Dari masa depan: Kamu & Semestaku

Diposting oleh Nita Julianti Sukandar Putri 0 komentar

Funny how I feel the more myself with you
Than anybody else that I ever knew
I hear it in your voice, see it on your face
You’ve become the memory I can’t erase

You could have been anyone at all
A stranger falling out of the blue
I’m so glad it was you

It wasn’t in the plan, not that I could see
Suddenly a miracle came to me
Safe within your arms I can say what’s true
Nothing in the world that I keep from you

Dalam dunia yang dihuni olehnya, ada kotak pandora, dengan lagu-lagu yang menghuni daftar putarnya, selapis kertas dan sebuah balpoin, atau segelas caramel macchiato yang tidak pernah luput hadir didekatnya seperti pohon dan daunnya yang berjatuhan.
Setiap pagi, Dia akan menyalin ribuan kosa kata yang malam-malam berlarian dalam mimpinya, atau menyalin lirik-lirik magis dari lagu yang didengarnya secara acak, lalu menorehkannya pada selembar kertas atau sekedar dimusiumkan dalam ingatan, hanya untuk Dia bagi denganku dikemudian. Diputarnya siklus itu seperti lumrahnya poros siang dan malam.
Dan Dia masih sama. Laki-laki dengan garis wajah tegas, dengan kharisma aristokrat, dan rasi bintang di wajahnya bak segitiga bermuda yang akan menenggelamkanmu pada sebuah jurang bernama cinta. Kamu tidak bisa kembali, kecuali memilih mati. Sebegitu dahsyatnya ia dalam definisiku, sehingga beratus hari bersamanya masih selalu kuanggap sebuah kemustahilan.
Banyak orang berkata bahwa tidak ada manusia yang sempurna, tetapi bagiku Dia adalah pengecualian. Karena pesonanya lebih kuat dari semesta yang aku pijak. Dia adalah semestaku. Dan aku hanya planet kecil yang berporos didekatnya tidak tahu malu.
Aku tidak pernah mengira bahwa hidup bersamanya adalah definisi kebahagiaan yang selama ini aku cari. Dia adalah jawaban dalam setiap keputusanku, rindu dalam setiap kegundahanku, dan kepastian dari keragu-raguanku.
Aku tidak menemukan cara untuk bagaimana mengungkapkan seluruh perasaan yang aku punya untuknya, karena dia selalu melakukannya lebih dulu. Dengan cara yang tidak biasa.
Jika orang lain mengirimkan sebuket bunga, atau makan malam romantis pada setiap hari jadi. Dia hanya akan berselimut denganku, menonton film lama yang sudah belasan kali kami tonton bersama, atau hanya duduk di atap terbuka ditemani secangkir kopi dan dongeng buatan yang selalu sukses membuatku tergelak.
Dia tidak akan membelikanku barang-barang cantik dan mahal, melainkan buku-buku berisi puisi, motivasi atau tips memasak enak. Dia tidak akan mengajakku untuk menonton konser dengan harga tiket berjuta-juta untuk merayakan pergantian tahun, tetapi hanya mengajakakku berwisata malam, menyatu dengan alam dan lagu-lagu dari musisi jalanan yang akan kami ingat sepanjang perjalanan pulang.
Seiring berjalannya waktu, aku tahu aku sudah berbagi banyak hal dengannya. Dari mulai ungkapan sayang, hangatnya pelukan, sampai ciuman singkat dalam setiap pagi saat kami membuka mata pertama kali. Seiring waktu yang kami habiskan pula aku tahu kami menua bersama, membuat dunia iri dengan setiap kisah yang kami bagi, atau hanya karena kami terlalu mendominasi memori.
Dia sesederhana itu, tapi punya sejuta cara untuk membuatku bahagia. Aku tahu cinta tidak punya definisi gamblang untuk diceritakan. Tapi cinta yang aku miliki punya identitas sendiri; Dia.
Pada pagi kesekian, aku masih sering melihatnya duduk dengan balpoin yang menari-nari diatas lembar kertas yang aku kenali. Lalu, saat mata kami bertemu, Dia tersenyum untuk mengajakku menyambut satu lagi hari yang akan kami lewati.
“Selamat pagi, siap bahagia hari ini?” Dia bertanya, setelah mencium keningku pada detik yang dicurinya dengan cuma-cuma, tetapi sanggup membuatku hilang kendali.
Aku mengangguk dua kali, membalasnya dengan pelukan. “Pagi ini aku denger lagu ciptaan Dee Lestari, yang liriknya bilang, Kubahagia, kau telah terlahir di dunia, dan kau ada diantara miliaran manusia.”
Setelah mata kami terkunci, aku melanjutkan, “Selamat ulang tahun.”
Dia menarik kedua sudut bibirnya, tersenyum, dan mata indah yang selalu sanggup membuatku jatuh cinta hilang disana. Aku melepaskan pelukan, beralih pada satu lagu dalam daftar putar yang sudah kusiapkan pagi ini untuknya.

A great big bang and dinosaurs
Fiery raining meteors
It all ends unfortunately
But you’re gonna live forever in me
I’ll guarantee, just wait and see...

Part of me were made by you
And planets keep their distance too
The moon’s got a grip on the sea
And you’re gonna live forever in me
I guarantee, it’s your destiny.

***

Untuk seseorang yang aku sayang, aku mewakili perempuan beruntung dari masa depanmu; Selamat ulang tahun yang ke 23. Semoga kamu selalu bahagia.

Remember, you’re the most worth loving person on earth. You deserve all this love and happiness. Thank you for existing in this world and sharing memories with us.
As you said, “Everday single day I spend together with you feels like my birthday. Anxiously waiting for you, getting excited just thinking of you, hoping for an eternity with you, feeling empty if I don’t have you. You like this, to me that’s my birthday present.”

So, I do, indeed. I love you so much.

Another song that I want you to hear, sounds like;

For they could not love you
But still your love was true
And when no hope was left inside
On that starry, starry night
You took your life as lovers often do
But I could have told you, Seongwu
This world was never meant for one as beautiful as you


Lagu penghantar dariku dihari bahagiamu;
    Carole King – Anyone at all
    Maudy Ayunda – Perahu Kertas
    John Mayer – You’re gonna live forever in Me
    Ellie Goulding – Vincent

Regard,
Nita J.

Dari masa depan: Kamu dalam ingatanku

Diposting oleh Nita Julianti Sukandar Putri 0 komentar
***
Manusia terkadang jatuh cinta pada hal-hal yang cenderung sepele. Seperti aku yang jatuh cinta untuk kali yang kesejuta pada hal-hal sederhana yang menahun sudah terekam dalam sudut ingatan, dimana momen yang kami habiskan tersimpan. Sesederhana saat ia menyisir rambutnya dengan kedua tangan, atau sepele saat ia menggulung lengan kemeja hingga siku. Ratusan hari aku melihat hal yang serupa, pagi, siang bahkan malam, tetapi aku tetap jatuh cinta.
Ia mendominasi semua ingatan yang aku miliki tentang hidup ini. Tentang kali pertama kami bertemu, kencan pertama yang malu-malu, atau sebaris kalimat di malam yang membuatku ragu apa aku masih menginjak bumi atau terbang bersama sisa kewarasanku.
Lalu memori tentang ia yang gugup saat pertamakali mengucap janji di depan Ayahku, tubuhnya yang dibalut tuksedo, atau wajahnya yang berseri ketika jari manis kami terisi. Ingatan itu bergantian datang seperti rol film yang diputar.
Terkadang ia adalah alasan kenapa aku ingin bangun tidur lebih awal. Hanya untuk merekam lekuk wajahnya dalam diam dan mendoktrin kepala ini dengan keindahan yang diberikan Tuhan.

The morning sunshine waking up the first thing I see
Your lovely eyes
Staring straight at me
Stroke your cheek so softly as I kiss you gently...
You hold my hands
Smile at me...

Aku suka bareface-nya saat pertama kali dia membuka mata, yang membuatku membisikan terimakasih dalam sunyi karena aku menjadi manusia paling beruntung yang bisa melihatnya disetiap pagi. Aku juga suka dekapan hangat saat wajahku terbenam dalam dada bidangnya, atau kecupan singkat dalam detik yang kami curi sebelum benar-benar bangun untuk beraktivitas.
Atau saat ia memeluku dari belakang ketika sedang mempersiapkan sarapan, mengulur waktu karena pekerjaanku lebih banyak tertahan oleh sikapnya yang kekanakan. Suara madunya saat ia merengek untuk dibuatkan kopi ketika memilih lembur di malam hari.
 “Sayang, seduhin kopi dong. Aku mau bergadang.”
 Atau saat ia sibuk mencari dasi dan kaus kaki di pagi hari.
“Sayang..... dasi aku yang warna navy dimana ya?”
Hal-hal sederhana yang aku nikmati seperti secangkir kopi di pagi hari tanpa krimer atau gula namun tetap terasa manis.

I love the fragrance of your voice
You're the colour of Loyal,
My favourite sound is your smile
I'm intoxicated with joyful
Oh, I am moved by you
Oh, I am moved by you

Tapi aku tidak hanya jatuh cinta oleh tindakan sederhana yang acapkali ia lakukan. Aku yang melewatkan tahun ketiga di atap yang sama dengannya juga kadang bisa menjadi cengeng merindukannya saat dia dinas ke luar kota. Atau saat wajah muramnya karena masalah kantor yang ia bawa sampai ke rumah, yang membuat kami melakukan perang dingin seharian tetapi aku akhirnya luluh kembali saat ia menekukkan wajahnya di bahuku, lalu mulai bercerita. Dia manusia yang ingin berbagi hal indah di dunia denganku, tetapi juga paling pantang untuk melibatkan aku pada masalah yang ingin dirangkulnya sendiri hanya karena tidak ingin aku terluka.
Genggaman tangannya yang erat, jari-jari lembutnya saat ia mengelus buku jariku, emosi dimatanya, senyum lembut yang setiap kali selalu membuatku melayang. Aku ingin menyimpannya dalam kotak pandora dan mengabadikannya dalam musium bernama ingatan.
Aku selalu ingin mengungkapkan perasaan ini secara gamblang, tetapi terkadang aku ragu karena kami sudah sama-sama tahu. Dia selalu bilang bahwa kata-kata hanya bagian dari diri manusia yang bisa hilang termakan waktu, tetapi tindakan akan selamanya ada disetiap sendi ingatan. Pada akhirnya, rangkaian kalimat yang aku susun seindah puisi hanya melesat ke udara tanpa pernah didengar pemiliknya.
Tetapi, malam ini aku ingin ia benar-benar tahu, bahwa segala apa yang kami bagi bersama adalah hal yang paling aku syukuri. Aku ingin berterimakasih karena ia telah lahir, memilihku untuk menghabiskan sisa hidup bersamanya.
Aku melihat kali kesekian saat ia menyampirkan jas di kursi meja makan, menggulung lengan kemeja hingga siku, lalu meminum segelas air putih sebelum kembali menatapku.
“Sayang?” Ia berujar dengan lembut.
Aku balas menatapnya, dan mengatakan, “Aku sayang kamu.” dengan gamblang.
Dia menatapku dengan air wajah yang tidak bisa aku definisikan. Kami membiarkan sunyi menang untuk sepersekian detik sebelum aku kembali membuka suara.
“Terimakasih telah lahir dan menemukanku. Selamat ulang tahun.” Aku berjalan menghampirinya, memeluknya dengan erat, tidak ingin kehilangan.
Lidahku yang kelu dan tanganku yang dingin karena gugup, berganti dengan aliran darah yang menghangat seiring dengan kulit kami yang bersentuhan.
Ia menarik tubuhnya, lalu menatapku sambil melempar senyumnya yang mematikan.
“Aku mau terbang.” Cicitnya, kehilangan kesempatan untuk menyembunyikan wajahnya yang memerah.
“Hadiah ulang tahunnya mana?” Lanjutnya.
Aku tertawa kecil sebelum kemudian mendaratkan kecupan singkat dipipi kirinya, yang membuatnya kembali terkejut.
“Kamu tahu kan kamu seberharga itu?”
Alih-alih mengatakan aku sayang kamu, Dia lebih memilih mengatakan kalimat itu. Membuatku tidak memiliki pilihan lain selain kembali memeluknya. Membiarkannya menerka detak yang berirama melebihi porsi seharusnya. Memproklamasi bahwa detak itu selalu miliknya. Di kamis malam saat usianya bertambah, aku bersyukur untuk ada disana.
Hanya bersamanya, aku percaya dongeng itu nyata.


**
Untuk seseorang yang aku sayang, aku mewakili ‘perempuan’ beruntung di masa depanmu;
Selamat ulang tahun yang ke 23. Semoga kamu selalu tetap bahagia.

Lagu penghantar dihari bahagiamu dariku:
    Isyana Sarasvati : All of me
    India Arie: Moved by You

Regard,
Nita J.

#MonthlySeries July - Routine

Diposting oleh Nita Julianti Sukandar Putri 0 komentar


Setiap orang memiliki siklus kehidupan masing-masing. Siklus yang juga bisa disebut sebagai rutinitas bagi seorang Abimana Baskoro.
Misalnya rutinitas seorang guru, ia bisa saja merangkap sebagai Ibu Rumah Tangga yang rutitinas paginya mengerjakan pekerjaan rumah, mempersiapkan sarapan, pergi mengajar lalu pulang untuk kemudian mengulang rutinisitas yang sama keesokan harinya. Atau seorang pegawai kantoran seperti dirinya yang sudah hidup sendiri di apartemen pribadi yang rutinitas hariannya adalah bangun, menyeduh kopi, melewatkan sarapan pagi, mengemudi, pergi ke kantor, melihat arloji lebih dari sepuluh kali setiap hari untuk memastikan jam pulang. Lantas rutinitas itu ia ulang.
Dulu, ia menyukai setiap hari yang dilewati—karena ada satu bagian dalam hidupnya yang menyempurkan rutinitas itu. Tidak setelah beberapa bulan terakhir ketika ia terlambat menyadari bahwa siklus hidupnya mulai berubah digantikan dengan sebuah black hole yang membentuk di sudut hatinya. Sebuah kehilangan.
Detik jarum jam tepat pada angka 12:30 bersamaan dengan notifikasi ponsel menyadarkan Bima dari gambaran rutinitasnya. Notifikasi yang menampilkan berbaris kalimat di pesan baru whatsapp. Bima melirik tidak acuh, memilih menyelesaikan pekerjaannya yang tanggung sebelum beranjak untuk makan siang, namun lagi-lagi notifikasi baru muncul, hanya berselang satu menit kemudian.
“Cek grup WA, si bos ngajak makan di luar nih.” Terdengar suara Ririn di kubikel sebelah Bima.
“Bim, mau ikut gak?” Kepala Ririn menyembul dibalik kubikel. Bima hanya melirik sekilas lantas mengarahkan dagu pada laptopnya memberi kode pekerjaannya yang tanggung untuk diselesaikan.
“Oh iya gue lupa tadi Mas Okis nitip ini sebelum lo dateng.” Ririn menyerahkan selembar undangan ke meja Bima, raut wajah perempuan yang sudah Bima anggap kakak sendiri itu berubah. “Bim, I owe sorry to know this...”
Bima tidak tahu apa yang dimaksud kalimat terakhir Ririn. Ia baru mengerti setelah melihat sebuah ukiran nama dengan font cantik di lembar undangan yang sebelumnya diserahkan Ririn. Black hole disudut hatinya semakin menganga, meninggalkan sebuah luka dan tanda tanya.
**
A year ago...
Ia mendengus, memilih opsi sleep pada laptopnya dan membuka pesan baru yang terus meronta-ronta. Dan ia sudah menebaknya, dari orang yang sama. Pesan tak ubahnya sebuah reminder yang lebih canggih daripada alarm ponsel atau post it di meja kerjanya, sebuah pesan dari Dinda.
Seperti rutinitas biasa, Bima akan mengemudi ke kafe atau restoran yang Dinda share location untuk makan siang. Ia sebenarnya sudah tidak mau ambil pusing dengan agenda-agenda yang Dinda ciptakan melebihi list to do yang ingin ia lakukan di luar pekerjaan. Tetapi, melewati atau absen dari satu rutinitas yang diagendakan Dinda sama saja dengan melibatkan diri pada pertengkaran agung.
Perempuan yang sudah menahun hadir dalam hidupnya dengan status pacar itu melambaikan tangan begitu Bima masuk. Bima yakin, satu keputusan untuk duduk dihadapan Dinda sama saja dengan mempersiapkan telinga kanan dan kirinya untuk mendengar seluruh rangkaian kehidupan perempuan itu dari mulai bangun hingga menginjak kecoa —seperti yang pernah diceritakannya suatu hari.
Dinda mengerucutkan bibir ketika Bima baru saja duduk.
“Kakak telat.”
“Kamu kaya gak tau SCBD aja.” Bima membela diri, walaupun ia tahu ia baru saja memercik api.
“Kakak males ya makan siang sama aku?”
Bima menatap perempuan itu. Hanya sekilas sebelum ia membuang muka kemudian, enggan menyudut api perkelahian semakin besar, ia memilih meminta maaf. Beruntung Dinda sepertinya tidak membahas lebih lanjut karena perempuan itu beralih pada topik lain.
“Besok siang habis dari acaraan anniversary nikahan Oom Adi, kita jadi nonton ya? Nonton yang jam 7 malem aja. Terus Kakak jangan lupa pake batik yang pernah dipake diacaraan Mbak Kinan, terus—”
“Saya capek Din.” Bima memotong ucapan Dinda. Menjadi kali pertama dalam lima tahun hubungannya ia menyela ucapan perempuan itu. Bima tidak tahu, apa yang membuatnya memberanikan diri memercik kembali api yang tadi ia redupkan sendiri.
Ia kembali berucap, “Saya capek sama agenda—bukan, lebih tepatnya tuntutan kamu. Saya pengen istirahat. Saya ingin rutinitas saya sendiri di akhir pekan. Bukan seperti yang kamu arahkan.”
Dinda menatap Bima dengan datar. Tidak mengatakan apapun yang membuat Bima tanpa sadar kembali mencurahkan isi kepala dan hatinya siang itu.
“Saya bosen. Kamu bangunin saya setiap pagi kaya saya anak kecil. Bilang hari ini saya harus sarapan apa, makan siang dimana, pergi kencan kemana. Kamu sama agenda gak jelas kamu. Saya ingin menyudahinya. Saya bukan robot.”
Bima tidak tahu sejak kapan lebih tepatnya, air mata perempuan dihadapannya mulai mengalir melewati pipi pualam yang selalu ingin Bima cubit acapkali pemiliknya cemberut. Hati Bima mencelos, merasakan sebuah peluru bagai melesat melewati jantungnya dan menyebabkan luka yang berdenyut menyakitkan.
“Maaf, Kak.”
Dan itu adalah kalimat terakhir yang ia dengar langsung dari Dinda ketika ia dengan bodohnya menyudahi ratusan hari yang mereka lewati bersama. Sebuah keputusan yang belasan hari kemudian Bima sadari bahwa itu adalah vonis terberat yang ia jatuhkan pada dirinya sendiri. Ia terpenjara dalam sebuah kenangan yang ia buang sendiri hanya karena merasa bosan. Di bulan ketiga setelah vonis itu ia jatuhkan pada hatinya, Bima baru menyadari bahwa ia merindukan rutinitasnya bersama Dinda, segala agenda yang mereka jalankan bersama, dan satu pengakuan besar bahwa ia mencintai Dinda diatas segala keegoisan dalam dirinya.
**
Tidak berapa lama setelah Ririn memberikan selembar undangan dengan ukiran nama yang diingatnya seperti ia mengingat bagian tubuhnya sendiri, notifikasi lain dari ponselnya kembali berbunyi. Sebuah nomor asing mengirimnya pesan.
Kak, aku kebetulan lagi di SCBD. Lagi istirahat gak? Bisa ketemu?
Hati Bima mencelos membaca satu pesan dengan nada kalimat tidak asing. Tanpa perlu mempertanyakan siapa pemilik nomor asing itu, Bima bangun dari kursinya.
Sebuah pemandangan yang sangat ingin Bima lihat dalam kurun setahun terakhir kini kasat di matanya. Gadis itu melambai dengan senyum sama seperti dulu, tanpa menyadari lambaian tangan itu membentuk sebuah harapan kecil dihati Bima.
Mereka bertukar kabar yang diawali dengan sebuah jabatan. Sebuah rutinitas baru terbentuk, alih-alih sebuah pelukan. Rangkaian kalimat saling mengudara, melesatkan satu fakta mengerikan tentang sebuah perpisahan. Bima tidak tahu ia harus bahagia atau sebaliknya, melihat Dinda tersenyum dan tertawa. Seakan dulu ia tidak pernah menggoreskan luka pada perempuan itu.
Bima ingin merekam senyum dan tawa itu pada kamus ingatannya, mengabadikan dalam jejak kenangan yang mungkin pada suatu malam bisa ia ingat-ingat kembali sambil memandang bintang. Satu perempuan seindah pelangi yang memberinya berbagai warna kehidupan, dan menyadarkannya pada suatu pemahaman bahwa meninggalkan bukanlah seharusnya satu-satunya sebuah keputusan.
Ia berkelana dalam setengah jam pertama dengan Dinda, lalu kembali ke bumi setelah Dinda mengucapkan kalimat terakhirnya pada pertemuan siang itu.
“Jangan lupa datang, Kak.”
Bima tersenyum, mengingat secarik undangan yang terbujur di sudut meja kantor dengan ukiran nama Dinda, disandingkan dengan nama lain yang bukan dirinya.
**

Ensiklopenita:
My comeback after hiatus a while. #MonthlySeries yang akhirnya molor lagi seperti sebelum-sebelumnya.
Ceritanya pendek? Emang! As usual as monthly series was. Tapi aku berharap isinya benar-benar ngasih pehahaman dan pesan yang buat kita ‘oh bener ya’ ‘oh gini ya’ dll. Karena kebetulan aku mengamati beberapa teman aku yang punya ikatan hubungan dengan pacarnya dan ada beberapa dari mereka yang over-protektif atau bahkan bersinonim seperti sifat Dinda. Aku memang segelintir orang yang kadang meremehkan ‘apa sih baru pacaran doang sampe begitu’ but I try to see on their view. Gimana dari pandangan orang-orang yang terlibat dalam ikatan itu? Mungkin seterluka itu saat mereka kehilangan, marahan atau break dengan pacarnya saat mereka mengambil keputusan yang sama untuk berpisah gara-gara keegoisan masing-masing atau alasan kuno seperti yang Bima utarakan. But see? Perasaan cinta dan rindu akan selalu menang di atas segalanya. It’s on poin. Tapi apa jadinya kalau kita benar-benar kehilangan dan rutinitas yang kita rindukan tidak bisa kembali seperti sedia kala? We lose. And we should move on, -but it was hard than you may even think.

Regard,
Hakunanitata

#MonthlySeries June Pt. 2 - Satu Senti Bermula

Diposting oleh Nita Julianti Sukandar Putri 1 komentar

Lembar papirus terakhir terisi dengan tulisan tangan Arya yang menyemut rapi, menyuarakan selapis terakhir perasaan yang bisa ia rekam sebelum benar-benar terlupakan.
Uap kecil dalam sebuah mug mewakili bagian penting dalam sejarah kehidupannya. Jejak-jejak pengakuan yang menahun hanya memakan spasi dalam ingatan dan tulisan. Bersama musim panas, musim hujan dan musim lainnya yang tidak pernah terlewat satupun tanpa sebuah nama.
Adalah bulan juni terakhir yang bisa ia nikmati dengan berpura-pura memiliki apa yang menjadi milik orang lain, dibalut kepura-puraan, bersembunyi di balik senyum seorang teman, untuk kali terakhir ia benar-benar melakukannya.
Tanda titik mengakhiri proklamasinya sore itu, pada sebuah kalimat penutup di lembar paling belakang yang sejujurnya ingin ia teriakkan dengan lantang;
Saya cinta kamu.
**
Bulan juni pertama ia menemukan perempuan itu, di kelas dua SMA. Perempuan bernama Raia, yang pronounsasi namanya-pun hampir mirip dengannya. Perempuan kecil dengan rambut sebahu dan sebuah kacamata yang bertengger melindungi mata indahnya.
Tidak ada hal istimewa yang seharusnya menjadi dasar untuk menyukai Raia. Tidak sampai suatu hari Raia memergokinya menangis setelah seminggu memasuki ajaran baru. Menjelang petang, setelah menghabiskan waktu dengan ekstakulikuler basket, Arya kembali ke kelas, menangis karena merasa menyesal menuruti tuntutan keluarganya untuk masuk jurusan IPS, dan jutaan beban lain dipundaknya yang hanya dimengerti oleh ia sendiri.
Arya tidak menangis seperti perempuan, ia hanya terisak kecil—tidak selaras dengan kaus basket yang membuatnya terlihat tangguh. Ia bahkan tidak menyadari Raia sudah duduk disebelahnya, menyodorkan sebuah saputangan tanpa mengatakan apa-apa. Dan pada petang itu, di Kelas yang hanya terisi oleh mereka berdua, detak jantung yang seirama dengan detik jarum jam pada satu petang, satu senti bermula oleh hal yang amat sederhana, Arya jatuh cinta.
Bulan juni kedua, mereka sibuk mempersiapkan Ujian Nasional dan aplikasi memasuki perguruan tinggi. Tidak ada yang berubah pada hubungan Arya dan Raia dua tahun setelahnya, stagnansi pada sebuah siklus bernama teman sekelas yang hanya bertukar tiga sampai empat kata dalam sehari. Satu hal yang tidak pernah diketahui adalah, Arya masih menggenggam sebuah perasaan pada Raia yang urung ia ungkapkan bahkan setelah mereka berpisah karena melanjutkan pendidikan tinggi di universitas berbeda. Raia menetap di Indonesia, sedangkan Ia pergi ke Eropa.
Bulan juni ketiga, Arya pulang ke Indonesia untuk menghadiri agenda sakral yang diam-diam ia simpan dalam post it dan notes ponselnya. Sebuah reuni. Arya dan teman-temannya bertukar kabar, saling melempar miliaran kata rindu, berbagi cerita yang berjam-jam melesat ke udara. Tapi, Arya tidak menemukan Raia. Perempuan itu sedang melakukan ekspedisi ke daerah pedalaman untuk berbagi ilmu pada anak-anak, begitu kata salah satu teman sekelas Arya. Dan sekali lagi, Arya harus menitipkan rindu itu pada angin yang berhilir, menitipkan pesan pada awan gempal yang berarak berharap tersampaikan.
Bulan juni keempat dan kelima terlewati dengan rutinitas biasa. Arya seperti laki-laki dewasa pada umumnya, berkencan, menyalurkan hobi, traveling dan ratusan aktivitas lainnya. Tapi idak satu haripun melewatkan kesempatan untuk berbagi rindu pada malam, dan sekecil ingatan tentang seorang perempuan yang menahun masih ada di sudut kecil hatinya, enggan untuk pergi.
Pada bulan juni keenam setelah ia kembali ke Indonesia, Arya baru mampu menafsirkan perasaan itu. Sebongkah rasa yang masih bertahta dan detak jantung yang tidak biasa acapkali ia mengingat nama Raia adalah akibat dari ungkapan yang terlambat tersampaikan. Seharusnya, biar saja ia dulu menembus dinding gengsi dalam dirinya dengan jujur berkata bahwa ia menyukai Raia sedalam yang tidak pernah dapat terukur dengan takaran manusia.
Tapi mengungkapkan adalah hal paling tersulit yang dilakukan manusia, bukan? Manusia terlalu enggan mengungkapkan sesederhana kata maaf dan seringan rasa terimakasih. Apalagi untuk mengungkapkan perasaan.
Arya sadar Raia selalu ada dalam setiap memori yang diingatnya. Ribuan kebohongan dan kepura-puraan tertanam rapi dalam kontak pandora. Tapi Raia bukanlah sebuah kebohongan baginya. Raia adalah sesuatu yang nyata, Raia adalah muse-nya.
Lagu I bet my life milik Imagine Dragons masih terdengar di sela-sela goresan pena dan kertas;
I’ve told a million lies
But now I tell a single truth..
There’s you in everything I do

Uap dalam mug itu sudah tidak nampak, tersisa kopi dingin yang terlalu lama diabaikan. Laki-laki itu memasukan buku yang penuh coretan ungkapan perasaan pada sebuah kotak cantik berpita, dengan dua benda lain di dalamnya. Sebuah saputangan dan kado pernikahan.
Ia sekali lagi melirik selembar undangan di meja, melihat ukiran nama Raia dan nama lain yang bukan dirinya, lalu memilih pergi.
**
Lima tahun yang lalu.
Raia
Jam menunjukan pukul 17:30 dan langit siang sudah saatnya berganti tugas dengan petang. Aku melihat punggung laki-laki itu bergerak tergesa di koridor setelah melempar bola terakhir dengan kasar. Aku mengenalinya sebagai teman sekelasku, Arya. Laki-laki itu cukup populer, tidak perlu bertukar nama  untuk tahu siapa dia karena belasan siswa perempuan mengelu-elu namanya setiap hari.
Aku tidak sampai hati untuk mengekorinya kembali ke Kelas, aku hanya berniat mengambil tumbrl yang tertinggal di kolong meja setelah menyelesaikan rapat osis. Tepat saat aku melangkah di bibir pintu, aku melihat Arya menyeka kedua matanya dengan kaus basket berulang kali.
Aku tidak tahu apa yang mendorongku untuk terus melangkah, pelan, mendekatinya dan terdorong untuk duduk di sampingnya. Arya seperti tidak menyadari kehadiranku, tidak sampai aku menyerahkan selapis sapu tangan yang membuatnya mendongak.
Pada detik pertama mata kami bertemu, Arya seolah mengalirkan luka dalam dirinya padaku. Laki-laki itu terlihat serapuh ranting kering yang tipis. Aku tidak mengatakan apapun karena tiba-tiba aku ingin menangis dan melindunginya. Namun yang bisa aku lakukan hanya melempar senyum tipis padanya, menepuk pundaknya dua kali sebelum aku benar-benar pergi.
Pada langkah ketiga, aku benar-benar menyesali keputusanku untuk pergi. Seharusnya aku ada disana, mendengarnya berbagi cerita, mengobati luka itu tidak peduli ia menerima atau tidak.
Petang itu, saat mata kami terkunci, ada jejak lain yang mengikutiku sampai pulang hingga beratus hari kemudian. Satu senti bermula dari keinginanku untuk tetap ada disisinya.
Aku menyukai Arya.
**

Ensiklopenita:
Ost. Imagine Dragons – I bet My life.
Akhirnya saya kembali bersua di blog ini setelah beberapa bulan semi hiatus dari menulis. Sangat-sangat disayangkan karena proyek #MonthlySeries ini lebih banyak hiatus daripada aktifnya. Dan akhirnya saya sampai pada bulan juni kedua, dimana tahun lalu menjadi bulan juni pertama saya mendekralasikan proyek ini dengan seri pertama berjudul Juna Evolusi. Mudah-mudahan kedepannya, satu seri bisa hadir kembali setiap bulan untuk mengisi blog ini.
Satu Senti Bermula, kalimat itu terinspirasi dari salah satu blogger yang ceritanya dulu acapkali saya baca. Kalimat yang benar-benar magis dan indah untuk dirangkai pada jutaan cerita. Dari satu senti bermula, ada banyak semoga yang teriring untuk menjadi nyata di hari-hari berikutnya.
Dan satu senti bermula menjadi cerita terakhir saya di usia 21. Esok hari tidak lagi sama. Saya sudah 22 dan harus mulai mencari daripada menciptakan karakter laki-laki sempurna yang selalu saya inginkan dikehidupan nyata.
Selamat idul fitri! Mohon maaf lahir dan batin.

Regard,
Nita J

#MonthlySeries March - Konstelasi Hati

Diposting oleh Nita Julianti Sukandar Putri 0 komentar

**
Kay
Dia terlihat bergeming dengan kacamata yang membingkai diwajahnya, tetapi hal itu tidak menutupi keseriusannya memandangi layar laptop, ditemani segelas kopi yang uapnya mulai berkurang karena terlalu lama diabaikan.
Dia diam saja pun aku seperti melihat sebuah mahakarya. Dan bahkan gerakan alaminya menggulung lengan kemeja hingga siku bisa terlihat indah dimataku. Kebahagiaan sederhana bisa terjadi pada hal-hal kecil seperti saat aku melihatnya menghembuskan nafas melalui hidung dan melebur bersama udara yang aku hirup. Jejak-jejak kakinya di bumi bahkan ingin aku abadikan dalam sebuah musium bernama ingatan. Ia begitu sempurna bahkan hanya saat mengedipkan mata.
Bagaimana mungkin bisa ada pepatah tidak ada manusia yang sempurna jika aku terus bersikeras bahwa laki-laki yang duduk disampingku adalah pengecualian? Dan bagaimana bisa aku yang hanya seinci jaraknya dengan dia tapi terasa sangat jauh untuk aku gapai?
Seperti definisi langit dan bumi. Aku bebas memandanginya sesuka hati, mengikutinya kemana-kemana karena ia ada disetiap langkahku berjalan. Tetapi aku bahkan sama sekali tidak bisa menggengam ia secara nyata dengan tanganku sendiri.
Aku terdiam tidak berapa lama memikirkan seluruh pertanyaan dalam benakku yang meminta jawaban, ketika kemudian laki-laki disampingku berdiri lalu menepuk bahuku pelan. “Yuk jalan.”
 Aku terkesiap, mengenyahkan segala imajinasi yang muncul tidak tahu malu, lantas mengekorinya dengan tegas.
Satu langkah pertama kami bahkan sudah membuatku risih. Inilah ketakukan yang selalu bergema dalam pikiranku. Ketika banyak mata manusia yang memandang kemustahilan diantara kami. Aku bisa membaca selusin pertanyaan dalam setiap tatapan mereka. Bagaimana bisa upik abu sepertiku bersanding dengan laki-laki sesempurna dia? Bagaimana bisa tanah liat sepertiku ada dalam jangkauan yang sama dengan berlian sepertinya?
Pikiranku bercabang kemana-mana sampai aku merasa keningku berdenyut, menabrak dada bidang laki-laki di depanku yang tiba-tiba berbalik dan berhenti.
“Kamu kok jalannya lama banget?” Ia menatapku dengan penuh tanya. Ah, suara madu dan mata teduh itu, yang sekian detik mampu menjadi racun dan membuat lututku lemas.
“Maaf ya tadi kayanya aku lagi mikirin kaya ada yang ketinggalan.” Aku menjawab asal.
Ia tersenyum tipis. “Kamu selalu gitu ya? Saya bilang apa, kamu bisa ceritain segalanya. Tapi gimana kamu mau cerita kalau hal-hal kecil kaya gitu aja kamu gak bagi dengan saya?”
Aku terenyuh. Dia begitu lagi. Setiap kosa kata yang terlontar dari bibirnya membuatku semakin tidak tahu diri ingin memilikinya seutuhnya. Aku suka saat ia mengucapkan kalimat-kalimat itu. Aku suka ketika dia lebih cepat bertindak dari apa yang yang aku harapkan. Tapi bagiku, lagi-lagi hal itu hanya menjadi bumerang bagiku untuk lebih jauh lagi mencintainya. Dan aku tidak suka ide tentang mencintainya sedalam ini dengan semua keterbatasan yang aku miliki.
***
Enam tahun lalu, kali pertama aku bertemu dengannya adalah saat kami bergabung dengan esktakulikuler yang sama di Sekolah Menengah Atas. Bisa dibilang, hari pertama ia bergabung dengan kelompok kami, ia menjadi manusia paling dikenal karena terlampau rupawan. Sedangkan aku hanya menjadi satu dari sekian anggota yang bahkan dikenal anggota lainnya beberapa minggu kemudian.
Interaksi pertama kami yang selalu aku ingat adalah ketika ia memanggil sepotong namaku. “Kay?” Dan aku memandanginya sekian detik dengan keterkejutanku. Bagaimana ia bisa ingat namaku dan bahkan ia pula yang mengawali satu percakapan kami untuk ribuan percakapan kami kemudian. Aku mengangguk pelan, mencoba menata hati yang terlanjur meloncat kegirangan.
“Saya Kia. Kita satu kelompok buat bikin esay di mading minggu depan ya.” Ia lalu menjabat tanganku. Itu adalah kali pertama juga aku mendengar ia memanggil dirinya dengan kata ‘saya’ jika berbicara denganku yang bahkan terus berlanjut sampai saat ini. Meski ukuran aku-kamu atau gue-elo adalah panggilan yang seharusnya bisa kami aplikasikan mengingat umur pertemanan kami yang tidak bisa dibilang sebentar. Aku selalu menyukainya, saat dia memposisikan diri menjadi laki-laki yang tetap sopan meski kami berteman.
Dan jabatan itu pula yang menjadi kunci bagaimana kini aku bisa terus bersama dia beratus hari kemudian. Pertemanan kami terjalin dengan mudahnya. Jika orang-orang mengira aku berteman dengannya karena memiliki jutaan kesamaan, jelas salah. Kami berbeda seiring kami mengenal satu sama lain.
Kia adalah manusia yang sangat aktif bersosial, baik, sopan dan sangat peduli. Satu-satunya cara dia marah hanya dengan diam dan mengembuskan nafas keras-keras tanpa harus mengeluarkan kata-kata kasar atau bermain dengan emosi. Tetapi kadang menjadi terlalu peduli adalah satu-satunya kekurangan yang ia buat. Orang-orang diluar sana akan merasa diperhatikan dan menaruh atensi banyak. Tanpa dia tahu hal itu bisa jadi adalah racun baginya untuk terluka.
Sedangkan aku lebih menjadi pribadi yang tertutup. Aku dekat dengannya, tetapi banyak rahasia yang tidak aku ungkap padanya. Termasuk rahasia bahwa sejak tiga tahun mengenalnya, aku mulai sadar aku menyukainya dengan porsi lebih. Sejak ia pertama kali mengenalkan pacarnya padaku, aku sadar bahwa aku tidak suka, bahkan sampai pertama kali ia putus dari pacarnya, aku tahu aku tidak suka melihatnya terluka. Ada banyak emosi dan rahasia lain yang mampu terbaca olehnya. Tapi aku tidak yakin, dengan rahasia bahwa aku menyukainya. Karena kami masih stagnan bersama tanpa pernah ada yang berubah.
***
Tahun-tahun berikutnya tetap sama. Kami masih sering menghabiskan waktu berdua. Meski ia sibuk dengan pekerjaannya dan aku sibuk dengan pekerjaanku, ia akan sempat merancang agenda untuk kami habiskan di akhir pekan. Seperti menonton film lama, memasak indomie ayam bawang atau bahkan sesederhana main ular tangga. Ia tetap Kia yang sama, hingga suatu sore percakapan kami tiba di puncak yang tidak pernah kami duga. Dan aku adalah pelaku utama dari semua itu.
Adalah saat kami membahas percakapan tentang acara kantornya dan ia mengajakku pergi bersama akhir pekan minggu depan. Aku menolak dengan sekali ajakan dan ia bertanya mengapa.
“Kayanya kita udah terlalu sering bareng-bareng. Sadar gak sih kamu ide apa yang bisa muncul di benak mereka kalau aku sama kamu terus?”
Kia memandangku dengan ketidak mengertiannya, lalu bertanya balik dengan nada frustasi. “Maksud kamu apa?”
“Kamu bertahun-tahun kenal aku, tapi kamu nggak sadar betapa aku terbebani setiap bareng kamu? Tatapan mereka tentang upik abu yang bersanding dengan pangeran itu selalu terngiang-ngiang–” aku mengambil nafas, “Stop jadikan aku objek yang bersanding dengan kamu supaya kamu terlihat sempurna.”
Aku tidak sadar bahwa itu adalah kalimat terbodoh apa pernah keluar dari bibirku, sampai membuat dia tidak mengeluarkan sepatah kata apapun dan pergi begitu saja. Aku tahu, diam adalah satu-satu definisi kuat bahwa ia sedang marah. Dan menit berikutnya aku menyesal, menangis dan marah pada diriku sendiri karena dengan bodohnya mengkamuflase perasaanku padanya.
***
Dan ini adalah jeda terpanjang dalam sejarah hidup kami berdua. Tidak ada komunikasi diantara aku dan Kia. Aku tidak tahu sebegini sulitnya hidup satu hari tanpa pernah tahu kabar Kia, seperti meneteskan cuka pada luka yang menganga. Pekerjaanku berantakan. Akhir pekanku terasa sunyi bahkan saat aku sedang bersama teman-temanku. The greatest lonelyness is when you feel empty in the crowd. Dan aku tahu ketidakhadiran Kia adalah penyebab utamanya.
Jeda terpanjang kedua dalam hidup kami adalah saat aku bertengkar dengannya karena Kia bersikeras untuk pergi ke acara debat mewakili sekolah kami padahal ia sedang sakit. Sekolah kami menang tetapi Kia akhirnya harus dirawat di Rumah Sakit. Aku tidak berbicara padanya, tidak membesuknya sampai ia kembali masuk sekolah. Aku mengingat masa lalu dan sekarang yang serupa dengan langkah gontai menuju rumah.
Mungkin... selamanya aku dan Kia hanya akan seperti bumi dan langit. Mungkin selamanya Kia hanya bisa menjadi kesempurnaan yang bisa aku nikmati dalam kesunyian. Mungkin, selamanya juga perasaanku padanya hanya akan menjadi benda rahasia yang tidak punya nama.
***
Kia
Saya tidak tahu kenapa langkah saya terasa berat setelah meninggalkannya tanpa satu kata terucap. Dan saya menyesali sikap kekanak-kanakan ini. Selalu seperti itu. Saya merasa seperti anak lelaki yang ingin diperhatikan jika sedang bersamanya. Marah jika ia tidak mendengar apa yang saya minta. Dan saya tahu, Kay adalah perempuan yang tidak menggubris hal-hal seperti itu. Tapi saya terus mengulangnya lagi, dan lagi.
Bertahun-tahun bersamanya membuat saya bergantung padanya. Ia selalu berkata bahwa saya terlalu sempurna untuk hidup sebagai manusia. Terserah jika orang berpikir saya sombong, tapi saya suka jika pendapat itu adalah dari Kay. Karena saya sadar, saya selalu berusaha menjadi sempurna karena seseorang. Dan orang itu adalah dia.
Kali pertama saya kenal Kay, saya tahu dia bukan gadis biasa. Dia lebih senang membagi masalah dengan dirinya sendiri. Dan saya tiba-tiba ingin hadir dalam hidupnya, mengubah itu semua. Saya ingin dia berbagi dengan saya, seperti hal-hal kecil tentang ingin makan siang apa hari ini, atau besok akan menonton film apa, sampai masalah besar yang ia hadapi. Saya ingin menjadi orang pertama yang Kay datangi untuk bercerita. Seperti halnya saya yang selalu berbagi padanya. Termasuk dengan pelan-pelan menyusup ke dalam hatinya.
 Saya ingin dia tahu bahwa hidup bersamanya adalah cita-cita saya. Tapi sekali lagi, saya bodoh karena tidak pernah secara gamblang mengungkapkannya.
Saya selalu percaya wanita akan terbuka dengan sikap seorang lelaki tanpa harus ditegaskan dalam sebuah kata. Tapi saya juga tahu, Kay tidak menerima sebuah tanda-tanda. Ia lebih suka sesuatu yang tegas.
Saya bodoh karena terus membelenggunya tanpa sebuah ikatan. Saya egois karena tidak mengizinkannya mengenal laki-laki selain saya. Tapi saya juga punya sesuatu yang sangat saya takutkan selama ini. Seberani apapun saya berbagi padanya selama ini, saya takut jika harus berbagi lebih.
Saya sudah berbagi masalah, waktu dan cerita-cerita saya. Saya takut berbagi perasaan saya padanya hanya akan meninggalkan luka daripada kebahagiaan. Dan terlebih lagi, pertemanan kami berdua adalah jembatan terbaik bagi saya untuk terus bersamanya. Lebih dari itu, saya takut jembatan ini runtuh dan saya tidak bisa menyebrang lagi untuk hadir di hidupnya. Dan ketakutan saya terbukti ketika dia mengungkapkan kalimat itu.
Kamu bertahun-tahun kenal aku, tapi kamu nggak sadar betapa aku terbebani setiap bareng kamu?
Saya suka setiap kata yang keluar darinya tapi tidak dengan kalimat itu. Kalimat itu menohok saya. Laki-laki bodoh yang tidak pernah mau menafsirkan kekhawatiran yang bisa saja setiap saat muncul dipikiran Kay karena saya egois atas perasaan saya sendiri.
Bukan karena saya marah pada Kay yang akhirnya membuat saya memilih pergi. Saya hanya malu karena selama ini membuatnya terbebani dengan kehadiran saya alih-alih ia merasa senang. Dan lagi-lagi saya egois karena memikirkan Kay dengan sepihak. Satu hal yang saya sadari pada langkah pertama keputusan saya saat meninggalkannya, itu adalah pilihan yang paling saya sesali selama saya hidup dan mengenalnya.
***
Sudah belasan hari saya hidup tanpa tahu kabar Kay. Bahkan di acara kantor yang ramai ini, saya memilih menyepi. Melihat teman-teman saya yang bahagia dengan hal sekecil lelucon yang dilontarkan, membuat saya sadar bahwa selama ini kebahagiaan paling besar yang pernah saya dapatkan adalah kehadiran Kay di hidup saya. Gadis pendiam yang kadang galak tetapi saya tahu dia menyimpan banyak rasa khawatir. Gadis yang lebih senang menceritakan episode kartun doraemon disetiap minggu dibanding menceritakan masalah pekerjaannya. Saya suka hal-hal sederhana yang ada pada diri Kay, termasuk sikap otomatisnya mengambil daun bawang di kuah makanan yang saya pesan karena dia tahu saya tidak suka daun bawang.
Dan malam ini saya sadar, betapa berharganya jabatan pertama kami daripada pacar pertama yang saya kenalkan padanya. Betapa terlukanya saya ketika melihat dia sakit tifus daripada saat saya putus dengan pacar saya. Saya hanya tidak siap menafsirkan dan mengakui bahwa saya mencintainya dengan segala keterbatasan yang saya punya, bukan dengan kesempurnaan yang selalu dia lihat dalam diri saya.
Karena seharusnya dia tahu, dia yang menjadikan segala yang ada dalam diri saya sempurna. Dia menggenapkan satu hal yang bernama kebahagiaan.
Kemudian, di menit Daniel Bedingfield menyanyikan sepenggal dari lagunya yang berjudul If You’re not The One, saya menyadari satu hal.
'Cause I miss you body and soul so strong that it takes my breath away,
And I breathe you into my heart and pray for the strength to stand today,
'Cause I love you, whether it's wrong or right,
And though I can't be with you tonight,
You know my heart is by your side

Tanpa berpikir panjang, saya mengambil kunci mobil dan pergi pada tujuan kemana hati ini mencari. Pada keputusan saya malam itu, saya teringat kalimat yang pernah Kay bagikan pada saya, because love will find itself.
***
Kay terdiam ketika membuka pintu rumahnya dan melihat laki-laki yang menahun menjadi memori paling diingatnya berdiri di depannya dengan tatapan yang selalu membuat perut Kay dilolosi kupu-kupu. Kia dan wangi tubuhnya yang tidak asing menyergap Kay saat laki-laki itu satu langkah mendekat padanya.
Laki-laki itu menyisir rambutnya dengan kedua tangan, lalu mendaratkan kedua tangannya pada kedua bahu Kay, memandang gadis itu dengan sangat dalam, “Kamu tahu kan bagi saya kamu seberharga itu?”
Kay balas menatapnya walau ia tahu tidak lama kemudian ia bisa saja mati di tempat karena tatapan itu menebobos ke jantung dan hatinya membuat organ tubuhnya itu bekerja liar daripada ritme sewajarnya.
“Kay.. Kita terlalu membuatnya rumit bukan? Saya cinta kamu. Sesederhana itu dan kita berdua sama-sama tahu.”
Jika boleh, Kay ingin berlari ke dalam suatu kolam es untuk menetralkan wajahnya yang memanas. Tetapi ia bahkan tidak bisa melangkah karena laki-laki itu mengunci diri dan hatinya.
 “Saya boleh cium kamu?” Kay tahu itu adalah pertanyaan paling bodoh yang pernah ia lontarkan. Tapi ia tetap melakukanya setelah Kia mengangguk pelan meski sedikit terkejut. Kay mencium Kia dengan pelan dan lembut. Hanya ciuman singkat yang efeknya maha dahsyat dan mampu memompa jantung mereka sehingga berdetak seirama.
Kay meraih tangan Kia dengan lembut, dan membimbingnya menuju hatinya untuk memproklamasi bahwa degup itu adalah milik Kia. Seutuhnya.
“Kamu juga seberharga itu.”
***
END
Ensiklopenita:
Dalam KBBI, Konstelasi; kumpulan orang, sifat, atau benda yang berhubungan; 2) keadaan, tatanan: -- 3) bangun; bentuk; susunan; kaitan; 4) gambaran; keadaan yang dibayangkan.
Saya menganalogikannya sebagai ‘keadaan hati, tatanan hati dsb’ untuk cerita ini karena cerita ini merupakan dua sudut pandang yang berbeda dari tokoh Kia dan Kay. Jadi saya pikir menggambarkan bentuk pandangan hati yang berbeda tetapi saling berhubungan. SO, BAYANGIN aja ya soalnya saya gak jago teori-teorian.
So it was my 1st entry di blog ini di tahun 2018 yang dibuatnya hanya dalam kurun waktu 3 jam disela-sela garapan bab 4 skripsi, sekaligus hutang #MonthlySeries yang absen beberapa bulan. Thank to someone berinisial HMH yang tiba-tiba merecoki pikiran saya dan membuat saya ingin menumpahkan karakternya pada sebidang tulisan. I owe to you. I LOVE YOU.
Oh yang suka fan-fiction juga saya menulis cerbung dengan karakter bernama Kia, so, please seacrh hakunanitata on wattpad, or you can read the story by click the link below:

Regard,
Nita J.

 

Gema Aksara✎ Template by Ipietoon Blogger Template | Gift Idea