Orang-orang
berbicara tentang resolusi masa depan. Aku tidak pernah berpikir sejauh itu,
bahkan jika aku digaristakdirkan untuk hidup ribuan hari ke depan. Terkadang
ada segelintir orang yang merasa tidak punya pilihan dan hanya menjalani hidup
sebagaimana air sungai mengalir yang mengikuti arus. Dan perlu kalian tahu, aku
pernah menjadi bagian dari orang-orang itu.
Selama
21 tahun hidupku, tidak ada hal yang istimewa yang bisa cukup aku jadikan
kenangan. Aku bahagia, memang. Menghabiskan waktu bersama teman-temanku,
mengobrol tentang apa yang sedang hangat diperbincangkan, makan makanan enak
dan kehidupan normal remaja pada umumnya. Tapi setelah itu, semuanya stagnan.
Aku berhenti, dan memulai siklus itu setiap hari. Tidak ada yang istimewa.
Tidak.
Sampai
pada suatu hari aku bertemu dengan satu manusia yang tiba-tiba membuat hidupku
melalui banyak emosi. Bahagia, khawatir dan jutaan perasaan lain yang
menggambarkan diriku saat itu.
Serendipity. Finding something good
without looking for it. Suatu keadaan tiba-tiba yang
membuatmu bahagia tanpa kau pernah cari. Dan kamu adalah serendipity-ku.
Belasan
hari yang lalu, kali pertama aku bertemu denganmu, secara tiba-tiba kamu
membuat pikiranku tergesa-gesa mencari arti, hanya karena senyum yang kau
lempar padaku.
I’m on somewhere with no one to come.
In that crowd people, I feel lonely. But then, I found him. With unpredictable
gaze on mine, he approached me and say; Can I help you? All I can do was
nothing but stunned. While other people ask something ‘are you okay?’, he doesn’t
do the same. He just..... understand to what I need the most.
I don’t need people to pay an attention, to ask
that I’ll be alright with no act. I just need someone who can hold me without I’m
ask to, undestand to what I really feel about without I tell one. And he did
it.
Pada
satu hari, hidupku yang biasa menjadi sangat tidak biasa hanya karena segaris
senyum dari satu manusia. Aku yang pada saat itu berada dalam zona kritis
karena merasa tidak punya harapan, secara tiba-tiba ingin mengenyahkan semua
pikiran itu karena kehadiran satu laki-laki yang hadir menjadi sebuah serendipity.
**
Di
sebuah tempat ramai dimana ratusan manusia berlalu-lalang, aku terduduk
menangis karena kehilangan tas-ku dan seluruh barang berharga yang lainnya. Semua
orang hanya berjalan melewatiku. Sibuk di kejar urusan masing-masing membuat
mereka hanya sedetik menatapku tanpa menawarkan bantuan apa-apa.
Menjadi
manusia yang miskin pengalaman berpergian seorang diri membuatku hanya menangis,
dengan bodoh meratapi nasibku tanpa sedikitpun terbesit niat mencari bala
bantuan.
Sedetik
kemudian, aku melihat seseorang berjongkok di depanku yang terduduk memeluk
lutut, ia begitu mencolok diantara ratusan manusia yang berlalu-lalang. Satu
hal pertama yang membuat tangisku berhenti adalah ketika mendengar suara
bariton dan sebuah kalimat, “Ada yang bisa saya bantu?”
Seorang
laki-laki sebaya denganku, dengan jaket jins yang melekat ditubuhnya serta
ransel besar dipunggungnya membuatku mengangkat kepala, tapi aku hanya mampu terdiam
melihatnya bertanya dengan segaris senyuman.
Ia
melihatku tidak menjawab, tetapi senyum di wajahnya tidak hilang. “Saya bukan
orang jahat. Lagipula, buat saya jahatin kamu kalau kamu udah gak punya
apa-apa?”
Ia
meraih kedua lenganku yang masih memeluk lutut, membantuku berdiri. Aku
mengikuti ritme gerakannya, secara sukarela tanpa tahu mengapa. Ia menatap
tepat dikedua mataku, dengan sorot mata tegas namun penuh keyakinan, dan
segaris senyum itu juga tidak hilang.
“Kalau
saya sama khawatirnya dengan kamu, itu hanya akan memperburuk suasana, kan?”
Kurasa ia memberi penjelasan tentang mengapa ia terus tersenyum disituasi
genting seperti saat ini.
“Ayo,
saya bantu kamu.”
Dan
kalimat itulah yang kemudian membuatku yakin untuk mengekorinya diantara lautan
manusia. Aku menatap punggungnya yang bergerak seirama dengan tubuh jangkungnya
yang juga melangkah dengan teratur. Kami berhenti di sebuah pos polisi terdekat
dari stasiun, lalu ia menjelaskan masalah yang aku hadapi tanpa aku ceritakan
lebih dulu. Aku terkejut pada bagaimana ia bercakap dengan orang lain, sikapnya
saat berbicara, suara baritonnya dan segala apa yang ada pada dirinya mendadak
menjadi sangat indah.
“Kayanya
kemungkinan kecil barang kamu bisa kembali kalau situasinya kaya gini. Kamu gak
apa-apa?” Aku menggeleng kecil. Satu hal yang saat ini hanya ingin kulakukan
adalah pulang ke rumah dengan selamat.
Laki-laki
yang belum kutahu namanya itu tampak berpikir mencari solusi. Aku hanya
melihatnya kembali melangkah dan meraih pergelangan tanganku untuk
mengikutinya. Aku tidak berbicara apa-apa sampai aku sadar bahwa kami sudah
jauh dari stasiun.
“Kita
bisa jalan ke terminal Bus, gak jauh dari sini. Baiknya kamu pulang, jadwal
kereta pasti gak jelas. Gak akan membuahkan apa-apa.”
Dia
kembali menatapku masih dengan senyum yang sama. “Kamu pulang kemana?”
“Bandung.”
Jawabku singkat.
Ia
memintaku untuk duduk di halte Terminal, memberiku sebotol mineral yang
dibelinya dari pedagang asongan sebelum pergi untuk bertanya pada orang-orang. Dari
jauh aku melihatnya mengobrol dengan beberapa supir, tampak akrab tanpa sedikitpun
memberikan kesan angkuh. Kurasa semua orang bisa menjadi teman dekatnya hanya
dengan sekali lihat.
Ia
bergegas kembali ke arahku. “Saya udah nemu Bis yang lewat Bandung, ada yang
jurusan Garut. Kamu gak apa-apa, kan?”
Aku
menjawabnya dengan anggukan, lantas kembali mengekorinya yang berjalan menuju
satu Bis yang hampir penuh.
Ia
mengeluarkan selembar uang seratus ribuan dan satu lembar uang lima ribu, lalu
memberikannya padaku. “Tolong pulang dengan selamat.” Katanya singkat.
Aku
meraihnya dengan ragu. Tidak ada pilihan lain selain menerimanya. Kecuali aku
memutuskan untuk menjadi gembel di kota orang yang penuh keasingan.
Kondektur
Bus sudah memberikan aba-aba kepadaku untuk naik. Ada satu hal yang kemudian
mendorongku untuk bertanya sesuatu sebelum aku melangkah masuk. Namanya. Aku
hampir lupa bertanya namanya.
“Makasih
ya, maaf aku bahkan lupa nanya siapa nama kamu dan belum bilang makasih.” Itu
adalah kalimat terpanjang yang aku bicarakan kepadanya selama hampir dua jam
bersama-sama.
“Saya
Alam.” Ia menyodorkan tangannya.
“Saya
Raia.” Aku menjabat tangannya.
Ia
tersenyum dan mengangguk, lalu melepas jabatan tangan kami. Aku melangkah masuk
ke Bus, dan melihatnya melalui kaca Bus sekali lagi.
“Sampai
ketemu lagi Raia.” Ia berkata sambil melangkah meninggalkanku lebih dulu bahkan
sebelum Bus yang kutumpangi pergi.
Ransel
besarnya bergerak seirama langkah kakinya. Punggungnya semakin mengecil dalam
jangkauan mataku sampai tidak terlihat sama sekali. Aku menghembuskan nafas,
perasaan lega sekaligus tidak rela saling berkecamuk secara bersamaan.
Pikiranku tentang Alam buyar ketika kondektur menghampiriku, menanyakan ongkos.
Aku memberikan selembar uang seratus ribuan milik Alam, dan melirik selembar
uang lima ribuan terakhir yang tersisa ditanganku. Aku mengerutkan dahi ketika
melihat sebuah tulisan tangan menyemut di uang itu.
Don’t be scared about being strange
in somewhere we don’t know. We’ll always find the way to come back to home.
Because we’re its home. We’re the universe, rite? We’re Alam Raia.
Let’s meet on another chance! -Alam
Aku
tersenyum membaca tulisan Alam yang ia bubuhkan dilembar uang lima ribuan. Aku
tidak tahu kapan ia mepersiapkannya. Satu hal yang benar-benar membuatku sadar
adalah, bahwa di dunia ini masih ada manusia baik sepertinya. Dan aku
benar-benar bersyukur bahwa ia telah lahir hingga bertemu denganku meski dalam
situasi yang tidak terprediksi.
Katanya
manusia tidak ada yang sempurna, tapi setelah bertemu dengannya, apakah ia
adalah pengecualian?
.......
Satu
hal yang aku sesali adalah aku baru melihat lembar belakang uang lima ribuan
itu satu bulan kemudian. Ada dua belas digit nomor yang ditulis kecil seperti
tergesa-gesa. Aku membubuhkan nomor itu di ponsel, terdengar suara sambungan telepon
yang kemudian berganti dengan jawaban hallo
dari suara bariton milik seorang pria.
Aku
lalu membalasnya, “Alam?”
“Iya?”
Ia
memberikan jawaban yang sangat ingin ku dengar.
The
end
Akhirnya saya comeback #MonthlySeries
setelah hiatus beberapa bulan L Padahal
awalnya project ini sengaja dibikin untuk mendorong ‘hobi menulis’ ini agar
produktif. But, what can I do if college
task took more attention. Yet,
akhirnya saya bersikeras menulis di penghujung tahun ini walaupun kontennya
amburadul dan gak jelas. Resolusi tahun 2018 untuk blog ini adalah isinya bisa
merangkap ke konten yang berguna dan bukan hanya postingan tulisan-tulisan gaje
saya.
Nb: Judul ini
terinspirasi dari lagu solo Jimin BTS di album Love yourself: her cz its lyric is beautiful and has a lot of meaning.
Sedangkan karakter Alam & Raia terinspirasi dari karakter milik Kak Ika
Natassa di novel “The Architecture of Love”. While Alam isn’t a main character tapi saya mencoba membuat cerita
dengan nama yang sama because I’m in love
with their pairing name which called ‘Alam Raia a.k.a The universe’. So, I try
to remake the characters with my own story. Hope you guys enjoy it and Happy new year!
Regard,
Nita J.
0 komentar:
Posting Komentar