Memoar rasa; Bianglala (cerpen)

Diposting oleh Nita Julianti Sukandar Putri
Bianglala; Pertemuan tak terduga


Bianglala itu terus berputar,

Seirama dengan berputarnya perasaan asing yang berlaju tanpa kendali.

Bianglala itu terus berputar, berlawanan dengan arah jarum jam. 
Berkata bahwa, waktu pun acap kali mengajaknya hadir.



Bianglala itu terus berputar...

Bahkan sampai mereka tak mengerti,

Kenapa takdir merajutnya tuk' bertemu disini.



Bianglala..


         *
        "Aduh-"
        Langkahku yang tergesa berhenti ketika mendengar suara mengaduh dibelakangku berdiri sekarang. Aku tak sengaja menabraknya ketika setengah berlari mengejar rombongan teman-teman kampus-yang kini bahkan sudah tak terlihat lagi. Aarg! Ingin berlari tapi orang-orang kini memusatkankan perhatianya kepadaku-dan-gadis yang tak sengaja kutabrak tadi. Sebagai seorang laki-laki, tentu aku tidak ingin semua orang berpikir bahwa aku hanya segelintir manusia berwujud adam yang tidak bertanggung jawab. Apalagi, ketika aku menoleh, kudapati ember berisi air bekas-mengepel- sudah tumpah ruah dimana-mana. Makin terlihat saja aku yang salah. Ck.
        Aku melirik kebawah, gadis itu masih terduduk dilantai untuk sepersekian detik, lantas mencoba berdiri dengan sisa tenaga yang ia punya. Aku membentuk a pelan dimulut, ingin berkata sesuatu tapi ku urungi niat ketika ia sudah sempurna berdiri dengan celana training merah khas cleaning service yang basah sebagian.
        "Maaf mas," katanya sembari membungkuk.
        Aku menganga pelan, hendak membuka suara tapi lagi-lagi aku mengurungkan niat ketika seorang lelaki berseragam sama mengampirinya.
        "Kamu gak apa-apa Ra?"
        "Mas gak apa-apa? Maaf ya Mas, maafin keteledoran kami," Ia beralih bertanya padaku lantas membungkukkan setengah badan persis seperti yang gadis tadi lakukan. 
        Aku menggeleng pelan. Mengukir senyum sangat tipis-mungkin tidak terlihat-kepada dua orang dihadapanku. Orang-orang kini sudah tak lagi memusatkan perhatian pada kami. Aku menghela nafas lega.
        Aku kembali teringat sesuatu. Rombonganku! Tanpa basa-basi dan tanpa mengacuhkan lagi permintaan maaf dua cleaning service tadi, aku berlari.

        *

        Sial! Aku mengumpat. Rombonganku nyaris tak kutemukan sama sekali. Sudah kali kelima aku mengitari hampir semua wahana di taman bermain raksaksa ini. Aku mengacak rambut, melirik arloji di pergelangan tangan kiri. Jam 16.34, sudah sangat sore. Aku menoleh ke belakang, sebuah bianglala berukuran gigantis yang entah tingginya mencapai berapa meter seperti sarang bagi semburat oranye dari senja yang tercipta sore ini.
        Aku memilih melangkah setengah berlari, ikut menggabungkan diri diantara antrian yang tak begitu panjang. Ide gila muncul dibenakku. Mungkin jika di atas bianglala sana, rombongan gila dengan jas almamater berwarna biru gelap-yang sepertinya sekongkol meninggalkanku- bisa terlihat.
        Aku sudah berada diantrian paling depan, hendak melangkah menaiki salah satu anak bianglala ketika seorang operator ceria bertanya,
        "Mas naiknya sama siapa?"
        Aku menghentikan langkah. Menoleh kebelakang. Tidak ada yang mengantri lagi. Apa kurang jelas aku naik seorang diri?
        "Supaya seimbang dan ada yang awasi satu sama lain, naiknya biar berdua ya, Mas?" Kata si operator dengan nada cukup menyesal.
        Aku berdecak pelan. Berbalik dan menuruni undakan tangga. Tiba-tiba si operator kembali memanggil.
        "Eh Mas," aku menoleh cepat.
        "Naiknya sama Kirana aja?"
        Aku mengalihkan pandangan pada gadis lain disebelahnya yang entah muncul darimana. Yang kuketahui gadis itu melotot heran lantas tanpa pilihan kami menaiki anak bianglala yang sama.
        *
        "Ini emang lelet ya operasinya?" Aku memecah keheningan ketika bianglala hampir berada dipuncak paling tinggi.
        "Memang begini, jadi leluasa buat siapa aja yang naik dari anak-anak sampai manula, gak perlu khawatir, gak ekstrim."
        Aku mengangguk paham.
        "Mas baru kali pertama naik bianglala ya?"
        Aku menoleh. Ia tersenyum. Sejak memasuki anak bianglala, baru sekarang ini aku mendapati jelas wajahnya. Manis. Kulitnya putih hampir kuning langsat. Ada lesung yang tanpa kusadari dipipi kirinya. Rambutnya hitam lurus menjutai sampai bawah bahu tanpa poni. Aku hampir tak berkedip. Ia mengernyit. Menjumputkan sedikit rambutnya kebelakang tengila.
        "Mas?"
        Bug. Aku tersadar lantas menggeleng pelan.
        "Ah ya, gak juga sih waktu di universal studio terus di Gold Coast gak selambat ini, gak tau juga mungkin gue lupa rasanya," aku menanggapi lantas menambahkan sedikit tawa diujung kalimat.
        Aku melirik dengan ekor mata. Gadis itu hanya tersenyum sekilas lantas mengalihkan pandangan kebawah, aku mengikuti.
        Bianglala hampir berputar 135 derajat. Ia tidak berbicara lagi. Aku bahkan hampir lupa pada hal krusial yang seharusnya menjadi awal dari sebuah pertemuan; perkenalan. Aku maupun gadis itu sama-sama tidak ada yang bertukar nama.
         Gadis itu kembali membuat perhatianku beralih.
        "Mas kok ya naik bianglala sore banget? Gak sama temennya?"
        Aku hampir melotot menyadari sesuatu. Rombonganku! Aku cepat-cepat menoleh ke kiri-kanan. Sampai aku menemukan titik berwarna biru gelap berkumpul hingga terlihat jelas ketika bianglala semakin turun ke permukaan terendah. Rombongan itu berkumpul disamping wahana kora-kora, si ayunan raksaksa.
        "Lelet banget sih, bisa ketinggalan lagi gue!" Ketusku. Lupa ada seorang gadis yang masih melongo heran.
        "Mas?"
        "Silahkan keluar lewat pintu sebelah kanan, Hati-hati, terimakasih atas kunjunganya." terdengar celotehan si operator ketika bianglala didepanku berhenti.
         Kini giliran bianglala yang kutumpangi hampir berhenti, si operator membukakan pintu kecil disamping kanan, dan aku meloncat sesegera tanpa menyadari sebuah suara yang nyaris berteriak.
         "Mas, KM nya!"
         *
        Aku berlari menuju wahana kora-kora. Dengan langkah kesal aku menghampiri mereka. Teman-teman kampus-rombonganku-hampir melotot heran sekaligus menahan tawa ketika aku sudah berdiri sempurna dihadapan mereka.
        "Stop pasang muka anak ilang kali, Yo!" Raka, salah satu anggota rombonganku berceletuk hingga mengundang gelak tawa dari yang lainnya.
        "Terus aja ketawa, seribu kali sial gue ikut kalian!" Balasku ketus. Mereka tertawa lagi.
        Aku sejenak terdiam diantara gelak tawa teman-temanku. Rasanya ada yang ganjil, hilang dan terasa kurang. Tapi apa ya?
         "Yo, yuk balik ke bus. Masih ada tujuan nih bro," Raka, sebagai tutor kembali mengambil langkah diikuti yang lainya.
         Aku kembali menggali hal ganjil yang semakin bertalu dihati dan pikiranku. Semakin aku melangkah, semakin pula aku penasaran dengan resah yang bergelayut bagai benalu.
         Aku berusaha mengendalikan rasa aneh ini, sampai akhirnya...
         "Ma, naik bianglala yuk!" Seorang bocah yang bergelayut manja dilengan ibunya berjalan melewatiku, menyadarkanku pada sesuatu. 
         Bianglala. Ah ya, gadis itu!

         "Mas!"

         Aku menoleh cepat kebelakang.

         Bruk.

        Aku melongo heran. Gadis itu terjatuh dengan posisi duduk, kedua tanganya menahan tubuhnya. Rambut panjang lurusnya hampir menutupi sebagian wajahnya. Lalu ia kembali bangkit ketika seorang bapak-bapak mengucapkan maaf. Ia membungkukkan setengah badannya, mengucapkan maaf kembali.
        Tunggu...
        Jatuh terduduk. Rambut menjuntai. Membungkukkan badan. Dia seperti... Office girl yang kutabrak tadi.
        Gadis itu mulai berjalan pelan ke arahku. Aku membuang wajah. Memutar tubuh dan mulai mengambil langkah. Dia hanya office girl? Aku berjalan semakin cepat, dan sepertinya gadis itu juga berlari kecil karena ia terus berteriak memanggil.  Gadis itu apa-apaan sih? Jika teman-temanku tahu bisa hancur reputasiku!
        "Mas!"
        "Mas tunggu!"
        "Mas Aryo tunggu!"
         Aku menghentikan langkah. Ia memanggil namaku. Akhirnya aku menoleh kebelakang dan ia sudah sempurna berdiri didepanku dengan nafas ngos-ngosan.
         "Ini," ia menyodorkan sebuah ID card yang tak asing ke arahku.
         "Tadi kartu mahasiswanya jatuh di bianglala, karena Mas buru-buru mungkin gak tahu. Jadi saya ambil, sebagai mahasiswi saya tahu betapa pentingnya kartu itu. "
         Aku mengernyit. Mahasiswi?
         "Kamu... Kuliah?"
         Ia sempat mengerutkan dahi lantas mengangguk.
         "Kenapa kerja disini?" Tanyaku hati-hati.
          Ia kembali mengerutkan dahi, lalu menjawab pelan, "Emang mahasiswi gak boleh kerja paruh waktu? Pasti aneh dan terasa remeh ya bekerja jadi office girl,"
         Aku menggaruk pelipis. Menyesal telah bertanya seperti itu.
         "Ng, bukan begitu sih.."
         Gadis tadi tertawa pelan, menyadari salah tingkah dariku.
         "Darimana kamu tahu aku kerja disini? Aku kan gak pake seragam?" Ia balik bertanya.
         "Saya yang nabrak kamu tadi, sampai air bekas pel-nya tumpah. Maaf ya saya kabur, lagi ngejar rombongan saya."
         Aku menepuk dahi. Rombongan!
         "Ah hampir lupa lagi! Saya duluan, bisa ketinggalan bus." Aku berlari kecil.
         "Makasih ya!" Teriakku sambil mengacungkan kartu mahasiswi
         Aku nyaris lupa. Bertanya namanya.
         *
         Dua minggu berlalu. Aku masih terus teringat pertemuan singkat di taman bermain raksaksa di bilangan Jakarta Utara. Gadis itu, yang bahkan aku tak tahu namanya terus menghantui menjadi buah pikiran yang kian mencumbu ingatan. Senyumnya. Seperti kafein yang memabukkan.
        Aku merogoh saku jas almamater. Melirik reminder. Besok, study banding ke salah satu universitas negeri di Jakarta selama sepekan. Dan tanpa kendali, keinginan untuk mengunjungi tempat yang sama hampir membuatku gila.
        *
        Aku menyusuri koridor gedung FISIP. Study banding baru dimulai hari ini dan aku baru saja menuntaskan kegiatan yang pertama. Pengguna Jas almamater hijau tua disekitarku begitu mencolok sampai aku harus terus tersenyum sebagai tamu 'agung dan sopan' agar tidak dikira sombong.
        Aku masih berjalan santai sampai dibelokan koridor seorang gadis yang membawa buku-buku tebal menabrakku, ia menggumam maaf lantas merapikan buku-buku yang berjatuhan.
        Aku ikut berjongkok, mengambil lembaran kertas- sepertinya tugas paper-yang berhamburan cukup jauh dari jangkauanya.
        "Maaf." Ia mendongkakkan kepalanya sambil berdiri dan nyaris limbung ketika mata kami bertemu.
        Memang, jodoh tak akan kemana. Hanya itu kalimat yang tersusun apik dikepalaku ketika menyadari siapa gadis yang mematung dihadapanku.
        "Hey." Sapaku.
        Ia menunduk, membuang wajah lantas meraih lembaran kertas ditangan kananku.
        "Makasih ya, permisi."
        Ia lantas berjalan melewatiku dengan tergesa..
        "Hey, ingat yang di bianglala kan?" Teriakku. Ia terus berlalu tanpa menoleh kepadaku.
        *

Bianglala.

Ada rasa yang mengeja mereka.

Mencumbu ingatan tanpa terungkapkan.



Bianglala.

Bisakah tunjukan mereka, setinggi apa rasa yang tercipta? Nanti, jika senja menyongsong di barat raya.



Katakan; bukan pertemuan biasa.

Kalian memang ditakdirkan bersama.



Benarkah?

Tanya salah satu tokohnya.
        
        *
        Hari terakhir study banding tidak begitu membosankan. Karena hari ini aku dan 19 orang temanku yang lain mengunjungi Dufan. Taman bermain gigantis di Jakarta Utara yang tiga minggu lalu juga pernah aku kunjungi.
       Demi menghindari keusilan yang mungkin terjadi lagi, aku sengaja memisahkan diri.
       Wahana pertama yang aku hampiri adalah pontang-panting, hysteria, tornado dan wahana pengacu adrenaline lainya.
       Aku berjalan ke wahana selanjutnya; bianglala. Pukul 16:34 tepat. Aku berlari menuju antrian yang cukup lenggang. Mungkin, jika jam-jam sore seperti ini wahana raksaksa seperti bianglala tidak begitu diminati.
      Aku menoleh kekanan-kiri. Kemudian si operator mulai membuka pintu antrian. Seperti dejavú, aku berdiri seorang diri, bedanya dibelakangku kini sudah mulai banyak antrian lagi, mungkin saja teman se-anak bianglala-ku kini wanita lebih dari paruh baya yang menggantungkan DSLR dilehernya yang menjuntai sampai bawah dada. Aku tersenyum miris.
       "Gak ada teman mbak yang mau nemenin saya?"
        Si operator mengernyit heran. Mungkin dia sudah lupa kepadaku. Tapi aku masih mengingat jelas rambut sebahu dan tahi lalat dekat bibirnya itu.
       "Mas sendiri?" Tanyanya. Aku mengangguk malas.
       "Saya balik aja mbak, kalau ada temen mbak yang dulu saya naik deh," aku memutar tubuh.
       "Mau saya temenin mas Aryo?"
        Aku menoleh cepat
        Gadis itu, sudah duduk manis di salah satu anak bianglala. Tanpa berpikir panjang aku melangkah cepat memasuki anak bianglala yang sama.
        *
       "Kok bisa?" tanyaku setengah tidak percaya. Ia tersenyum, mengerti pertanyaan yang tiba-tiba aku utarakan.
       "Aku udah muter tiga kali, akhirnya kamu dateng juga." Ia menjawab tanpa melihat kearahku.
       "Saya gak mau sampai lupa lagi. Aryo Giwangkara. Panggil Aryo aja. Kamu?" Aku mengulurkan tangan. Gadis itu tersenyum. Menjabat tanganku.
       "Saya Kirana."

       Bianglala itu terus berputar...

       "Maaf saya kabur waktu dikoridor, saya sedang ngejar dosen, tugas paper saya ketinggalan."
       Aku tersenyum. Ia seperti mengutip gaya bicaraku ketika kami pertama bertemu.
       "Coba kamu lihat ke arah kiri, perpaduan titik biru-hijau tua disana mulai menjauh pergi. Kamu tidak takut tertinggal lagi?" Ia menggodaku.
        Aku menggeleng cepat. Melempar senyum simpul kepadanya.
        Karena pada akhirnya kami saling melempar tawa.
        *

The end

Finally, I posted this worst story :PPP Whatever you call it -gak jelas- or another words else. Again, I write this story at contingent situation. I've wrote this story last december ago and haven't post yet. Last words, hope you enjoy it and don't be a silent reader. Leave a comment please :) hakunanitama!

Regard, a victim of writesyndrome,
@nitajulio_

0 komentar:

Posting Komentar

 

Gema Aksara✎ Template by Ipietoon Blogger Template | Gift Idea