#MonthlySeries Desember - Serendipity

Diposting oleh Nita Julianti Sukandar Putri 0 komentar


Orang-orang berbicara tentang resolusi masa depan. Aku tidak pernah berpikir sejauh itu, bahkan jika aku digaristakdirkan untuk hidup ribuan hari ke depan. Terkadang ada segelintir orang yang merasa tidak punya pilihan dan hanya menjalani hidup sebagaimana air sungai mengalir yang mengikuti arus. Dan perlu kalian tahu, aku pernah menjadi bagian dari orang-orang itu.
Selama 21 tahun hidupku, tidak ada hal yang istimewa yang bisa cukup aku jadikan kenangan. Aku bahagia, memang. Menghabiskan waktu bersama teman-temanku, mengobrol tentang apa yang sedang hangat diperbincangkan, makan makanan enak dan kehidupan normal remaja pada umumnya. Tapi setelah itu, semuanya stagnan. Aku berhenti, dan memulai siklus itu setiap hari. Tidak ada yang istimewa.
Tidak.
Sampai pada suatu hari aku bertemu dengan satu manusia yang tiba-tiba membuat hidupku melalui banyak emosi. Bahagia, khawatir dan jutaan perasaan lain yang menggambarkan diriku saat itu.
Serendipity. Finding something good without looking for it. Suatu keadaan tiba-tiba yang membuatmu bahagia tanpa kau pernah cari. Dan kamu adalah serendipity-ku.
Belasan hari yang lalu, kali pertama aku bertemu denganmu, secara tiba-tiba kamu membuat pikiranku tergesa-gesa mencari arti, hanya karena senyum yang kau lempar padaku.
I’m on somewhere with no one to come. In that crowd people, I feel lonely. But then, I found him. With unpredictable gaze on mine, he approached me and say; Can I help you? All I can do was nothing but stunned. While other people ask something ‘are you okay?’, he doesn’t do the same. He just..... understand to what I need the most.
 I don’t need people to pay an attention, to ask that I’ll be alright with no act. I just need someone who can hold me without I’m ask to, undestand to what I really feel about without I tell one. And he did it.
Pada satu hari, hidupku yang biasa menjadi sangat tidak biasa hanya karena segaris senyum dari satu manusia. Aku yang pada saat itu berada dalam zona kritis karena merasa tidak punya harapan, secara tiba-tiba ingin mengenyahkan semua pikiran itu karena kehadiran satu laki-laki yang hadir menjadi sebuah serendipity.
**
Di sebuah tempat ramai dimana ratusan manusia berlalu-lalang, aku terduduk menangis karena kehilangan tas-ku dan seluruh barang berharga yang lainnya. Semua orang hanya berjalan melewatiku. Sibuk di kejar urusan masing-masing membuat mereka hanya sedetik menatapku tanpa menawarkan bantuan apa-apa.
Menjadi manusia yang miskin pengalaman berpergian seorang diri membuatku hanya menangis, dengan bodoh meratapi nasibku tanpa sedikitpun terbesit niat mencari bala bantuan.
Sedetik kemudian, aku melihat seseorang berjongkok di depanku yang terduduk memeluk lutut, ia begitu mencolok diantara ratusan manusia yang berlalu-lalang. Satu hal pertama yang membuat tangisku berhenti adalah ketika mendengar suara bariton dan sebuah kalimat, “Ada yang bisa saya bantu?”
Seorang laki-laki sebaya denganku, dengan jaket jins yang melekat ditubuhnya serta ransel besar dipunggungnya membuatku mengangkat kepala, tapi aku hanya mampu terdiam melihatnya bertanya dengan segaris senyuman.
Ia melihatku tidak menjawab, tetapi senyum di wajahnya tidak hilang. “Saya bukan orang jahat. Lagipula, buat saya jahatin kamu kalau kamu udah gak punya apa-apa?”
Ia meraih kedua lenganku yang masih memeluk lutut, membantuku berdiri. Aku mengikuti ritme gerakannya, secara sukarela tanpa tahu mengapa. Ia menatap tepat dikedua mataku, dengan sorot mata tegas namun penuh keyakinan, dan segaris senyum itu juga tidak hilang.
“Kalau saya sama khawatirnya dengan kamu, itu hanya akan memperburuk suasana, kan?” Kurasa ia memberi penjelasan tentang mengapa ia terus tersenyum disituasi genting seperti saat ini.
“Ayo, saya bantu kamu.”
Dan kalimat itulah yang kemudian membuatku yakin untuk mengekorinya diantara lautan manusia. Aku menatap punggungnya yang bergerak seirama dengan tubuh jangkungnya yang juga melangkah dengan teratur. Kami berhenti di sebuah pos polisi terdekat dari stasiun, lalu ia menjelaskan masalah yang aku hadapi tanpa aku ceritakan lebih dulu. Aku terkejut pada bagaimana ia bercakap dengan orang lain, sikapnya saat berbicara, suara baritonnya dan segala apa yang ada pada dirinya mendadak menjadi sangat indah.
“Kayanya kemungkinan kecil barang kamu bisa kembali kalau situasinya kaya gini. Kamu gak apa-apa?” Aku menggeleng kecil. Satu hal yang saat ini hanya ingin kulakukan adalah pulang ke rumah dengan selamat.
Laki-laki yang belum kutahu namanya itu tampak berpikir mencari solusi. Aku hanya melihatnya kembali melangkah dan meraih pergelangan tanganku untuk mengikutinya. Aku tidak berbicara apa-apa sampai aku sadar bahwa kami sudah jauh dari stasiun.
“Kita bisa jalan ke terminal Bus, gak jauh dari sini. Baiknya kamu pulang, jadwal kereta pasti gak jelas. Gak akan membuahkan apa-apa.”
Dia kembali menatapku masih dengan senyum yang sama. “Kamu pulang kemana?”
“Bandung.” Jawabku singkat.
Ia memintaku untuk duduk di halte Terminal, memberiku sebotol mineral yang dibelinya dari pedagang asongan sebelum pergi untuk bertanya pada orang-orang. Dari jauh aku melihatnya mengobrol dengan beberapa supir, tampak akrab tanpa sedikitpun memberikan kesan angkuh. Kurasa semua orang bisa menjadi teman dekatnya hanya dengan sekali lihat.
Ia bergegas kembali ke arahku. “Saya udah nemu Bis yang lewat Bandung, ada yang jurusan Garut. Kamu gak apa-apa, kan?”
Aku menjawabnya dengan anggukan, lantas kembali mengekorinya yang berjalan menuju satu Bis yang hampir penuh.
Ia mengeluarkan selembar uang seratus ribuan dan satu lembar uang lima ribu, lalu memberikannya padaku. “Tolong pulang dengan selamat.” Katanya singkat.
Aku meraihnya dengan ragu. Tidak ada pilihan lain selain menerimanya. Kecuali aku memutuskan untuk menjadi gembel di kota orang yang penuh keasingan.
Kondektur Bus sudah memberikan aba-aba kepadaku untuk naik. Ada satu hal yang kemudian mendorongku untuk bertanya sesuatu sebelum aku melangkah masuk. Namanya. Aku hampir lupa bertanya namanya.
“Makasih ya, maaf aku bahkan lupa nanya siapa nama kamu dan belum bilang makasih.” Itu adalah kalimat terpanjang yang aku bicarakan kepadanya selama hampir dua jam bersama-sama.
“Saya Alam.” Ia menyodorkan tangannya.
“Saya Raia.” Aku menjabat tangannya.
Ia tersenyum dan mengangguk, lalu melepas jabatan tangan kami. Aku melangkah masuk ke Bus, dan melihatnya melalui kaca Bus sekali lagi.
“Sampai ketemu lagi Raia.” Ia berkata sambil melangkah meninggalkanku lebih dulu bahkan sebelum Bus yang kutumpangi pergi.
Ransel besarnya bergerak seirama langkah kakinya. Punggungnya semakin mengecil dalam jangkauan mataku sampai tidak terlihat sama sekali. Aku menghembuskan nafas, perasaan lega sekaligus tidak rela saling berkecamuk secara bersamaan. Pikiranku tentang Alam buyar ketika kondektur menghampiriku, menanyakan ongkos. Aku memberikan selembar uang seratus ribuan milik Alam, dan melirik selembar uang lima ribuan terakhir yang tersisa ditanganku. Aku mengerutkan dahi ketika melihat sebuah tulisan tangan menyemut di uang itu.
Don’t be scared about being strange in somewhere we don’t know. We’ll always find the way to come back to home. Because we’re its home. We’re the universe, rite? We’re Alam Raia.
Let’s meet on another chance!  -Alam
Aku tersenyum membaca tulisan Alam yang ia bubuhkan dilembar uang lima ribuan. Aku tidak tahu kapan ia mepersiapkannya. Satu hal yang benar-benar membuatku sadar adalah, bahwa di dunia ini masih ada manusia baik sepertinya. Dan aku benar-benar bersyukur bahwa ia telah lahir hingga bertemu denganku meski dalam situasi yang tidak terprediksi.
Katanya manusia tidak ada yang sempurna, tapi setelah bertemu dengannya, apakah ia adalah pengecualian?
.......
Satu hal yang aku sesali adalah aku baru melihat lembar belakang uang lima ribuan itu satu bulan kemudian. Ada dua belas digit nomor yang ditulis kecil seperti tergesa-gesa. Aku membubuhkan nomor itu di ponsel, terdengar suara sambungan telepon yang kemudian berganti dengan jawaban hallo dari suara bariton milik seorang pria.
Aku lalu membalasnya, “Alam?”
“Iya?”
Ia memberikan jawaban yang sangat ingin ku dengar.
The end

Akhirnya saya comeback #MonthlySeries setelah hiatus beberapa bulan L  Padahal awalnya project ini sengaja dibikin untuk mendorong ‘hobi menulis’ ini agar produktif. But, what can I do if college task took more attention. Yet, akhirnya saya bersikeras menulis di penghujung tahun ini walaupun kontennya amburadul dan gak jelas. Resolusi tahun 2018 untuk blog ini adalah isinya bisa merangkap ke konten yang berguna dan bukan hanya postingan tulisan-tulisan gaje saya.
Nb: Judul ini terinspirasi dari lagu solo Jimin BTS di album Love yourself: her cz its lyric is beautiful and has a lot of meaning. Sedangkan karakter Alam & Raia terinspirasi dari karakter milik Kak Ika Natassa di novel “The Architecture of Love”. While Alam isn’t a main character tapi saya mencoba membuat cerita dengan nama yang sama because I’m in love with their pairing name which called ‘Alam Raia a.k.a The universe’. So, I try to remake the characters with my own story. Hope you guys enjoy it and Happy new year!

Regard,
Nita J.


#MonthlySeries September - Aksara Kenangan

Diposting oleh Nita Julianti Sukandar Putri 0 komentar
Setiap manusia punya cerita tersendiri tentang bagaimana mereka bertemu dengan cinta pertamanya. Termasuk aku. Semua berawal dari kotak kardus berisi buku-buku lama yang terselip di box mobil pindahan, aku menemukan diary di masa remaja. Sedikit usang dan berdebu, namun masih utuh, aku membuka lembar demi lembar, lantas menemukan secarik kertas berwarna biru cerah yang terlipat.
Sebuah tulisan tangan khas laki-laki menyemut di kertas biru cerah tadi. Dahiku berkerut, berusaha mengingat kembali bagaimana kertas ini bisa sampai padaku ratusan hari yang lalu. Isinya cukup singkat;
Hai Kena, aku yang pinjam pensil kamu kemarin pas minta tanda tangan kakak-kakak osis. Aku pengen balikin langsung ke kamu besok pulang sekolah di gerbang ya.  –Aksara, 7B
Dulu teknologi belum secanggih hari ini, anak SMP yang mulai menaksir lawan jenisnya akan saling tukar-menukar surat dan menitipkannya lewat teman mereka. Aku menyelami momen kenangan tersebut, jika diingat-ingat betapa lucu dan menyenangkannya masa lalu. Mereka menyukai satu sama lain tanpa memedulikan apa itu sakit hati dan masalah percintaan lain yang hanya diketahui oleh orang dewasa.
Sayang sekali, aku benar-benar tidak ingat bagaimana cara surat itu sampai padaku, siapa kurirnya, pensil yang kupinjamkan, dan siapa Aksara.
**
Aku adalah seorang content writer disebuah kantor berita nasional, dan juga seorang blogger aktif. Aku tidak fokus menulis satu tema. Label di blog-ku banyak berisi review buku, film, musik, tempat makan dan banyak lainnya. Terkadang aku juga menulis cerpen, puisi dan kehidupan sehari-hari.
Jejak secarik kertas biru kecil mendorongku untuk mengabadikannya di blog, dengan judul entri: Aksara Kenangan. Aku menceritakan bagaimana surat itu kutemukan, isinya, bahkan aku dengan jelas mencantumkan dimana sekolahku. Visitor aktifku banyak memberi komentar di kolom blog. Banyak dari komentar tersebut yang membuatku tersenyum, tapi ada satu komentar terbaru yang membuatku terkejut, seorang pengguna dengan ID Aksara Virendra Hadi, membubuhkan komentar singkat: wah kamu masih simpan suratnya?
Mungkin jika biasanya kita mengenal seseorang dan orang tersebut secara tidak langsung juga mengenal teman kita, dan temannya lagi, dan seterusnya lalu muncul pepatah dunia itu sempit, aku bisa memakluminya. Tapi ini adalah dunia cyber, jaringan virtual luas yang bahkan aku tidak tahu batasannya. Aku bisa saja terhubung dengan seseorang di belahan dunia manapun, tapi sangat tidak mungkin jika secara kebetulan orang itu adalah Aksara yang sama, bukan?
Tapi entah apa yang mendorongku untuk melihat profilenya, lalu dengan tidak tahu malu mengiriminya sebuah surel.
**
Surel yang akhirnya mempertemukan kami di minggu kedua bulan september.
Dunia itu sempit, benar. Aku bahkan tidak perlu repot-repot menyetir ke tempat jauh, atau terbang ke suatu kota untuk bertemu Aksara—yang belum tentu orang yang sama—hanya sekedar ingin memuaskan rasa penasaranku. Aksara yang berkomentar di kolom blog-ku bahkan tinggal di Jakarta, hanya beberapa kilometer dari kantorku. Itulah mengapa akhirnya kami memutuskan untuk bertemu secara langsung.
Seorang laki-laki tinggi yang masih mengenakan kemeja kantor menghampiriku dengan senyum lebar. Kami berjabat tangan, bertukar nama dan bertukar kabar. Terkadang, ada kebetulan yang patut aku syukuri, seperti kebetulan yang satu ini. Perempuan mana yang tidak sumringah ketika ‘kebetulan’ kenalan mereka adalah laki-laki tampan dengan suara bariton yang jika mengucap satu kata pun dunia seakan mengikuti ritme ucapannya?
Aku melihatnya mengaduk kantong kerja, dan mengeluarkan sesuatu. Sebuah pensil. Aku terkejut bukan main. Aksara Virendra Hadi membawa sebuah pensil yang aku kenali. Mungkin ada jutaan pensil yang sama di dunia, tetapi aku mengenalinya dengan sekali lihat. Ada gulungan kertas kecil yang diberi tulisan Kena K. membelit pensil itu dengan perekat. Aku mengenalinya karena itu tulisan Mama, dan kebiasaanku dulu yang apik untuk memberi nama setiap alat tulis agar tidak tertukar dan hilang.
Aku mengambil pensil yang diberikan Aksara. Laki-laki itu tersenyum, membuka suara, “Dulu suratnya saya titip Beni, temen sekelas kamu. Saya pikir suratnya nggak sampai, soalnya kamu gak nemuin saya di gerbang. Oh dan soal nemuin postingan blog kamu, saya selalu percaya kebetulan sekalipun bisa membawa keberentungan.” Katanya, sambil tertawa diujung kalimat.
Tepat setelah Aksara menyelesaikan ucapannya, ponselku berbunyi, sebuah whatsapp dari Karin, temanku, akhirnya menggenapkan jawaban.
Karin:
Ken, gue iseng baca blog lo. Gue baru ingat kalau gak salah dulu Beni titip suratnya buat dikasih ke elo, karena waktu itu lo gak ada di kelas, jadi gue selipin di halaman belakang diary yang gue jadiin kado ke elo.
Aku tidak menceritakan pesan Karin pada Aksara, biar saja menjadi teka-tekinya sendiri mengapa aku tidak menemuinya di gerbang. Aku memutuskan memulai percakapan baru dengan Aksara, dengan bertanya, “Gimana ceritanya kamu sampai ke Jakarta?”
“Orangtua saya pindah kerja saat saya naik kelas dua SMP. The rest is history.” Jawabnya. Ia lalu menambahkan, “Kalau kamu?”
Aku menyambutnya dengan senyum, senang untuk mengetahui ia bertanya balik. Karena dari pertanyaan itu, aku melihat masa depan di dalam pertemuan kami.
**
Satu kata dapat menyembunyikan jutaan cerita.
Termasuk kata-kata dari tulisan tangan khasmu di secarik kertas biru yang kutemukan dalam lembar diariku.
Ada takdir yang terangkai untuk ditemukan disuatu hari.
Dan aku percaya.
Jika dulu kita bertemu, aku mungkin tidak akan tahu cinta pertama bisa selucu pertemuan kita hari ini.
Lalu, kamu dan aku saling bertukar kata.
Di satu kalimat pertama yang kau ucapkan padaku, aku mengetahui sesuatu,
Kamu bukan hanya sekedar aksara kenangan, melainkan jawaban untuk Masa depan.
THE END

Regard,
Nita J.

**Sekeping kata:
Monthly series sebelumnya bisa dibaca di:

#MonthlySeries August - Alphabetically

Diposting oleh Nita Julianti Sukandar Putri 0 komentar
Alya adalah satu dari segelintir murid yang membenci sususan abjad absensi sekolah. Sejak TK hingga SMA, namanya selalu ada diurutan atas, sehingga ia harus mengalami ‘diskriminasi’ tidak langsung dari para guru. Pernah mengalami dipanggil ke depan karena absen kita berada diurutan pertama? Atau menyetor hapalan dan ujian lisan di awal-awal? Alya mengalaminya sepanjang mengenyam bangku sekolah. Ketika teman-temannya bisa lebih bersantai, Alya akan deg-degan dan tegang sendiri karena mendapat kesempatan pertama. Urutan abjad itu pula yang menjebaknya dengan partner yang sama, sepanjang 1 tahun TK, 6 tahun SD, 3 tahun SMP dan 3 tahun SMA. Entah bagaimana ceritanya, ia selalu berpasangan dengan Alvaro, yang sialnya selalu masuk sekolah yang sama, satu kelas sepanjang tahun.
Jika ia mendapat tugas kelompok yang terdiri dari dua orang, Alya tidak perlu menunggu pengumuman siapa partnernya, karena nama Alvaro akan selalu muncul untuk menggenapinya. Tidak peduli bagaimana pun cara pembagian kelompok, berjumlah genap atau ganjil, nama Alya dan Alvaro akan ada dalam zona yang sama, seolah hal itu adalah hukum alam yang tidak dapat diganggu gugat.
Alvaro bukan partner yang buruk, ia gesit dan tepat waktu. Hanya saja, bertahun-tahun mengerjakan tugas bersama, Alya menyadari sesuatu bahwa Alva selalu mendominasinya. Dan ia membenci hal itu. Alva selalu membiarkan Alya mengerjakan bagian paling banyak dan menyunting tugasnya, tapi giliran tampil, Alva akan unjuk diri dan mempresentasikan hasilnya dengan paling sempurna, seolah-olah dialah yang paling tahu dan mendominasi tugasnya. Bagi Alya, Alva tak ubahnya ular berbisa. Ia terlihat tenang saat mengincar mangsanya, tetapi dibalik itu semua, ia sedang menyusun amunisi paling berbahaya.
Maka, diakhir masa sekolahnya di SMA, Alya mengungkapkan seluruh perasaan yang dipendamnya terhadap kelakukan Alva, dan menyumpah bahwa ia akan sangat bahagia karena setelah ini ia tidak perlu bertemu lagi dengan Alva.
**
Alya mengingat semua itu dengan senyum yang terpatri di wajah cantiknya. Ia memang melanjutkan hidupnya dengan tenang tanpa kehadiran Alva. Ia berkuliah di jurusan Kedokteran dan sudah bekerja menjadi asisten dokter di salah satu Rumah Sakit ternama di Jakarta. Selama itu pula ia banyak mendapat partner berbeda dan cukup menyenangkan untuk diajak bekerja sama.
Sampai pada akhirnya hari ini tiba. Setelah bertahun-tahun dipisah jarak dan waktu, kenangan itu hanyalah menjadi kepingan lucu yang akan melengkapi hari-harinya ke depan. Lima tahun berselang tanpa Alva dihidupnya hanyalah jeda yang akhirnya kembali mempertemukan mereka pada momen yang tidak akan pernah terlupa, di bulan agustus minggu ketiga.
Sebuah pernikahan.
Bagaimana pertemuan mengejutkan mereka terjadi sampai akhirnya memutuskan untuk bersama hanyalah modal dari dua kalimat “Apa kabar?” yang diucapkan masing-masing satu tahun silam pada pertemuan perdana setelah lima tahun tanpa kata. Mengalir menjadi kalimat kedua dan seterusnya hingga mereka saling jatuh cinta.
Alya tidak pernah tahu, Alva akan menjadi bagian paling sempurna di lembaran hidupnya. Mereka selalu terjebak dalam kebersamaan akibat deret abjad nama yang serupa.
Hari ini hukum Alphabetically kembali menjebak mereka dalam sesuatu yang sakral;
Alvaro Virendra & Alya Vanesha.
Dua nama itu tertulis rapi di dalam lembar undangan.
Sebuah suara bariton terdengar dibalik pintu yang setengah terbuka, “It’s our time.
Alya melirik calon suaminya yang gagah dalam balutan tuksedo, tersenyum dan mengangguk dua kali.
**
Menjadi bagian dalam dirimu dahulu adalah hal tabu
Kita berdua saling berseru; aku membencimu
Satu, dua, tiga hingga lebih tahun berlalu
Jarak antara kita adalah sesuatu yang aku tunggu
Tapi bertemu dengamu lagi kini, aku tahu sesuatu...
Kamu adalah bagian penting yang memang disiapkan Tuhan dihidupku.
THE END


** Sekeping kata:
Monthly Series yang kelewat sebulan. Karena sebulan kemarin sibuk mengurus PKL dan Seminar PKL jadi proyek ini terbengkalai. Untuk mengganti series yang absen di bulan Juli, maka agar feel ‘Monthly’ nya tidak hilang, dipastikan seri bulan kemaren akan diposting bulan juli tahun 2018.

Regard,
Nita J.

#MonthlySeries June - Juna Evolusi

Diposting oleh Nita Julianti Sukandar Putri 0 komentar
Ada banyak hal yang berevolusi. Manusia, hewan, tumbuhan, teknologi bahkan.... rasa cinta. Namun, itu tidak berlaku untuk perasaanku pada Juna. Ia memilih stagnan, berlabuh hanya untuk orang yang sama.
Waktu berlalu dengan pasti, musim berganti, orang-orang mobilisasi, tapi Juna masih jadi teka-teki. Desau angin, rintik hujan, pergantian siang dan malam tetap tidak mampu mengenyahkannya dalam hidup ini.
Pada suatu hari berhujan, ratusan hari yang lalu, Juna merampas sebuah rasa yang amat krusial. Rasa cinta. Momen dimana mata kami terkunci satu sama lain, tangan kecilku dalam genggaman kokohnya, sebuah pelukan singkat yang hangat, dan tiga kata dengan harga mati; Aku cinta kamu.
 Juna mengerahkan seluruh perasaannya, aku membalasnya dengan hal serupa. Satu yang berbeda, sekali menyerahkan, aku tidak menerima kembalian. Juna sudah menjadi pemilik yang aku punya. Aku dengan sukarela menjadi seluruh bagian dalam dirinya.
Dengan angkuhnya, aku berkata lantang pada dunia bahwa Juna dan aku adalah kebahagiaan yang hakiki. Kami adalah definisi dari cinta yang sesungguhnya. Tapi satu ketidaksadaran fatal adalah, aku melupakan evolusi yang mungkin saja terjadi pada kami. Cinta dapat memerdekakan, namun cinta pula yang dapat memenjarakan seseorang.
Belum genap satu tahun, Juna memilih untuk berevolusi. Sendiri. Mendahului aku yang masih stagnan di belakang, mempertahankan apa yang sudah kami rangkai bersama; momen, kebahagiaan, suka dan duka. Aku tidak percaya, Juna pergi dengan alasan yang tak pasti, “apapun dapat berubah, tidak terkecuali perasaan seseorang. Pergi dan melupakan adalah pilihan yang tepat untuk saat ini.”
Melewati fakta itu, aku memegang definisi tentang kejahatan paling kejam di dunia, yaitu cinta. Seolah waktu mempermainkan dengan maha dahsyat, kemarin aku merasa merdeka karena cinta Juna, hari ini aku merasa cinta Juna pula yang memenjarakanku dengan gila.
Aku menangis di bawah pohon akasia, ditertawakan udara, dicemooh langit, dicerca angin. Mereka sama-sama menyumpah gadis itu, yang kemarin dengan angkuhnya me-mahasegalakan cinta pada dunia, untuk tidak mengalami evolusi cinta sama sekali. Ia akan melewati ratusan hari berikutnya dibelenggu pada rasa yang sama, yang membuatnya merdeka sekaligus terpenjara.
**
Uap dari mug berisi coklat panas adalah pemandangan yang pertama yang aku lihat di minggu berhujan, pada bulan juni kesekian yang kulewati seorang diri. Berkas-berkas pekerjaan masih belum aku sentuh sama sekali. Aku tidak ingin kehilangan momen ini, duduk memandangi kristal hujan di sudut kafe dengan iringan musik dari playlist yang sengaja aku request pada pemilik kafe. Through the years milik Kenny Rogers adalah lagu kelima, dan masih ada sepuluh lagu tersisa sebelum biasanya aku memutuskan beranjak untuk pergi. Hal itu sudah jadi rutinitas selama tiga tahun. Beruntung, pemilik kafe sudah mengenaliku dengan baik.
Di detik Kenny Rogers menyanyikan bagian lirik I’ve learned what’s life about by loving you through the years, pintu kafe berderit terbuka, yang otomatis mengembalikanku pada realita. Seberuntung-beruntungnya aku, realita terkadang bisa menjadi sangat kejam. Sama kejamnya pada realita yang aku hadapi saat ini. Aku mengutuk pada pilihan untuk mendongak, melihat siapa yang berdiri mengganggu di depan mejaku.
Saat itu, lagu Every time you go away Brian Mcknight memenuhi seluruh sudut kafe, seolah menjadi latar belakang musik pada apa yang kuhadapi di minggu berhujan bulan juni.
Dua ribu sembilan ratus dua puluh hari menjawab teka-teki yang selama ini aku cari. Dia adalah Juna. Berdiri dengan gagah, mencolok diantara semua pengunjung kafe ini. Hujan berhenti, meja-meja kosong mulai penuh terisi, dan Juna masih memandangku tidak pasti. Ada banyak bahasa dalam matanya yang meminta untuk aku kenali.
Tidak ada kata yang terucap. Aku bisa mengkalkulasikan waktu yang kami habiskan untuk berbicara lewat mata adalah lima menit lamanya. Sebelum akhirnya, Juna membuka gembok sunyi diantara kami.
“Apa kabar, Alea?”
Tujuh tahun lamanya aku berusaha menulikan telinga pada suara bariton milik Juna. Selama itu pula aku belajar untuk membenci. Namun, hari ini aku sadar bahwa membenci Juna adalah ujian tersulit yang tidak mampu aku lewati. Aku benar-benar tidak tahu cinta bisa menjadi begitu keji padahal manusia selalu berusaha untuk membuatnya suci.
Tidak ada sepotong kata pun yang terucap secara verbal olehku, tapi lima menit kehadiran Juna mampu meluruhlantakan segalanya. Manusia mungkin berevolusi, tetapi sekali mencintai, ada beberapa dari mereka yang lebih baik memilih untuk tidak mengalami evolusi itu sama sekali.
Aku tidak tahu apa yang bisa mendefinisikan diriku saat ini, satu hal yang jelas adalah aku menginginkannya kembali. Juna yang telah meninggalkanku dengan misteri dan teka-teki, Juna yang telah menyia-nyiakan perasaanku dengan sesuka hati, Juna yang penuh dengan belati dan bisa saja menikamku sekali lagi. Tapi aku benar-benar tidak peduli, aku ingin merengkuhnya, membisikan kata yang dulu tidak sempat aku katakan kepadanya;
Tolong jangan pergi.
**
Lima menit bersamamu meluruhlantakan segalanya
Senyummu mengembalikanku pada momen itu
Saat kali pertama kita bertemu
Bertukar satu, dua, hingga lebih kata yang tidak dapat kuhitung lagi dengan angka
Dulu, aku bersamamu karena kita memiliki rasa yang sama
Kini, bertemu lagi denganmu, aku sadar, seharusnya kata yang tak terhingga itu tidak harus punya jeda.
Kamu masih menjadi nomor satu yang tidak bisa aku temukan di nomor dua, tiga dan sisanya.
Ku kira, apa yang salah jika mencoba untuk membubuhkan hurup A di kata dan kalimat pertama.
Misalnya, Ayo kita makan siang?
Aku tidak akan menyesali apa yang terjadi selanjutnya, karena bersamamu, segala momen adalah kebahagiaan.
THE END
**Sekeping kata:
Juna evolusi merupakan rangkaian cerita pertama untuk proyek #MonthlySeries yang saya buat. Monthly Series diposting setiap tanggal 10 dalam satu bulan. Ikuti terus serial pendek #MonthlySeries dan nantikan judul berikutnya di bulan Juli.
Salam hakunanitata!

Regard,
Nita J.

What is #MonthlySeries ?

Diposting oleh Nita Julianti Sukandar Putri 0 komentar
So, it was my 3rd project after Irish and Memoar Rasa. First of all, I don’t ever prepare these things at all. The idea comes up in sudden. It’s begins when I watched an advertising which role by Chef Juna, one of Indonesian famous entertainment-chef. Then, I thinking about one character named Juna. Why does it Juna? That was a cool and matching to current month, June. So, I started to write a short story and I don’t even have a concept yet. I just write. I take the viewpoint from another character, Alea, and tells about Juna from her side. The rest is flow like a river.
When I finished the story, I give it a tittle “Juna di Bulan Juni”. A little bit odd, indeed. Secondly, I love to took anything by my phone camera, and I have an idea what if I edit the entry picture by my own picture, and I try to create one.  I re-read my story and think a while,  I thinking about how evolution happen in people’s life, in everything. So, what If a feeling does the same? It’s hard to believe I change its title to Juna Evolusi. I really love the tittle, it’s a unique one and have a lot of mean.
It’s fire my enthusiasm to write more. I really love to do these thing. Writing and editing my own picture. Seriously, I start to think what If I make a series for each month? I created Juna because I think about this month, and I want to create another character in each month, July, August and continuously. So, Monthly Series then show up itself, so happy to know that I make this one. I want to write, I love doing this thing. It’s been a while I'm not writing any story, sometimes I feel that the writer’s block syndrome is still attack me, that’s why I want to attack it back and start to write again.
And also, I want to productive in writing, expand my skill and imagine more. Imagines is a cheapest thing ever. It’s priceless but you’ll get unlimited satisfaction.
So, what makes you afraid to start writing?
#MonthlySeries the story begins...

Nb: Maaf untuk grammar yang buruk. Trying to expand my English.

Regard,

Nita J. 

Bumantara

Diposting oleh Nita Julianti Sukandar Putri 0 komentar

Kau adalah jarak yang tak terhingga, tapi aku dapat melihatmu dengan bebas, lepas.
Kau adalah terjauh yang tidak mampu kuraih, tapi hadirmu jelas tanpa pamrih.
Dengan terang pun gelap berbintang, aku menyukaimu, nyata tanpa cela.
Hadirmu adalah penting bagi semesta, kau adalah tempat dimana semuanya ada.
Cinta, tawa, dan duka....

Segala mustahil yang tak dapat aku miliki adalah kamu.
Angkasa luas yang semua orang puja.
Mencintaimu satu-satunya bakat yang aku punya.
Tapi aku urung untuk ungkapkan pada dunia.

Menjelang petang, acapkali kukirim pesan pada semesta,
Terimakasih kamu sudah pernah ada.
Bumantara untuk dunia yang aku pijak.

Kutinggalkan jejak-jejak ini dengan pasti...
Aku mencintai kamu;

Kali kesekian, kemarin, hari ini, dan kemudian.


Regard,
Nita J.

REVIEW NOVEL “Tentang Kamu” Tere Liye

Diposting oleh Nita Julianti Sukandar Putri 1 komentar
Hello, there! Finally, I’m back with this post. Sebenarnya saya sudah merampungkan novel ini dari bulan November tahun lalu, cuma belum sempat review karena schedule kuliah yang super padat serta laptop saya yang kemarin-kemarin mati toal—dan kayaknya gak penting juga diceritain—. So, let’s begin!
Sinopsis singkat:
Novel tentang kamu menceritakan perjalanan seorang pengacara dari firma hukum terkemuka di Inggris bernama Zaman Zulkarnaen, yang diberi tugas untuk menemukan ahli waris dari kliennya  bernama Sri Ningsih. Kehidupan misterius Sri Ningsih membuat Zaman melakukan perjalanan luar biasa untuk mencaritahu jejak kehidupan Kliennya tersebut. Zaman terbang ke Indonesia, mulai dari pulau ke pulau, sampai pada akhirnya perjalanan tersebut memaksa Zaman untuk menembus ruang dan waktu ke masa lampau, mencaritahu keping demi keping kehidupan Sri yang penuh suka-duka.
Ok then, sama seperti novel-novel Tere Liye yang lainnya, novel ini menceritakan perjalanan kehidupan seseorang yang banyak membawa pesan. Novel yang cukup menarik untuk dibaca. Kita di ajak untuk ikut menjadi tokoh Zaman Zulkarnaen, karena hampir 80 persen isi dari novel ini menceritakan kehidupan Sri Ningsih, dan Zaman tak ubahnya pendengar dan pembaca yang diceritakan tentang hidup seorang Sri Ningsih.
Novel ini luar biasa karena selain menghadirkan tokoh dan karakter yang cukup banyak, setting tempatnya juga berpindah-pindah, secara tidak langsung mengajak kita melakukan perjalanan, mulai dari Inggris, Paris sampai ke Indonesia. Gaya menulis Tere Liye di novel ini juga cukup ringan dan mudah untuk dipahami meskipun menurut saya isi dari cerita ini termasuk novel yang ‘cukup berat’. Meskipun kebanyakan suasa sedih dihadirkan di Novel ini, Tere Liye masih menyisipkan kehidupan romansa dan cinta di bab-bab tersendiri yang bisa membuat pembaca sedikit lebih bisa mengurangi kadar rasa sedih mereka.
Secara keseluruhan, novel ini layak untuk dibaca. Tentang kamu menjadi satu dari tiga besar novel Tere Liye favorit saya setelah Daun yang jatuh tidak pernah membenci angin dan seri bumi-bulan-matahari. Walaupun ekspektasi awal saya saat melihat judul dan sinopsis cerita ini full romansa—karena to be honest, saya merindukan tulisan Tere Liye yang ringan dan menyenangkan seperti pada kumpulan cerita Sepotong hati yang baru. Tapi, sekali lagi, Tere Liye mampu menyibak semua itu dengan menghadirkan cerita yang tidak pernah terduga. Tentang Kamu benar-benar menghadirkan kisah yang menyayat namun banyak pesan yang tersirat. Perjalanan yang luar biasa dari tokoh utama mengajarkan kita semua bahwa banyak orang-orang di sekitar kita yang bisa membantu menjadikan impossible things be possible, tentang segala emosi, rasa sabar dan rasa syukur.
Welldone, Tere Liye. Satu lagi novel beliau yang bisa jadi rekomendasi untuk dinikmati para pecinta novel. Selamat membaca Tentang Kamu.


Regard,
Nita J.

 

Gema Aksara✎ Template by Ipietoon Blogger Template | Gift Idea