**
"Kamu
seperti bukan perasa. Menarik ulur hati seseorang dengan seenaknya. Bahkan,
sekejap pun kamu tidak pernah meragu terus menerus mengulang hal itu."
*
Siang ini
berhujan. Dingin Kota Bandung menyusup sampai pori-pori kulit. Beberapa pasang
kaki kini tengah berlari tergopoh-gopoh membenahi stand buatan untuk acara
education festival bagi calon mahasiswa baru di kampus mereka.
Termasuk Arial,
salah satu anggota BEM yang menjadi panitia acara. Arial berkacak pinggang,
menyayangkan cuaca hari ini yang tidak bersahabat.
Di sebrang,
seorang gadis berambut sebahu yang menggunakan outfit sederhana, lengkap dengan
jas almamaternya memandangi Arial, dibalik hujan. Gadis itu Aluna, mahasiswi
Sastra Inggris semester dua.
Aluna merapatkan
jas almamater yang melekat pada tubuh mungilnya, juga menyayangkan hal serupa.
Mengapa cuaca harus merusak suasana dan pikiran pemudanya....
Aluna mengerjap
pelan, berusaha memperjelas bidikan lensa mata yang terbingkai kacamata. Dan
lagi-lagi, ia harus berpura-pura tidak melihat apa yang sangat jelas ia lihat.
*
"Lun, aku
tadi lihat kak Ari sama.."
"Aku
tahu." Potong Aluna.
Mila, sahabatnya
melengos.
"Kamu tuh
lihat, tapi pura-pura gak tahu."
Aluna belum
menanggapi sahabatnya, tumpukan brosur dihadapanya lebih butuh perhatian
dibanding celotehan Mila. Lagipula, kalimat terakhir Mila sepertinya tidak
butuh jawaban. Aluna menyadari itu berupa kalimat pernyataan bukan pertanyaan.
Rintik
hujan masih menjadi suara dibalik kesunyian. Juga dibalik kesepian Aluna. Ia
kembali diajak berkelana, pada masa dimana potongan adegan seperti tadi juga
pernah terjadi, bukan hanya sekedar dua atau tiga kali. Aluna menggelengkan
kepalanya. Tidak boleh... Ia tidak boleh mengeluh. Ia harus tetap berdiri,
meski tiang yang dulu membantunya berdiri mulai goncang. Ia harus tetap
berdiri, meski sebagian pengisi hatinya mulai hilang. Ia harus tetap berdiri,
meski... Mungkin perasaanya kini ia rasa seorang diri.
Aluna harus
tetap bersyukur, karena ia menjadi pemilik hati sesempurna Arial. Arial, yang
belum tentu mereka mampu merengkuhnya. Arial, yang ia kagumi menahun kini
berada dalam genggamnya. Meski ia sadari, genggaman itu mulai mengendur tanpa
ia ingini.
Kesunyian itu
berhenti ketika kenop pintu ruang BEM FIB terbuka, menampilkan seonggok nyawa
yang selalu menghuni pikiran Aluna.
Senyum itu
terukir, menampilkan dua lesung pipi yang dulu Aluna kagumi. Dulu... Aluna
kagumi?
Arial berjalan
kecil, memutar hingga berdiri dibelakang Aluna yang tengah duduk menghadap
tumpukan brosur 'tugas wajib harian' Arial.
"Lun, udah
selesai dirapihin?" Tanya Arial.
Aluna menghela
nafas pelan, "Udah kak." Katanya.
"Sip.
Thankyou ya!" Balas Arial lalu meraih tumpukan brosur yang tersusun rapi
menjadi beberapa bagian.
Aluna tersenyum.
Mila, yang juga
diantara mereka berdecak pelan. Terlalu pelan karena dikalahkan suara hujan.
"Lo nanya kabar brosur doang kak? Aluna gak ditanya? Udah makan apa belum
atau lagi gak enak badan apa nggak. Begitu doang, susah ya?"
Aluna dan Arial
melirik ke arah Mila secara bersamaan dengan pandangan berbeda. Salah satu
diantara mereka melotot dengan mata yang membulat kesal.
Arial ganti
melirik Aluna, "Emang kamu lagi sakit, Lun?" Katanya meyakinkan
ucapan Mila.
"Ah.."
Tanggap Aluna cepat "Ng.. Nggak kok, Kak."
Mila tersenyum
kecut. Menghujat ucapan berupa kebohongan di bibir sahabatnya. Ia sudah terlalu
biasa dengan adegan semacam ini. Kepura-puraan dalam diri Aluna terlalu jelas
bagi Mila. Namun terlalu kabur untuk Arial. Arial seperti buta perasaan.
"Ya
udah.."
"Aku habis
ini ada rapat sama anggota BEM yang lain, terus lanjut anter Karina cari
referensi buat tugas kuliahnya. Kamu pulang duluan aja ya.."
Aluna
mengangguk. Lalu menyelipkan secerca harapan dibalik hujan. Tidak apa-apa, Kak.
Cepat pulang.
*
Lalu, selalu
seperti itu. Setiap hari. Aluna hanya seolah tempat berhenti, tempat Arial
mengeluh penat lantas pergi lagi. Aluna seperti tempat umum yang Arial datangi
lalu tinggalkan sesuka hati.
Tapi, rasa yang
terlalu pekat dalam diri Aluna tak mampu dikalahkan oleh berbagai macam luka
yang Arial torehkan secara tak kasat mata. Aluna sebenarnya benci menjadi arca
yang tidak mampu memutuskan apa-apa. Aluna terlalu menyayangi rasa yang
menurutnya terlalu berharga. Ia bahkan merasa tak cukup pantas menegur Arial
yang mulai melangkah meninggalkan rasa yang selama ini mereka bina.... Aluna
hanya tidak ingin kehilangan. Karena kehilangan itu, kata teman-temannya..
Menyakitkan. Aluna tidak siap dengan sebuah kenyataan.
Dan sebuah
kenyataan lain yang mungkin berupa; Arial sudah tidak menggenggam rasa yang sama seperti
Aluna.
*
Kotak berwarna
biru gelap dalam genggaman Aluna sudah terlalu biasa ikut menjadi saksi
diantara percakapan pemiliknya. Dua potong kalimat yang setiap hari sama.
Menyerahkan lalu menerima.
Aluna menyusuri
gedung FISIP dengan seulas senyum termanisnya. Ia harus seperti itu, agar Arial
tidak menggerutu.
Lalu ia berbelok
arah, menuju ruang kelas kekasihnya. Arial mengirimnya sebuah pesan singkat
sebelum ia berangkat menuju kampus, hanya memberi kabar berupa: ia memiliki
kelas di jam pagi.
Aluna terlalu
bersemangat membawa kotak biru gelap yang akan menjadi topik percakapannya pagi
ini. Hingga ia tak sadari, sebentar lagi, semuanya akan berubah seperti...
"Kak...."
Brak. Dua potong
roti jatuh begitu saja bersama kotak biru gelapnya. Lalu, tiga pasang mata melirik
hal serupa.
"Kak
Arial..."
"Luna.."
Aluna harus
membuka pagi ini dengan luka. Lagi, luka yang Arial torehkan kini secara kasat
mata. Tidak tahu apa yang ada dipikiran pemudanya, sehingga Arial harus berdiri
memeluk gadis selain Aluna.
Tubuh Aluna bergetar.
Lalu, detik berikutnya ia jatuh terduduk. Meneteskan setitik air mata hingga
menjamah dua potong roti 'paginya'.
*
I live through
pictures as if I was right there by your side
But you’ll be
good without me and if I could just give it sometime
I’ll be
alright..
Aluna merapatkan
cardigan abu-abunya. Mengimbangi dinginnya cuaca dan dingin hatinya.
Trying to
remember all the good times..
Aluna bahkan
tidak bisa mengingat segala hal manis meski ia terus mencobanya. Hanya ada
luka... Yang menembus bagai peluru lalu menghentakan hatinya tanpa ampun. Luka
yang Arial goreskan secara berkepanjangan. Hingga rasa yang sudah terlalu pekat
kini mulai berkarat.
Memories are
playin' in my dull my mind.
Aluna menatap
dua mata elang milik pemudanya. Pemuda yang sebentar lagi akan ia lepaskan.
"Kamu
seperti bukan perasa. Menarik ulur hati seseorang dengan seenaknya. Bahkan,
sekejap pun kamu tidak pernah meragu terus menerus mengulang hal itu."
Lalu, Aluna
menunjuk dadanya, hatinya.
"Ini,
biarpun disini rasa untuk kamu masih bertahta, aku tidak sanggup
mempertahankannya. Kamu terlalu sering menggoreskan luka tanpa sedikitpun
mengobatinya. Hingga tanpa aku sadari... Kamu hanya menjadikan aku tempat umum
yang bisa kamu datangi lalu kamu tinggalkan sesuka hati. Jadi apa yang harus
dipertahankan? Semua yang kita lalui sudah kadaluarsa, bukan?"
Arial menatap
sendu gadisnya.
"Alun.."
"Cukup
jadilah masa lalu. Aku... Tidak lagi butuh kamu."
Lalu Aluna
membuang kotak berwarna biru gelapnya dihadapan Arial. Tidak akan ada kenangan
lagi.
Arial, aku
pergi.
Dan Aluna
membalikan tubuh, meninggalkan Arial sendiri.
![]() |
THE END |
Hi there! Again, for the same way, I made this worst story without any-revision-. We could see how bad these words at first til' end line. I just write what I want to write, not who you want to read. So, a ton sorry for a bad quality type of mine. At least, writing always been a top mood booster for me even the content of em are sad-or people called it 'edisi galau'.
Enjoy trip on my pen world. Hakunanitama!
Regard, victim of writesyndrome
@nitajulio_
0 komentar:
Posting Komentar