukan sebelumnya, "Ya. Ok. Just give me a week. I promise."
Hah kenapa Ma? Siapa yang mau ke sini? Hallo? Ma? Suara tut-tut dari ponselnya membuat gadis itu berdecak kesal. Keterbatasan koneksi luar negeri acapkali membuat percakapan bersama keluarganya berujung pada permbicaraan buntu, dan itu terjadi lagi kini. Bahkan ia tidak cukup mengerti kalimat terakhir yang diucapkan Mamanya. Siapa pula yang akan ke Belanda? Gadis itu melempar asal ponselnya pada kasur. Ia tidak begitu peduli.
**
Shilla menatap bayangan dirinya di cermin, ia merapikan kerah kemeja yang dibalut sebuah pakaian rajut. Kepulangannya ke Indonesia sebenarnya untuk mengabarkan seluruh sanak keluarga bahwa satu bulan lagi ia akan wisuda sarjana. 6 tahun di Belanda bukan waktu sebentar. Ia memang pindah ketika duduk di bangku SMA, dan memilih melanjutnya studi tingkat perguruan tingginya di Universiteit van Amsterdam atau Universitas Amsterdam, di jurusan sejarah.
Hari ini ia berniat mengunjungi Althea, sahabatnya itu barusaja kembali dari Indonesia, negara Shilla sendiri untuk menghadiri pemakaman salah satu pasien Ayahnya, Dokter John, sekaligus orang yang Althea cinta. Shilla tidak tahu lebih jelasnya tentang bagaimana kisah Althea dan pemuda Indonesia itu. Yang Shilla tahu, Althea pasti sangat terluka kehilangan orang yang dicintainya.
Shilla merasa sudah rapi, ia mengambil tas selempang dan kunci kamar yang berada di atas kasurnya.
Shilla membuka kenop pintu, dengan cepat menuruni anak-anak tangga. Tempat yang ditinggalinya adalah sebuah ruko, ia tinggal dilantai dua yang memiliki dua kamar cukup luas, masing-masing memiliki kamar mandi dan juga sekotak dapur dengan sebuah meja menyerupai meja bar tinggi. Pemilik ruko merupakan orang Indonesia, dan jangan tanya bagaimana Shilla mengenalnya, semua terjadi begitu saja. Keramahan khas orang Indonesia yang membuatnya kini lantas mengenal keluarga itu, sehingga mengizinkan Shilla tinggal disana sejak ia masuk kuliah. Sementara ketika menyelesaikan dua tahun pendidikan SMA, shilla tinggal di apartemen disekitar De Dam.
Shilla mulai melihat pengunjung berdatangan, ruko itu sendiri merupakan sebuah toko yang disulap menjadi sebuah restoran mini yang menyajikan makanan Asia, terutama Indonesia. Kebanyakan pengunjungnya juga merupakan wajah-wajah Asia.
Shilla terkadang membantu sedikit-sedikit disana jika ada waktu luang. Seorang waiter yang sudah Shilla kenal menghampiri dengan nampan kosong, sepertinya baru saja menghidangkan pesanan. Ia berkata dalam bahasa Belanda.
Goede morgen, Ashilla. Ada yang mengirimmu surat. Aku tidak tahu siapa tepatnya. Aku hanya dapat perintah dari Madam Karina. Katanya, menyebutkan nama bosnya.  Shilla cepat-cepat menerima suratnya sembari mengangguk pelan.
 Dank u.” Jawab Shilla kemudian.
Gadis itu kembali melanjutkan langkahnya. Ia keluar dari pintu kaca toko. Udara Amsterdam mulai menyapa setiap pori-pori kulitnya. Dengan berjalan kecil-kecil, Shilla membuka amplop merah tua itu, mengeluarkan secarik kertas dengan tulisan tangan yang cukup rapi.
Goede morgen, beauty. Look around you, the cloud was brightness. Like your smile. Anyway, will you smile when we're meet soon? -O
Shilla membiarkan kedua matanya dengan telanjang menelaah awan biru cerah kota Amsterdam. Ia lantas ikut tersenyum membaca kalimat-kalimat pendek disana. Sesuatu membuat matanya menyipit, terlintas sebuah keanehan dibenaknya. Sebelumnya, selama 6 tahun di Belanda, Shilla tidak pernah mendapat surat semacam ini. Tiba-tiba ia merasa dejavu, sebuah huruf di ujung kalimat yang menegaskan inisial pengirim membuat perutnya terasa di lolosi kupu-kupu. Astaga.... Shilla memutar ingatan. Sepertinya ia tahu siapa pengirim surat ini. Setidaknya, perkiraannya untuk saat ini.
**
Shilla memutuskan untuk mengunjungi Bloemenmarkt, sebuah pasar bunga terapung di sepanjang tepi kanal antara Mint Square dan Koningsplein square, Amsterdam. Althea menunggu disana sesuai janji mereka. Surat yang diterimanya sudah ia masukan rapi pada tas selempang yang tersampir dibahunya.
Di Bloemenmarkt, Althea sudah berdiri memandangi bunga-bunga yang bermekaran. Wajah gadis itu sudah cukup lebih baik dari kali terakhir Shilla menemuinya, tepat seminggu lalu ketika ia berpamitan untuk pergi ke Indonesia.
Shilla menyentuh bahu Althea dari belakang, si empunya menoleh sembari melempar senyum.
Sudah lebih baik? Tanya Shilla dalam bahasa Belanda. Althea mengangguk pelan.
Sudahlah.. Jangan berlarut-larut dalam kesedihan. Kamu tahu, yang datang itu pasti nantinya akan pergi. Itu satu hal yang pasti, Thea.
Althea menyentuh tangan Shilla yang mendarat dibahunya, ia tersenyum. Aku sudah tidak sedih, Shilla. Aku sudah menerima semuanya. Kamu jangan khawatir. Kata Thea meyakinkan Shilla, juga dirinya sendiri.
Shilla mengangguk pelan.
Althea memandang sahabatnya penuh selidik, “Shilla, kamu batal pulang ke Indonesia? Jangan bilang karena aku?”
Shilla menggeleng pelan, Aku memang tidak jadi pulang ke Indonesia. Tapi tenang saja, itu keinginanku sendiri. Aku rasa.. Ya, karena aku tidak bisa meninggalkan sahabatku dalam keadaan seperti ini. Lagipula..
Ucapan Shilla terhenti ketika seorang wanita paruh baya berhenti dan menyapa Shilla serta Althea, wanita itu menyerahkan sebuah amplop berwarna biru tua pada Shilla, katanya, Ada surat untukmu dari pemuda itu.
Shilla maupun Althea mengikuti arah telunjuk wanita itu, namun mereka tidak menemukan apa-apa disana.
Ah aku yakin tadi dia disana. Mungkin sudah pergi, yang penting aku sudah memberikan suratnya kepada kamu. Kata wanita itu. Shilla tersenyum lantas mengucapkan terimakasih. Mereka memandanghi kepergian wanita paruh baya itu. Setelah dirasa cukup jauh, Shilla berbisik pada Althea.
Sepertinya seseorang mengikutiku, Thea. Aku mendapat dua dalam beberapa jam ini.
Althea mengerutkan kening, lalu berpikir sebentar, “Apa itu baik-baik saja. Maksudku, kamu yakin penguntit itu tidak akan macam-macam? Aku takut terjadi apa-apa.”
Shilla mengelus lengan Althea, “Jangan khawatir. Aku sudah tahu siapa orangnya.
Mata Althea melebar, “Maksudmu? Siapa? Bagaimana bisa?
Shilla mengedikkan bahu sekali, “Instingku berkata seperti itu.
Karena aku pernah melakukan hal serupa. Tambah Shilla dalam hati.
Ia kemudian mengambil secarik kertas dari amplop hijau tua itu, tulisan tangan yang sama seperti surat pertama.
Bunga-bunga di Amsterdam terlampau indah ya? Apa itu yang membuatmu bertahan untuk tidak memupuk bunga di hatiku selama bertahun-tahun lamanya? -I
Shilla bergeming.
**
Shilla tidak tahu permainan macam apa yang sedang dirancang oleh pengirim surat-surat iti. Dua inisial dalam dua surat berbeda yang ia terima hari ini membuat pikirannya semrawut tak ubahnya benang kusut.
Satu, ia tidak mengerti kenapa dari enam tahun terakhir ini, baru kali ini ada orang usil yang mengirimnya surat-surat seperti ini. Awalnya, Shilla menduga pengirim surat-surat itu adalah seseorang di masa lama yang pernah berada di posisi serupa seperti Shilla. Seseorang yang terlalu sarat menyadari perasaan Shilla kepadanya. Namun, ketika Shilla berusaha meyakinkan bahwa pengirim surat itu adalah orang yang tercetus di perkiraannya, Shilla harus menelan kenyataan bahwa perkiraanya adalah dugaan yang terhempas jatuh mencakar ranah harapan yang jelas mentah.
Ia menelepon Mamanya ketika sudah kembali ke ruko, dengan segenap perasaan berani, Shilla mencoba menanyakan kabar 'orang' dimasa lama yang sudah ia lenyapkan pelan-pelan dari ingatannya. Dan jawaban yang Shilla terima adalah, orang itu ada disana. Orang itu ada di Indonesia. Shilla mengutuk dirinya sendiri karena merasa masih dibelenggu masa lalu. Ia menatap surat-surat yang tergeletak di atas kaca riasnya.
Jadi siapa yang ada di Belanda dan mengirim surat-surat misterius itu jika bukan dia? Shilla bertanya pada dirinya sendiri.
Lamunannya buyar, ketika suara pintu kamarnya diketuk dari luar.
Shilla membuka kenop pintu, itu adalah Karina, pemilik ruko ini. Wanita itu biasa menyerahkan kunci ruko jika restorannya sudah akan tutup.
Saya kira Shilla sudah tidur. Kata wanita itu sopan dalam bahasa Indonesia.
Shilla menggeleng pelan, tidak lupa menambahkan senyum, Belum, Madam. Sudah mau tutup restorannya? Tanya shilla.
Karina mengangguk pelan seraya menyerahkan kunci ruko, Ini shilla. Oh iya, ada yang titip ini sama kamu tadi, sebentar ya..
Wanita itu merogoh tasnya, mengeluarkan sebuah amplop berwarna kuning menyala yang berhasil membuat Shilla membelalakan mata.
Tadi pagi juga ada yang titip surat sama kamu. Sekarang ada lagi. Zaman sudah canggih kok masih pake surat-suratan ya Shill?" Karina terkekeh di ujung kalimatnya.
Shilla ikut tersenyum. Senyum tipis. Ia kemudian mengambil alih surat dari tangan Karina sebelum wanita itu pergi berpamitan.
Shilla memandangi jengkel amplop di tangannya, ia menarik kasar secarik kertas didalamnya, sebuah tulisan tangan yang berbeda dari dua sebelumnya, hanya Shilla rasa, tulisan itu terlalu dibuat-buat untuk terlihat berbeda secara kasat mata. Isi surat itu..
Meski aku yakin malam identik dengan gelap, tapi aku tidak ingin itu berlaku untuk kamu. Maka, aku jadikan surat ini sebagai kurir untuk membawa pesan, jangan takut gelap, jangan takut mengunjungi hatiku meski disana tidak ada lampu, karena cahaya cintaku untuk kamu tidak mengenal kata redup. -R
Shilla membaca isi surat yang kini cukup panjang. Ia menghela nafas berat.
Sekarang apa? Gumamnya.
Ia cepat-cepat mengeluarkan ponsel dari saku celana, memijit speed dial untuk nomor Mamanya, seseorang menjawab panggilannya.
Hallo ma? Sapa Shilla.
Ada apa Shill? Ada yang masih mau ditanyain?
Shilla menatap surat itu sebentar, lalu menjawab, Mama yakin kan dia ada di Indonesia?
Shilla mendengar Mamanya tertawa mencibir di ujung telepon sana, Kamu telepon mama cuman untuk tanya dia lagi Shill? Sebegitu rindunya kamu sampai berharap dia sekarang di Belanda?
Shilla berdecak, Ma, aku serius!
Mamanya berhenti tertawa, "Oke maaf-maaf, sayang. Mama cuman heran kamu tiba-tiba tanya kabar dia. Mama yakin kok dia di Indonesia, kemarin Mama baru ketemu tante Manda. Apa kamu mau Mama telepon ke rumahnya?
Shilla menggeleng keras meski yakin Mamanya tidak akan melihat, Nggak jangan! Cuman ngeyakinin aja. Soalnya
Soalnya kenapa Shill? Tanya Mamanya, memotong.
Nggak apa-apa kok, Ma. Ya sudah, Shilla mau tidur dulu. Disini udah malem banget. Bye, Ma.
Shilla menutup sambungan teleponnya. Ia menatap lagi surat yang baru diterimanya dan dua surat lainnya di atas meja secara bergantian.
Lelucon macam apa ini? Batin Shilla sarkatis.
**
Shilla bergegas menuruni anak tangga. Hari ini ia dan Althea akan mengunjungi Rumah Anne frank, entah kenapa ia tiba-tiba ingin pergi kesana meskipun sejak tinggal di Belanda, Shilla sering mengunjunginya untuk keperluan tugas kuliah. Mungkin karena sebentar lagi ia akan kembali ke tanah air, ia akan menyisikan waktu-waktu luangnya untuk menikmati Belanda selama yang ia bisa.
Tiba di undakan anak tangga terakhir, Shilla membiarkan matanya meneliti setiap pengunjung di restoran Madam Karina. Siang ini pengunjung lebih banyak dari hari-hari biasanya, ia jadi merasa tidak enak karena tidak membantu.
Matanya berhenti pada pengunjung yang duduk menghadap ke kaca, memunggunginya. Laki-laki itu sibuk menulis sesuatu di atas kertas, sebuah amlop berwarna ungu juga berada di meja yang sama. Shilla merasakan jantungnya tiba-tiba berdebar menyalahi aturan. Ia tergerak untuk menghampiri laki-laki itu.
 Sebelum Shilla melangkah, laki-laki itu sibuk menyelipkan secarik kertas tadi kedalam amlop ungu yang sebelumnya kosong. Shilla tidak jadi menghampiri, ia berniat mengamati gerak-gerik laki-laki itu. Benar saja, laki-laki itu bergegas berdiri, ia memakai sebuah topi dan sebuah eyeglasses hitam. Laki-laki itu berjalan menyamping, sehingga Shilla tidak bisa melihat jelas wajahnya.
Shilla kemudian melihat laki-laki itu menyerahkan amlop ditangannya pada seorang waiter lantas mendorong pintu kaca dan keluar dari restoran.
Shilla setengah berlari mengejar laki-laki itu yang mulai menjauh pergi, langkahnya terhenti ketika, Ansel, waiter itu menarik lengan Shilla, “Shilla mau pergi kemana? Ini ada titipan untukmu.
Shilla menoleh, memperhatikan amlop ungu itu, ia menghela nafas berat lalu mengambilnya.
Akhir-akhir ini kau sering mendapat surat ya? Siapa penggemarmu yang sangat kuno itu? Ansel menggoda Shilla, lantas pergi darisana sebelum Shilla merespon.
Shilla tidak mengindahkan godaan Ansel, ia cepat-cepat berlari keluar restoran, ia mengitari seluruh jalanan dan penduduk lokal Amsterdam yang berlalu-lalang. Dengan berat hati, Shilla harus kehilangan pengirim surat yang nyaris ia temui.
Dibukanya amlop berwarna ungu tua itu, secarik kertas didalamnya berisi tulisan tangan yang sama seperti surat ketiga.
Aku tahu kamu melihatku. Tapi jangan cari aku. Jangan temui aku karena aku yang akan menemuimu. Untuk menyerahkan sendiri janjiku. -A
Shilla membuang nafas.
**
Sudah tiga hari Shilla akhirnya bisa tidur tenang karena surat-surat dari pengirim tanpa nama itu tidak datang lagi. Ada sebuah rasa lega dihati Shilla karena permainan surat-menyurat tidak masuk akal ini bisa berhenti. Namun, ada sebuah rasa penasaran yang bercokol dihatinya kali terakhir surat yang ia dapat tiga hari lalu. Shilla melihat sendiri pengirim surat itu menulis suratnya di restoran Madam Karina. Sayang, Shilla kehilangan jejaknya hingga saat ini.
Dan kepulangan Shilla ke Indonesia terhitung satu hari lagi. Lusa, Shilla akan meninggalkan Amsterdam untuk sementara, dan kembali ketika ia akan menghadiri wisuda, tentu ia kembali ke Amsterdam dengan sanak saudara dan keluarganya.
Shilla tidak berniat untuk mengindahkan surat-surat itu, namun tangannya tergerak untuk menyusupkan amlop-ampop itu pada ranselnya yang juga akan ia bawa ke Indonesia. Shilla menatap surat terakhir sebelum ia memasukannya juga kedalam ransel. Surat terakhir penuh misteri..
Jangan temui aku karena aku akan menemuimu. Untuk menyerahkan sendiri janjiku...
Shilla memijit pelipisnya, ya sudah jika memang pengirim surat-surat itu akan terus bersembunyi. Shilla tidak akan lagi peduli.
**
Bandara Schipol, Amsterdam.
Althea mengiring koper Shilla ke Bandara, sementara Shilla sibuk menjinjing totebag dan tangan kirinya sibuk membalas email-email keluarganya sebelum ia ganti profile ponselnya dengan airplane mode.
Sebelum check in, Shilla memeriksa kembali paspor dan barang-barangnya. Althea ikut membantu.
Pesawatnya akan boarding satu jam lagi. Shilla memeluk Althea. Kurang lebih satu bulan ia akan di Indonesia sebelum kembali ke Amsterdam, ia pasti akan sangat rindu pada sahabatnya ini.
Shilla melepas pelukannya, Althea sudah berkaca-kaca.
Jangan cengeng, aku di Indonesia hanya sebulan. Kamu kapan-kapan kesana lagi ya?
Althea mengangguk, Pasti. Selain mengunjungi kamu juga aku sudah berjanji akan ke Indonesia untuk bertemu Kak Dara. Kamu jaga diri ya, Shilla.
Shilla tersenyum, ia memeluk Althea lagi. I'll miss you so much, Thea.
I will. Sudah cepat sana nanti ketinggalan pesawat. Kata Althea bercanda.
Shilla mengangguk pelan. Ia lantas berbalik memunggungi Althea, menyeret kopernya ke konter check in.
Tunggu!
Shilla berhenti. Ia yakin suara bariton itu bukan suara Althea. Kakinya mendadak kaku. Ia tidak menoleh. Hanya bergeming beberapa ratus meter memunggungi Althea. Sementara dibelakangnya, Althea ikut bergeming sambil memandangi laki-laki asing yang berdiri disampingnya, juga membawa koper dan sebuah... amlop?
Althea melotot, jangan-jangan.. laki-laki itu adalah oknum pengirim surat tak bernama yang selama ini menghantui sahabatnya. Tapi..?
Laki-laki itu kembali berseru dalam bahasa Indonesia. “Tunggu. Kamu melupakan surat terakhirmu, Ashilla!
Astaga. Thea benar-benar tepat sasaran. Laki-laki itu memang pengirim surat itu.
Laki-laki itu menoleh pada Althea sambil tersenyum, “Aku pinjam temanmu.” Ujarnya.
Shilla masih bergeming dua ratus meter didepan. Shilla mengenal suara itu. Bagaimana mungkin Shilla lupa? Menahun ia bersamanya dari mulai berteman hingga tertanam sebuah rasa? Bagaimana mungkin Shilla melupakan orang yang beradiksi terlalu pekat bagi hatinya?
Shilla tidak menyadari, laki-laki itu sudah berdiri tegap dibelakangnya. Sesuatu melewati bahu Shilla, gadis itu melirik lewat ekor mata, sebuah amplop berwarna merah muda.
Shilla belum berani menoleh, tangan kirinya yang bebas bergerak meraih amlop yang masih bertengger dibahu kanannya.
Shilla merasakan jantungnya berdetak dalam tempo cepat, hatinya sudah ketar-ketir, dibukanya amlop itu, dikeluarkannya secarik kertas disana, tulisan tangan yang sama.
I love you. Susunlah inisial pengirim surat itu dimulai dari surat terakhir ini. -M
Shilla mengerjapkan mata beberapa kali. Ia tidak salah lagi. Instingnya tidak pernah salah. Dengan gerak cepat, Shilla membuka totebag yang sudah terampir dibahunya, ia mengacak isi totebagnya, lantas mengeluarkan empat surat dengan amlop berbeda warna.
Surat terakhir sudah dibukanya, dengan inisial M. Shilla membuka amlop berwarna ungu.
 Surat keempat: Aku tahu kamu melihatku. Tapi jangan cari aku. Jangan temui aku karena aku yang akan menemuimu. Untuk menyerahkan sendiri janjiku. -A
Shilla lanjut membuka amlop ketiga, berwarna kuning menyala.
Surat ketiga: Meski aku yakin malam identik dengan gelap, tapi aku tidak ingin itu berlaku untuk kamu. Maka, aku jadikan surat ini sebagai kurir untuk membawa pesan, jangan takut gelap, jangan takut mengunjungi hatiku meski disana tidak ada lampu, karena cahaya cintaku untuk kamu tidak mengenal kata redup. -R
Dengan gerak cepat, ia membuka amlop selanjutnya, berwarna biru tua:
Surat kedua: Bunga-bunga di Amsterdam terlampau indah ya? Apa itu yang membuatmu bertahan untuk tidak memupuk bunga di hatiku selama bertahun-tahun lamanya? -I
Shilla bergeming sebentar, ia membuka surat pertama, amlop berwarna merah tua.
Surat pertama: “Goede morgen, beauty. Look around you, the cloud was brigthess. Like your smile. Anyway, will you smile when we're meet soon?-O
Shilla mengatupkan matanya, ia menggeleng tidak percaya. Will you smile when we're meet soon.. Shilla mengutip kalimat terakhir dari surat pertama. I will. Batin Shilla. Ya, Shilla tersenyum, menjawab pertanyaan surat itu, kontras dengan air matanya yang mulai menetes jatuh melewati pipi pualamnya.
Sebuah tangan terulur menyentuh bahu kanannya, lalu pemiliknya berbisik pelan, Spell the sender's name start from the last letter.
Shilla menengadah untuk menghentikan aliran air matanya, ia mengusap air mata dengan kedua tangannya, lalu tertawa kecil disela-sela tangisnya.
Shilla mulai membuka suara, M-A-R-I-O.
Shilla menunduk, merasakan airmatanya kembali mengalir deras. Sebuah tangan kokoh membelai wajah Shilla. Dengan terlatih, laki-laki pemilik tangan itu menghampus air mata Shilla dengan jemarinya. Laki-laki itu sudah berdiri tegap didepan Shilla, lalu menarik gadis itu kedalam rengkuhannya.
Have you got some letters about my feeling?Bisik laki-laki itu, mengutif persis kalimat terakhir yang Shilla ucapkan enam tahun silam.
Shilla mengangguk pelan dalam tangis harunya. Ia merasakan tubuhnya menghangat dalam rengkuhan Mario, nama yang tetap jaya menempati tahta tertinggi dihatinya.
Tidak ada alasan bagi Shilla untuk tidak membalas pelukan Mario, merasakan detak jantung laki-laki itu yang seirama dengannya.
Shilla menjauh dari pelukan Mario, ia merasa harus bertanya sesuatu. Shilla memandang wajah tegas Mario dibalik kacamata minusnya, lalu membuka suara di sela-sela isakannya, Kamu sekongkol sama Mama, ya?
Mario balik memandang gadis dihadapannya, ia tersenyum, “Menurutmu?”
“Dasar plagiat!” cela Shilla sembari meninju kecil dada Mario. Laki-laki itu tertawa, lalu mengacak rambut Shilla penuh sayang, dan menitipkan sebuah kecupan di puncak kepala gadis itu.
“Setidaknya surat-surat itu memberi inisial namaku secara terbalik, tidak dari awal seperti puzzle-puzzle suratmu.”
Shilla hanya melotot.
Sementara dibelakang, Althea ikut menangis terharu. Ia berharap, Shilla akan merajut kisah terbaiknya setelah ini.
Mereka akhirnya tertawa bersama.
.......
Aku telah belajar artinya mencintai, Shill.
........
surat-surat perasaan Shilla dimasa lalu itu, kini bukan hanya mendapat balasan......
........
....
Tapi juga jawaban.

**
The end

WHOAAAAAA DEMI APA?! DEMIKIAN HAHAHA
Satu lagi.... okay, satu lagi karya saya yang tercipta dalam keadaan tidak terduga. Saya tidak tahu mengapa tiba-tiba terpikir untuk menciptakan sequel cerpen ini. Tbh, cerpen edisi pertama The letter of feel itu dibuat tahun 2011... waktu saya kelas satu SMA. Dan sekarang saya sudah mahasiswi :( Imagine how old that story, uh? Masih ingat, The letter of feel itu dulu diposting di note facebook Al4y saya ketika masih jaman-jaman ICLLOVERZZNGEDT. Dan tokoh utamanya ya siapa kalau bukan couple favorite saya dulu hmm.. tapi, untuk tetap menciptakan feel bagi sequel ini, saya masih tetap menggunakan nama dari tokoh edisi sebelumnya, karena ini memang cerita milik mereka, cerita Mario dan Shilla. Dan fyi, disini saya meminjam tokoh Althea, (Re: tokoh dalam cerita collab dengan Uthe; Lost in Amsterdam) untuk melengkapi alur sequel ini. Kenapa ya? Karena memang Lost in Amsterdam bersetting di Belanda, dan akhir cerita The letter of feel edisi pertama memang Shilla pindah sekolah ke Belanda. (Buat yang pernah baca pasti inget) dan yep, akhirnya tidak berpikir dua kali untuk memasukan tokoh Althea disana –sekalian promote cerpen collab juga-, HEHE. Okay kayaknya cuap-cuapnya sudah terlalu panjang yaa hampir menghabiskan satu lembar Ms. Word maafkan :(
Ps: Untuk yang belum baca atau mau reread The letter of feel edisi pertama tahun 2011, check this link out: The letter of feel (Chapter one)
Ps 2: I’m sorry for bad quality of mine. Tulisan itu postingan tahun 2011 tanpa revisi satu katapun, maaf kalau ada EYD yang sungguh buruk karena masih tahap belajar.
Enjoy it readdarlings! Salam hakunanitata!
Fyi: Welcome to my new url blog yippi! Cuman direvisi sedikit belakangnya biar lebih greget. *suspicious* 

Regard,
@nitajulio_
 

Gema Aksara✎ Template by Ipietoon Blogger Template | Gift Idea