Bianglala itu
terus berputar,
Seirama dengan
berputarnya perasaan asing yang berlaju tanpa kendali.
Bianglala itu
terus berputar, berlawanan dengan arah jarum jam.
Berkata bahwa, waktu pun acap
kali mengajaknya hadir.
Bianglala itu
terus berputar...
Bahkan sampai
mereka tak mengerti,
Kenapa takdir
merajutnya tuk' bertemu disini.
Bianglala..
*
"Aduh-"
Langkahku yang tergesa berhenti ketika mendengar suara mengaduh
dibelakangku berdiri sekarang. Aku tak sengaja menabraknya ketika setengah
berlari mengejar rombongan teman-teman kampus-yang kini bahkan sudah tak
terlihat lagi. Aarg!
Ingin berlari tapi orang-orang kini memusatkankan perhatianya
kepadaku-dan-gadis yang tak sengaja kutabrak tadi. Sebagai seorang laki-laki,
tentu aku tidak ingin semua orang berpikir bahwa aku hanya segelintir manusia berwujud adam
yang tidak bertanggung jawab. Apalagi, ketika aku menoleh, kudapati ember
berisi air bekas-mengepel- sudah tumpah ruah dimana-mana. Makin terlihat saja
aku yang salah. Ck.
Aku melirik kebawah, gadis itu masih terduduk dilantai untuk sepersekian
detik, lantas mencoba berdiri dengan sisa tenaga yang ia punya. Aku membentuk a
pelan dimulut, ingin berkata sesuatu tapi ku urungi niat ketika ia sudah
sempurna berdiri dengan celana training merah khas cleaning
service yang basah
sebagian.
"Maaf mas," katanya sembari membungkuk.
Aku menganga pelan, hendak membuka suara tapi
lagi-lagi aku mengurungkan niat ketika seorang lelaki berseragam sama
mengampirinya.
"Kamu gak apa-apa Ra?"
"Mas gak apa-apa? Maaf ya Mas, maafin keteledoran kami," Ia beralih bertanya
padaku lantas membungkukkan setengah badan persis seperti yang gadis tadi
lakukan.
Aku menggeleng pelan. Mengukir senyum sangat
tipis-mungkin tidak terlihat-kepada dua orang dihadapanku. Orang-orang kini
sudah tak lagi memusatkan perhatian pada kami. Aku menghela nafas lega.
Aku kembali teringat sesuatu. Rombonganku! Tanpa
basa-basi dan tanpa mengacuhkan lagi permintaan maaf dua cleaning
service tadi,
aku berlari.
*
Sial! Aku mengumpat. Rombonganku nyaris tak kutemukan
sama sekali. Sudah kali kelima aku mengitari hampir semua wahana di taman
bermain raksaksa ini. Aku mengacak rambut, melirik arloji di pergelangan tangan
kiri.
Jam 16.34, sudah sangat sore.
Aku menoleh ke belakang, sebuah bianglala berukuran gigantis yang entah
tingginya mencapai berapa meter seperti sarang bagi semburat oranye dari senja
yang tercipta sore ini.
Aku memilih melangkah setengah berlari, ikut
menggabungkan diri diantara antrian yang tak begitu panjang. Ide gila muncul
dibenakku. Mungkin jika di atas bianglala sana, rombongan gila dengan jas
almamater berwarna biru gelap-yang sepertinya sekongkol meninggalkanku- bisa
terlihat.
Aku sudah berada diantrian paling depan, hendak
melangkah menaiki salah satu anak bianglala ketika seorang operator ceria
bertanya,
"Mas naiknya sama siapa?"
Aku menghentikan langkah. Menoleh kebelakang. Tidak
ada yang mengantri lagi. Apa kurang jelas aku naik seorang diri?
"Supaya seimbang dan ada yang awasi satu sama lain,
naiknya biar berdua ya, Mas?" Kata si operator dengan nada cukup menyesal.
Aku berdecak pelan. Berbalik dan menuruni undakan
tangga. Tiba-tiba si operator kembali memanggil.
"Eh Mas,"
aku menoleh cepat.
"Naiknya sama Kirana aja?"
Aku mengalihkan pandangan pada gadis lain disebelahnya
yang entah muncul darimana. Yang kuketahui gadis itu melotot heran lantas tanpa
pilihan kami menaiki anak bianglala yang sama.
*
"Ini emang lelet ya operasinya?" Aku memecah
keheningan ketika bianglala hampir berada dipuncak paling tinggi.
"Memang begini, jadi leluasa buat siapa aja yang
naik dari anak-anak sampai manula, gak perlu khawatir, gak ekstrim."
Aku mengangguk paham.
"Mas baru kali pertama naik bianglala ya?"
Aku menoleh. Ia tersenyum. Sejak memasuki anak bianglala,
baru sekarang ini aku mendapati jelas wajahnya. Manis. Kulitnya putih hampir
kuning langsat. Ada lesung yang tanpa kusadari dipipi kirinya. Rambutnya hitam
lurus menjutai sampai bawah bahu tanpa poni. Aku hampir tak berkedip. Ia
mengernyit. Menjumputkan sedikit rambutnya kebelakang tengila.
"Mas?"
Bug. Aku tersadar lantas menggeleng pelan.
"Ah ya, gak juga sih waktu di universal studio
terus di Gold Coast gak selambat ini, gak tau juga mungkin gue lupa
rasanya," aku menanggapi lantas menambahkan sedikit tawa diujung kalimat.
Aku melirik dengan ekor mata. Gadis itu hanya
tersenyum sekilas lantas mengalihkan pandangan kebawah, aku mengikuti.
Bianglala hampir
berputar 135 derajat. Ia tidak berbicara lagi. Aku bahkan hampir lupa pada hal
krusial yang seharusnya menjadi awal dari sebuah pertemuan; perkenalan. Aku
maupun gadis itu sama-sama tidak ada yang bertukar nama.
Gadis itu
kembali membuat perhatianku beralih.
"Mas kok ya
naik bianglala sore banget? Gak sama temennya?"
Aku hampir
melotot menyadari sesuatu. Rombonganku! Aku cepat-cepat menoleh ke kiri-kanan.
Sampai aku menemukan titik berwarna biru gelap berkumpul hingga terlihat jelas
ketika bianglala semakin turun ke permukaan terendah. Rombongan itu berkumpul
disamping wahana kora-kora, si ayunan raksaksa.
"Lelet
banget sih, bisa ketinggalan lagi gue!" Ketusku. Lupa ada seorang gadis
yang masih melongo heran.
"Mas?"
"Silahkan
keluar lewat pintu sebelah kanan, Hati-hati, terimakasih atas
kunjunganya." terdengar celotehan si operator ketika bianglala didepanku
berhenti.
Kini giliran
bianglala yang kutumpangi hampir berhenti, si operator membukakan pintu kecil
disamping kanan, dan aku meloncat sesegera tanpa menyadari sebuah suara yang
nyaris berteriak.
"Mas, KM
nya!"
*
Aku berlari
menuju wahana kora-kora. Dengan langkah kesal aku menghampiri mereka.
Teman-teman kampus-rombonganku-hampir melotot heran sekaligus menahan tawa
ketika aku sudah berdiri sempurna dihadapan mereka.
"Stop
pasang muka anak ilang kali, Yo!" Raka, salah satu anggota rombonganku
berceletuk hingga mengundang gelak tawa dari yang lainnya.
"Terus aja
ketawa, seribu kali sial gue ikut kalian!" Balasku ketus. Mereka tertawa
lagi.
Aku sejenak
terdiam diantara gelak tawa teman-temanku. Rasanya ada yang ganjil, hilang dan
terasa kurang. Tapi apa ya?
"Yo, yuk
balik ke bus. Masih ada tujuan nih bro," Raka, sebagai tutor kembali
mengambil langkah diikuti yang lainya.
Aku kembali
menggali hal ganjil yang semakin bertalu dihati dan pikiranku. Semakin aku
melangkah, semakin pula aku penasaran dengan resah yang bergelayut bagai
benalu.
Aku berusaha
mengendalikan rasa aneh ini, sampai akhirnya...
"Ma, naik
bianglala yuk!" Seorang bocah yang bergelayut manja dilengan ibunya
berjalan melewatiku, menyadarkanku pada sesuatu.
Bianglala. Ah ya, gadis itu!
"Mas!"
Aku menoleh
cepat kebelakang.
Bruk.
Aku melongo
heran. Gadis itu terjatuh dengan posisi duduk, kedua tanganya menahan tubuhnya.
Rambut panjang lurusnya hampir menutupi sebagian wajahnya. Lalu ia kembali
bangkit ketika seorang bapak-bapak mengucapkan maaf. Ia membungkukkan setengah
badannya, mengucapkan maaf kembali.
Tunggu...
Jatuh terduduk. Rambut
menjuntai. Membungkukkan badan. Dia seperti... Office girl yang kutabrak tadi.
Gadis itu mulai
berjalan pelan ke arahku. Aku membuang wajah. Memutar tubuh dan mulai mengambil
langkah. Dia hanya office girl? Aku berjalan semakin cepat, dan sepertinya
gadis itu juga berlari kecil karena ia terus berteriak memanggil. Gadis itu apa-apaan sih? Jika teman-temanku
tahu bisa hancur reputasiku!
"Mas!"
"Mas
tunggu!"
"Mas Aryo
tunggu!"
Aku menghentikan
langkah. Ia memanggil namaku. Akhirnya aku menoleh kebelakang dan ia sudah
sempurna berdiri didepanku dengan nafas ngos-ngosan.
"Ini,"
ia menyodorkan sebuah ID card yang tak asing ke arahku.
"Tadi kartu mahasiswanya jatuh di bianglala, karena Mas buru-buru mungkin gak tahu. Jadi saya ambil, sebagai mahasiswi saya tahu betapa pentingnya kartu itu. "
Aku mengernyit.
Mahasiswi?
"Kamu...
Kuliah?"
Ia sempat
mengerutkan dahi lantas mengangguk.
"Kenapa
kerja disini?" Tanyaku hati-hati.
Ia kembali mengerutkan dahi, lalu menjawab pelan, "Emang mahasiswi gak
boleh kerja paruh waktu? Pasti aneh dan terasa remeh ya bekerja jadi office girl,"
Aku menggaruk
pelipis. Menyesal telah bertanya seperti itu.
"Ng, bukan
begitu sih.."
Gadis tadi tertawa pelan, menyadari salah tingkah dariku.
"Darimana
kamu tahu aku kerja disini? Aku kan gak pake seragam?" Ia balik bertanya.
"Saya yang
nabrak kamu tadi, sampai air bekas pel-nya tumpah. Maaf ya saya kabur, lagi
ngejar rombongan saya."
Aku menepuk
dahi. Rombongan!
"Ah hampir
lupa lagi! Saya duluan, bisa ketinggalan bus." Aku berlari kecil.
"Makasih ya!" Teriakku sambil mengacungkan kartu mahasiswi
Aku nyaris lupa.
Bertanya namanya.
*
Dua minggu
berlalu. Aku masih terus teringat pertemuan singkat di taman bermain raksaksa
di bilangan Jakarta Utara. Gadis itu, yang bahkan aku tak tahu namanya terus
menghantui menjadi buah pikiran yang kian mencumbu ingatan. Senyumnya. Seperti
kafein yang memabukkan.
Aku merogoh saku
jas almamater. Melirik reminder. Besok, study banding ke salah satu universitas
negeri di Jakarta selama sepekan. Dan tanpa kendali, keinginan untuk mengunjungi
tempat yang sama hampir membuatku gila.
*
Aku menyusuri
koridor gedung FISIP. Study banding baru dimulai hari ini dan aku baru saja
menuntaskan kegiatan yang pertama. Pengguna Jas almamater hijau tua disekitarku
begitu mencolok sampai aku harus terus tersenyum sebagai tamu 'agung dan sopan'
agar tidak dikira sombong.
Aku masih
berjalan santai sampai dibelokan koridor seorang gadis yang membawa buku-buku
tebal menabrakku, ia menggumam maaf lantas merapikan buku-buku yang berjatuhan.
Aku ikut
berjongkok, mengambil lembaran kertas- sepertinya tugas paper-yang berhamburan
cukup jauh dari jangkauanya.
"Maaf."
Ia mendongkakkan kepalanya sambil berdiri dan nyaris limbung ketika mata kami
bertemu.
Memang, jodoh
tak akan kemana. Hanya itu kalimat yang tersusun apik dikepalaku ketika
menyadari siapa gadis yang mematung dihadapanku.
"Hey."
Sapaku.
Ia menunduk,
membuang wajah lantas meraih lembaran kertas ditangan kananku.
"Makasih
ya, permisi."
Ia lantas
berjalan melewatiku dengan tergesa..
"Hey, ingat
yang di bianglala kan?" Teriakku. Ia terus berlalu tanpa menoleh kepadaku.
*
Bianglala.
Ada rasa yang
mengeja mereka.
Mencumbu ingatan
tanpa terungkapkan.
Bianglala.
Bisakah tunjukan
mereka, setinggi apa rasa yang tercipta? Nanti, jika senja menyongsong di barat
raya.
Katakan; bukan
pertemuan biasa.
Kalian memang
ditakdirkan bersama.
Benarkah?
Tanya salah satu
tokohnya.
*
Hari terakhir
study banding tidak begitu membosankan. Karena hari ini aku dan 19 orang
temanku yang lain mengunjungi Dufan. Taman bermain gigantis di Jakarta Utara
yang tiga minggu lalu juga pernah aku kunjungi.
Demi menghindari
keusilan yang mungkin terjadi lagi, aku sengaja memisahkan diri.
Wahana pertama
yang aku hampiri adalah pontang-panting, hysteria, tornado dan wahana pengacu
adrenaline lainya.
Aku berjalan ke
wahana selanjutnya; bianglala. Pukul 16:34 tepat. Aku berlari menuju antrian
yang cukup lenggang. Mungkin, jika jam-jam sore seperti ini wahana raksaksa
seperti bianglala tidak begitu diminati.
Aku menoleh
kekanan-kiri. Kemudian si operator mulai membuka pintu antrian. Seperti dejavú,
aku berdiri seorang diri, bedanya dibelakangku kini sudah mulai banyak antrian
lagi, mungkin saja teman se-anak bianglala-ku kini wanita lebih dari paruh baya
yang menggantungkan DSLR dilehernya yang menjuntai sampai bawah dada. Aku tersenyum miris.
"Gak ada
teman mbak yang mau nemenin saya?"
Si operator
mengernyit heran. Mungkin dia sudah lupa kepadaku. Tapi aku masih mengingat
jelas rambut sebahu dan tahi lalat dekat bibirnya itu.
"Mas
sendiri?" Tanyanya. Aku mengangguk malas.
"Saya balik
aja mbak, kalau ada temen mbak yang dulu saya naik deh," aku memutar
tubuh.
"Mau saya
temenin mas Aryo?"
Aku menoleh cepat
Gadis itu, sudah
duduk manis di salah satu anak bianglala. Tanpa berpikir panjang aku melangkah
cepat memasuki anak bianglala yang sama.
*
"Kok
bisa?" tanyaku setengah tidak percaya. Ia tersenyum, mengerti pertanyaan yang tiba-tiba aku utarakan.
"Aku udah muter tiga kali, akhirnya kamu dateng juga." Ia menjawab tanpa melihat
kearahku.
"Saya gak
mau sampai lupa lagi. Aryo Giwangkara. Panggil Aryo aja. Kamu?" Aku
mengulurkan tangan. Gadis itu tersenyum. Menjabat tanganku.
"Saya
Kirana."
Bianglala itu
terus berputar...
"Maaf saya
kabur waktu dikoridor, saya sedang ngejar dosen, tugas paper saya
ketinggalan."
Aku tersenyum.
Ia seperti mengutip gaya bicaraku ketika kami pertama bertemu.
"Coba kamu
lihat ke arah kiri, perpaduan titik biru-hijau tua disana mulai menjauh pergi.
Kamu tidak takut tertinggal lagi?" Ia menggodaku.
Aku menggeleng cepat. Melempar senyum simpul kepadanya.
Karena pada
akhirnya kami saling melempar tawa.
*
![]() |
The end |
Finally, I posted this worst story :PPP Whatever you call it -gak jelas- or another words else. Again, I write this story at contingent situation. I've wrote this story last december ago and haven't post yet. Last words, hope you enjoy it and don't be a silent reader. Leave a comment please :) hakunanitama!
Regard, a victim of writesyndrome,
@nitajulio_
0 komentar:
Posting Komentar