#MonthlySeries Desember - Serendipity

Diposting oleh Nita Julianti Sukandar Putri


Orang-orang berbicara tentang resolusi masa depan. Aku tidak pernah berpikir sejauh itu, bahkan jika aku digaristakdirkan untuk hidup ribuan hari ke depan. Terkadang ada segelintir orang yang merasa tidak punya pilihan dan hanya menjalani hidup sebagaimana air sungai mengalir yang mengikuti arus. Dan perlu kalian tahu, aku pernah menjadi bagian dari orang-orang itu.
Selama 21 tahun hidupku, tidak ada hal yang istimewa yang bisa cukup aku jadikan kenangan. Aku bahagia, memang. Menghabiskan waktu bersama teman-temanku, mengobrol tentang apa yang sedang hangat diperbincangkan, makan makanan enak dan kehidupan normal remaja pada umumnya. Tapi setelah itu, semuanya stagnan. Aku berhenti, dan memulai siklus itu setiap hari. Tidak ada yang istimewa.
Tidak.
Sampai pada suatu hari aku bertemu dengan satu manusia yang tiba-tiba membuat hidupku melalui banyak emosi. Bahagia, khawatir dan jutaan perasaan lain yang menggambarkan diriku saat itu.
Serendipity. Finding something good without looking for it. Suatu keadaan tiba-tiba yang membuatmu bahagia tanpa kau pernah cari. Dan kamu adalah serendipity-ku.
Belasan hari yang lalu, kali pertama aku bertemu denganmu, secara tiba-tiba kamu membuat pikiranku tergesa-gesa mencari arti, hanya karena senyum yang kau lempar padaku.
I’m on somewhere with no one to come. In that crowd people, I feel lonely. But then, I found him. With unpredictable gaze on mine, he approached me and say; Can I help you? All I can do was nothing but stunned. While other people ask something ‘are you okay?’, he doesn’t do the same. He just..... understand to what I need the most.
 I don’t need people to pay an attention, to ask that I’ll be alright with no act. I just need someone who can hold me without I’m ask to, undestand to what I really feel about without I tell one. And he did it.
Pada satu hari, hidupku yang biasa menjadi sangat tidak biasa hanya karena segaris senyum dari satu manusia. Aku yang pada saat itu berada dalam zona kritis karena merasa tidak punya harapan, secara tiba-tiba ingin mengenyahkan semua pikiran itu karena kehadiran satu laki-laki yang hadir menjadi sebuah serendipity.
**
Di sebuah tempat ramai dimana ratusan manusia berlalu-lalang, aku terduduk menangis karena kehilangan tas-ku dan seluruh barang berharga yang lainnya. Semua orang hanya berjalan melewatiku. Sibuk di kejar urusan masing-masing membuat mereka hanya sedetik menatapku tanpa menawarkan bantuan apa-apa.
Menjadi manusia yang miskin pengalaman berpergian seorang diri membuatku hanya menangis, dengan bodoh meratapi nasibku tanpa sedikitpun terbesit niat mencari bala bantuan.
Sedetik kemudian, aku melihat seseorang berjongkok di depanku yang terduduk memeluk lutut, ia begitu mencolok diantara ratusan manusia yang berlalu-lalang. Satu hal pertama yang membuat tangisku berhenti adalah ketika mendengar suara bariton dan sebuah kalimat, “Ada yang bisa saya bantu?”
Seorang laki-laki sebaya denganku, dengan jaket jins yang melekat ditubuhnya serta ransel besar dipunggungnya membuatku mengangkat kepala, tapi aku hanya mampu terdiam melihatnya bertanya dengan segaris senyuman.
Ia melihatku tidak menjawab, tetapi senyum di wajahnya tidak hilang. “Saya bukan orang jahat. Lagipula, buat saya jahatin kamu kalau kamu udah gak punya apa-apa?”
Ia meraih kedua lenganku yang masih memeluk lutut, membantuku berdiri. Aku mengikuti ritme gerakannya, secara sukarela tanpa tahu mengapa. Ia menatap tepat dikedua mataku, dengan sorot mata tegas namun penuh keyakinan, dan segaris senyum itu juga tidak hilang.
“Kalau saya sama khawatirnya dengan kamu, itu hanya akan memperburuk suasana, kan?” Kurasa ia memberi penjelasan tentang mengapa ia terus tersenyum disituasi genting seperti saat ini.
“Ayo, saya bantu kamu.”
Dan kalimat itulah yang kemudian membuatku yakin untuk mengekorinya diantara lautan manusia. Aku menatap punggungnya yang bergerak seirama dengan tubuh jangkungnya yang juga melangkah dengan teratur. Kami berhenti di sebuah pos polisi terdekat dari stasiun, lalu ia menjelaskan masalah yang aku hadapi tanpa aku ceritakan lebih dulu. Aku terkejut pada bagaimana ia bercakap dengan orang lain, sikapnya saat berbicara, suara baritonnya dan segala apa yang ada pada dirinya mendadak menjadi sangat indah.
“Kayanya kemungkinan kecil barang kamu bisa kembali kalau situasinya kaya gini. Kamu gak apa-apa?” Aku menggeleng kecil. Satu hal yang saat ini hanya ingin kulakukan adalah pulang ke rumah dengan selamat.
Laki-laki yang belum kutahu namanya itu tampak berpikir mencari solusi. Aku hanya melihatnya kembali melangkah dan meraih pergelangan tanganku untuk mengikutinya. Aku tidak berbicara apa-apa sampai aku sadar bahwa kami sudah jauh dari stasiun.
“Kita bisa jalan ke terminal Bus, gak jauh dari sini. Baiknya kamu pulang, jadwal kereta pasti gak jelas. Gak akan membuahkan apa-apa.”
Dia kembali menatapku masih dengan senyum yang sama. “Kamu pulang kemana?”
“Bandung.” Jawabku singkat.
Ia memintaku untuk duduk di halte Terminal, memberiku sebotol mineral yang dibelinya dari pedagang asongan sebelum pergi untuk bertanya pada orang-orang. Dari jauh aku melihatnya mengobrol dengan beberapa supir, tampak akrab tanpa sedikitpun memberikan kesan angkuh. Kurasa semua orang bisa menjadi teman dekatnya hanya dengan sekali lihat.
Ia bergegas kembali ke arahku. “Saya udah nemu Bis yang lewat Bandung, ada yang jurusan Garut. Kamu gak apa-apa, kan?”
Aku menjawabnya dengan anggukan, lantas kembali mengekorinya yang berjalan menuju satu Bis yang hampir penuh.
Ia mengeluarkan selembar uang seratus ribuan dan satu lembar uang lima ribu, lalu memberikannya padaku. “Tolong pulang dengan selamat.” Katanya singkat.
Aku meraihnya dengan ragu. Tidak ada pilihan lain selain menerimanya. Kecuali aku memutuskan untuk menjadi gembel di kota orang yang penuh keasingan.
Kondektur Bus sudah memberikan aba-aba kepadaku untuk naik. Ada satu hal yang kemudian mendorongku untuk bertanya sesuatu sebelum aku melangkah masuk. Namanya. Aku hampir lupa bertanya namanya.
“Makasih ya, maaf aku bahkan lupa nanya siapa nama kamu dan belum bilang makasih.” Itu adalah kalimat terpanjang yang aku bicarakan kepadanya selama hampir dua jam bersama-sama.
“Saya Alam.” Ia menyodorkan tangannya.
“Saya Raia.” Aku menjabat tangannya.
Ia tersenyum dan mengangguk, lalu melepas jabatan tangan kami. Aku melangkah masuk ke Bus, dan melihatnya melalui kaca Bus sekali lagi.
“Sampai ketemu lagi Raia.” Ia berkata sambil melangkah meninggalkanku lebih dulu bahkan sebelum Bus yang kutumpangi pergi.
Ransel besarnya bergerak seirama langkah kakinya. Punggungnya semakin mengecil dalam jangkauan mataku sampai tidak terlihat sama sekali. Aku menghembuskan nafas, perasaan lega sekaligus tidak rela saling berkecamuk secara bersamaan. Pikiranku tentang Alam buyar ketika kondektur menghampiriku, menanyakan ongkos. Aku memberikan selembar uang seratus ribuan milik Alam, dan melirik selembar uang lima ribuan terakhir yang tersisa ditanganku. Aku mengerutkan dahi ketika melihat sebuah tulisan tangan menyemut di uang itu.
Don’t be scared about being strange in somewhere we don’t know. We’ll always find the way to come back to home. Because we’re its home. We’re the universe, rite? We’re Alam Raia.
Let’s meet on another chance!  -Alam
Aku tersenyum membaca tulisan Alam yang ia bubuhkan dilembar uang lima ribuan. Aku tidak tahu kapan ia mepersiapkannya. Satu hal yang benar-benar membuatku sadar adalah, bahwa di dunia ini masih ada manusia baik sepertinya. Dan aku benar-benar bersyukur bahwa ia telah lahir hingga bertemu denganku meski dalam situasi yang tidak terprediksi.
Katanya manusia tidak ada yang sempurna, tapi setelah bertemu dengannya, apakah ia adalah pengecualian?
.......
Satu hal yang aku sesali adalah aku baru melihat lembar belakang uang lima ribuan itu satu bulan kemudian. Ada dua belas digit nomor yang ditulis kecil seperti tergesa-gesa. Aku membubuhkan nomor itu di ponsel, terdengar suara sambungan telepon yang kemudian berganti dengan jawaban hallo dari suara bariton milik seorang pria.
Aku lalu membalasnya, “Alam?”
“Iya?”
Ia memberikan jawaban yang sangat ingin ku dengar.
The end

Akhirnya saya comeback #MonthlySeries setelah hiatus beberapa bulan L  Padahal awalnya project ini sengaja dibikin untuk mendorong ‘hobi menulis’ ini agar produktif. But, what can I do if college task took more attention. Yet, akhirnya saya bersikeras menulis di penghujung tahun ini walaupun kontennya amburadul dan gak jelas. Resolusi tahun 2018 untuk blog ini adalah isinya bisa merangkap ke konten yang berguna dan bukan hanya postingan tulisan-tulisan gaje saya.
Nb: Judul ini terinspirasi dari lagu solo Jimin BTS di album Love yourself: her cz its lyric is beautiful and has a lot of meaning. Sedangkan karakter Alam & Raia terinspirasi dari karakter milik Kak Ika Natassa di novel “The Architecture of Love”. While Alam isn’t a main character tapi saya mencoba membuat cerita dengan nama yang sama because I’m in love with their pairing name which called ‘Alam Raia a.k.a The universe’. So, I try to remake the characters with my own story. Hope you guys enjoy it and Happy new year!

Regard,
Nita J.


0 komentar:

Posting Komentar

 

Gema Aksara✎ Template by Ipietoon Blogger Template | Gift Idea