Memoar rasa; The ending (cerpen)

Diposting oleh Nita Julianti Sukandar Putri


**
"Kamu seperti bukan perasa. Menarik ulur hati seseorang dengan seenaknya. Bahkan, sekejap pun kamu tidak pernah meragu terus menerus mengulang hal itu." 
*
Siang ini berhujan. Dingin Kota Bandung menyusup sampai pori-pori kulit. Beberapa pasang kaki kini tengah berlari tergopoh-gopoh membenahi stand buatan untuk acara education festival bagi calon mahasiswa baru di kampus mereka.
Termasuk Arial, salah satu anggota BEM yang menjadi panitia acara. Arial berkacak pinggang, menyayangkan cuaca hari ini yang tidak bersahabat.
Di sebrang, seorang gadis berambut sebahu yang menggunakan outfit sederhana, lengkap dengan jas almamaternya memandangi Arial, dibalik hujan. Gadis itu Aluna, mahasiswi Sastra Inggris semester dua.
Aluna merapatkan jas almamater yang melekat pada tubuh mungilnya, juga menyayangkan hal serupa. Mengapa cuaca harus merusak suasana dan pikiran pemudanya....
Aluna mengerjap pelan, berusaha memperjelas bidikan lensa mata yang terbingkai kacamata. Dan lagi-lagi, ia harus berpura-pura tidak melihat apa yang sangat jelas ia lihat.
* 
"Lun, aku tadi lihat kak Ari sama.."
"Aku tahu." Potong Aluna.
Mila, sahabatnya melengos.
"Kamu tuh lihat, tapi pura-pura gak tahu." 
Aluna belum menanggapi sahabatnya, tumpukan brosur dihadapanya lebih butuh perhatian dibanding celotehan Mila. Lagipula, kalimat terakhir Mila sepertinya tidak butuh jawaban. Aluna menyadari itu berupa kalimat pernyataan bukan pertanyaan.
Rintik hujan masih menjadi suara dibalik kesunyian. Juga dibalik kesepian Aluna. Ia kembali diajak berkelana, pada masa dimana potongan adegan seperti tadi juga pernah terjadi, bukan hanya sekedar dua atau tiga kali. Aluna menggelengkan kepalanya. Tidak boleh... Ia tidak boleh mengeluh. Ia harus tetap berdiri, meski tiang yang dulu membantunya berdiri mulai goncang. Ia harus tetap berdiri, meski sebagian pengisi hatinya mulai hilang. Ia harus tetap berdiri, meski... Mungkin perasaanya kini ia rasa seorang diri.
Aluna harus tetap bersyukur, karena ia menjadi pemilik hati sesempurna Arial. Arial, yang belum tentu mereka mampu merengkuhnya. Arial, yang ia kagumi menahun kini berada dalam genggamnya. Meski ia sadari, genggaman itu mulai mengendur tanpa ia ingini.
Kesunyian itu berhenti ketika kenop pintu ruang BEM FIB terbuka, menampilkan seonggok nyawa yang selalu menghuni pikiran Aluna.
Senyum itu terukir, menampilkan dua lesung pipi yang dulu Aluna kagumi. Dulu... Aluna kagumi?
Arial berjalan kecil, memutar hingga berdiri dibelakang Aluna yang tengah duduk menghadap tumpukan brosur 'tugas wajib harian' Arial.
"Lun, udah selesai dirapihin?" Tanya Arial.
Aluna menghela nafas pelan, "Udah kak." Katanya. 
"Sip. Thankyou ya!" Balas Arial lalu meraih tumpukan brosur yang tersusun rapi menjadi beberapa bagian.
Aluna tersenyum. 
Mila, yang juga diantara mereka berdecak pelan. Terlalu pelan karena dikalahkan suara hujan. 
"Lo nanya kabar brosur doang kak? Aluna gak ditanya? Udah makan apa belum atau lagi gak enak badan apa nggak. Begitu doang, susah ya?" 
Aluna dan Arial melirik ke arah Mila secara bersamaan dengan pandangan berbeda. Salah satu diantara mereka melotot dengan mata yang membulat kesal.
Arial ganti melirik Aluna, "Emang kamu lagi sakit, Lun?" Katanya meyakinkan ucapan Mila. 
"Ah.." Tanggap Aluna cepat "Ng.. Nggak kok, Kak." 
Mila tersenyum kecut. Menghujat ucapan berupa kebohongan di bibir sahabatnya. Ia sudah terlalu biasa dengan adegan semacam ini. Kepura-puraan dalam diri Aluna terlalu jelas bagi Mila. Namun terlalu kabur untuk Arial. Arial seperti buta perasaan.
"Ya udah.."
"Aku habis ini ada rapat sama anggota BEM yang lain, terus lanjut anter Karina cari referensi buat tugas kuliahnya. Kamu pulang duluan aja ya.." 
Aluna mengangguk. Lalu menyelipkan secerca harapan dibalik hujan. Tidak apa-apa, Kak. Cepat pulang.
*
Lalu, selalu seperti itu. Setiap hari. Aluna hanya seolah tempat berhenti, tempat Arial mengeluh penat lantas pergi lagi. Aluna seperti tempat umum yang Arial datangi lalu tinggalkan sesuka hati. 
Tapi, rasa yang terlalu pekat dalam diri Aluna tak mampu dikalahkan oleh berbagai macam luka yang Arial torehkan secara tak kasat mata. Aluna sebenarnya benci menjadi arca yang tidak mampu memutuskan apa-apa. Aluna terlalu menyayangi rasa yang menurutnya terlalu berharga. Ia bahkan merasa tak cukup pantas menegur Arial yang mulai melangkah meninggalkan rasa yang selama ini mereka bina.... Aluna hanya tidak ingin kehilangan. Karena kehilangan itu, kata teman-temannya.. Menyakitkan. Aluna tidak siap dengan sebuah kenyataan.
Dan sebuah kenyataan lain yang mungkin berupa; Arial sudah tidak menggenggam rasa yang sama seperti Aluna.
* 
Kotak berwarna biru gelap dalam genggaman Aluna sudah terlalu biasa ikut menjadi saksi diantara percakapan pemiliknya. Dua potong kalimat yang setiap hari sama. Menyerahkan lalu menerima.
Aluna menyusuri gedung FISIP dengan seulas senyum termanisnya. Ia harus seperti itu, agar Arial tidak menggerutu.
Lalu ia berbelok arah, menuju ruang kelas kekasihnya. Arial mengirimnya sebuah pesan singkat sebelum ia berangkat menuju kampus, hanya memberi kabar berupa: ia memiliki kelas di jam pagi. 
Aluna terlalu bersemangat membawa kotak biru gelap yang akan menjadi topik percakapannya pagi ini. Hingga ia tak sadari, sebentar lagi, semuanya akan berubah seperti...
"Kak...."  
Brak. Dua potong roti jatuh begitu saja bersama kotak biru gelapnya. Lalu, tiga pasang mata melirik hal serupa.
"Kak Arial..." 
"Luna.."
Aluna harus membuka pagi ini dengan luka. Lagi, luka yang Arial torehkan kini secara kasat mata. Tidak tahu apa yang ada dipikiran pemudanya, sehingga Arial harus berdiri memeluk gadis selain Aluna. 
Tubuh Aluna bergetar. Lalu, detik berikutnya ia jatuh terduduk. Meneteskan setitik air mata hingga menjamah dua potong roti 'paginya'.
* 
I live through pictures as if I was right there by your side

But you’ll be good without me and if I could just give it sometime

I’ll be alright..

Aluna merapatkan cardigan abu-abunya. Mengimbangi dinginnya cuaca dan dingin hatinya. 

Trying to remember all the good times..


Aluna bahkan tidak bisa mengingat segala hal manis meski ia terus mencobanya. Hanya ada luka... Yang menembus bagai peluru lalu menghentakan hatinya tanpa ampun. Luka yang Arial goreskan secara berkepanjangan. Hingga rasa yang sudah terlalu pekat kini mulai berkarat.

Memories are playin' in my dull my mind.

Aluna menatap dua mata elang milik pemudanya. Pemuda yang sebentar lagi akan ia lepaskan.
"Kamu seperti bukan perasa. Menarik ulur hati seseorang dengan seenaknya. Bahkan, sekejap pun kamu tidak pernah meragu terus menerus mengulang hal itu." 
Lalu, Aluna menunjuk dadanya, hatinya.
"Ini, biarpun disini rasa untuk kamu masih bertahta, aku tidak sanggup mempertahankannya. Kamu terlalu sering menggoreskan luka tanpa sedikitpun mengobatinya. Hingga tanpa aku sadari... Kamu hanya menjadikan aku tempat umum yang bisa kamu datangi lalu kamu tinggalkan sesuka hati. Jadi apa yang harus dipertahankan? Semua yang kita lalui sudah kadaluarsa, bukan?" 
Arial menatap sendu gadisnya.
"Alun.." 
"Cukup jadilah masa lalu. Aku... Tidak lagi butuh kamu."
Lalu Aluna membuang kotak berwarna biru gelapnya dihadapan Arial. Tidak akan ada kenangan lagi. 
Arial, aku pergi.
Dan Aluna membalikan tubuh, meninggalkan Arial sendiri.

THE END
Hi there! Again, for the same way, I made this worst story without any-revision-. We could see how bad these words at first til' end line. I just write what I want to write, not who you want to read. So, a ton sorry for a bad quality type of mine. At least, writing always been a top mood booster for me even the content of em are sad-or people called it 'edisi galau'. 
Enjoy trip on my pen world. Hakunanitama!

Regard, victim of writesyndrome
@nitajulio_

0 komentar:

Posting Komentar

 

Gema Aksara✎ Template by Ipietoon Blogger Template | Gift Idea